Selasa, 24 Maret 2020

Part 3: Pembagian Hadis Ahad (PBA A)

Ahad secara bahasa, pada umumnya diartikan sebagai satu. Namun beda jika merujuk kepada term Hadis Ahad. Berikut pemaparan pemakalah:

Secara Bahasa ahad adalah satu-satu. Menurut istilah hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang, atau lebih yang tidak memenuhi syarat hadits mutawatir, atau hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.

Adapun untuk pembagiannya adalah


a) Hadits Masyhur         
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah popular. Sedangkan menurut istilah Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih dan belum mencapai derajat hadits mutawatir.
 


            b) Hadits Aziz
Aziz menurut bahasa adalah mulia atau yang kuat dan juga dapat berarti yang jarang. Sedangkan menurut istilah ahli hadits menyebutkan Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.


c) Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti jauh, terpisah atau menyendiri dari yang lain. Hadits gharib menurut bahasa berarti hadits yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberi pengertian hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan manapun dalam sanad.


Jika ada sebuah hadis Perawi Sahabat jumlahnya 1, Tabiin 1, dan mulai Atba al-Tabiin berjumlah 3 perawi, disebut hadis apakah? 

Senin, 23 Maret 2020

Part 3: Kuliah Rizqi Perspektif al-Quran IAT B

Setiap berbicara Rizqi, mahzab teologi qt selalu ikut berperan mempengaruhinya. Simak pemaparan pemakalah berikut ini:

Secara umum rizqi yang Allah berikan tidak hanya kepada manusia saja, akan tetapi mencakup seluruh makhluk yang ada di dunia. Sedangkan secara khusus adalah rizqi yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan Usaha berarti bertindak, berbuat, berjalan, bergerak untuk mendapatkan sesuatu yang dimaksud. Islam mendorong setiap individu untuk bekerja keras merupakan cara yang dianjurkan oleh Al-Qur’an untuk menjaga diri dan kehormatannya.

Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan melakukan perbuatan. Manusia mempunyai kekuatan untuk mengatur kehendaknya sendiri atau mengurungkan kehendak tersebut. Dalam mengambil keputusan yang menyangkut tingkah lakunya sendiri maka tidak ada campur tangan Tuhan disana. Oleh karena itu jika seseorang diberi ganjaran baik surga maupun neraka di akhirat itu adalah berdasarkan pribadinya sendiri, bukan karena takdir Tuhan.

Begitu pula dengan rizqi dan usaha manusia menurut kaum Qadariyah, manusia lah yang menentukan qadariyahnya masing-masing. Apabila manusia mau berusaha dengan sungguh-sungguh maka dia akan mendapatkannya begitu pula sebaliknya  jika manusia itu lalai dan tidak mau berusaha maka rizqi itu tidak akan datang. Begitu pula dengan nasib seseorang, kecuali orang itu yang merubahnya.

Paham yang dibawa oleh Jahm ibn Shafwan beranggapan bahwa manusia tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan perbuatan, manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak adanya kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya

Menurut Ibnu Khaldun dalam muqoddimahnya mengatakan bahwa naluriah yang mendorong manusia untuk bekerja dan berusaha dan hasil dari usahanya tersebut mencukupi kebutuhannya maka disebut rizqi dan apabila melebihinya disebut kasab (hasil usaha).

Dapat disimpulkan bahwa Rizqi merupkan suatu anugerah yang Allah berikan baik bersifat duniawi maupun ukhrowi. Allah membagikan rizqi kepada setiap makhluk-Nya sesuai dengan porsinya masing-masing.

Konsep Rezeki dalam kegiatan ekonomi yang tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 22 yakni ketika kita mau berusaha untuk memanfaatkan fasilitas yang Allah berikan dengan cara yang baik sesuai syariat.

Jika melihat hal di atas, pemakalah secara teologis mengikuti aliran Jabariyah, Qadariyah or Asy-Ariyah? Konsisten tidakkah pemakalahnya?

