Rabu, 12 Oktober 2011

Epistemologi Irfani


EPISTEMOLOGI IRFANI
 Oleh: M. Achwan Baharuddin 

Landasan bagi Filsafat Ilmu telah diletakkan oleh Francis Bacon pada abad ke-16. Namun, perbincangan mengenai filsafat ilmu baru merebak pada abad ke 20. Perhatian yang besar terhadap filasafat ilmu mulai mengedepan tatkala ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan terlepas dari asumsi-asumsi dasar filosofisnya, seperti landasan antologis, epistemologis dan aksiologis. Filsafat ilmu hadir sebagai upaya untuk meletakkan kembali peran dan fungsi pengetahuan dan teknologi.
Epistemology, adalah salah satu landasan yang ditempuh untuk mengembalikan peran dan fungsi tersebut. Bagian-bagian dari epistemology adalah Empirisme, Rasionalisme, Positivisme dan Intuisionisme. Sedangkan dalam sudut pandang Islam, bagian-bagian epistemology adalah Burhani, Irfani dan Bayani.
    
A.    Pengertian

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lazim dikenal dengan epistemologis. Epistemologi secara kebahasaan berasal dari term Yunani [Greek], episteme yang sepadan dengan term knowledge: logos: dan account[1].
Epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistimologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan. Secara umum epistimologi dalam Islam memiliki tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani, dan burhani.
Secara garis besar, epistemology bayani adalah pengetahuan bersumberkan pada teks-teks keagamaan, sedangkan epistemology burhani adalah pengetahuan bersumberkan pada rasio(akal)[2].

Epistemology irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak [irodah]. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf dan syuhud.
Kasyf atau mukasyafah salah satu tangga menuju pengetahuan tentang Tuhan dan dalam Tuhan, suatu pengetahuan yang hakikiah. Mukayafah adalah upaya penyingkapan hijab-hijab diri.[3]
Epistemologi ini benar-benar sulit dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa diverifikasi dan didemonstrasikan. Epistemologi ini lebih mengandalkan pada rasa individual, daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang definite.

B.     Kedudukan 
Henri Bergson (1859), seorang tokoh epistemology Intuisionisme menganggap tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek-objek yang kita tangkap itu adalah objek yang selalu berubah, jadi pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal tersebut, Bergson mengembangkan satu kemampuan yang dimilki oleh manusia, yaitu intuisi[4].  Dengan intusi, Bergson mencoba untuk menemukan atau proses pengetahuan yang tidak bisa dilakukan oleh panca indera dan akal.
Penyingkapan-penyingkapan irfani memberikan ungkapan dan pandangan khusus kepada lisan dan mata seorang arif tentang keberadaan dan kosmos eksistensi. Ungkapan dan pandangan ini merupakan hasil dari pengalaman esoterik dan temuan-temuan irfani. Dan ketika terkait dalam batasan teori dan penalaran (reasoning) ia berada dalam ruang-lingkup irfan teoritis, dua hal yang harus tuntas dalam pembahasan epistemologi irfani.
Dalam Irfan praktis, amal dan olah-batin merupakan starting-point dan jalan thariqat menuju hakikat. Dengan meniti jalan sair suluk di penghujung seorang salik akan hinggap pada mukasyafah atas nama-nama atau dzati. Dengan demikian, kasyf (penyingkapan) dan syuhud (penyaksian) merupakan ujung jalan bagi seorang salik. Atas dasar ini, mukasyafah merupakan titik-henti (ending point) irfan praktis dan titik-mula (starting point) irfan teoritis.  Kasyf dan syuhud adalah media untuk mengakses alam meta-natural atau umumnya disebut sebagai meta-fisika.  
Ketiga kecenderungan epistemologis Islam di atas(bayani, irfani dan burhani), secara teologis mendapatkan justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal ini. Akan tetapi meski demikian tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkap tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi [ hati atau perasaan] terdalam.

"Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya".(Al-Baqarah: 242) 
"Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya".(Yusuf: 2)
"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya".(Asy-Syams:8)
"Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu".(Al-Ankabut:43)
Ayat-ayat Al-Quran diatas adalah sebagai bukti justifikasi ketiga epistemology yang cenderung ada, epistemology bayani, irfani serta burhani.
            Epistemology irfani dengan metode khasnya kasyf tidak bisa terlepas dengan pengetahuan yang bersumber pada intuisi terdalam, maka tidak heran jika kelompok yang mendalami epistemology irfani ini menjunjung tinggi intuisi, orang yang intuisinya tidak bersih atau terganggu maka dia dianggap sulit untuk memperoleh pengetahuan. Salah satu imam empat madzhab fiqh, Imam Syafii ketika mengalami “kebekuan pemikiran” yang menyebabkan dia tidak bisa menyerap ilmu yang diajarkan oleh gurunya: Syeh Waqi’,  salah satu saran gurunya adalah untuk meninggalkan maksiat, ilmu adalah cahaya ilahiyah, ilmu tidak akan bisa masuk kepada orang yang bermaksiat. Hal tersebut adalah salah contohnya permasalahan epistemology irfani.

