Minggu, 04 Maret 2012

SEJARAH PERADABAN KHULAFA' AL-RASYIDIN



A.    PENDAHULUAN

Menjadi sebuah pertanyaan sejarah adalah kapan Islam mengalami puncak peradabannya?. Sebagian  merujuk kepada masa Muhammad saw ketika hidup.  Sebagian lainnya merujuk kepada masa khulafa’ al-rasyidin, hal tersebut wajar karna masa khulafah al-rasyidin adalah masa di mana umat Islam untuk pertama kalinya berdiri tanpa Muhammad saw, seperti  pengangkatan khalifah, sistem kekhalifahan, interaksi umat Islam serta hal lainnya adalah sekelumit peristiwa tanpa adanya sosok Nabi Muhammad saw. Hal tersebut juga di pertegas oleh Nabi bahwasannya “generasi terbaik adalah generasi setelah Nabi”.  Dengan demikian, maka wajar pada masa sekarang ada sebagian kelompok yang menyatakan bahwa untuk memuncaki peradaban umat muslim harus menerapkan apa yang telah di contohkan pada masa khalifah tersebut.
      Meski masa tersebut di sinyalir sebagai puncak peradaban namun tidak sedikit oleh kalangan di pertentangkan jika hal tersebut di terapkan pada masa sekarang. Salah satunya adalah system pemerintahan, banyak yang menentang akan tersebut karena system pemerintahan yang sesuai pada masa sekarang jika merujuk kepada Islam adalah Syura, yang mana hal tersebut mempunyai persamaan dengan sistem pemerintahan saat ini, yaitu demokrasi, parlemen, republic dan lain sebagainya.
      Oleh karena itu, upaya rekontruksi pemahaman di perlukan untuk menjawab berbagai persoalan tersebut. Di samping untuk meluruskan pemahaman atas sejarah tersebut, hal tersebut berguna untuk membangun sebuah peradaban yang tidak ahistoris, sehingga apa yang di kerjakan oleh umat muslim sekarang adalah sebuah proyek yang belum terselesaikan di masa lampau.
     




B.     KERANGKA TEORI

Sejarah secara harfiah berasal dari kata syajarah (Arab), Istoria (Yunani), Histore (Prancis), Geschicte (Jerman), Histoire atau Geschiedenis (Belanda) dan History (Inggris). Sedangkan arti sejarah yang populer adalah pengetahuan tentang gejala alam, khususnya manusia yang bersifat kronologis.[1]
Peradaban meski mengalami sedikit kesalahan pengertiannya dalam bahasa Indonesia, namun yang di maksud dengan peradaban secara luas adalah suatu kondisi masyarakat yang sudah berkembang dan maju dengan melihat gejala-gejala lahir yang nampak.[2]
Khalifah, secara umum di artikan sebagai pengganti dan penerus tugas-tugas Muhammad saw dalam keagamaan dan pemerintahan. Akan tetapi, makna khalifah mengalami pergeseran, baik dari sisi historis, teologis maupun sosiologis politis.[3]
     
C.    PEMBAHASAN
1.      Kepercayaan

Nabi Muhammad saw yang di utus kepada Bangsa Arab Jahiliyyah tidak lain untuk meluruskan kepercayaan atau keyakinannya, sehingga tak dapat di sangsikan lagi ketika Muhammad saw wafat, problem yang di hadapi oleh penerusnya (khalifah) adalah kemunculan orang-orang murtad dan Nabi palsu. Problem tersebut, meski tidak menafikan permasalahan-permasalahan lainnya, sekilas menunjukkan ketidakberhasilan dakwah Muhammad saw dalam meluruskan keyakinan dan kepercayaan Bangsa Arab. Oleh karena itu, Abu Bakar al-Shiddiq, Khalifah pertama melihat permasalahan tersebut adalah permasalahan fundamental yang harus segera di selesaikan secepat mungkin.
“seraya bersumpah dengan tegas ia menyatakan akan memerangi semua golongan yang menyimpang dari kebenaran (orang-orang murtad, tidak mau membayar zakat dan mengaku diri sebagai nabi), sehingga semuanya kembali ke jalan yang benar atau harus gugur sebagai syahid dalam memperjuangkan kemuliaan agama Allah”[4]   

