PENDAHULUAN
Oleh:
Ahmad Husnul Hisyam Asy Syibromalisi,Fazda Zawahirul
Hida, Nailil Ulfah
Harta pada hakikatnya merujuk pada semua
parameter sumber-sumber alam.Harta dinyatakan didalam Al-Qur’an dengan sesuatu
yang baik (khair) dan juga digunakan sebagai alat yang dapat membantu kehidupan
manusia. Al-Qur’an sendiri banyak menerangkan untuk mempergunakan harta kita
dengan sebaik-baiknya. Kata Al-Mal (harta) disebutkan didalam Al-Qur’an
tidak kurang dari 86 kali.
Islam memandang keinginan manusia untuk
memperoleh, memiliki dan memanfaatkan
harta sebagai sesuatu yang lazim dan urgent. Harta dalam pandangan
Al-Qur’an yaitu sebagai sebuah sarana bagi manusia untuk mendekatkan diri
kepada Khaliq-Nya, bukan hanya sebagai tujuan utama yang manusia cari dalam
kehidupannya. Dalam pandangan Islam sendiri harta sebagai wasilah atau sarana
untuk mencapai kebaikan dan perhiasan hidup serta kesejahteraan dana
kemaslahatan hidup manusia. Islam menempatkan harta sebagai salah satu daari
lima kebutuhan pokok dalam kehidupan yang harus dipelihara ( Ad-Dharuriyah
Al-Khamsah).
Pada Era sekarang ekonomi telah menjadi suatu
standar kehidupan individu dan kolektif suatu negara-bangsa. Keunggulan suatu
negara diukur berdasarkan tingkat kemajuan ekonominya. Ukuran derajat
keberhasilan menjadi sangat matrealistik. Menurut Islam, harta adalah sarana
untuk memperoleh kebaikan adalah baik. Harta bukan selamanya bencana bagi
pemiliknya. Islam tidak memandang harta dan kekayaan sebagai penghalang untuk
mencari derajat yang tertinggi dan taqarrub kepada Allah SWT.
Pentingnya harta menurut islam tampak dari
kenyataan bahwa Allah SWT
menurunkan surat terpanjang didalam
Al-Qur’an yang berisikan peraturan tentang keuangan, cara penggunaannya, dan
anjuran dalam bermuammalah.[1]
PEMBAHASAN DAN HASIL
A.
Definisi Harta dan Fungsinya
Harta biasa disebut dengan kata Al-Mal dengan
bentuk jamaknya Amwal. Secara etimologi berarti condong, cenderung, atau
miring. Al-Mal sendiri diartiakan dengan segala sesuatu yang
menyenangkan manusia dan dapat dipelihara baik dalam bentuk materi maupun dalam
kemanfaatannya. Harta menurut terminologi sendiri ada dua pendapat yang
dikemukakan oleh golongan para ulama’. Pertama, ulama hanafiyah
mendevinisikan kata Al-Mal sebagai sesuatu yang dapat diminati oleh
manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan. Atau segala sesuatu yang dapat
dimiliki, disimpan dan dapat dimanfaatkan keberadaannya. Kedua, Jumhur
Ulama’ selain hanafiyah berpendapat harta bermakna segala sesuatu yang
mempunyai nilai dan dapat dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau
melenyapkannya.
Definisi dari jumhur ulama’ sendiri lebih luas
cangkupannya, yakni segala sesuatu yang dapat diambil kemanfaatannya bukan
zatnya (benda) seperti: rumah, perhiasan, tanah dan hasil karya cipta lainnya.
Sedangkan Wahbah Az-Zuhaily berpendapat bahwa harta secara etimologi yakni
sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh oleh manusia, baik berupa benda yang
tampak seperti emas, perak, hewan, tumbuhan ataupun yang
tidak tampak yakni yang dapat diambil kemanfaatannya seperti: kendaraan,
pakaian dan tempat tinggal.[2] Dari definisi
harta tersebut, dapat disimpulkan bahwa harta mempunyai empat unsur. Pertama,
bersifat materi (ainiyah), kedua, dapat disimpan dan dimiliki (qabilan
li tamlik), ketiga,dapat dimanfatkan (qabilan li al-intifa’),
keempat, ‘urf (adat atau kebiasaan) masyarakat setempat
memandangnya sebagai harta.[3] Semua harta yang berada ditangan manusia pada dasarnya mutlak kepunyaan
Allah SWT. Kepemilikan manusia hanya bersifat relatif, sebatas melaksanakan
amanah Allah SWT yang dipercayakan kepada manusia untuk mengelola dan
memanfaatkan dengan sebaik mungkin.
Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an
surat Thoha ayat 6:
لَهُۥ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَيۡنَهُمَا وَمَا
تَحۡتَ ٱلثَّرَىٰ ٦
Artinya: “ kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi,
semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.”
Dalam Agama Islam sendiri konsep kepemilikan
harta mempunyai karakteristik yang unik yang sejalan dan selaras dengan fitrah
manusia. Sangat berbeda dengan dua konsep yang berkembang saat ini, yakni
kapitalisme dan sosialisme. Kepemilikan harta dalam sistem kapitalisme
mempercayai pemilik swasta atas alat produksi, distribusi dan pertukaran yang
dikelola dan dikendalikan oleh individu atau sekelompok individu. Hak untuk
memiliki harta secara tak terbatas itu dapat mengarah kepada konsentrasi
kekayaan ditangan sedikit orang. Dalam hal ini akan mengganggu keseimbangan
distribusi kekayaan dan pendapatan didalam masyarakat. Sistem ekonomi
sosialisme kepemilikan negara atas semua kekayaan dan alat produksi merupakan
ciri utama dari sistem ekonomi sosialis ini. Pemilikan harta oleh pribadi
maupun swasta serta kepemilikan alat produksi, distribusi dan pertukaran
semuanya dihapus dan sekuruhnya dikuasai oleh negara.[4]
Dalam ajaran Agama Islam sendiri mengenai
kepemilikian harta menekankan tentang pentingnya memadukan antara pengakuan
terhadap kepemilikan sosial (social property) dan kepemilikan pribadi (private
property). Islam tidak menghendaki adanya gap di masyarakat dengan perbedaana
status ekonomi yang sangat mencolok. Ajaran Islam memberikan kebebasan untuk
memiliki harta, namun dengan tetap memperhatikan keseimbangan. Allah SWT
memberikan harta kepada manusia antara lain untuk menjadi bekal hidupnya. Tanpa
memiliki harta, manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya, karena tidak
akan bisa manusia mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa harta.
Dengan adanya harta, bisa menjadi bentuk modal
bagi manusia untuk melakukan segala perbuatan yang bernilai positif dan ibadah.
Dalam hal ibadah sendiri, terdapat ibadah yang pelaksanaannya menggunakan
harta, yaitu sedekah, zakat dan hibbah.[5]
Harta memiliki banyak fungsi. Harta dapat
menunjukkan kegiatan manusia, baik dalam hal kebaikan ataupun keburukan. Banyak
manusia yang selalu berusaha mendapatkan dan menguasai banyak harta dengan
segala cara, baik yang secara syara’ agama atau bahkan yang tidak sesuai dengan
syara’. Dalam hal ini fungsi harta yang sesuai dengan syara’ antara lain yaitu:[6]
·
Menjadi suatu kesempurnaan ibadah mahdhah
·
Dapat memelihara dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada
Allah SWT
·
Menjadikan kehidupan lebih baik dan sejahtera
·
Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat
·
Bekal mencari dan mengembangkan ilmu
·
Sebagai modal ekonomi dalam kehidupan masyarakat demi
kesejahteraan bersama
B. Ayat Harta
Benda Dalam Al-Qur’an
Banyak Ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang
harta benda. Dari jumlah dan beragam makna harta dalam Al-Qur’an membuktikkan
bahwa betapa besar perhatian Islam tehadap harta. Oleh karenanya, islam telah
mengatur bagaimana caranya seorang muslim dapat memanfaatkan harta yang
dimilikinya itu dapat dimanfaatkan secara baik. Salah satunya yaitu dalam
Firman Allah SWT surat Al- Kahfi ayat 48:
وَعُرِضُواْ
عَلَىٰ رَبِّكَ صَفّٗا لَّقَدۡ جِئۡتُمُونَا كَمَا خَلَقۡنَٰكُمۡ أَوَّلَ
مَرَّةِۢۚ بَلۡ زَعَمۡتُمۡ أَلَّن نَّجۡعَلَ لَكُم مَّوۡعِدٗا ٤٨
Artinya: “ Dan mereka akan dibawa ke hadapan
Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami
menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu mengatakan bahwa Kami
sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian.”