C.    Metodologi
            Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani. Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan. Pada tahap persiapan, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, yaitu taubat, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang syubhat (wara’), tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia (zuhud), mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah SWT (faqir), sabar, tawakkal, dan ridla. Pada tahap penerimaan, jika telah mencapai tingkat tertentu, seseorang akan mendapat limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan. Sedangkan pada tahap pengungkapan, pengalaman mistik disampaikan kepada orang lain, baik lewat ucapan maupun tulisan. Masalahnya, karena pengetahuan yang didapat adalah sebuah pengalaman dimensi batin, terkadang sulit untuk menyampaikan pengetahuan itu. Epistemologi irfani yang lebih menekankan pada pengalaman langsung ini membuat otoritas akal tertepis karena lebih bersifat partisipatif[5].
Menurut Syahid Muthahhari, untuk sampai kepada tingkatan manusia sempurna para filosof berpegang pada argumen-argumen akal, akan tetapi para sufi memandang bahwa argumentasi akal berada pada tataran yang rendah, tidak mencukupi, dan bahkan terkadang melahirkan kesalahan, maka dari itu mereka begitu sangat menekankan unsur-unsur riyadah, mujahadah, pensucian jiwa, cinta, dan sair-suluk (menapaki jalan-jalan spiritual). Para urafa meletakkan akal dan indra-indra lahiriah sebagai alat untuk mengenal alam yang terendah (alam materi, alam mulk, alam kegelapan), sementara alam-alam lain yang bersifat metafisik (alam malakut dan alam cahaya) hanya dapat disingkap dengan cara intuisi, mukasyafah, musyahadah, dan pensucian hati. Walaupun pengetahuan rasional itu melahirkan bentuk-bentuk keyakinan tertentu akan tetapi sangatlah terbatas, sedangkan keyakinan dan makrifat yang dihadirkan oleh intuisi dan hati lebih sempurna, mendalam, dan bersifat abadi. Peran argumen-argumen akal dalam hal ini lebih pada penegasan terhadap dasar-dasar akidah dan asas-asas keagamaan bagi kalangan-kalangan awam[6]. 
Dalam mengakses alam meta-fisika, para sufi selain menjadikan intuisi sebagai sumber utama, mereka menjadikan Qur'an dan Hadis sebagai nara-sumber hayati.  Qur'an bagi para sufi tidak dipandang sebagai sekedar sebuah kitab biasa, namun ditilik sebagai firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Pamungkas Saw melalui Jibril. Qur'an bagi mereka adalah kehidupan itu sendiri dan mata-air cinta Ilahi yang tumpah-ruah dalam kehidupan para sufi. 
Tafsir irfani al-Qur'an, menurut Mulla Shadra, menjadi mungkin tatkala seorang mufassir (penafsir) telah melintasi tingkatan pencerapan indrawi menuju tingkatan yang lebih tinggi. Artinya dari tingkatan indrawi dan lahir al-Qur'an menuju tingkatan kedua mitsali dan aqli untuk mencapai hakikat. 
Mulla Shadra berpandangan bahwa dalam menafsirkan al-Qur'an terdapat dua tingkatan; tingkatan pertama yaitu tafsir lafzi dan kedua tafsir batin. Takwil lafzi berkutat dengan gramatika, sintaktis,  mungkin mirip dengan tafsir gramatikal dan sintaksisnya Schleirmacher. Tafsir lahir ini memberi stressing pada sisi elokuensi (balâghah) dan  bentuk sastranya[7]. 
Epistemology irfani menurut Festugiere adalah fisafat murni, filsafat yang hanya disibukkan dengan ma’rifatullah dalam bentuk yang lebih baik, dengan melakukan tafakkur, khusyu’ dan melakukan syariat-syariat suci. Filsafat murni, filsafat yang tidak memberi perhatian kecuali beragama dan beribadah, tidak layak terlibat dengan ilmu lain kecuali sekedar sebagai pengantar yang akan membawa kepada perenungan, penyucian dan mengambil berkah dari ciptaan Allah dan kekuasaanNya. Penyucian terhadap Allah dengan hati dan jiwa dengan melepaskan keduanya dari segala hal yang menyibukkan keduanya dan mengagungkan keindahan ciptaanNya dan senantiasa bersyukur dan memuji kehendakNya.[8]  
Disini, Festugiere juga menegaskan bahwa kunci dalam memahami epistemology irfani dengan metode kasyf dan syuhud adalah hati dan jiwa. Seperti halnya dalam masalah Imam syafii kunci dalam memeperoleh sebuah keilmuan dan pemecah kebuntuan pemikirannya adalah hati dan jiwa yang suci dengan cara meninggalkan kemaksiatan. 
Kecenderungan ini pertama kali muncul dalam wilayah filsafat itu sendiri, dengan adanya upaya membangkitkan dan memperbaharui Phytagoras. Filsafat neo-Phytagoras ini bukanlah filsafat dalam pengertian sekumpulan pemikiran yang serasi dan saling melengkapi di seputar persoalan Allah, alam dan manusia, tetapi sebuah system kependatan dengan kepatuhan buta terhadap apa yang ia katakan yang  menurutnya merupakan wahyu dan ilham, mengabaikan kepuasan dan kesenangan manusia dan hanya ingin tunduk kepadanya secara total.[9] 
Salah satu proses penyucian jiwa dan hati adalah mengabaikan kepuasan dan kesenangan dan tunduk kepadaNya secara total. Yang dimaksud adalah kepuasan dan kesenangan yang bersifat sementara, yaitu kesenangan dan kepuasan duniawi karena hal tersebut akan menghalangi manusia untuk tunduk kepadaNya. 
Sedangkan menurut litelatur Hermetik[10] tidak ada yang bisa menyelamatkan jiwa kecuali dengan ma’rifah. Ma’rifah bukan dalam artian  upaya memperoleh pengetahuan tetapi secara terus menerus bersungguh-sungguh berusaha menyucikan jiwa dan melepaskannya dari kungkungan materi dan selanjutnya menyatu dalam ketuhanan, bahkan melebur denganNya. 
Selanjutnya, Hermetik mengatakan segala sesuatu maujud yang abadi alam secara keseluruhan  dan segala wujud dalam dirinya mengandung unsure Allah dalam bentuk pemkiran dan makna. Jika tidak menjadikan diri setara dengan Allah maka tidak akan mengenalNya karena sesuatu tidak akan bias dikenal kecuali oleh yang serupa dengannya.[11] Dalam hal ini, Al-Hallaj serta Siti Jenar bisa dijadikan contoh. Dua tokoh yang terkenal dengan “tidak ada sesuatu di dalam diriq selain Allah” serta “manunggaling kawula gusti”. Mereka berhasil “menyetarakan” diri denganNya.
Oleh karena itu, epistemology irfani sangatlah rumit. Ketika ingin memperoleh pengetahuan maka metodenya adalah dengan kasyf dan syuhud. Kita tidak bisa langsung mengakses metode tersebut sebelum jiwa dan hati kita suci. Penyucian jiwa dan hati dilakukan dengan meninggalkan kepuasan dan kesenangan duniawi. Ini bisa dilakukan dengan latihan yang dalam dunia sufi dikenal dengan riyadlah.
  
