Senin, 16 Maret 2020

Part 2: Tafsir Ayat Eknomi B



PENDAHULUAN
Oleh:
Ahmad Husnul Hisyam Asy Syibromalisi,Fazda Zawahirul Hida, Nailil Ulfah 
  
Harta pada hakikatnya merujuk pada semua parameter sumber-sumber alam.Harta dinyatakan didalam Al-Qur’an dengan sesuatu yang baik (khair) dan juga digunakan sebagai alat yang dapat membantu kehidupan manusia. Al-Qur’an sendiri banyak menerangkan untuk mempergunakan harta kita dengan sebaik-baiknya. Kata Al-Mal (harta) disebutkan didalam Al-Qur’an tidak kurang dari 86 kali.
Islam memandang keinginan manusia untuk memperoleh, memiliki dan memanfaatkan  harta sebagai sesuatu yang lazim dan urgent. Harta dalam pandangan Al-Qur’an yaitu sebagai sebuah sarana bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Khaliq-Nya, bukan hanya sebagai tujuan utama yang manusia cari dalam kehidupannya. Dalam pandangan Islam sendiri harta sebagai wasilah atau sarana untuk mencapai kebaikan dan perhiasan hidup serta kesejahteraan dana kemaslahatan hidup manusia. Islam menempatkan harta sebagai salah satu daari lima kebutuhan pokok dalam kehidupan yang harus dipelihara ( Ad-Dharuriyah Al-Khamsah).
Pada Era sekarang ekonomi telah menjadi suatu standar kehidupan individu dan kolektif suatu negara-bangsa. Keunggulan suatu negara diukur berdasarkan tingkat kemajuan ekonominya. Ukuran derajat keberhasilan menjadi sangat matrealistik. Menurut Islam, harta adalah sarana untuk memperoleh kebaikan adalah baik. Harta bukan selamanya bencana bagi pemiliknya. Islam tidak memandang harta dan kekayaan sebagai penghalang untuk mencari derajat yang tertinggi dan taqarrub kepada Allah SWT.
Pentingnya harta menurut islam tampak dari kenyataan bahwa Allah SWT menurunkan surat terpanjang didalam Al-Qur’an yang berisikan peraturan tentang keuangan, cara penggunaannya, dan anjuran dalam bermuammalah.[1]
PEMBAHASAN DAN HASIL
A.    Definisi Harta dan Fungsinya
Harta biasa disebut dengan kata Al-Mal dengan bentuk jamaknya Amwal. Secara etimologi berarti condong, cenderung, atau miring. Al-Mal sendiri diartiakan dengan segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan dapat dipelihara baik dalam bentuk materi maupun dalam kemanfaatannya. Harta menurut terminologi sendiri ada dua pendapat yang dikemukakan oleh golongan para ulama’. Pertama, ulama hanafiyah mendevinisikan kata Al-Mal sebagai sesuatu yang dapat diminati oleh manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan. Atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dapat dimanfaatkan keberadaannya. Kedua, Jumhur Ulama’ selain hanafiyah berpendapat harta bermakna segala sesuatu yang mempunyai nilai dan dapat dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya.
Definisi dari jumhur ulama’ sendiri lebih luas cangkupannya, yakni segala sesuatu yang dapat diambil kemanfaatannya bukan zatnya (benda) seperti: rumah, perhiasan, tanah dan hasil karya cipta lainnya. Sedangkan Wahbah Az-Zuhaily berpendapat bahwa harta secara etimologi yakni sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh oleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, hewan, tumbuhan ataupun yang tidak tampak yakni yang dapat diambil kemanfaatannya seperti: kendaraan, pakaian dan tempat tinggal.[2] Dari definisi harta tersebut, dapat disimpulkan bahwa harta mempunyai empat unsur. Pertama, bersifat materi (ainiyah), kedua, dapat disimpan dan dimiliki (qabilan li tamlik), ketiga,dapat dimanfatkan (qabilan li al-intifa’), keempat, ‘urf (adat atau kebiasaan) masyarakat setempat memandangnya sebagai harta.[3] Semua harta yang berada ditangan manusia pada dasarnya mutlak kepunyaan Allah SWT. Kepemilikan manusia hanya bersifat relatif, sebatas melaksanakan amanah Allah SWT yang dipercayakan kepada manusia untuk mengelola dan memanfaatkan dengan sebaik mungkin.  
Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Thoha ayat 6:
لَهُۥ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَيۡنَهُمَا وَمَا تَحۡتَ ٱلثَّرَىٰ  ٦
   Artinya: “ kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.”
Dalam Agama Islam sendiri konsep kepemilikan harta mempunyai karakteristik yang unik yang sejalan dan selaras dengan fitrah manusia. Sangat berbeda dengan dua konsep yang berkembang saat ini, yakni kapitalisme dan sosialisme. Kepemilikan harta dalam sistem kapitalisme mempercayai pemilik swasta atas alat produksi, distribusi dan pertukaran yang dikelola dan dikendalikan oleh individu atau sekelompok individu. Hak untuk memiliki harta secara tak terbatas itu dapat mengarah kepada konsentrasi kekayaan ditangan sedikit orang. Dalam hal ini akan mengganggu keseimbangan distribusi kekayaan dan pendapatan didalam masyarakat. Sistem ekonomi sosialisme kepemilikan negara atas semua kekayaan dan alat produksi merupakan ciri utama dari sistem ekonomi sosialis ini. Pemilikan harta oleh pribadi maupun swasta serta kepemilikan alat produksi, distribusi dan pertukaran semuanya dihapus dan sekuruhnya dikuasai oleh negara.[4]
Dalam ajaran Agama Islam sendiri mengenai kepemilikian harta menekankan tentang pentingnya memadukan antara pengakuan terhadap kepemilikan sosial (social property) dan kepemilikan pribadi (private property). Islam tidak menghendaki adanya gap di masyarakat dengan perbedaana status ekonomi yang sangat mencolok. Ajaran Islam memberikan kebebasan untuk memiliki harta, namun dengan tetap memperhatikan keseimbangan. Allah SWT memberikan harta kepada manusia antara lain untuk menjadi bekal hidupnya. Tanpa memiliki harta, manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya, karena tidak akan bisa manusia mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa harta.

