Oleh :
Nur Afifah
(3118001), Sabbrina Laila rosa (3118002), Safa (3118044), Ailsa Ayu
Pasadena,(3117006)
1.
PENDAHULUAN
Kebiasaan masyarakat sekarang
mengalami perubahan karena terpacu oleh adanya perkembangan teknologi, yang
mana salah satunya berupa hal kebiasaan dalam melakukan suatu transaksi jual
beli. Saat dulu transaksi jual beli harus dilakukan secara tatap muka saling bertemu. Di mana saat itulah terjadi peralihan barang secara
langsung dari penjual kepada pembeli, yaitu pembeli harus bertemu dengan
penjual di pasar nyata.
Saat ini semua beralih ke era di
mana transaksi tidak lagi dilakukan secara langsung, akan tetapi lebih sering
melalui media on-line. Sebuah pertemuan dalam transaksi saat ini tidak menjadi keharusan
antara penjual dengan pembeli dalam melakukan transaksi, melainkan cukup dengan
memakai teknologi internet langsung bisa terjadi transaksi antara penjual dan
pembeli. Telah terdapat berbagai segala macam produk yang disediakan dalam transaksi online sehingga tidak
lagi melakukan penjualan secara tatap muka semata, melainkan sudah menggunakan
teknologi untuk melakukan penjualan secara on-line.
Selain itu, dengan adanya perkembangan
teknologi yang semakin modern, seiring dengan lahirnya berbagai teknologi baru
seperti smart-phone,
tablet, dan berbagai gadget lainnya. Pada berbagai teknologi baru tersebut,
konsumen dapat membeli berbagai fitur program dari pasar on-line yang terdapat pada berbagai
teknologi tersebut baik secara gratis maupun berbayar.
Seiring
dengan perkembangan teknologi dalam melakukan transaksi yang semakin berkembang
ini, ternyata turut pula menimbulkan berbagai permasalahan. Beberapa
permasalahan yang dapat muncul dalam transaksi on-line seperti (a) kualitas barang yang
dijual, hal ini dikarenakan pembeli tidak melihat secara langsung barang yang
akan dibeli. Penjual hanya melihat tampilan gambar dari barang yang akan
dijual; (b) potensi penipuan yang sangat tinggi, di mana ketika pembeli sudah
melakukan pembayaran namun barang tidak kunjung diantar kepada pembeli; (c)
potensi gagal bayar dari pembeli, di mana ketika penjual sudah mengirimkan
barang kepada pembeli namun pembayaran tidak kunjung dilakukan oleh pembeli.
Salah
satu hal yang membedakan bisnis online dengan bisnis off line adalah proses transaksi (Akad)
dan media utama dalam proses tersebut. Hal seperti ini membuat adanya perbedaan
dalam prinsip ekonomi yang berlaku. Secara umum, bisnis dalam Islam menjelaskan
adanya transaksi yang bersifat fisik, dengan menghadirkan benda tersebut ketika
transaksi, atau tanpa menghadirkan benda yang dipesan, tetapi dengan ketentuan
harus dinyatakan sifat benda secara konkret, baik diserahkan langsung atau
diserahkan kemudian sampai batas waktu tertentu.
2.
PRINSIP-PRINSIP EKONOMI DALAM AL-QUR’AN
1) Matlamat untuk mencapai Al-Falah
Al-falah dapat diartikan sebagai keridoan Allah didunia dan
akhirat,,
Untuk mendapat
al falah seorang muslim haruslah mempunyai nilai ibadah yakni kepatuhan kepada
Allah, jadi apa saja perkara yang berkaitan dengan ekonomi jika itu memakai
kepuasan hawa nafsu maka ia akan mendahulukan keperluan atau kepentingan rohani
karana itu merupakan ibadah kepada Allah SWT.