Kamis, 19 Maret 2020

Part 2: Cara kerja Sinkronik-Diakronik IAT B

Sinkronik dan Diakronik merupakan sebuah metode dan pendekatan yang ditawarkan oleh Linguistik Umum dalam memahami sebuah makna yang terkandung. Untuk pengertiannya, perhatikan pemaparan makalah sbg berikut:

Sinkronik (mabniyyat) adalah suatu sistem kata yang statis. Kata tersebut maknanya tidakberubah. Ia tidak punah dimakan oleh masa. Sementara diakronik (mutagayyirat) adalah kata yang tumbuh dan berubah bebas dengan caranya sendiri yang khas.

Sedangkan untuk penerapannya, pemakalah mengambil term Khalifah dan membaginya mejadi tiga periode: Pra, Qur'anic dan pasca, sebagaimana pemaparannya sbg berikut;

1. Periode Pra Qur’anik 
Dimana masa ini sebelum Islam datang, pada masa ini para penyair jahili dalam memahami arti kosakata salah satu media representative untuk digunakan.  Dalam mencari makna khalifah contoh syairnya 
ألا ليت زوجي من أ س ذوي غنى ... حديث الشباب طيب النشر والذكر
لصوق كباد النساء كأنه ... خليفة جان لا ينام على وتر
Artinya : Ingatlah, seandainya suamiku bagian dari orang-orang kaya . . . maka cerita yang beredar akanlah sangat indah baik pula sebutannya Dan akan selalu melekat di hati-hati para wanita … bahwa ia lah sang penjaga hati yang tak pernah tidur dalam kesendirian
Dalam syair tersebut, kata khalīfah memiliki arti sang penjaga atau sang
penguasa. Yaitu yang menjaga hati para wanita, yang menguasai hatinya,
sebagaimana tugas seorang suami pada umumnya.
2. Periode Qur’anik
Yaitu pada masa Islam datang, dengan membawa konsep baru dan apa yang sudah dibawa oleh masa jahiliah. Maka ada kata kunci Al-Qur’an yang berubah dari masa dulunya, namun tidak menghapus makna aslinya.  Pada pembahasan ini, kata khalīfah akan dikaji bagaimana maknanya yang digunakan dalam al-Qur`an Kata yang pada dasarnya terbentuk dari tiga huruf خ – ل – ف ini dalam berbagai bentuknya dan aneka ragam maknanya terulang penggunaannya dalam al-Qur`an sebanyak seratus dua puluh tujuh kali.
Kata خلف dalam Al-Qur’an artinya mengganti, Bentuk fi’il [ أستَخْلَفَ – یَسْتَخْلِفُ ] yang berarti 1) menjadikan berkuasa, Bentuk masdar-nya yaitu خّلْفٌ yang memiliki tiga makna dalam al-Qur`an yaitu generasi, belakang, yang akan datang. Banyaknya varian arti kata kholifah menunjukkan makna yang sama namun berbeda bahasa. Yaitu menggantikan, yang datang sesudah sebelumnya .Yaitu mereka (manusia) yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk menggantikan-Nya dalam hal menjaga bumi baik dalam segi memelihara lingkungan dan kelestariaannya.
3. Periode Pasca Qur’anik
Pada masa ini adalah sekarang, yaitu kata kholifah yang tidak pernah lepas dari polituk islam, yang menegakkan hukum islam, dalam periode ini muncul penampakan baru yaitu menggabung-gabungkan antara islam dengan politik. Pandangan kasus ini dikarenakan mengembalikan seperti pada masa kulafaurrasyidin, bahwa keputusan pemimpin oleh umat islam dan menggangap keputusan ini paling benar dan sah menurut agama. Pada periode ini makna khalīfah sebagai pengganti sudah tak lagi terlihat dan tergeser oleh kata pemimpin atau penguasa.

Melihat pemaparan pemakalah di atas, bagaimana kontekstualisasi dan atau peranan Semantik-Semiotik dalam memaknai term khalifah pada saat ini?

