A.
PENDAHULUAN
Abad pertengahan adalah masa dimana dunia memasuki
era kegelapan. Dalam hubungannya antara timur dan barat, konflik agama sehingga
menimbulkan perang salib telah sering terjadi. Dalam Islam sendiri, abad
tersebut adalah abad dimana system kekhalifahan mencapai kemunduran. Meski
begitu, era pertengahan bukan lah era dimana ilmuawan tidak terlahirkan sama
sekali. Salah satunya adalah Syaukani yang terlahir di era abad pertengahan.
Syaukani yang terlahir pada era kerajaan Utsmani
adalah salah satu tokoh dalam beberapa bidang keilmuan, seperti al-Quran, Hadis
dan hukum Islam. Dalam hadis, Syaukani telah berhasil melahirkan sebuah karya
fonumental sampai saat ini, Nayl al-Author. Salah satu pujian untuknya
di berikan oleh Shadiq Ahmad Khan, dia mengatakan bahwa Syaukani adalah seorang
ahli ilmu segala pengetahuan, dengan kemampuannya tersebut, kalangan yang
bersebrangan maupun sepaham memberikan aplaus terhadapnya.
Oleh karena itu, berkenalan dengan Syaukani lebih
jauh dan dalam tentunya di perlukan untuk menambah wawasan keilmuan. Akan
tetapi dengan segala keterbatasan, penulis sedikit menguak tentang sosok
Syaukani dan pemikirannya tersebut dalam tulisan sederhana ini. Semoga
bermanfaat.
B.
NAPAK TILAS KEHIDUPAN
al-Imam al-Mujtahid Muhammad bin Ali bin Muhammad bin
Abdillah al-Syaukani kemudian al-Son'ani, dilahirkan pada hari senin 28 Dzul
Qo'dah tahun 1172 H. Ia hapal al-Quran dengan baik dan hapal banyak sekali
matan-matan dan ringkasan fan fan yang berbeda, ketika itu umurnya belum genap
10 tahun, kemudian melanjutkan kepada syeh syeh besar, ia banyak sekali
menyibukkan diri dengan tarikh, kumpulan adab-adab. Dalam kitab al-Badru
al-Thali' di sebutkan kitab-kitab yg dibacanya dihapan ulama sebagai bahan
ujian. Dan peneliti dalam dalam fiqih, hadis, lughoh, tafsir, adab (sastra) dan
mantiq. Beliau termasuk murid yag rajin. Keluasan
pengetahuan dan kepandayannya membuatnya ahli dalam hadis, ulumul qur'an fiqih
dan ushul fiqih, mengarah pada pembaharuan dan melepaskan diri dari jeratan
taqlid, ketika itu umurnya belum mencapai/genap 30. Beliau meninggal
dunia pada 27 Jumadil Akhir 1250 H.[1]
Tulisan dan lisannnya (khutbah) membidik kejumudan
dan taqlid, hidupnya menentang bid'ah, hurafat, menjauhkan manusia dari hal-hal
yang membinasakan dan kemunkaran-kemunkaran, menjelaskan pada mereka pandangan
agama yag bersih, berpegang teguh pada al-kitab dan al-Sunnah, mengajak mereka
untuk ittiba (mengikuti) ajaran-ajaran agama yang benar, membersihkan
aqidah-aqidah dari kebatilan yang berkembang pada masanya. Pada tahun 1209 H, pada saat
usianya 36 tahun, dia menjadi qodhi akbar di al-Mansur 'Aly bin al-Mahdi
Abbbas.
Karyanya mencapai 278, tetapi yang di cetak ada 38
kitab, beliau menyusun kitabnya dengan sasaran terbatas. Membahas permasalahan
Agama, membahas aspek-aspek ilmu-ilmu agama dan menutup celah pada tempatnya,
menentang aliran-aliran pembodohan dan ta'assub.