Kata Al-falah sendiri memiliki banyak makna. Diantara maknannya
adalah kemakmuran, keberasilan, atau pencapaian apa yang kita inginkan atau
kita cari sesuatu dengannya kita berada dalam keadaan bahagia atau baik terus-menerus
dalam baik menikmati ketentraman, kenyamanan, atau kehidupan yang penuh berkah
kabadian, kelestarian, terus menerus dan keberlanjutan.
Q.S. al-Imran :
130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinnya
:
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Pada ayat diatas kata riba dihadapkan dengan falah. Larangan memakan
riba dihadapkan dengan falah. Larangan memakan riba tidak saja yang berlipat,
sesungguhnya adalah syarat bagi seseorang untuk memperoleh falah. Sebagaimana
yang telah dijelaskan para mufassir, riba diharamkan karena kezaliman yang
ditimbulkannya. Kerusakan yang ditimbulkan riba bukan saja menimpa debitur,
tetapi juga krediturnya. .[1]
Tafsiran dalam tafsir al misbah adalah seandainya uraian tentang
perang uhud telah selesai, maka ayat yang berbicara tentang riba ini, boleh
jadi tidak membingungkan untuk dicari rahasia penempatannya disini, tetapi
ayat-ayat yang berbicara tentang perang uhud, masih cukup panjang. Ini
menjadikan sementara ulama memeras pikiran untuk mencari hubungannya, bahkan
sebagian mereka kerana tidak puas dengan upaya atau pandangan ulama lain,
berhenti dan berkesimpulan bahwa ayat ini tidak perlu dihubungkan dengan
ayat-ayat sebelumnya. [2]
2)
Pemilikan
harta sebagai amanah
Didalam kepemilikan seorang muslim itu mereka akan mengi’tiqot atau
mempercayai bahwa pemilikan mutlak akan segala sesuatu adalah milik mutlak
Allah SWT.karana pemilikan mereka diatas dunia ini hanyalah pemilikan yang
relitif. Sebagaimana disebutkan ayat tadi Seorang muslim di dunia ini hanyalah
seorang wakil untuk memiliki barang-barang atau harta yang ada di dunia ini,
jadi, dengan kepimilikan secara berwakil tersebut seorang muslim akan terdorong
untuk menggunakan pendapatannya pada perbelanjaan yang hanya dibenarkan oleh
syariat dan penilaian positif dari Allah SWT. Sesuai dengan firman Allah SWT.
Q.S. Al-hadid : 7
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا
جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا
لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah
kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di
antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang
besar.”
Dalam tafsiran Il-Ibriz menjelaskan :
Siro kabeh podho tetepo anggone iman
marang Allah Ta’ala lan utusane! Lan siro kabeh podhoho infaq (kanggo
ngeluhurake agamane Allah Ta’ala) saking bondho-badha kang Allah Ta’ala wus
ndadekake siro kabeh minongko dadi genti miliki bondho mau (saking wong-wong
kang sakdurung iro kabeh. Lan ora wurung siro kabeh ugo bakal diganteni dening
wong-wong kang sakbakdane siro kabeh, tumerap pemilike bondho-bondho iku).
Wong-wong kang podho iman saking golongan iro kabeh lan podho infaq (nyokongake
bondhone kanggo perang sabil) iku dheweke bakal nompo ganjara kang Agung.