            Tidak di ragukan lagi, sikap tegas Abu Bakar tersebut adalah sebuah cerminan atas krusialnya permasalahan yang di hadapinya,[5] akan tetapi, sikap tegas tersebut bukanlah senjata utama Abu Bakar untuk menghadapi kelompok-kelompok pembangkang. Sebelum terlaksanya perintah memerangi kelompok pemberontak, jalan pertama yang di lakukan oleh Abu Bakar adalah bersifat diplomatis, yaitu mengirim surat kepada kelompok-kelompok pemberontak untuk di ajak kembali ke jalan yang benar, namun mereka mengindahkan seruan tersebut.
            Al-Suyuthi mengatakan bahwasannya ada persyaratan yang di tetapkan oleh Abu Bakar kepada kelompok atau orang berhak di perangi, yaitu mereka tidak mengucapkan syahadat, meninggalkan shalat, tidak membayar zakat, meninggalkan puasa dan tidak menunaikan haji.[6]
             Ketika seruan tidak di hiraukan, memerangi kaum murtad pun tidak terhindarkan. Tercatat dalam sejarah, sepanjang kepemimpinannya yang singkat, Abu Bakar berhasil meredakan kaum murtad Bahrain, Nabi palsu Musailmah, Nabi palsu Laqit ibn Malik al-Azadi di Oman, kelompok murtad keluarga Kindah dan Nabi palsu Kais ibn Abdi Yagust di Yaman. Kelompok-kelompok tersebut meyakini bahwasannya apa yang di lakukannya(kecuali mengaku nabi) adalah perbuatan wajar karena selama ini, perjanjian atau baiat hanya berlaku personal antara mereka dengan Muhammad saw.[7] 
            Selain sikap keagamaan tersebut yang menjadi penyebab adanya pembangkangan, keadaan politis juga mendukung adanya penyelewengan oleh umat muslim di luar arab, yaitu umat muslim menguasai jazirah arab masih sekitar tiga tahun terakhir sehingga apa yang gariskan oleh islam belum begitu mengakar dengan mereka. Oleh karena itu, memerangi mereka selain meluruskan kembali keyakinan mereka, eksistensi kekuasaan islam terhadap Arabia yang baru berdiri beberapa tahun terkahir juga menjadi permasalahan tersendiri untuk segera di selesaikan. Bagaimanapun, Muhammad saw di samping sebagai utusan dan Nabi Allah, beliau adalah seorang kepala Negara, sehingga kepolitikan yang telah di bangunnya harus tetap di tegakkan agar eksistensinya tetap di akui oleh khalayak umum.  
            Meskipun adanya kaum-kaum pembelot tersebut, namun sebagian umat muslim tidak di ragukan lagi kepercayaan dan keimanannya meski Muhammad saw telah tiada. Sebenarnya, ada gelombang pemudaran kepercayaan dan keyakinan tatkala berita wafatnya Muhammad saw tersebar ke seluruh pelosok, namun hal tersebut dapat di tangkap oleh Abu Bakar dan di padamkannya sekita itu juga dengan pidatonya sebagai berikut.

“hai kaum muslimin. Barang siapa menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa beliau telah wafat. Tetapi barang siapa menyembah Allah, Dia Maha Hidup dan tidak pernah mati” Abu bakar juga menyitir sebuah ayat al-Quran: “Muhammad itu tidak lain adalah seorang Rasul, telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh, kalian akan berbalik?”[8]

            Pidato Abu bakar tersebut memperlihatkan bahwasannya sebagian muslim telah terjerembab pada kesalahan seperti yang di lakukan oleh umat kristiani kepada Nabi Isa a.s, yaitu menuhankan Muhammad saw. Maka apresiasi tinggi seharusnya di berikan kepada Abu Bakar karena dengan kecerdasannya yang berhasil menangkap gejala-gejala tersebut dan berhasil memadamkannya. Di sisi lain, pidato tersebut menunjukkan atas kualitas keimanan personal Abu Bakar yang tidak bisa di ragukan lagi.
             Selanjutnya, permasalahan teologi dalam masa khulafa’ al-rasyidin yang masih mengakar sampai sekarang adalah konsep khalifah tersebut. Pertentangan tersebut tidak lain adalah khilafah adalah sebuah pemimpin spiritual atau tidak. Untuk menjawab permasalahan tersebut, pemahaman atas sejarah khulafa’ al-rasyidin adalah suatu hal yang urgen. Dengan memahami historisasinya maka akan mengetahui sebenarnya cakupan konsep tersebut.
Pandangan Abu Bakar sendiri ketika di baiat menjadi khalifah pertama menyatakan bahwasannya pengangkatannya hanya sebatas kenegaraan, sedangkan permasalahan keagamaan hanya sebatas pada ajaran-ajaran Muhammad saw, dalam artian tidak bersifat spiritual kepemimpinannya.  Abu Bakar dengan tegas menyatakan bahwasannya dengan wafatnya Muhammad saw maka berakhir pula kerisalahan Allah dan dia tidak mungkin menjadi penerus Nabi dalam hal religiusitas umat muslim. Bagaimana dengan memerangi kelompok penyeleweng yang di bawah kekuasaan Abu Bakar?. Tindakan Abu Bakar tersebut tidak lain adalah menghindarkan perpecahan dalam umat muslim itu sendiri, bukan adanya legalitas religious terhadap Abu Bakar.[9] Begitu pula dengan penunjukan Umar ibn Khattab sebagai pengganti Abu Bakar lebih kepada kewenangan sebagai kepala Negara.

“rupanya masa dua tahun bagi khalifah Abu Bakar  belumlah cukup untuk menjamin stabilitas keamanan terkendali, maka penunjukan ini di maskudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam”[10]
            Pengangkatan khalifah Utsman ibn Affan meski memiliki mekanisme baru dengan adanya tim formatur yang di bentuk oleh Umar;Ali, Ustman, Sa’ad ibn Waqash, Abd al-Rahman ibn Auf, Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah, namun hal tersebut menunjukkan bahwasannya kekhalifahan bukanlah sebuah pimpinan religiousitas umat muslim, kekhalifahan di sini di pertegas hanya sebuah hubungan pemimpin negara dan rakyat.[11]  Utsman setelah di angkat menjadi khalifah berjanji akan mengikuti apa yang telah di lakukan pendahulunya dan mengikuti al-Quran dan Sunnah. Di samping itu, dalam pidatonya Utsman juga mengakui dirinya adalah bukan orang sempurna, banyak kekurangan.[12] Tidak jauh berbeda dengan khalifah sebelum-sebelumnya, Ali ibn Thalib ketika di angkat menjadi khalifah keemapat tetap berpedoman kepada Allah dan kemaslahatan umat Islam berdasarkan ajaran sunnah.[13]
            Konsep khalifah yang dikonsepkan oleh khulafa’ al-rasyidin di atas adalah konsep khilafah antar manusia, hal tersebut berbeda ketika khilafah antara manusia dengan Allah. Konsep khilafah yang di tetapkan oleh manusia terdapat adanya hak memilih dan berdasarkan pilihan, sedangkan konsepsi khilafah rasul terjadi melalui kehendak Allah.[14] Oleh karena itu, secara historisasi khulafa’ al-rasyidin, konsep khalifah sesungguhnya adalah sebuah gelar bagi penerus atau pengganti nabi untuk menstabilkan keadaan umat Islam, meneruskan perjuangan Muhammad saw dalam sisi kenegaraan karena apapun yang di lakukan oleh keempat khalifah tersebut berdasarkan ajaran-ajaran atau sunnah Muhammad saw.