Kesimpulan

Epistemology irfani adalah suatu proses pencarian kebenaran dengan berdasarkan intuisi serta hati. Akal serta teks-teks keagamaan hanyalah sebagai jembatan untuk memasukinya dan kebenaran yang diperoleh akal dan teks masih dibawah kedudukannya dengan kebenaran yang diperoleh dengan intusi serta hati. 
Epistemology irfani lebih mendalam pada umat islam berada pada dunia sufi atau Tasawwuf. Metode yang ada untuk memperoleh kebenaran irfani sangatlah kental dipraktekkan oleh kaum sufiSelanjutnya, bahwa dasar permasalahan epistemology irfani adalah intuisi dan hati maka secara  sadar intuisi dan hati penulis tidaklah sama dengan intuisi dan hati yang bisa memeperoleh kebenaran irfani.

[1] Hujair AH. Sanaky.”dinamika pemikran dalam islam” dalam   http://sanaky.staff.uii.ac.id/2009/02/05 /bahan-kuliah-dinamika-pemikiran-dalam-islam/
[2] Epistemology bayani dan burhani  dibahas pada kelompok lain.
[3] Ahmad Tafsir. “Filsafat Ilmu;mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi pengetahuan”. (Bandung:remajarosdakarya.2007) hlm 140
[4] Ahmad Tafsir. “filsafat umum;akal dan hati sejak thales sampai capra” (Bandung;Remaja Rosda karya.2001). hlm 26.
[5]Eka Mukti Arifah.” Penerapan Konsep Logika Sebagai Metode Berpikir Analitik Pada Epistemologi Burhani”
[7] A.Kamil. “Hermeneutik Irfani; Menembus Batas Eksoterik Teks” dalam http://telagahikmah.org/ina/index.php? option=com_content&task=view&id=52&Itemid=31
                               
[8] Muhammad Abed al-Jabiri. “formasi nalar arab;kritik tradisi menuju pembebasan dan pluralism wacana interreligious” terj Imam Khoiri. (Yogyakarta:IRCiSoD.2003) hlm 280
[9] Muhammad Abed al-Jabiri. “formasi nalar arab:…..”  hlm 281
[10] Istilah hermetic dalam pengertian filsafat keagamaan berarti mengacu kepada sejumlah buku dan risalah yang dinisbatkan kepada Hermes “al-mustallas bi al-hikmah” yang berbicara atas nama Tuhan  dan kadang dia sendiri sebagai Tuhan hingga risalah-risalah itu dipandang sebagai wahyu Tuhan. Selengkapnya lihat  M.Abed al-jabiri. “formasi nalar arab…..” hlm 290-307
[11] Muhammad Abed al-Jabiri. “formasi nalar arab….” Hlm 299