Dari ayat diatas menyebutkan dua dari hiasan
dunia yang seringkali dibanggakan manusia dan seringkali membuat lengah dan
angkuh. Kata (اﻟﻤﺎل) mencangkup segala
sesuatu yang kita miliki yang bersifat material. Baik berupa sawah, ladang,
tanah, dan uang. Dari ayat disebutkan kata anak dan harta dengan Zinah atau
hiasan yakni sesuatu yang dianggap baik dan indah. Karena dari harta sendiri
ada unsur keindahan disisi lain selain bisa diambil kemanfaatannya. Demikian
juga pada anak, disamping anak dapat membela dan membantu orang tua nya.
DalamTafsir Al-Misbah, penamaan keduanya dengan kata Zinah jauh lebih tepat
daripada menamainya dengan lafadz ﻗﯿﻤﺔ,
karena dengan memiliki banyak harta ataupun keturunan lantas tidak menjadikan
kita menjadi orang yang mulia atau berharga. Kemuliaan dan penghargaan hanya
diperoleh melalui iman dan amal sholeh.[7]
Lafadz اﻟﺼﺎﻟﺤﺎت
اﻟﺒﺎﻗﯿﺎت adalah dua kata yang berfungsi sebagai sifat dari sesuatu yang
disifati. Dalam ayat ini sengaja
mendahulukan kata اﻟﺒﺎﻗﯿﺎت atas
lafadz اﻟﺼﺎﻟﺤﺎت karena bermaksud
dengan menggaris bawahi ketidak kekalan harta dan anak-anak yang hanya
berfungsi sebagai perhiasan dunia. Sebagian ulama’ ada yang mengatakan lafadz اﻟﺼﺎﻟﺤﺎت اﻟﺒﺎﻗﯿﺎت adalah ucapan subhanaAllah wal hamdulillah
Wa Laa illaha illAlla. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat tersebut yang
dimaksud adalah sholat lima waktu. Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
lafadz Al- Baqiyatus Sholihatu ialah perkataan yang baik, sedangkan menurut
Abdurrahman bin Zaid yang dimaksud adalah seluruh amal sholeh.[8]
Pada dasarnya semua harta yang ada ditangan
manusia itu mutlak kepunyaan Allah SWT. Kepunyaan manusia snediri hanya
bersifat relatif, sebatas melaksanakan amanah Allah SWT yang diamanahkan
kepadanya untuk mengelola dan memanfaatkannya pada hal-hal yang
baik,sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Al-Hadid ayat 7:
ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَأَنفِقُواْ مِمَّا جَعَلَكُم
مُّسۡتَخۡلَفِينَ فِيهِۖ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَأَنفَقُواْ لَهُمۡ
أَجۡرٞ كَبِيرٞ ٧
Artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan
kamu menguasainya Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”
Lafadz ﻣﺴﺘﺨﻠﻔﯿﻦ
dalam Tafsir Al-Misbah diterjemahkan dengan berwenang. Dari kata ﺧﻠﯿﻔﺔ yakni penguasa atau yang berwenang
mengelola sesuatu. Penyusun Tafsir Al-Muntakhab menjelaskannya dengan maksud
Dia titipkan kepada kamu. Memang kata Mustakhlafin terambil dari kata Khalafa
yang berarti belakang atau siapa yang datang sesudah yang lain datang. Atas
dasar itu Al-Jalalain misalnya, menjelaskan kata tersebut dengan harta
orang-orang sebelum kamu dan yang akan kamu gantikan yakni dalam kepemilikan
atau wewenang pengelolaannya oleh siapa yang datang setelah kamu.