Diantara karya-karyanya adalah:
1.Tuhfatud Dzakiriin syarah 'Iddatul Hisnil
Hushain Irsyadus Tsiqot ilaa
Ittifaaqi al-Syara'ii 'alaa al-Tauhiidi wa al-Ma'aadi wa al-Nubuwwati, sebagai penolakan terhadap penjelekan
Musa bin Maymun al-Andalusi al-Yahuudy
2.Syarah Shudur fi Raf'il Qubur
3.Risalah fii Haddi al-Safari Yajibu ma'ahu
Qashrus Shalati
4.Risalah Fi Hukmi al-Tholaq al-Bidh'i hal Yaqa'u
am laa?
5.Ittihaful Mahroh fi al-Kalam 'alaa Haditsi laa
'Adwaa wa laa Thayroh
6.Risalah al-Bhugyah fii Masalati al-Ru'yati,
yaitu tentang melihat Allah di akhirat, beliau mejelaskan bagai mana madhab
Ahlu sunnah tentang itu dan kebohonganu capan ahlul bidah tentang hal terebut.
7.al-Tasykiik 'alaa al-Tafkikk wa Irsyaadul
Ghabiyyi ilaa Madhabi Ahlil Bayti fii shuhuubi al-Nabiyyi
8.al-Bahtsul al-Musfir 'an Tahriim Kullu Muskirin
9.Risalah fi Hukmi al-Tas'iir
10.al-Taudhih fii Tawaaturi maa jaa fil al-Mahdy
al-Muntadzary wa al-Dajjali wa al-Masiih Risalah Jawabus saaili 'alaa ma'na
hadits "Ana madinatuil ilmi wa 'Ali babuha"
Karyanya yang paling terkenal
Karyanya yang paling terkenal
1. Dalam tafsir : Fathul Qadiir al-Jaami bayna fanay al-Riwayah wa
al-Diroyah
2. Dalam Fiqih : al-Saylu al-Jaraar al-Muttadafiq 'ala Hadaiqol al-Azhar, yaitu syarah al-Azhar fiFiqhi aalil Bayti
2. Dalam Fiqih : al-Saylu al-Jaraar al-Muttadafiq 'ala Hadaiqol al-Azhar, yaitu syarah al-Azhar fiFiqhi aalil Bayti
3. Dalam Hadis : Nayl al-Authar syarah al-Muntaqa al-Akhbar
Meski terkenal
sebagai ahli hadis, beliau juga tidak lupa untuk menuntut ilmu, adapun di
antara guru-guru beliau ialah:
- Ayahanda
beliau yang mengajar beliau belajar Syarah al-Azhar dan Syarah Mukhtashar
al-Hariri.
- As Sayyid al
Allamah Abdurrahman bin Qasim al Madaini, beliau belajar kepadanya Syarah
al-Azhar.
- Al Allamah
Ahmad bin Amir al Hadai, beliau belajar kepadanya Syarah al-Azhar.
- Al Allamah Ahmad bin Muhammad al-Harazi, beliau berguru kepadanya selama 13 tahun, mengambil ilmu fiqih, mengulang-ulang Syarah al Azhar dan hasyiyahnya, serta belajar bayan Ibnu Muzhaffar dan Syarah an-Nazhiri dan hasyiyahnya.
- As Sayyid al Allamah Isma’il bin Hasan, beliau belajar kepadanya al-Malhah dan Syarahnya.
- Al Allamah Abdullah bin Isma’il as-Sahmi, beliau belajar kepadanya Qawaidul I’rab dan Syarahnya serta Syarah al Khubaishi ‘alal Kafiyah dan Syarahnya.
- Al Allamah al Qasim bin Yahya al-Khaulani, beliau belajar kepadanya Syarh as Sayyid al-Mufti ‘alal Kafiyah, Syarah asy-Syafiyah li Luthfillah al Dhiyats, dan Syarah ar-Ridha ‘alal Kafiyah.