“pewarisan misi Muhammad (khilafah) berarti pewarisan kedaulatan negara. Sedangkan peran Muhammad sebagai nabi, sebagai penerima wahyu, sebagai rasul Allah tidak tergantikan. Dari sisi keagamaan, seseorang khalifah hanyalah seorang pemelihara iman yang bertugas mempertahankan keimanan. Peran itu serupa dengan peran yang di klaim raja-raja Eropa. Seorang khalifah berkewajiban untuk menghilangkan bidah, memerangi orang-orang kafir dan memperluas wilayah. Semua kewajiban itu dilaksanakan dalam kapasitasnya sebagai penguasa dunia”[15]
           

2.      Pengetahuan

Pada jaman Jahiliyyah, kaum Qurays baru memiliki 7 orang pandai baca tulis dan penduduk Yastrib memiliki 17 orang pandai baca tulis. Oleh karena, tidak mengherankan pada masa tersebut bangsa arab jahiliyyah sangat miskin pengetahuan.[16] Islam hadir mengubah keadaan tersebut. Firman Allah pertama turun kepada Muhammad saw, bacalah, menjadi titik tolak perubahan dan perkembangan Qurays dan penduduk Yastrib selanjutnya. Di masa Rasulullah saw hidup, lahir beberapa orang genius, seperti Umar ibn Khattab, Ali ibn Abi Thalib, Zaid ibn Tsabit, Ibn Mas’ud, Ibn Umar, Ibn Abbas dan Aisyah. Terlahirnya orang pandai pada masa Muhammad saw membantu perkembangan peradaban pada masa khulafa’ al-rasyidin, karena bagaimanapun, kemajuan yang di capai oleh khulafa’ al-rasyidin tidak terlepas dari ikut andilnya peran mereka.
Langkah gemilang dan tidak terlupakan oleh semua orang yang di tempuh oleh khulafa’ al-rasyidin adalah pembukuan al-Quran. Peperangan untuk membasmi para pemurtad agama yang di canangkan oleh Abu Bakar harus di bayar mahal umat muslim dengan syahidnya beberapa qurra dan penghafal quran. Terlepas dari historisasi kodifikasi al-Quran dan kontroversi yang menyertainya, ide yang di cetuskan oleh Umar ibn Khattab melalui khalifah Abu Bakar adalah sebuah ide cemerlang, karena sebelumnya al-Quran hanya di hafal oleh para sahabat, jikapun ada sahabat yang menulis dapat di pastikan itu terbatas pada selembaran dan tidak mencakup semua al-Quran. Beberapa kemajuan seputar kodifikasi al-Quran tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut.
a.       Menjaga keutuhan al-Quran dan mengumpulkannya dalam bentuk mushaf
b.      Pemberlakuan mushaf standar pada masa Utsman ibn Affan
c.       Keseriusan mencari serta menyebarkan keilmuan, terutama penyebaran mushaf beserta para qari
d.      Adanya ketertarikan umat lain untuk mempelajari Islam[17]
 Selain kodifikasi al-Quran sebagai kemajuan peradaban yang tercapai pada masa khulafa’ al-rasyidin, di berlakukannya ijtihad oleh khalifah Umar adalah sebuah sisi lain dari kemajuan peradaban. Sebenarnya, kodifikasi  al-Quran adalah manifestasi dari di bukanya pintu ijtihad karean sebelumnya Muhammad saw sendiri tidak melakukannya. Namun, yang di maksud dari peradaban dari sisi di bukanya ijtihad di atas adalah beberapa keputusan yang di ambil oleh Umar ibn Affan. Di antaranya adalah
a.  Tidak melaksanakan hukum potong tangan terhadap pencuri yang terpaksa mencuri demi membebaskan dirinya dari kelaparan
b.      Menghapuskan bagian zakat bagi para muallaf
c.       Menghapuskan hukum mut’ah[18]
d.      Mengawini ahli kitab
e.       Cerai tiga kali yang di ucapkan sekaligus.[19]
Selain masalah-masalah di atas, shalat tarawih berjamaah juga mulai di berlakukan. Terlepas dari kontroversi yang muncul dari sikap Umar tersebut, namun tindakan Umar adalah sebuah tindakan yang menunjukkan Islam bukanlah agama kaku dan stagnan. Sikap terbuka seperti itu sehingga Islam dapat di terima di seluruh pelosok negeri yang di taklukan, karena dalam periode khulafa’ al-rasyidin, perluasan wilayah sangat gencar-gencarnya dan terbilang sangat sukses.