Rabu, 18 Maret 2020

Part 2: Kuliah Sintagmatik-Paradigmatik Kelas A

Dalam penerapan ilmu semantik dalam menggali makna sintagatik dan asosiatif (paradikatik) dari sebuah kata, dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut: 
Mengumpulkan ayat/ kata yang menjadi kajian sentral
Menentukan makna dasar
Menentukan makna yang berhubungan( relasi) yang bersifat linear
Menentukan makna sintagmatik dan asosiatif
Menentukan “tempat” sebuah kata berdasarkan tema
Kemudian, dalam menentukan makna sintagmatik dan asosiatif, dapat dilakukan dengan berbagai relasi yang bersifat linear.
Contoh Penerapan:
surat al-An’am: 79 dan an-Nisa: 125 
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ  ) الأنعام :79 )
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا (النساء: 125)
Kata hanifa di atas merupakan hal, sedangkan hal mensifati fi’il. Dalam ayat di atas terdapat fi’il ‘fatara’ sebelum kata hanif yang berarti hukum alam, maksudnya bahwa tabiat langit, bumi dan materi-materi yang ada dalam alam ini bergerak dan berubah-ubah. Dengan kata lain al-hunafa` adalah sifat alami dari seluruh tatanan alam semesta. Langit dan bumi sebagai struktur kosmos, bergerak dalam garis lengkung, bahkan elektron terkecil pun juga tidak luput dari gerakan ini. Sifat inilah yang menjadikan tata kosmos itu menjadi teratur.
Sedangkan analisa paradigmatik muncul ketika mempertemukan ayat-ayat yang bertempat di berbagai macam surah, dengan berdasarkan kepada teori bahwa kata adalah ekspresi dari makna dan yang terpenting dari suatu bahasa adalah maknanya, Tampak diatas perbandigan hanafa dengan janafa yang artinya condong kepada kebagusan seperti yang tertera pada surah al-Baqarah: 182
فَمَنْ خَافَ مِن مُّوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Tampak pula perlawan konsep hanafa dengan konsep al-istiqamah, Kemudian tersimpulkan bahwa tidak pernah ditemukan ihdina ila al-hanifiyyah, tetapi ihdina al-shirath al-mustaqim, di surah al-Baqarah: 142, ali Imran:51 dan lain-lain.
سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا ۚ قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (البقراة: 142)
إِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ ۗ هَٰذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ (ال عمران: 51)
al-Shirath al-Mustaqim inilah yang menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam menetapkan hukum Allah. Disinilah landasan teori limit bergerak sejalan dengan fitrah alam tersebut, dalam aspek hukum yang terjadi. Realitas masyarakat senantiasa bergerak secara harmonis. Sedangkan istilah As-Shirat Al-Mustaqim, adalah sebuah keniscayaan untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Dengan demikian, AsShirat Al-Mustaqim menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam menentukan hukum. Atas dasar semua ini, memperoleh pemahaman bahwa letak kekuatan Islam sebenarnya adalah pada dua sifat ini, sebab dari dua sifat yang berlawanan ini akan muncul beragam alternatif dalam penetapan hukum Islam sesuai dengan perkembangan tata kehidupan manusia; Dari sinilah, lagi-lagi Syahrur memperkenalkan apa yang disebutnya teori hudud/batas/limit. Asumsi dasarnya adalah bahwa Allah, di dalam al-Qur`an, menetapkan konsep-konsep hukum maksimum dan minimum (al-istiqamah), dan manusia senantiasa bergerak dari dua batasan ini (alhanifiyyah).

Bagaimana penerapan langkah-langkah menggali makna sintagmatik-paradigmatik dalam contoh yg diajukan oleh pemakalah?