- Al Allamah Ahmad bin Muhammad al-Harazi, beliau berguru kepadanya selama 13 tahun, mengambil ilmu fiqih, mengulang-ulang Syarah al Azhar dan hasyiyahnya, serta belajar bayan Ibnu Muzhaffar dan Syarah an-Nazhiri dan hasyiyahnya.
- As Sayyid al Allamah Isma’il bin Hasan, beliau belajar kepadanya al-Malhah dan Syarahnya.
- Al Allamah Abdullah bin Isma’il as-Sahmi, beliau belajar kepadanya Qawaidul I’rab dan Syarahnya serta Syarah al Khubaishi ‘alal Kafiyah dan Syarahnya.
- Al Allamah al Qasim bin Yahya al-Khaulani, beliau belajar kepadanya Syarh as Sayyid al-Mufti ‘alal Kafiyah, Syarah asy-Syafiyah li Luthfillah al Dhiyats, dan Syarah ar-Ridha ‘alal Kafiyah.
- As Sayyid al
Allamah Abdullah bin Husain, beliau belajar kepadanya Syarah al fami ‘alal
Kafiyah.
- Al Allamah
Hasan bin Isma’il al Maghribi, beliau belajar kepadanya Syarah asy- Syamsiyyah
oleh al Quthb dan Syarah al- ‘Adhud ‘alal Mukhtashar serta mendengarkan darinya
Sunan Abu Dawud dan Ma’alimus Sunan.
- As Sayyid al
Imam Abdul Qadir bin Ahmad, beliau belajar kepadanya Syarah Jam’ul Jawami’ lil
Muhalli dan Bahruz Zakhkhar serta mendengarkan darinya Shahih Muslim, Sunan
Tirmidzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwaththa Malik, dan Syifa’ Qadhi
‘lyadh.
- Al Allamah
Hadi bin Husain al-Qarani, beliau belajar kepadanya Syarah al-Jazariyyah.
- Al Allamah Abdurrahman bin Hasan al Akwa, beliau belajar kepadanya Syifa al Amir Husain.
- Al Allamah Abdurrahman bin Hasan al Akwa, beliau belajar kepadanya Syifa al Amir Husain.
- Al Allamah
Ali bin Ibrahim bin Ahmad bin Amir, beliau mendengarkan darinya Shahih Bukhari
dari awal hingga akhir.
C. SETTING SOSIAL
Sejak permulaan abad ke-12 H. (18 M.) dunia Islam
telah memasuki fase kemunduran, pada waktu itu, tiga kerajaan besar: Turki
Usmani, Safawi, dan Mughal telah mulai mengalami masa surutnya masa
kejayaannya. Sehabis masa pemerintahan Sulaiman al-Qanuni (1566 M.), kerajaan
Turki Usmani telah memasuki masa kemundurannya, sultan-sultan yang memerintah
tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan kerajaan yang luas itu, bahkan
mereka banyak dipengaruhi oleh para putri di istana, sementara di berbagai
wilayah dalam kerajaan muncul berbagai pemberontakan, seperti di Suriyah timbul
pemberontakan Kurdi Jumbulat, di Mesir terjadi pemberontakan ‘Ali Bek al-Kabir
yang diteruskan oleh Muhammad ‘Ali, di Libanon terjadi pemberontakan di bawah
pimpinan Druze Amir Fakhruddin dan kemudian muncul pula gerakan al-Syihabiyah,
di Palestina gerakan pemberontakan dipimpin oleh Damir al-Amr. Janissary,
tentara Usman sendiri, juga berontak terhadap kerajaan.
Pada masa itu pula, beberapa peperangan dengan
negara-negara tetanggapun terjadi, sehingga mengakibatkan kerajaan Turki Usmani
semakin terpojok. Yunani memperoleh kemerdekaannya kembali pada tahun 1829 M.,
Rumania lepas pada tahun 1856, begitu pula dengan Bulgaria pada tahun 1878 M.,
Albania, dan Macedonia. Dalam pada itu, kerajaan Syafawi di Persia yang
menganut paham Syi’ah, mulai mengalami kemunduran. Penyebabnya adalah
penyerangan yang dilakukan oleh Afghan yang menganut paham Sunni, di bawah
pimpinan Mir Ways pada tahun 1709 M. setelah itu, terjadilah pemberontakan
besar-besaran yang dilakukan oleh Afghan. Dengan demikian, tamatlah kerajaan
Syafawi di Persia.