3.      Kelembagaan

Sebagaimana yang telah di jelaskan di atas, konsep khilafah pada masa khulafa’ al-rasyidin lebih ke dalam kenegaraan, maka sejalan dengan konsepsi tersebut, terbentuklah beberapa lembaga kenegaraan di masa khulafa’ al-rasyidin. Adapun lembaga-lembaga tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Organisasi politik
Dalam aspek ini, beberapa lembaga telah di bentuk, antara lain al-wizaraat dan al-kitabaat. Istilah pertama di tunjukkan untuk orang-orang yang terlibat mengurusi negara, dalam konteks sekarang adalah menteri. Istilah kedua adalah orang-orang yang membantu dalam bidang menjelaskan urusan-urusan penting negara, dalam konteks sekarang adalah sekretaris negara
b.      Administrasi negara
Organisasi bidang ini terbilang masih cukup sederhana, karena bertugas membentuk propinsi-propinsi beserta gubernurnya, mengurusi masalah pos dengan kuda sebagai kendaraan dan membentuk kepolisian sebagai pengamanan negara
c.       Peradilan
Khalifah mengangkat hakim-hakim di tiap wilayah untuk mengatasi problematik hukum yang muncul, baik masalah pengadilan, banding atau damai. Dalam mengangkat hakim, beliau menetapkan beberapa peraturan atau asas-asas hukum sebagai berikut.
1.      Kedudukan lembaga peradilan adalah sebuah kewajiban masyarakat negara
2.      Memahami kasus persoalan, baru memutuskannya
3.      Samakan pandangan kepada kedua belah pihak dan berlaku adil
4.      Kewajiban pembuktian bagi penggugat dan tergugat
5.      Lembaga damai, dalam artian jalan damai di benarkan jika tidak mengharamkan perkara halal atau sebaliknya
6.      Penundaan persidangan bagi orang yang memberitahukan alasan penundaannya, jika tidak maka keputusan sesuai dengan hak tergugat dan penggugat
7.      Kebenaran dan keadilan adalah masalah universal
8.      Kewajiban menggali hukum yang hidup dan melakukan penalaran logis
9.      Orang islam harus berlaku adil
10.  Larangan bersidang ketika sedang emosi[20]
d.      Bendahara negara
Manifestasi dari konsep adalah terbentuknya bait al-ma>llembaga ini bertugas untuk permasalahan keuangan negara, baik itu pengeluaran maupun pemasukan.   

e.       Pertahanan Keamanan
Lembaga yang berkonsentrasi mengatasi permasalahn tentara; susunan tentara, gaji tentara, persenjataan, pengadaan asrama, benteng-benteng pertahanan dan latihan militer.[21]


4.      Arsitektur

Beberapa kemajuan dalam bidang arsitektur adalah sebagai berikut.
a.       Perbaikan masjid-masjid.
Masjid al-haram di perluas pada masa Utsman ibn Affan, Masjid nabawi. Pada era Umar di perluas 35x30M, dan kemudian di perluas bagian selatan 5 m, barat 5 m dan utara 15 m. di samping perluasan, Umar juga membuat mihrab dan menambah pintu masuk menjadi 6 buah.  Di era Utsman masjid tersebut di perluas dan dinding di hiasi dengan berbagai ukiran.
b.      Pembangun kota-kota.
Selain memperbaiki masjid-masjid, pada era khulafa’ al-rasyidin, tepatnya Umar ibn Khattab, di lakukan gerakan membangun kota sebagai pusat pemerintahan. Di Irak, Basrah di bangun dengan arsitek Utbah ibn Gazwah dan Kufah di bangun dengan arsitek Salman al-Farisi. Di Mesir, Fusthath di bangun sebagai ibu kota propinsi.[22]

Di samping memperbaiki masjid-masjid dan membangun kota-kota, pembangunan daerah-daerah pemukiman, jembatan, jalan, wisma tamu, tempat persediaan air di Madinah, padang pasir dan ladang-ladang peternakan.[23] Dengan adanya kemajuan arsitektur tersebut, para khalifah tidak hanya memperhatikan masalah keagamaan, politik ataupun kekuasaan. Kemaslahatan public juga menjadi perhatian karena kemaslahatan public merupakan bentuk dari manifestasi kebudayaan sebuah masyarakat.





D.    KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas, penulis menyimpulkan beberapa beberapa poin sebagai berikut.
1.    Secara historis, konsep khilafah sebagaimana yang di terapkan oleh khulafa’ al-rasyidin adalan khalifah rasul, pengganti rasul, bukan khalifah Allah.
2.      Khalifah rasul berdimensi manusia, sehingga cakupannya adalah sebatas kenegaraan atau politik, tidak masuk ranah ketuhanan atau kenabian
3.      Khalifah di angkat atas dasar pilihan manusia dengan asas musyawarah
4.   Meski terdapat pembelotan oleh sebagian kelompok pasca wafatnya Muhammad saw, namun hal tersebut tidak menjadi sebuah indikasi kemunduran teologis bangsa Arab
5.     Beberapa kemajuan peradaban dapat di jumpai pada era tersebut. Seperti pembentukan departemen pemerintahan, pembangunan masjid dan kota-kota, serta kodifikasi al-Quran.
