Rabu, 24 Agustus 2011

hadis-hadis analogi hari kebangkitan dengan musim semi



Islam adalah agama samawi terakhir yang lahir dimuka bumi ini, agama tersebut banyak membawa ajaran-ajaran untuk diimani oleh seluruh manusia sebagai objek dakwahnya. Salah satu ajarannya adalah hari kebangkitan. Namun banyak masyarakat yang menolak ajaran tersebut dikarenakan hal tersebut bersifat g}aib, tidak bisa diindrawi. Mereka menganggap hal itu adalah sebuah khayalan belaka.
Untuk membuktikan kebenaran hari kebangkitan dan menyanggah penolakan mereka, Islam memberikan bukti-bukti tersebut melaui  perantara lisan Nabi Muhammad Saw(Hadis), salah satunya adalah dengan menganalogikan hari kebangkitan dengan sesuatu yang kasat mata, yaitu kedatangan musim semi atau perubahan bumi subur dan indah menjadi gersang dan tandus. Seperti halnya hadis riwayat Imam Ahmad ibn Hanbal yang termuat dalam kitabnya, Musnad Ahmad ibn Hanbal.
Berangkat dari fakta tersebut, maka pokok penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: pertama, bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis yang membahas tentang analogi hari  kebangkitan dengan musim semi? kedua, Bagaimana makna yang terkandung dalam hadis tersebut dan implementasinya dalam kaitannya dengan realita kekinian?
Dalam penelitian ini, penulis melakukan studi ma’an al-h}adi>s yang coba dikembangkan oleh Musahadi Ham metodologinya kemudian di princi ke dalam ke dalam tiga tahap kerangka kerja, yaitu: kritik historis, kritik eidetis, dan kritik praksis dengan melewati tahap dokumentasi, klasifikasi dan restrukturasi data. Data yang ada selanjutnya di analisis dan dilakukan interpretasi sesuai dengan masing-masing sub-bab pembahasan.
Hasil kajian ini, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: pertama, dilihat dari sisi otentisitas hadis tersebut atau kualitas-kuantitas sanad maka hadis tersebut berstatus hadis sahih-ahad.
Kedua, secara tekstual, makna yang terkandung adalah menginformasikan hari kebangkitan, dimana makhluk telah mati semua akan di bangkitkan seperti kejadian tumbuhnya tumbuh-tumbuhan bersemi pada musim semi atau seperti halnya perubahan bumi yang gersang menjadi subur karena adanya kesamaan kandungan zat antara tubuh manusia dengan tumbuhan maupun bumi. Penyamaan tersebut wajar dilakukan oleh Nabi, mengingat kondisi tanah Arab berada di gurun gersang dan tandus sehingga penggambaran hari kebangkitan dengan peristiwa faktual pada musim semi lebih mempercepat Bangsa Arab untuk meyakini adanya hari kebangkitan. Secara historis, hadis tersebut adalah sebuah argumen Islam terhadap keingkaran manusia, terutama masyarakat Arab jahiliyyah terhadap hari kebangkitan. Secara universal, makna tersebut menunjukkan kebangkitan akan dialami oleh roh maupun raga dengan proses dan tahapan seperti peristiwa yang dialami oleh tumbuh-tumbuhan.    
  

Kamis, 26 Mei 2011

Studi kitab As-Sunnah mashdar li al-ma’rifah wa al-hadlarah Karya Dr. Yusuf Qardhawi



 oleh: M. Achwan Baharuddin
       A.     Pendahuluan
Al-Quran adalah sumber utama dan pertama dalam islam, sedangkan hadis-hadis Nabi adalah sumber kedua setelah al-Quran dalam islam. Melihat hal ini, hadis Nabi yang berasal dari tutur kata, prilaku maupun Nabi yang hidup pada beberapa abad lalu sudah bias dipastikan terpengaruh dengan situasi dan kondisi masa lalu sehingga membutuhakan sebuah pemahaman baru terhadap hadis-hadis Nabi, ini tidak terlepas dari al-Quran sebagai sumber pertama dan utama yang juga menuntut pemahaman yang sesuai dengan situasi dan kondisi jaman sekarang.
Banyak usaha-usaha yang dilakukan para sarjana muslim dalam menjaga keontetikan hadis-hadis Nabi, salah satu usaha tersebut seperti yang dilakukan oleh Yusuf Qardhawi. Dia berusaha memberikan metodologi pemahaman hadis-hadis Nabi melalui bukunya al-Madkhal ila sunnah. Sedangkan buku Sunnah mashdar li al-ma’rifah wa al-hadlarah adalah sebuah buku yang mengeksplorasi metode-metode tersebut sehingga menuntut pembaca untuk membacanya, terlebih bagi mahasiswa Tafsir-Hadis. Untuk lebih jauh mengenai isi dari Sunnah mashdar li al-ma’rifah wa al-hadlarah, lihat laman Studi Hadis.