Sementara itu, di India, kerajaan Mughal yang
berada di bawah kekuasaan Aurangzeb sedang mengalami tantangan dari golongan
Hindu yang merupakan mayoritas penduduk India. Dalam kondisi demikian, Inggris
turut campur dalam konflik politik di India, dan akhirnya India dapat dikuasai
pada tahun 1857 M. Hal di atas, gambaran kondisi dunia
Islam ketika al-Syaukani hidup. Melihat kondisi dunia Islam yang semakin tidak
menentu, Yaman adalah salah satu bagian dari kerajaan Turki Usmani, di bawah
kepemimpinan al-Qasim ibn Muhammad, memberontak melawan Turki Utsmani, pada
tahun 1598 M. dan mendirikan dinasti Qasimiyah. Setelah al-Qasim meninggal
(1009 H.), ia diganti oleh putranya, al-Mu’ayyad Muhammad ibn al-Qasim (1009-1054
H.), yang telah sanggup mempertahankan Yaman dari serangan bangsa Turki. Setelah
itu, berkali-kali serangan bangsa Turki di arahkan ke Yaman, namun tidak
menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan para imam Zaidiyah di Yaman. Al-Syaukani
sendiri merekam cerita tentang kepahlawanan kakeknya, yaitu Abdullah
al-Syaukani, yang ketika usianya telah mencapai 110 tahun masih mampu dengan
gagah perkasa berjuang bersama para putra Yaman melawan bangsa Turki dan
mengusir mereka dari tanah Yaman. Sekalipun
demikian, para sultan Turki Utsmani tetap memandang Yaman sebagai bagian dari
wilayah mereka , yang membangkang terhadap pemerintah pusat. Oleh sebab itu,
selama pemerintahan Dinasti Qasimiyah senantiasa terjadi konfrontasi antara
Yaman dan Turki Utsmani.[2]
Sebagaimana di wilayah dunia Islam lainnya,
perkembangan ilmu pengetahuan di Yaman, sekalipun tidak seburuk di wilyah lain,
tidak dapat dikatakan telah mencapai kemajuan yang berarti. Diakui oleh
al-Syaukani bahwa kebekuan dan taklid yang melanda kaum muslim sejak abad ke-4
yang mempengaruhi akidah mereka, mereka telah banyak dibuai oleh bid’ah dan
khurafat, sehingga terjauh dari tuntunan Islam yang sebenarnya.[3]
Dalam situasi dan kondisi seperti itulah al-Syaukani di lahirkan. Syaukani
mencoba untuk meluruskan permasalahan umat Islam pada masa tersebut dengan
mengembalikannya kepada ajaran-ajaran Islam yang berdasarkan al-Quran dan
hadis. Baginya, Al-Quran adalah sumber pertama dan utama untuk mengembalikan
umt Islam lepas dari taklid buta, sedangkan hadis, beliau tidak membatasi
kepada hadis-hadis yang bersanad ahl al-bait, bahkan hadis ahad pun juga
di perhitungkan dengan beberapa syarat yang akan di jelaskan dalam bab
selanjutnya.
D. PEMIKIRAN AL-SYAUKANI
Salah satu
pemikiran Syaukani tentang hadis adalah hadis ahad. Secara umum, hadis ahad
adalah hadis satu, dua atau sedikit yang tidak melebihi derajat masyhur. Imam
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad asy- Syaukani menyatakan bahwa kabar wahid atau
hadits ahad baru dapat diterima jika sumbernya memenuhi lima syarat
sebagai berikut:
1.