Thaba’thaba’i mengemukakan dua makna. Salah
satu makna tersebut merujuk pada kata Khalifah itu. apabila merujuk pada kata
tersebut maka redaksi tersebut untuk menjelaskan manusia yang sebenarnya, dan
hal tersebut akan mendorong seseorang untuk berinfaq, karena manusia sadar
bahwa hartanya adalah milik Allah SWT dan tugas manusia hanyalah sebagai
khalifah atas harta tersebut. Sedangkan makna kedua menurut Thaba’thaba’i
mengacu kepada asal makna mustakhlaf yaitu khalaf yang berarti datang sesudah
yang menyatakan bahwa sifat harta adalah berpindah dan beralih dari kita dan
akan diambil oleh siapa yang datang sesudah kita, dan tidak wajar apabila kita
mempunyai sifat kikir, karena pada hakikatnya bukan milik kita. Kita tidak lain
seperti wakil-wakil yang bertugas memelihara saja.[9]
Dalam ayat tersebut sudah jelaslah bahwa
pemilik mutlak atas harta adalah Allah SWT. Allah SWT memberikan hak dan
kewajiban kepada manusia untuk memepergunakanya dengan sebaik mungkin. Salah
satu karakteristik ekonomi islam mengenai harta terutama dalam hal pemanfaatannya
atau distribusi yang tidak terdapat dalam ekonomi kapitalis maupun sosialis
adalah zakat. Diluar Islam, sistem perekonomian tidak mengenal tuntutan Allah
SWT kepada pemilik harta agar menyisihkan sebagaian dari harta kita dengan
tujuan untuk pembersihan jiwa dari sifat
kikir, dengki, dendam dan sifat buruk lainnya. Sedangkan dalam ekonomi
konvesional sendiri pemerintah memperoleh pendapatan dari hasil pajak, bea
cukai, dan pungutan. Maka islam memperolehnya degan zakat, jizyah dan kharaj.[10]
C. Kedudukan Harta
Benda Dalam Al-Quran
Kata mal dalam Alquran disebut sebanyak
86 kali pada 79 ayat dalam 38 surah. Satu jumlah yang cukup banyak menghiasi
sepertiga surahsurah Alquran. Dari 86 kata mal itu terdapat 25 kata berbentuk
mufrad dengan berbagai lafal, selanjutnya 61 kali dalam bentuk isim jama’
(amwal) dan jumlah ini belum termasuk katakata yang semakna dengan mal seperti
rizq, mata’ dan kanz (perbendaharan) Penyebutan berulang-ulang terhadap sesuatu
di dalam Alquran menunjukkan adanya perhatian khusus dan penting terhadap
sesuatu itu. Dengan demikian harta memiliki kedudukan yang sangat penting di
dalam Alquran, salah satu ayat Alquran yang berkaitan dengan kedudukan harta
terdapat pada surah Al-Kahfi ayat 46:
ٱلۡمَالُ وَٱلۡبَنُونَ زِينَةُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱلۡبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ
خَيۡرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابٗا وَخَيۡرٌ أَمَلٗا
٤٦
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik
pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Kata kunci
Al-malu :Harta
Banuna :Anak-anak
Kata Al-Mal yang di posisikan sebagai
zinah, berfungsi sebagai perhiasan dunia yang kerap melalaikan manusia dari
mengingat Allah SWT. Allah Swt menjelaskan bahwa yang menjadi kebanggaan
manusia di dunia ini adalah harta benda dan anak-anak, karena manusia sangat memperhatikan
keduanya. Banyak harta dan anak dapat memberikan kehidupan dan martabat yang
terhormat kepada orang yang memiliknya. Namun karena harta dan anak pula orang
menjadi takabbur dan merendahkan orang lain. Allah Swt menegaskan bahwa
keduanya hanyalah perhiasan hidup duniawi. Padahal manusia sudah menyadari
bahwa keduanya akan segera binasa dan tidak patut dijadikan bahan kesombongan.
Beberapa kali
Allah Swt telah menyebutkan di dalam Al-Qur’an tentang harta baik dalam
kalimat “ Amwaluhum” (harta mereka ) atau kata “Amwalakum” (hartamu), menjadi
kedudukan yang sangat kuat dalam hukum Islam. Maka harta tersebut harus
dipergunakan dan dimanfaatkan dalam semua aspek kehidupan. Dalam persoalan yang
membahas tentang harta, manusia memikul tanggung jawab yang sangat besar
untuk melaksanakan milik Tuhan itu
sebagai sebuah amanah yang tak boleh disia-siakan tetapi harus dimanfaatkan
dengan baik.