STUDI KITAB IBANAH AL-AHKAM

Oleh: M. Achwan Baharuddin

A.     Pendahuluan
Sejarah telah membuktikan pada mata dunia bahwa kejayaan Islam itu dapat dilihat dari banyaknya karya-karya yang ditulis oleh ulama-ulama / intelektual-intelektual muslim. Mereka adalah pahlawan yang menegakkan sendi kejayaan Islam pada Abad Pertengahan.
Karya-karya tersebut masih banyak yang tetap langgeng sampai pada generasi sekarang. Dan diantara sekian dari karya-karya intelektual muslim itu adalah kitab Bulugh Al-Maram yang ditulis oleh ulama mutaakhkhirin Ibn Hajar Al-Asqolaniy (773 – 852 H). Karya tersebut mendapat banyak sambutan dari intelektual-intelektual sesudahnya. Diantara mereka juga banyak yang berusaha men-syarahi-nya. Salah satu ulama yang men-syarahi kitab tersebut adalah As-Sayyid ‘Alawiy Al-Malikiy (1328 – 1391 H) dengan kitabnya yang terkenal dengan nama Ibanah Al-Ahkam. Selanjutnya  
lihat laman Studi Hadis

Sabtu, 19 Maret 2011

Mushaf Utsmani pasca Kodifikasi

oleh: M. Achwan Baharuddin

    A.     Pendahuluan
Mushaf al-Quran yang ada sampai sekarang adalah hasil usaha kodifikasi yang dilakukan pada masa khalifah Utsman. Mushaf yang di yakini sebagai usaha untuk menyeragamkan mushaf-mushaf yang beredar pada masa tersebut.  Untuk mengantisipasi kesalahan dan kerusakan serta untuk memudahkan membaca Al-Qur`an bagi orang-orang awam, maka Utsman bin Affan membentuk panitia yang terdiri dari 12 orang untuk menyusun penulisan dan memperbanyak naskah Al-Qur`an. Mereka itu adalah: 1. Sa`id bin Al-As bin Sa`id bin Al-As, 2. Nafi bin Zubair bin Amr bin Naufal, 3. Zaid bin Tsabit, 4.Ubay bin ka`b, 5.Abdullah bin az-Zubair, 6.Abrur-Rahman bin Hisham, 7.Khatir bin Aflah, 8. Anas bin Malik, 9.Abdullah bin Abbas, 10. Malik bin Abi Amir, 11. Abdullah bin Umar, 12. Abdullah bin Amr bin al-As. Mereka inilah yang menyusun mushaf Al-Qur`an yang kemudian di kenal dengan mushaf Utsmani, ada juga yang mengatakan bahwa panitia yang di bentuk oleh Utsman ada empat orang mereka itu adalah Zaid bin Tsabit, abdulalh bin Zubair, Sa’id bin Al-As dan Abdurrahman bin Al-Harits, karena di tetapkan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Mushaf itu ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu, sebuah rambu-rambu atau pola-pola yang digunakan dalam menulis mushaf Utsmani, yang ditulis sejumlah 4-7 Mushaf. Kesemua mushaf tersebut disinyalir telah disebarkan kebeberapa daerah, yaitu Madinah, Kufah, Basrah, Suriah, Mekkah, Yaman dan Bahrain.
Namun dalam perkembangannya, umat muslim mengalami kesulitan dalam membaca mushaf tersebut, mushaf yang di tulis tanpa titik, tanpa harakat, tanpa tanda berhenti. Sehingga memunculkan ide-ide cemerlang dan kreatif untuk mengatasi masalah umat tersebut dengan membuat alat baca(meminjam istilah M.M A’zami) dalam mushaf ustmani.
Adapaun alat baca tersebut, variannya dan historisnya dalam makalah sederhana ini berusaha untuk menjelaskannya dan semoga bermanfaat.
   B.     Pembahasan
   1.      Mushaf al-Quran Pasca Kodifikasi
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan  dari penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
Hal itu tidak mengherankan, karena ditanah Arab hanya tulisan tersebut yang baru berkembang pada waktu itu. Meskipun demikian, tulisan tanpa titik dan tanda baca ini tidaklah menjadi problem bagi orang-orang Arab. Sebab, mereka memiliki kemampuan berbahasa yang sudah tertanam dalam jiwa mereka sebelum mereka berhubungan dengan bangsa lain.[1]  
Seperti diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf Al Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang, dilengkapi tanda-tanda baca. Belum ada tanda titik, sehingga sulit membedakan antara huruf ya’ (ي)  dan ba’ (ب). Demikian pula antara sin (س)dan syin (ش), antara tha’ (ط) dan zha’ (ظ), dan seterusnya.
Ortografi lama (scripto defectiva), yang digunakan dalam salinan-salinan lama al-Quran memiliki makna penting untuk sejarah teks kitab suci tersebut, meskipun sebagian besarnya hanya merupakan hal-hal yang bersifat teknis.  Dari bentuk ortografi inilah simpulan-simpulan tentang bahasa al-Quran dan munculnya ortografi baru (scripto plena) bisa ditarik.[2]
Bentuk scripto defectiva yang digunakan untuk menyalin al-Quran ketika itu masih membuka peluang bagi seseorang untuk membaca teks kitab suci secara beragam. Selain non-eksistensi tanda-tanda vocal, sejumlah konsonan yang berbeda dalam aksara ini dilambangkan dengan symbol-simbol yang sama.[3]
Sebagai contoh, kerangka consonantal atau bentuk grafis             dalam 2:259 telah dibaca dalam qiraah Ashim yang diriwayatkan Hafs sebagai ننشزها  , sementara dalam qiraah Nafi’ yang diriwayatkan  Warsy dibaca ننشرها. Kerangka vokalisasi seperti dalam 2:125, kata واتخذوا , dalam qiraah Hafs dibaca kasrah huruf kha’nya, sedangkan dalam riwayat Warsy dibaca fathah huruf kha’nya.