Sumbernya harus seorang mukallaf, yaitu orang
yang telah kena kewajiban melaksanakan perintah agama dan dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu ucapan anak dibawah umur tidak dapat
diterima.
2.
Sumbernya harus beragama Islam.
Konsekuensinya, tidak dapat diterima khabar atau cerita dari orang kafir.
3.
Nara sumber harus memiliki ‘adalah, yaitu
integritas moral pribadi yang menunjukkan ketakwaan dan kewibawaan diri (muru’ah)
sehingga timbul kepercayaan orang lain kepadanya, termasuk dalam hal ini
meninggalkan dosa-dosa kecil. Atas dasar ini orang fasiq secara otomatis tidak
mempunyai adalah dan ucapan mereka ditolak.
4.
Nara sumber harus memiliki kecermatan dan
ketelitian, tidak sembrono dan asal jadi.
5.
Nara sumber diharuskan jujur dan terus
terang, tidak menyembunyikan sumber rujukan dengan cara apa pun, sengaja maupun
tidak sengaja.[4]
Melihat persyaratan di atas, maka dapat diketahui bahwa Syaukani,
meski beraliran Syiah, namun karena beraliran Syiah Ziyadah maka beliau tidak
membatasi periwayat dari kalangan ahl al-bait belaka, Syaukani lebih melihat
permasalahan tersebut lebih kepada kredibelitas seorang perawi. Hal tersebut
berbeda jika dibandingkan dengan Syiah Imamiah yang menolak hadis perawi selain
ahl al-bait. Madzhab Zaidiyah memandang bahwa
Ali adalah seorang yang paling pantas menjadi imam pasca meninggalnya
Rasulullah Saw. Karena beliaulah orang yang paling dominan memiliki
sifat-sifat, yang sebelumnya telah disebut-sebut oleh Rasulullah Saw. dan imam
sesudah Ali seharusnya dari keturunan Fatimah. Itulah sifat-sifat terbaik bagi
seorang imam. Akan tetapi, sekalipun demikian, jika sifat-sifat itu tidak
terpenuhi , maka bolehlah yang lain sebagai pengganti posisi yang menduduki
jabatan tersebut. Imam dalam bentuk kedua inilah disebut dengan imam mafdul. Berangkat dari sinilah, Syiah Zaidiyah
dapat menerima Abu Bakar, ‘Umar bin Khatab, dan Utsman bin ‘Affan.[5]
Namun, Syiah Zaidiyah memandang imam sebagai manusia paling utama setelah Nabi
Muhammad Saw. Merekapun tidak mengkafirkan para sahabat, khusunya mereka
yang dibai’at oleh Sayyina ‘Ali bin Abî Tâlib,
dan mengakui kepemimpinan meraka. Di antara ajaran sekte ini juga adalah Imâm afdal. Menurut pengikut sekte ini ‘Ali bin
AbiTalib lebih afdal dari pada Abû Bakar al-Siddîq. Namun
demikian, dalam teologi Islam sekte Zaidiyah tetap mengakui khalifah Abû Bakar
al-Siddîq, ‘Umar bin Khattâb, dan Utsmân bin ‘Affan. Akan tetapi yang afdal adalah ‘Ali ibn ’Abî Talib, sedangkan tiga khalifah
pendahulunya disebut oleh mereka sebagai imâm
Mafdûl.[6]
Selain dalam hadis, pemikiran faham Syiah Ziyadah
juga terlihat dalam karya tafsirnya, Fath al-Qadir al-Jami’ Baina Fannai wa
al-Dirayah min Ilm Tafsir. Al-Dzahabi dalam kitabnya, al-Tafsir wa
al-Mufassirun, menyebutkan bahwa tafsir karya Syaukani adalah satu-satunya
tafsir yang bercorak mazhab Syiah Ziyadah, sedangkan untuk tafsir yang bercorak
lawan dari Syiah Ziyadah, yaitu Syiah Imamiah berjumlah 12.[7]
Syaukani dalam hadis sangat memperhatikan
transmisi sanad, karena dengan transmisi sanad sebuah hadis dapat di terima
atau tidak. Meski begitu, respek Syaukani terhadap transmisi sanad yang
bermuara kepada Bukhari dan Muslim, beliau tidak menghiraukan, dalam artian
bahwa beliau menaruh respek hormat yang tinggi kepada kedua tokoh hadis
tersebut. Salah satunya adalah ketika beliau menulis kitab Tuhfah
al-Dzakirin.[8]
Dalam karya tersebut, beliau mencoba menulusuri ulang transmisi sanad pada
kitab Uddah al-Hisnh, meski melakukan kritik ulang terhadap sanad tapi
beliau tidak memberlakukan kepada hadis-hadis yang di riwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim.