Islam juga menentukan sampai di mana batasan
hak milik harta tersebut. Telah di wajibkan
oleh Allah Swt untuk harta itu ditugaskan untuk hal-hal yang sangat
berguna. Batasan dalam mempergunakan
harta benda harus menyeluruh berlaku bagi setiap orang, baik Muslim ataupun Non
Muslim.[12]
Dalam urutan ayat ini harta didahulukan dari
anak, padahal anak lebih dekat ke hati manusia, karena harta sebagai perhiasan
lebih sempurna dari pada anak. Harta dapat menolong orang tua dan anak setiap
waktu dan dengan harta itu pula kelangsungan hidup keturunan dapat terjamin.
Kebutuhan manusia terhadap harta lebih besar dari pada kebutuhannya kepada
anak, tetapi tidak sebaliknya.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya
Tafsir Al-Misbah mengomentari ayat di atas menyatakan, setelah ayat yang lalu
melukiskan keadaan dan sifat dunia dengan segala gemerlapnya. Ayat ini menyebut
dua dari hiasan dunia yang seringkali dibanggakan manusia dan mengantarnya
lengah dan angkuh.
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia. Kesemuanya tidak abadi dan bisa memperdaya manusia, Tetapi amal yang kekal karena dilakukan karena
Allah Swt lagi saleh, yakni sesuai dengan tuntunan agama dan bermanfaat adalah
lebih baik untuk kamu semua pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik dan
lebih dapat diandalkan untuk menjadi harapan.
Selanjutnya penggunaan terminologi Al-Baqiyat
Al-Shalihat di ujung ayat tidak dimaksudkan untuk meremehkan anak dan
harta. Penggunaan kata Al-Baqiyat yang bermakna kekal hanya ingin membuat
perbandingan. Jika ingin meraih kebahagiaan dunia, harta dan anak-anak
merupakan sebuah keniscayaan. Hanya saja jika yang ingin di peroleh adalah
kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan bersama Allah Swt, pilihlah satu-satunya
adalah amal saleh. Andaipun ia menggunakan hartanya sebagai media amal saleh
itu bukan disebabkan oleh hartanya, melainkan oleh amalnya yang mensedekahkan atau
menginfakkan hartanya. Kendati pun ia memiliki anak yang saleh, itu juga hasil
dari amalnya dalam upaya membentuk anak- anak yang saleh.
Dari ayat di
atas dapat dipahami bahwa harta merupakan bagian penting dari kehidupan yang
tidak dipisahkan dan selalu diupayakan oleh manusia dalam kehidupannya terutama
di dalam Islam. Setiap manusia memerlukan adanya harta, ia adalah penopang bagi
kehidupan di dunia. Selain itu ia juga menjadi penolong sekaligus beban bagi
para pemiliknya di akhirat kelak. Tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan
harta. Bahkan seseorang rela pergi pagi pulang petang hanya untuk mendapatkan
harta. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan nyawa melayang hanya karena
memperebutkan harta. Setiap orang pada dasarnya menyenagi harta sebagaimana
disebutkan Alquran dalam surah Al-Fajr ayat 20:
وَتُحِبُّونَ ٱلۡمَالَ حُبّٗا جَمّٗا
٢٠
Artinya: “Dan
kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.”
Karena cintanya
yang berlebihan terhadap harta, maka banyak orang siap melakukan apa saja
(penipuan, penggelapan, pencurian, perjudian, penyuapan,perampokan, korupsi,
dan lain-lain). Namun demikian, Alquran memberikan rambu- rambu tertentu untuk
memperoleh harta. Salah satu yang perlu di catat, lewat ayat ini, Alquran tidak
hanya menyatakan harta itu penting tetapi juga mengakui bahwa harta itu adalah
zinah atau perhiasan. Karenanya setiap orang akan berjuang untuk mendapatkan
harta tersebut, tentunya dengan cara-cara yang dibenarkan syariat. Harta dalam
pandangan Islam adalah sebagai wasilah atau sarana untuk mencapai kebaikan dan
perhiasan hidup serta sendi kesejahteraan dan kemaslahatan hidup manusia. Harta
menempati kedudukan yang sangat penting, Islam menempatkan harta sebagai salah
satu dari lima kebutuhan pokok dalam kehidupan yang harus dipelihara (Ad-
Dharuriyah Al-Khamsah).
Ad-dharuriyah
Al-khamsah secara berurutan meliputi memelihara agama, jiwa, keturunan, akal
dan harta.Meskipun harta menempati urutan kelima dari semua aspek Ad-Dharuriyah
Al-Khamsah, ia sesuatu yang urgen dalam memelihara keempat aspek lainnya.