[1] Dudung Abdurrahman, “Makna Sejarah dan Peradaban Islam” dalam Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam:Dari Klasik Hingga Modern (Yogyakarta:LESFI. 2004), hlm. 4

[2] Ibid, 8

[3] Pergeseran Historis, Abu Bakar, Usman dan Ali  yang menghendaki dengan gelar khalifah Rasul. Umar lebih memilih gelar khalifah khalifati rasulillah atau amirul mukminin. Secara teologis, Sunni melihat khilafah adalah pemimpin politik dari bentuk pemerintahan Islam dan menurut  Syia’ah adalah sebuah lembaga ketuhanan yang mengganti lembaga kenabian. Secara sosiologis politis, hal tersebut dapat di lacak ketika di bubarkannya system kekhalifahan oleh Musthafa Kemal Attatruk namun setelah peristiwa itu, banyak kelompok muslim yang berusaha untuk menghidupkan kembali namun hingga sampai sekarang belum ada yang berhasil.  Inayah Rochmaniyyah, “Imamah-Khilafah” dalam Nur Khalis Setiawan dan Djaka Soetapa,ed. Meniti Kalam Kerukunan:Beberapa Istilah Kunci Dalam Islam dan Kristen (Jakarta:BPK Gunung Mulia. 2010), hlm.111-124
[4] Ummi Kulstum, “Peradaban Islam Masa Khulafa’al-Rasyidin” dalam Siti Maryam, dkk, Sejarah…, hlm. 47

[5] Sikap tersebut juga di tunjukkan dalam perkataannya untuk memerangi kaum murtad kepada umar, “seandainya mereka menahan tali-kekang yang dulu biasa mereka bayarkan kepada Nabi, aku akan memeranginya demi tali itu”. Lih Barnaby Rogerson, Para Pewaris Muhammad, Ahmad Asnawi, terj. (Yogyakarta: Diglossia Media. 2006), hlm. 132

[6] Al-Syuyuthi, Tarikh Khulafa’, Samson Rahman, terj (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2005), hlm. 82

[7] Barnaby Rogerson, Para Pewaris…, hlm. 130

[8]Ibid, hlm. 116
[9] Ketegasan atas wilayah kepemimpinan seorang khalifah dapat di simpulkan dari pidatonya Abu Bakar ketika di angkat menjadi khalifah. “wahai manusia! Sesungguhnya saya telah dipilih untuk memimpin kalian dan bukanlah saya terbaik di antara kalian. Maka, jika saya melakukan hal yang baik, bantulah saya. Dan jika saya melakukan tindakan yang menyeleweng luruskanlah saya…..taatlah kalian kepadaku selama saya taat kepada Allah dan RasulNya dan jika saya melakukan maksiat kepada Allah dan RasuNya maka tidak ada kewajiban taat kalian kepadaku” lih. Al-Syuyuthi, Tarikh Khulafa’…, hlm. 75 

[10] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 98. lih juga Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin (Jakarta:Bulan Bintang. 1979), hlm. 138-139

[11] Adapun mekanisme pemilihan khalifah ketiga adalah sebagai berikut. Pertama, yang berhak menjadi khalifah adalah yang dipilih oleh anggota formatur dengan suara terbanyak. Kedua, apabila suara berimbang, Abdullah ibn Umar berhak menentukannya. Ketiga, apabila keputusan Abdullah ibn Umar  tidak di terima, maka orang yang di pilih Abd al-Rahman bin Auf menjadi khalifah. Keempat, bagi yang menentang keputusan Abd al-Rahman maka di bunuh. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia. 2008), hlm. 87

[12] Barnaby Rogerson, Para Pewaris…, hlm. 224

[13] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara:Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:UI Press. 1990), hlm. 29

[14] Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam I (Yogyakarta: LKiS. 2007), hlm 132

[15] Philip K. Hitti, History of Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2002), hlm. 230-231

[16] Musyarifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011), hlm. 13
[17] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban…, hlm. 114-115

[18] Ummi Kultsum, Peradaban Islam…, hlm. 50-51

[19] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam…, hlm. 26
[20] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban…, hlm. 83-84

[21] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam…, hlm. 26-29. Lih Ummi Kultsum, Peradaban Islam…, hlm. 49-50. Lih juga Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban…, hlm. 73, 82 
[22] Ummi Kultsum, Sejarah Peradaban…, hlm. 62-63