Kekeliruan pembacaan terhadap ortografi lama atau scriptio defective sebagaimana contoh diatas, sangat memungkinkan bahwa mengasumsikan penyebab keragaman qiraat adalah karena penggunaan ortografi lama dalam mushaf Utsmani, aksara primitive yang belum memiliki tanda-tanda vocal dan titik-titik diakritis pembeda konsosnan bersimbol sama. Malasah tersebut, yang kemudian membuka peluang bagi orientalis untuk megkritiki asal usul qiraat, seeperti Ignaz Goldziher dan Noldeke.
“lahirnya sebagian besar perbedaan qiraat tersebut dikembalikan pada karakteristik tulisan Arab itu sendiri yang bentuk huruf tulisnya dapat menghadirkan suara pembacaan yang berbeda…… Perbedaan karena tidak adanya titik pada huruf resmi dan perbedaan karena harakat yang dihasilkan, disatukan, dan dibentuk dari huruf-huruf yang diam, merupakan faktor utama lahirnya perbedaan qiraat dalam teks yang tidak punya titik sama sekali atau yang titiknya kurang jelas”[4]  
Ignaz Goldziher dalam bukunya “Madzhab Tafsir”  tersebut yang mengutip dari pendapatnya Noldeke tidak lain atas studinya terhadap scriptio defective mushaf al-Quran. Kemungkinan terjadinya salah baca terhadap teks al-Quran yang disalin dengan scriptio defective sangat terbuka.   
Kembali pada mushaf Utsmani yang kemudian dikirimkan ke beberapa dearah, kesulitan mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke wilayah-wilayah non Arab, seperti Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah non Arab disebelah barat. Masalah ini mulai disadari para pemimpin Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan (661-680 M) – riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib – ia memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duali membuatkan tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al Qur’an bagi generasi yang tidak hafal Al Qur’an.
Al-Duali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan suatu kasus salah pembacaan yang fatal, yaitu : ان الله برئ من المشركين ورسولُه (التوبة ٩:۳)
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”.
Pada suatu ketika seorang membaca ayat tersebut dengan :
ان الله برئ من المشركين ورسولِه (التوبة ٩:۳)
“Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”.
Al-Dawali memberikan tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf (ﹿ), sebuah titik di bawah huruf (        ) sebagai tanda kasrah, satu titik disebelah kiri huruf sebagai tanda dhammah, dan dua titik untuk tanda sukun.
Selanjutnya rasm mengalami perkembangan. Khalifah Abdul ibn Marwan (685-705), memerintahkan Al-Hajjaj ibn Yusuf Al-Saqafi untuk menyempurnakan tanda-tanda huruf Al-Qur’an (nuqth al-Qur’an). Mendelegasikan tugas itu kepada Nashr ibn Ashim dan Yahya ibu Ma’mur, keduanya adalah murid al-Duwali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya, misalnya penambahan titik diatas huruf dal  ( د ) maka menjadi huruf dzal ( ذ ). Dari pola penulisan tersebut akhirnya berkembanglah berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola kufi, maghribi, naqsh,dll.[5]
Namun, ada sebuah tuduhan yang dialamatkan kepada al-Hajjaj oleh Auf bin Abi Jamilah, ia dituduh telah melakukan beberapa perubahan dalam mushaf utsmani dalam 11 tempat, yaitu:
No
Surat
Mushaf Utsmani
Tuduhan terhadap al-Hajjaj
1
2:259
لم يتسن وانظر
لم يتسنه وانظر
2
5:48
شريعة و منهاجا
شرعة و منهاجا
3
10:22
هو الذى ينشركم
هو الذى يسيركم
4
12:45
انا اتيكم بتأويله
 انا انبئكم بتأويله
5
23:87 & 89
سيقولون لله
سيقولون الله
6
26:116
من المخرجين
من المرجومين
7
26:167
من المرجومين
من المخرجين
8
43:32
نحن قسمن بينهم معيشهم
نحن قسمن بينهم معيشتهم
9
47:15
من ماء غير يسن
من ماء غير اسن
10
57:7
منكم واتقوا
منكم وانفقوا
11
81:24
بظنين
بضنين
Jauh sebelum ‘Auf bin Abi Jamila menuduh al-Hajjaj, ilmuwan-ilmuwan telah berdebat tentang naskah Mushaf ‘Uthmani yang resmi dan dengan teliti membandingkannya huruf demi huruf; perbedaan yang disebutkan oleh ilmuwan-ilmuwan terdahulu tidak sesuai dengan perbedaan yang disebutkan oleh `Auf. Mushaf yang dibuat oleh ‘Uthman tidak terdapat titik, dan hingga pada zaman al-Hajjaj, titik tidak digunakan di mana-mana. Ada beberapa kata di tabel atas tadi, yang jika titiknya dibuang, tetap sama identiknya. Kemudian jika tidak ada titik dan kerangka huruf sama, bagaimana dia bisa memodifikasi kata-kata ini? Tidak ada satu pun yang diklaim ada perubahan mengandung makna lain ayat tersebut, dan tuduhan itu sendiri (berdasarkan kepada yang di atas) kelihatannya tidak berdasar. Kasus di bawah ini, disebutkan oleh Ibn Qutaib, mungkin memberikan clue (indikasi) kepada interpretasi lain.[6]
    2.      Varian Pembaruan (inovasi) al-Quran Pasca Utsman