Misalnya melaksanakan shalat sebagai bentuk perwujudan memelihara agama
membutuhkan pakaian untuk menutup aurat. Makan dan minum dalam rangka
memelihara jiwa dapat dipenuhi dengan harta.
Memelihara
keturunan dengan melaksanakan pernikahan itupun di capai dengan harta.
Memelihara akal dengan cara menuntut ilmu adalah dengan harta. Jadi, harta
merupakan sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan manusia.[13]
D.
Pendistribusian Harta Dalam Al-Qur’an
Keadilan dan
kesejahteraan masyarakat tergantung pada sistem ekonomi yang dianut. Dasar
karakteristik pendistribusian adalah adil dan jujur, karena dalam Islam sekecil
apapun perbuatan yang kita lakukan semua akan dipertanggungjawabkan di Akhirat
kelak. Apabila terjadi ketidakseimbangan distribusi kekayaan, maka hal tersebut
akan memicu timbulnya konflik individu maupun sosial.
Islam
menegaskan untuk para penguasa, agar meminimalkan kesenjangan dan ketidakseimbangan
distribusi. Dalam distribusi sendiri mempunyai beberapa prinsip. Pertama,
prinsip pemerataan yang bersandar kepada nilai keadilan, supaya tidak terjadi
ketimpangan dalam ekonomi harus ada pemerataan distribusi kekayaan bersandar
kepada nilai-nilai keadilan. Kedua, prinsip menjaga hak orang lain.
Dengan prinsip mendistribusikan kekayaan kepada yang berhak menerima, maka
tidak akan terjadi penguasaan terhadap hak orang lain dan tidak akan terjadi
kedzaliman dan tindakan penindasan orang yang kuat kepada orang yang lemah.
Ada beberapa
bentuk-bentuk distribusi kekayaan dalam Al-Qur’an, yaitu:
·
Distribusi warisan
·
Ditribusi wasiat dan hibah
·
Distribusi dalam bentuk jual beli
·
Distribusi harta rampasan perang
E.
Sikap Manusia Terhadap Harta
Berdasarkan
ayat-ayat telah menjelaskan tentang harta terdapat beberapa ayat yang berkenaan
dengan sikap manusia terhadap harta, antara lain :
1.
Sangat cinta
terhadap harta
Mencintai harta
sudah menjadi hal yang sangat lazim bagi manusia. Hal ini telah Allah terangkan
dalam Al-Qur’an surat Al-Fajr [89]:20:
وَتُحِبُّونَ ٱلۡمَالَ حُبّٗا جَمّٗا
٢٠
Artinya; “Dan
kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.”
Pada ayat ini,
kata hubbun jamma menurut Al-Qurtubi, kata tersebut dimaknai dengan kecintaan
terhadap harta yang sangat mendalam , baik harta tersebut didapat dengan jalan
yang halal maupun dengan jalan haram sekaligus.
Dari penafsiran
tersebut, dapat diambil kesimpulannya bahwa manusia tidak di perkenankan
menyukai dan mencintai harta di luar batas kewajaran. Sebab apabila manusia
terpedaya oleh banyak nya harta , mereka akan menghalalkan segala jalan untuk
mendapatkan harta tersebut demi disebut sebagai orang yang sukses.
2.
Suka mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya
Diantara sifat
tercela manusia adalah sering kali mengupulkan harta dan selalu menghitungnya.
Allah secara tegas telah mencela orang-orang yang sering menghitung hartanya
sebagai bentuk ekspresi cinta yang luar biasa terhadap harta, sebagaimana yang
telah diterangkan dalam Al-Qur’an surat al-Humazah [104]:1-3 sebagai berikut :
وَيۡلٞ لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ ١
ٱلَّذِي جَمَعَ مَالٗا وَعَدَّدَهُۥ ٢
يَحۡسَبُ أَنَّ مَالَهُۥٓ أَخۡلَدَهُۥ ٣
Artinya:
“Kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela,Yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitung, Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya.”
Secara tematik,
ungkapan ayat tersebut berbicara tentang celaan terhadap orang-orang yang suka
mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Mereka berasumsi bahwa harta yang
mereka cintai dapat mengkekalkannya dalam kehidupan mereka di dunia, pada nyata
nya harta tersebut tidak mengkekalkan. Pandang tersebut merupakan prinsip yang
sangat keliru.