(Kisah) Zaman kedadeyan
perang Tabuk, kanjeng Nabi nganjurake infaq fisabilillah, poro sahabat podho
rerikitan lan podho akeh-akehan anggone infaq. Kolo iku shohabat Utsman nyokong
telung atus unto, saklapake sak abah-abahane lan sak momotane pisan, kejobo iku
isih di tambah sewu dhinar dhuwit.[3]
3)
Kebenaran
dan hak
Seorang muslim hanya dibenarkan untuk menggunakan barang yang halal
saja dan seorang muslim disyariatkan untuk meninggalkan perkara yang haram
tetapi sekalipun ada terlihat macam ini tetapi ia tidak menghalang ataupun tidak
menimbulkan kesukaran karna barang yang halal atau yang dibenarkan itu adalah
jauh lebih banyak dari pada perkara yang haram, ini sebagaimana yang difirman
Allah Q.S. albaqarah:173
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya
:
Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Dalam tafsiran
al ibriz menjelaskan :
Sakmestine kang den haramaken Allah Ta’ala merang siro kabeh, yoiku
bathang, gethih, daging babi, lan hayawan
kang den beleh ora kerono Allah Ta’ala, balik kerono beraholo. Ananging
sopo wong kang banget diharurate sahenggo lamun ora inggal-inggal mangan biso
mati kaliren, banjur wong mau mangan kang dilarang dening Allah Ta’ala mau, ing
halle dheweke ora golongane wong mampang lan ora wong nganingoyo, wong mau ra
doso, satemene Allah Ta’ala iku akeh pangapurane lan akeh welase. (Tambihun)
sawenehing menuso ono kang diharamaken Allah Ta’ala naming bathang, getih,
daging babi, lan hewan kang disembelih ora kerono Allah Ta’ala, dheweke nuli
duwe faham yen liyone kang katutur mau kabeh halal, upamane koyo macan, kucing,
ulo, asu, kalajengking, kelabang, laler. Lan liya-liyane. Faham kang koyo
mengkono iku keliru. Jalaran kejobo ayat iki, kanjeng Nabi Muhammad ugo
ndhawuhaken harame hewan kang kuat landhep siunge, lan hewan kang kuat
cengkereme. Ing mongko dhawuhe kanjeng Nabi iyo wahyu saking pangeran. Mulone
kito ora keno gumampang naming faham dhohire ayat. Kanggo netepaken hokum, kito
kudu nyelidiki ayat-ayat Al-Qur’an, Al-Hadis,Al-Ijma’, lan Al-Qias. Yen kito
ora biso nyelidiki dhewe (pancen angel kang banget) jalaran saking kurange ngilmu,
kito nderek bae marang dhawuhe imam-imam mujtahid-mujtahid, ora ngetes tinggal
Al-Qur’an wal hadits, sebab dhawuhe imam-imam lan mujtahid-mujtahid iku
haqiqote iyo bersumber saking Al-Qur’an wal- hadis.[4]
4)
Prinsip
kebersihan
Tidak semua barang yang halal itu boleh digunakan dalam Islam.
Brang yang halal tetapi kotor tidak dianggap sebagai barang pengguna dalam
Islam, barang pengguna ialah barang yang halal dan bersih , kepentingan barang
yang bersih diterangkan dalam al-Qur’an sebanyak 18 kali dalam al-Qur’an yang
menyebut barang tersebut sebagai at-Tayyibat. Sebaimana firman Allah Q.S. Al
Baqarah : 222
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya
:
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri.
Jika dicermati, olshop yang memiliki prinsip ekonomi Qurani,
menurut pemakalah, harus berprinsip:
1.
Mencari ridho Allah (al-Falah)
2.
Harta adalah amanah
3.
Kebenaran dan Hak
4.
Kebersihan
4 prinsip tersebut, diyakini oleh
pemakakalah, dapat bersanding dengan 10 prinsip ekonomi konvensional
Apakah setuju dengan pernyataan di
atas? Atau ada yang kurang? Atau ada yang kurang tepat penafsiran ayatnya?
[1] Dr. H.
Azhari Akmal Tarigan, tafsir ayat-ayat ekonomi al-Qur’an, (Bandung :
Citapustaka mudia perintis ), hlm 75
[2] M.
Quraisy shihab, Tafsir al-Misbah, jld. 2m hal. 213
[3] KH.
Bisri Mustofa, Al-Ibriz terjemah al-qur’an bahasa jawa latin
[4] KH.
Bisri Mustofa, Al-Ibriz terjemah al-qur’an bahasa jawa latin