Perbaikan bentuk penulisan tidak terjadi sekaligus, tapi secara berangsur-angsur dari generasi ke generasi hingga mencapai puncak keindahannya pada akhir abad ke-3. Dalam masalah ini, tiga tokoh yang selalu disebutkan, yaitu: Abul Aswad ad-Duali, selalu disebutkan, yaitu: Abul Aswad ad-Duali, Yahya bin Ya’mar dan Nashr bin Ashim al-Laitsi.[7]
Varian pertama, tanda titik, yang ada dalam mushaf pasca kodifikasi diberikan oleh ad-Duali dengan menambahkan tanda fathah berupa titik diatas huruf, kasrah berupa titik dibawah huruf, dhammah berupa titik diantara bagian yang memisahkan  huruf dan sukun berupa dua titik.[8]  Namun dalam bukunya M.M A’zami, dijelaskan masalah tanda titik untuk membedakan karakter sebuah huruf ada sejak 54 hijriah, sebuah system penulisan yang disebut dengan istilah (نقط الاعجمى),[9] jadi penambahan tersebut bukanlah sesuatu yang baru bagi bangsa arab namun baru bagi sejarah penulisan mushaf al-Quran. Seperti penambahan tanda titik untuk membedakan huruf kha’, jim dan ha’.
Pemberian titik mengalami perubahan dan penyempurnaan pada masa Al-Khalil bin Ahmad al-Faraahidi, perubahan tersebut ialah  1) huruf alif kecil yang terletak miring diatas huruf sebagai tanda fathah; 2) huruf ya kecil yang terletak dibawah huruf sebagai tanda kasrah; 3) huruf wawu kecil diatas huruf sebagai tanda dhammah; 4) kepala huruf sin diatas huruf sebagai tanda tasydid; 5) kepala huruf ha diatas huruf sebagai tanda sukun; 6) kepala huruf ain diatas atau diabawah huruf sebagai tanda hamzah; 7) huruf alif, ya dan wawu dibelakang huruf sebagai tanda mad; 8) titik sebagai tanda huruf-huruf yang sama bentuknya.[10]
Varian kedua, tanda wakaf, tanda wakaf dalam sejarahnya terbagi menjadi dua fase, fase pertama adalah fase kemunculan tanda wakaf  pada akhir abad pertama atau awal abad kedua hijriah. Kemunculannya disebabkan oleh kebutuhan adanya symbol-simbol tertentu untuk menunjukkan tempat-tempat waqaf dalam al-Quran. Tokoh pertama yang meletakkan tanda-tanda wakaf adalah Al-Sajawandi(w. 165 H). Pada fase pertama, tidak ada kesepakatan umat muslim mengenai tanda wakaf, hal ini terbukti dengan adanya wakaf yang tidak berlaku pada Imam Qurra’ atau tempat lain, semisal  tanda wakaf  بت  sebagai akhir ayat menurut qurra’ Kufah, namun qurra’ Madinah memberlakukan tanda wakaf  تد.
Fase kedua, pada akhir abad XX, Lajnah Mesir memtuskan untuk membakukan tanda-tanda wakaf tersebut. Yaitu:
a.       Mim (م)      ما يلزم الوقف عليه
b.      Jim الوقف الجائز المستوى الطرفين (ج) 
c.       Sala وصل القراءة اولى (صلى)
d.      Qala الوقف اولى ( قلى)
e.       Saktah  علامة السكتة لطيفة (ستة\س)
f.        La الوقف ممنوع (لا)
g.       Al-Mu’anaqah تعانق الوقف اذا وقف على احدهما لايقف على الخر [11]
Namun wakaf sendiri bukanlah hasil kreatif dari ulama terdahulu, hal ini karena ada sebuah hadis yang menerangkan bahwasannya Nabi pernah berhenti dalam bacaannya, Nabi kemudian memulainya membaca dengan lafal basmalah.[12]
Varian ketiga, tanda pemisah ayat, surat, dan karekter al-Quran. Peranan al-Hajjaj terhadap Al-Qur'an bukan saja meneruskan pengiriman Mushaf. dia meminta para huffadz untuk menghitung jumlah tanda (karakter) di dalam Al-Qur' an. Ketika sudah selesai, mereka sepakat pada jumlah yang sampai sekitar 340,750 karakter. Keinginannya untuk mengetahui jauh lebih dalam, dia kemudian menemukan karakter apa yang ada di tengah ­tengah Al-Qur'an, dan jawabannya adalah dalam surah 18 ayat 19, karakter, فdaiam وليتلطف. Kemudian dia menanyakan di mana satu pertujuhnya Al-Qur' an, dan jawabannya; satu pertujuh pertama dalam surah 4 ayat 55 karakter  دdalam صد; kedua dalam surah 7 ayat 147 karakter طdalam هبطت; ketiga dalam surah 13 ayat 35; keempat dalam surah 22 ayat 35; kelima dalam surah 33 ayat 36; keenam dalam surah 48 ayat 6 dan ketujuh terakhir dalam bagian seterusnya.
Varian keempat, percetakan al-Quran. Setelah mesin cetak ditemukan di Eropa pada abad ke – 16, Al-Qur’an pertama kali dicetak di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M. Adanya mesin cetak ini mempermudah ummat Islam memperbanyak mushaf Al-Qur’an. Selanjutnya Al-Qur’an di cetak di St. Petersburg, Rusia, pada tahun 1787 M, di Kazan pada tahun 1828 M. Mulai abad ke 20 percetakan Al-Qur’an dilakukan di dunia Islam, dan cetakan yang banyak dipergunakan dunia Islam dewasa ini adalah cetakan edisi Mesir tahun 1925 M yang juga dikenal dengan edisi Raja Fu’ad karena dialah yang memprakarsainya. Selanjutnya pada tahun 1947 M untuk pertama kalinya Al-Qur’an dicetak dengan teknik cetak offset yang canggih dan dengan menggunakan hurf-huruf yang indah, perdetakan tersebut dilakukan di Turki atas prakarsai seorang ahli kaligrafi Turki terkemuka, Sa’id Nursi. Lalu tahun 1976 M Al-Qur’an dicetak dengan berbagai ukuran dan jumlah oleh percetakan yang dikelola pengikut Sa’id Nursi di Berlin Jerman.[13]