Di samping memperhatikan transmisi sanad, beliau
juga lafal-lafal hadis tersebut. Sebagai contohnya adalah beliau dalam
kitabnya, Nayl al-Author, menjelaskan perbedaan lafal-lafal hadis dan
maknanya, illat serta hukum yang dapat di ambil dari sebuah hadis tersebut.[9] Oleh karenanya, Syaukani selain tokoh dalam
bidang Tafsir dan Hadis, beliau juga sebagai tokoh hukum Islam. Salah satu
pemikiran Syaukani yang paling fonumental di bidang lafal hadis adalah
hadis-hadis yang menunjukkan perintah dapat diterima sebagai hadis apabila
lafal tersebut jelas menunjukkan perintah. Seperti redaksi hadis yang
menggunakan امرنا رسول الله عن... atau صلوا كما
رأيتموني اصلي namun redaksi
hadis seperti امرنا هكذا tidak dapat diterima.
E. PENUTUP
Seperti yang sudah di paparkan di atas, Syaukani
adalah tokoh dalam beberapa bidang keilmuan. Namun dalam keilmuan hadis,
pemikiran Syaukani dapat di garis bahawai sebagai berikut.
1.
Hadis ahad, hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua atau
sedikit perawi yang tidak sampai kepada derajat masyhur, tetap dapat di terima
dengan beberapa syarat.
2.
Seperti tokoh lainnya Syiah Ziyadah, Syaukani juga memandang
bahwa membatasi transmisi sanad hanya kepada ahl al-bait adalah sebuah
kesalahan. Transmisi sanad dari Abu Bakar, Umar dan Utsman juga perlu di
pertimbangkan.
3.
Selain memperhatikan transmisi sanad, Syaukani adalah ahli
hadis yang memperhatikan terhadap lafal-lafal dan illat hadis.
[1] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nayl
al-Author , Juz I (tk:Mustofa al-Baby al-Halaby,tt), hlm. 3
[2] Hasani Ahmad, Rasionalitas Tafsir Fath al-Qadir
Imam al-Syaukani dalam http://hasanibanten.
blogspot.com/2010/01/rasionalitas-tafsir-fath-al-qadir-imam.html. Di akses pada 05 Juni 2012. Lihat juga Syaukani, Nayl
al-Author, Juz I, hlm 11-13.
[3] Al-Syaukani, Nayl al-Author, Juz I, hlm. 20
[4] Syamsuddin Arif, "Prinsip-prinsip Dasar
Epistemologi Islam” dalam Jurnal
Islamia, II, no. 5, hlm. 32
[5] Imam Abi Fath Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani,
al-Milal wa Nihal, Juz I (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, tt), hlm. 155
[6] Ibid, hlm. 154
[7] Al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, juz II,
(Kairo: Maktabah Wahbah. 2000), hlm. 407 dan 411
[8] Al-Syaukani, Syarh Tuhfah al-Dzakirin bi Uddah
al-Hishn al-Hashin min Kalam Sayyid al-Mursalin (Jakarta:Pustaka Azzam.
2007), hlm. 10
[9] Al-Syaukani, Nayl al-Author, Juz I, hlm. 11-12