3.
Berbangga dengan harta
Berbangga
dengan harta dan perhiasan dunia sudah mendarah daging di hati manusia. Seperti
firman Allah Swt yang telah termaktub dalam Al-Qur’an surat al-Hadid [57]:20
sebagai berikut ;
ٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞ وَزِينَةٞ
وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٞ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِۖ كَمَثَلِ
غَيۡثٍ أَعۡجَبَ ٱلۡكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصۡفَرّٗا
ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمٗاۖ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٞ شَدِيدٞ وَمَغۡفِرَةٞ مِّنَ ٱللَّهِ
وَرِضۡوَٰنٞۚ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ ٢٠
Artinya: “ Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan
dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-
megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak,
seperti hujan yang tanam- tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman
itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan
di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.”[15]
Menurut
M Quraish Shihab dalam kitab nya Tafsir al-Misbah, memahami ayat ini sebagai
gambaran dari awal proses perkembangan manusia hingga mencapai dewasa. Kata
la’ib pada ayat ini merupakan gambaran dari keadaan bayi yang merasakan
lezatnya permainan, walaupun ia sendiri melakukan nya tanpa mengerti apa
tujuannya kecuali bermain. Kemudian kata al-lahwu yang bermakna kelengahan,
sering dilakukan oleh semua anak-anak. Sedangkan kata al-zinah berarti sebuah
perhiasan , yang kerap kali dilakukan oleh pemuda dan remaja karena mereka
mempunyai kebiasan suka berhias.
Kata
tafakkur berarti berbangga, sikap ini juga sudah menjadi watak yang sering
dilakukan oleh kaum pemuda. Kemudian kata selanjutnya yaitu takatsur
fi’i-amwal wa’l-awlad berarti suka memperbanyak harta dan anak, pelakunya
adalah orang dewasa.[16]
4.
Sikap bakhil tentang harta
Sikap bakhil
terhadap harta berarti menahan sesuatu yang semestinya menjadi hak orang lain.
Perilaku ini mencul atas dasar manusia yang terlalu mencintai harta yang tidak
menjaminnya hidup kekal diakhirat nanti nya.
Allah Swt telah
berfirman dalam Qs Ali- Imran [3]:180:
وَلَا يَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن
فَضۡلِهِۦ هُوَ خَيۡرٗا لَّهُمۖ بَلۡ هُوَ شَرّٞ لَّهُمۡۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا
بَخِلُواْ بِهِۦ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ وَلِلَّهِ مِيرَٰثُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۗ
وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١٨٠
Artinya:
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan
kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.
sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan
itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah
segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”
Pada hakikatnya
harta yang banyak sangatlah sedikit sekali bila dilihat dari sudut pandang
Allah Swt. segala sesuatu yang ia dapatkan kemudian akan habis terpakai dan
hancur seiring dengan berjalan nya kenimatan dunia. Sesungguh nya harta adalah
sesuatu yang diinfakkan menjadi sebuah tabungan kelak di akhirat nanti.[17]
Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari pemaparan paper berjudul
"Harta Benda Perspektif
Al-Qur’an [1]
( Study Tafsir Ayat
Ekonomi )"
[4] Achmad Fathoni
Hermansyah, Kedudukan Harta Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadist
(Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2018).109
[8] Muhammad Nasib
Ar-Rifa’i, Kemudahan Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta: Gema
Insani, 2000).142
[9] Muhammad Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan Dan Keserasianal-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002).16
[10] Muhammad Subhan, Konsep
Harta Perspektif Ekonomi Islam (Lamongan: Universitas Islam Lamongan,
2016).269
[12] Djamal’uddin Ahmad
Al-Buny, Problematika Harta Dan Zakat, II (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1983).23-25
[14] Taufik Hidayat, Konsep
Pendistribusian Kekayaan Menurut Al-Qur’an (Air Molek: STAIN Nurul Falah, 2017).123
[15] Eko Zulfikar,
‘“Telaah Kritis Makna Harta Batil Dalam Al-Qur’an :Diskursus Agar Tidak
Mendapatkan Harta Dengan Cara Haram Dan Ilegal."’, IAIN Tulungagung,
6–8.