Selasa, 17 Maret 2020

Part 2: Kuliah Sirah Nabawiyyah

Banyak tauladan dalam mengkaji pernikahan Nabi, bukan hanya persoalan berapa jumlah perempuan yang Nabi Nikahi sehingga melahirkan stigma Sunnah Nabi dalam pernikahan adalah poligami. Berikut pemaparan pemakalah:

Selain sebagai pemimpin umat islam, nabi juga menjadi seorang suami dari para istri-istrinya. Tentu kita sebagai umat islam tidak hanya mencontoh nabi dalam urusan ibadah saja, melainkan juga dalam hal berinteraksi sosial kita juga harus bisa meniru nabi, termasuk juga dalam berhubungan dengan istri. Dalam hubungan berkeluarga khususnya hubungan antara suami dan istri, nabi tentunya sudah memberikan banyak sekali suri tauladan yang sangat baik untuk ditiru atau diikuti. Selain memang untuk menghargai seorang wanita juga untuk memberi contoh kepada umatnya agar tidak sewenang-wenangnya terhadap seorang istri. Berikut adalah beberapa sikap atau akhlak nabi terhadap istri-istrinya:
A. Menghibur disaat istri sedang sedih
Nabi Muhammad merupakan suami yang sangat mengerti akan keadaan istrinya. Jika nabi menemui seorang istrinya sedang dalam keadaan bersedih, maka cepat-cepat nabi mengusap air mata yang menetes di pipinya serta menghiburnya sampai kesedihan itu diganti dengan senyuman.
Pernah suatu ketika nabi mendatangi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mendapati Shafiyyah dalam keadaan sedang menangis. Lalu beliau bertanya kepadanya, “apa yang membuatmu menangis?” Shafiyyah menjawab, “Hafshah (istri nabi yang lain) berkata bahwa aku anak orang yahudi.” Lalu beliau berkata, “katakanlah padanya suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa!”. Disitu terlihat bahwa nabi menyelesaikan masalah dan menghibur istri yang sedang bersedih lewat kata-kata sederhana namun sangat mengandung makna yang dalam.

B. Penuh kasih dan sayang
Sikap romantis terhadap istri merupakan suatu upaya untuk bisa menjaga keharmonisan agar cinta tetap terjaga dan tumbuh didalam hati. Nabi adalah seorang suami yang sangat meninggikan kedudukan atau derajat para istrinya dan sangat menghormati mereka.
Diceritakan nabi pernah menggendong mesra sayidah A’isyah  ketika melihat orang-orang habsyi bermain-main di pelataran masjid. Nabi juga pernah mengajak A’isyah berlomba lari dan A’isyah mencuri kemenangan atas nabi. Nabi pun menyematkan panggilan kesayangan kepada A’isyah: “yaa humaira” duhai istriku yang pipinya kemerah-merahan.

C. Tidak membebani istri
Nabi senantiasa mengerjakan pekerjaannya sendiri. Nabi tidak pernah membebani istrinya dengan sesuatu yang bisa nabi kerjakan sendiri. Bahkan nabi menyulam sendiri pakaiannya yang robek. A’isyah pernah ditanya tentang apa yang dilakukan nabi di rumahnya? Ia menjawab, “beliau selalu melayani istrinya.”

Melibatkan istri dalam mengambil suatu putusan
Nabi kerapkali mencurahkan kepada istrinya terkait persoalan yang tengah dihadapinya, dengan bercerita kepada istrinya, nabi berharap akan mendapatkan solusi. Hal ini terlihat ketika nabi meminta pendapat Ummu Salamah saat perjanjian Hudaybiyah.

D. Tidak pernah menyakiti istri
Suatu ketika sayidah A’isyah berbicara dengan nada tinggi kepada nabi, sayyidina Abu Bakar yang saat itu sedang berada di kediaman nabi mendengar dan tidak rela kalua nabi diperlakukan seperti itu, meski oleh anaknya sendiri. Bahkan, sayyidina Abu Bakar berusaha untuk memukul A’isyah,. Tapi nabi buru-buru mencegahnya. Nabi tidak ingin istrinya tersakiti, meski oleh orang tuanya sendiri atau bahkan nabi sendiri.

Dari sikap-sikap tersebut, sebagai pengkaji hadis, adanya hadis-hadis yang menceritakannya, memandang kedudukan Nabi dalam hadis tsb sebagai Nabi, Rasul, Suami, Manusia biasa or manusia super?