   C.     Kesimpulan
Kodifikasi al-Quran, dalam hal ini penulisannya juga, mengalami tahapan-tahapan secara historis, tidak langsung seperti al-Quran yang ada dan sampai pada kita sekarang. Dimulai dengan penulisan tanpa titik dan harakat, pemberian harakat dan titik sebagai tanda baca maupun pembeda antar huruf, pemberian pemisah ayat serta surat, tanda wakaf, percetakan al-Quran dan lain sebagainya merupakan salah satu bentuk usaha kaum muslim untuk menjaga al-Quran. Usaha mereka juga mendapat dukungan dari Allah, yang juga berjanji akan menjaga al-Quran.
Meski demikian, usaha umat muslim juga mempunyai beberapa kelemahan sehingga membuka jalan bagi kaum non-muslim untuk mempertanyakan keotentisan al-Quran, seperti yang dilakukan oleh Ignaz Goldziher dan kawan-kawannya yang mengkritisi tentang asal-usul keragaman qiraat al-Quran.


[1] A. Athaillah, Sejarah al-Quran: Verifikasi Tentang Otensitas al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 321-322
[2]  Tufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah al-Quran (Yogyakarta: FKBA, 2001), hlm 265
[3] Tufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah al-Quran…. Hlm. 273.
[4] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir terj. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006), hlm.7-8
[5] Muhammad Quraish Shihab, dkk, Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus. 2000, hal 94-98
[6] M,M A’zami, Sejarah Teks al-Quran dari wahyu sampai kompilasi (Jakarta: Gema Insani, 2005) hlm. 115-116
[7] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 106-107
[8] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 108
[9] M,M A’zami, Sejarah Teks al-Quran dari wahyu sampai kompilasi...... hlm. 150-151
[10] A. Athaillah, Sejarah al-Quran: Verifikasi Tentang Otensitas al-Quran…..hlm. 328.
[11] Annas Zaenal Muttaqin, Sejarah dan Rasm Mushaf al-Quran Pojok Menara Kudus (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Ushuluddin, 2010), hlm 28-34
[12]  Abd al-Qayyum bin Abd al-Ghafur as-Sindy, Shafahat Fi Ulum al-Qiraat (Mekkah: Al-Maktabah al-Imdadiah,2001), hlm 171