[23] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban…, hlm. 92-93

Senin, 12 Desember 2011

Metode dan Pendekatan Antropologi dalam Studi Agama



A.    Pendahuluan
Seperti halnya ilmu pengetahuan, agama (Islam) juga merupakan bagian dari kebudayaan. Pada awalnya agama (Islam) –dan ilmu pengetahuan- memang berasal dari Tuhan. Akan tetapi ia kemudian diterima, dimiliki, diamalkan dan dibudidayakan oleh manusia (Nabi Muhammad dan umat Islam). Agama (Islam) merupakan sebuah kebudayaan, karena dibudidayakan oleh umat manusia (umat Islam).
Agama (Islam) merupakan bagian dari kebudayaan. Sehingga ia pun bisa dikaji dengan pendekatan antropologis. Agama (Islam) bisa dikaji dengan pendekatan antropologis karena ia dipandang oleh antropologi- sebagai suatu –produk- budaya atau suatu fenomena –agama- yang memiliki unsur budaya.
Pendekatan antropologis dalam memahami agama juga dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktis keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pendekatan antropologis dalam arti ini lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.
Melalui pendekatan antropologis kita dapat melihat bahwa –misalnya- agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dan dalam hal ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja suatu –individu- masyarakat, maka kita dapat mengusahakannya dengan cara mengubah pandangan keagamaan –individu- masyarakat tersebut.
Melalui pendekatan antropologis, kita juga dapat melihat dan meneliti hubungan antara agama dan mekanisme pengorganisasian. Dalam kasus di Indonesia misalnya, kita pun dapat menemukan adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa yang bisa digolongkan menjadi beberapa macam: santri, priyayi dan abangan.
Yang tidak kalah penting, pendekatan antropologis juga masih dan sangat dibutuhkan untuk –lebih- memahami makna-makna yang terkandung dalam ajaran agama. Pendekatan antropologis sangat dibutuhkan untuk –lebih- memahami makna-makna yang terkandung dalam ajaran agama Islam mengenai kasus sodomi kaum Luth, misalnya.
Dan salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah Holisme. Yaitu pandangan bahwa praktik-praktik sosial-budaya dalam masyarakat yang sedang diteliti itu harus dilihat sebagai praktik-praktik yang secara esensial saling berkaitan. Sehingga, untuk lebih memahami makna-makna yang terkandung di dalam ajaran agama Islam mengenai kasus sodomi kaum Luth, kita harus melihat kasus tersebut sebagai suatu praktik sosial-budaya yang di dalamnya terkait sejumlah bidang kemanusiaan, semisal teologi, etika, kesehatan, psikologi, etnografi, geografi, astronomi dan yang lainnya.
Agama (Islam) bisa dikaji dan diteliti –termasuk dengan pendekatan antropologis. Hanya saja, penelitian agama (Islam) pada awal tahun 70-an merupakan suatu hal yang tabu di Indonesia.
Menurut Daniel L. Pals dalam karyanya yang berjudul Seven Theories of Religion,[1] orang-orang Eropa pada awalnya juga menolak anggapan adanya kemungkinan untuk meneliti agama dikarenakan kepercayaan mereka bahwa antara ilmu dan nilai serta antara ilmu dan agama tidaklah bisa disinkronkan.
Pada awalnya penelitian terhadap agama memang sering dianggap tidak tepat dan bahkan tabu (terlarang). Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan pengetahuan manusia, hal tersebut kini dapat dibenarkan oleh sebagian besar orang.
Agama (Islam) bisa dikaji dan diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri dengan berbagai pendekatan. Termasuk dengan pendekatan antropologis.
Melalui pendekatan antropologis, sosok agama yang berada pada tataran empirik pun akan dapat dilihat hubungan dan keterkaitannya dengan berbagai pranata sosial-budaya yang ada di masyarakat.

B.     Pengertian Antropologi
Antropologi berasal dari bahasa Yunani Anthropos yang berarti manusia dan Logos yang berarti wacana (dalam pengertian "bernalar", "berakal").[2]
Menurut Achmad Fedyani Saifuddin[3], antropologi bisa saja didudukkan sebagai salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial Hanya saja, ia sejatinya adalah suatu perspektif ilmiah. Mengingat sukarnya tercapai kesepakatan di kalangan antropolog mengenai kualifikasi antropologi –apakah- sebagai suatu ilmu pengetahuan (science) ataukah bukan.
Para pengkaji memang tampak berbeda pendapat mengenai definisi (pengertian) antropologi. Misalnya:[4]
1.      William A. Havilland : Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
2.      David Hunter : Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
3.      Koentjaraningrat : Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disusun pengertian sederhana bahwa antropologi adalah sebuah ilmu (studi) yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia, yang terdiri dari aspek fisik dan nonfisik berupa warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, kebudayaan, aspek politik, dan berbagai pengetahuan tentang corak kehidupan lainnya yang bermanfaat.
Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Secara garis besar ia –menurut obyek kajiannya- bisa dibagi menjadi dua macam. Yang pertama ialah antropologi fisik, yang obyek kajiannya berupa manusia sebagai organisme biologis. Sedangkan kedua ialah antropologi budaya, yang obyek kajiannya terkait manusia sebagai makhluk sosial-(ber)budaya. Selanjutnya, obyek kajian antropologi budaya terdiri dari tiga cabang: arkeologi, linguistik dan etnologi.[5]
Secara garis besar antropologi –sebagai sebuah ilmu- memiliki cabang-cabang ilmu yang terdiri dari:[6]
A.    Antropologi Fisik
1.      Paleoantropologi : ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil.
2.      Somatologi : ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri fisik.
B.     Antropologi Sosial-Budaya
1.      Prehistori : ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan semua kebudayaan manusia di bumi sebelum manusia mengenal tulisan.
2.      Etnolinguistik Antropologi : ilmu yang mempelajari pelukisan tentang ciri dan tata bahasa dan beratus-ratus bahasa suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi.
3.      Etnologi : ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
4.      Etnopsikologi : ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi.
C.    Perkembangan Kajian Antropologi
Antropologi –sebagai sebuah ilmu- juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Menurut Koentjaraninggrat,[7] antropologi –sebagai sebuah ilmu- mengalami empat fase (tahapan) dalam perkembangannya. Meliputi:
1.      Fase Kesatu : sebelum tahun 1800-an.
Sekitar abad ke-15-16 M, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 M perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
2.      Fase Kedua : pertengahan abad 19 M.
Pada fase ini bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. Masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya.
Pada fase ini antropologi bertujuan akademis mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
3.      Fase Ketiga : awal abad ke-20 M
Pada fase ini negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
4.      Fase Keempat : setelah tahun 1930-an
Pada fase ini antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang dijajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa: Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu juga muncullah semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
Menurut David N. Gellner,[8] antropologi bermula pada abad 19 M. Pada abad ini antropologi dimaknai sebagai penelitian –yang difokuskan- pada kajian asal-usul manusia. Penelitian antropologi tersebut mencakup pencarian fosil yang masih ada dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada masa ini antropologi dikembangkan dalam paradigma evolusi sebagai ide kunci.
Antropologi –masih menurut David N Gellner- juga tertarik untuk mengkaji agama. Adapun tema yang menjadi fokus perdebatan di kalangan mereka, misalnya  pertanyaan: Apakah bentuk agama yang paling kuno itu magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan alam? Apakah agama ini meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan suatu bentuk agama yang disebut animisme? Pertanyaan dan pembahasan seputar agama primitif itu sangat digemari pembaca-nya pada abad ke 19 M. Antropologi abad 19 M tampak menghasilkan setidaknya dua karya besar tentang kajian agama: The Golden Bough (1890) karya Sir James Frazer dan  The Element Forms of Religious Life (1912) karya Emil Durkheim.
D.    Obyek Antropologi
Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Secara garis besar ia –menurut obyek kajiannya- bisa dibagi menjadi dua macam. Yang pertama ialah antropologi fisik, yang obyek kajiannya berupa manusia sebagai organisme biologis. Sedangkan kedua ialah antropologi budaya, yang obyek kajiannya terkait manusia sebagai makhluk sosial (ber)budaya. Selanjutnya, obyek kajian antropologi budaya terdiri dari tiga cabang: arkeologi, linguistik dan etnologi.
Meskipun antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi manusia sebagai organisme biologis. Tetapi antropologi fisik inilah yang sejatinya menyediakan kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia.[9]
E.     Antropologi Sebagai Suatu Pendekatan Dalam Penelitian Agama
Agama (Islam) merupakan bagian dari kebudayaan. Sehingga ia pun bisa dikaji dengan pendekatan antropologis. Agama (islam) bisa dikaji dengan pendekatan antropologis karena ia dipandang secara antropologis sebagai suatu –produk- budaya atau suatu fenomena –agama- yang memiliki unsur budaya.
Pendekatan antropologis masih dan sangat dibutuhkan untuk –lebih- memahami makna-makna yang terkandung dalam ajaran agama. Pendekatan antropologis dalam memahami agama juga dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pendekatan Antropologis dalam arti ini lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan bersifat partisipatif.
Dan salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah Holisme. Yaitu pandangan bahwa praktik-praktik sosial-budaya dalam masyarakat yang sedang diteliti itu harus dilihat sebagai praktik-praktik yang secara esensial saling berkaitan.
Agama (Islam) bisa dikaji dan diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri dengan berbagai pendekatan. Termasuk dengan pendekatan antropologis. Melalui pendekatan antropologis, sosok agama yang berada pada tataran empirik pun akan dapat dilihat hubungan dan keterkaitannya dengan berbagai pranata sosial-budaya yang ada di masyarakat.
F.     Obyek Pendekatan Antropologis Dalam Penelitian Agama
Budaya sebagai produk manusia yang bersosial-budaya pun dipelajari oleh Antropologi. Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari di sini adalah agama sebagai fenomena budaya, bukannya agama (ajaran) yang datang dari Tuhan.[10]
Menurut Atho Mudzhar,[11] fenomena agama –yang dapat dikaji- ada lima kategori. Meliputi:
1.      Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
2.      Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama. Yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
3.      Ritus, lembaga dan ibadat. Misalnya shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
4.      Alat-alat (dan sarana). Misalnya masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
5.      Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan. Misalnya seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima fenomena (obyek) di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologis, karena kelima fenomena (obyek) tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.
G.    Paradigma Pendekatan Antropologis
Beberapa paradigma pendekatan antropologis dijelaskan secara singkat oleh Achmad Fedyani Saifuddin dalam bukunya yang berjudul Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Meliputi:[12]
1.      Evolusionisme Klasik : paradigma ini berupaya menelusuri perkembangan kebudayaan sejak yang paling awal, asal usul primitif, hingga yang paling mutakhir, bentuk yang paling kompleks.
2.      Difusionisme : paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman di antara bebagai kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak kebudayaan.
3.      Partikularisme : paradigma ini memusatkan perhatian pada pengumpulan data etnografi dan deskripsi mengenai kebudayaan tertentu.
4.      Struktural-Fungsionalisme : paradigma ini berasumsi bahwa komponen-komponen sistem sosial, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu organisme, berfungsi memelihara integritas dan stabilitas keseluruhan sistem.
5.      Antropologi Psikologi : paradigma ini mengekspresikan dirinya ke dalam tiga hal besar : hubungan antara kebudayaan manusia dan hakikat manusia, hubungan antara kebudayaan dan individu, dan hubungan antara kebudayaan dan kepribadian khas masyarakat.
6.      Strukturalisme : paradigma ini merupakan suatu strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia –yakni, struktur dari poses pikiran manusia- yang oleh kaum strukturalis dipandang sama dalam lintas budaya.
7.      Materalisme Dialektik : paradigma ini berupaya menjelaskan alasan-alasan terjadinya perubahan dan perkembangan sistem sosial budaya.
8.      Kultural Materialisme : paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab kesamaan dan pebedaan sosial budaya.
9.      Etno-sains : paradigma ini juga disebut “etnografi baru” atau “etnografi kognitif” . Perspektif teoritis mendasar dari paradigma tersebut terkandung dalam konsep analisis kompensional, yang mengemukakan komponen kategori-kategori kebudayaan dapat dianalisis dalam konteksnya sendiri untuk melihat bagaimana kebudayaan menstrukturkan lapangan kognisis.
10.  Antropologi Simbolik : paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia adalah hewan pencari makna, dan berupaya mengungkapkan cara-cara simbolik dimana manusia –secara individual dan kelompok-kelompok kebudayan dari manusia- memberikan makna kepada kehidupannya.
11.  Sosiobiologi : paradigma ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolusi biologi terhadap fenomena sosial dan menggunakan pendekatan dan program genetika untuk meneliti banyak perilaku kebudayaan.
Menurut David N Gellner,[13] salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah Holisme. Yaitu pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Dalam konsep Holisme, agama –menurut Gellner- tidak bisa dilihat oleh seorang antropolog sebagai satu sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya. Sebaliknya, agama harus dilihat oleh para antropolog dengan praktik pertanian, kekeluargaan, politik, magic, dan pengobatan secara bersama-sama.
H.    Cara Kerja Pendekatan Antropologis Dalam Penelitian Agama
Menurut Amin Abdullah,[14] cara kerja –yang dalam hal ini bisa kita artikan sebagai langkah dan tahapan- pendekatan antropologis pada penelitian agama memiliki empat ciri fundamental. Meliputi:
1.      Deskriptif : Pendekatan antropologis  bermula dan diawali dari kerja lapangan  (field work),  berhubungan  dengan orang dan –atau- masyarakat (kelompok)  setempat yang diamati dalam jangka waktu yang lama.  Inilah yang biasa disebut dengan (thick description).
2.      Lokal Praktis : Pendekatan antropologis disertai praktik konkrit dan nyata di lapangan. Yakni, dengan ikut praktik di dalam peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan, semisal kelahiran, perkawinan, kematian dan pemakaman.
3.      Keterkaitan antar domain kehidupan  secara lebih utuh (connections across social domains) : Pendekatan antropologis mencari keterkaitan antara domain-domain kehidupan  sosial secara lebih utuh. Yakni, hubungan antara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik.  Hal ini dikarenakan hampir tidak ada satu pun domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri dan terlepas tanpa terkait dengan wilayah domain kehidupan yang lainnya.
4.      Komparatif (Perbandingan) : Pendekatan antropologis –perlu- melakukan perbandingan dengan berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama.
I.       Contoh Penelitian Agama Dengan Pendekatan Antropologis
Salah satu contoh rancangan penelitian yang akan dikemukakan pada bagian ini adalah rancangan penelitian bertopik: Runtuhnya Daulah Bani Umawiyah Dan Bangkitnya Daulah Bani Abbasiyah. Menurut M. Atho Mudzhar,[15] rancangan penelitian tersebut sebaiknya memperhatikan dan memperjelas –setidaknya-  empat hal. Meliputi:
1.      Rumusan Masalah : faktor-faktor apa saja yang menyebabkan jatuhnya Bani Umawiyah dan bangkitnya Bani Abbasiyah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus dirumuskan faktor penyebab runtuh atau bangkitnya dinasti, dan aspek –antropologis- apa saja yang akan dikaji.
2.      Arti Penting Penelitian : menjelaskan signifikasi penelitian. Misalnya, menjelaskan maksud penelitian (sesuatu yang belum pernah diteliti atau dibahas sebelumnya) dan kontribusi apa yang diperoleh dari hasil penelitian setelah dilakukan nantinya.
3.      Metode Penelitian : metode yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Yakni, dengan merinci hal-hal semisal: bentuk dan sumber informasi serta cara mendapatkannya, cara memahami dan menganalisa informasi, dan cara pemaparan informasi.
4.      Sumber Literatur : melakukan telaah pustaka dan membuat rangkuman dari teori yang telah dipaparkan. Setelah itu, seorang peneliti harus mengetahui apa saja yang belum dibicarakan, dan dari sinilah akan diperoleh kontribusi dari hasil penemuan penelitianyang digunakan.
J.      Penutup
Setelah menguraikan secara singkat pendekatan antropologis di atas, dapat dipahami bahwa pendekatan antropologis mendekati dan meneliti segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia (masyarakat) sebagai makhluk hidup (organisme biologis) dan –atau- makhluk sosial-budaya. Dalam lingkup penelitian agama, pendekatan tersebut bisa terfokus pada para penganut atau pemuka agama, organisasi keagamaan pemeluk agama, naskah (sumber) dan simbol agama, ritual peribadatan serta alat-alat dan sarananya.


Daftar Pustaka

Abd. Somad, “Pendekatan Antropologi”, dalam M. Amin Abdullah, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Achmad  Fedyani Saifuddin , Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta:  Kencana Prenada Media Group, 2006.
Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006.
Daniel L. Pals (ed), Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996.
David N. Gellner, “Pendekaan Antropologis”, dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Yogyakarta: PT Rineka Cipta, 1996.
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi


[1] Lihat: Daniel L. Pals (ed), Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996, hlm. 1.
[2] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi
[3] Lihat: Achmad  Fedyani Saifuddin , Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta:  Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm. 11.
[4] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi
[5] Lihat: Abd. Somad, “Pendekatan Antropologi”, dalam M. Amin Abdullah, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006, hlm. 62.
[6] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi
[7] Lihat: Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Yogyakarta: PT Rineka Cipta, 1996, hlm. 1-4.
[8] Lihat: David N. Gellner, “Pendekaan Antropologis”, dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002, hlm. 15-18.
[9] Lihat: Abd. Shomad, op.cit, hlm. 62.
[10] Menurut Bustanuddin Agus, antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral. Wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul. Lihat: Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006, hlm. 18.
[11] Lihat: M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 15.
[12] Lihat: Achmad Fedyani Saifuddin, op.cit, hlm. 63-66.
[13] Lihat: David N Gellner, op.cit, hlm. 34.
[14] Lihat: http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/
[15] . M. Atho Mudzhar,  op. cit, hlm. 60.