Dengan adanya harta, bisa menjadi bentuk modal bagi manusia untuk melakukan segala perbuatan yang bernilai positif dan ibadah. Dalam hal ibadah sendiri, terdapat ibadah yang pelaksanaannya menggunakan harta, yaitu sedekah, zakat dan hibbah.[5]
Harta memiliki banyak fungsi. Harta dapat menunjukkan kegiatan manusia, baik dalam hal kebaikan ataupun keburukan. Banyak manusia yang selalu berusaha mendapatkan dan menguasai banyak harta dengan segala cara, baik yang secara syara’ agama atau bahkan yang tidak sesuai dengan syara’. Dalam hal ini fungsi harta yang sesuai dengan syara’ antara lain yaitu:[6]
·         Menjadi suatu kesempurnaan ibadah mahdhah
·         Dapat memelihara dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT
·         Menjadikan kehidupan lebih baik dan sejahtera
·         Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat
·         Bekal mencari dan mengembangkan ilmu
·         Sebagai modal ekonomi dalam kehidupan masyarakat demi kesejahteraan bersama
B.     Ayat Harta Benda Dalam Al-Qur’an
Banyak Ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang harta benda. Dari jumlah dan beragam makna harta dalam Al-Qur’an membuktikkan bahwa betapa besar perhatian Islam tehadap harta. Oleh karenanya, islam telah mengatur bagaimana caranya seorang muslim dapat memanfaatkan harta yang dimilikinya itu dapat dimanfaatkan secara baik. Salah satunya yaitu dalam Firman Allah SWT surat Al- Kahfi ayat 48:
وَعُرِضُواْ عَلَىٰ رَبِّكَ صَفّٗا لَّقَدۡ جِئۡتُمُونَا كَمَا خَلَقۡنَٰكُمۡ أَوَّلَ مَرَّةِۢۚ بَلۡ زَعَمۡتُمۡ أَلَّن نَّجۡعَلَ لَكُم مَّوۡعِدٗا  ٤٨
Artinya: “ Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu mengatakan bahwa Kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu  (memenuhi) perjanjian.”
Dari ayat diatas menyebutkan dua dari hiasan dunia yang seringkali dibanggakan manusia dan seringkali membuat lengah dan angkuh. Kata (اﻟﻤﺎل) mencangkup segala sesuatu yang kita miliki yang bersifat material. Baik berupa sawah, ladang, tanah, dan uang. Dari ayat disebutkan kata anak dan harta dengan Zinah atau hiasan yakni sesuatu yang dianggap baik dan indah. Karena dari harta sendiri ada unsur keindahan disisi lain selain bisa diambil kemanfaatannya. Demikian juga pada anak, disamping anak dapat membela dan membantu orang tua nya. DalamTafsir Al-Misbah, penamaan keduanya dengan kata Zinah jauh lebih tepat daripada menamainya dengan lafadz ﻗﯿﻤﺔ, karena dengan memiliki banyak harta ataupun keturunan lantas tidak menjadikan kita menjadi orang yang mulia atau berharga. Kemuliaan dan penghargaan hanya diperoleh melalui iman dan amal sholeh.[7]
Lafadz اﻟﺼﺎﻟﺤﺎت اﻟﺒﺎﻗﯿﺎت adalah dua kata yang berfungsi sebagai sifat dari sesuatu yang disifati. Dalam ayat  ini  sengaja  mendahulukan  kata  اﻟﺒﺎﻗﯿﺎت  atas  lafadz اﻟﺼﺎﻟﺤﺎت karena bermaksud dengan menggaris bawahi ketidak kekalan harta dan anak-anak yang hanya berfungsi sebagai perhiasan dunia. Sebagian ulama’ ada yang mengatakan lafadz اﻟﺼﺎﻟﺤﺎت اﻟﺒﺎﻗﯿﺎت adalah ucapan subhanaAllah wal hamdulillah Wa Laa illaha illAlla. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat tersebut yang dimaksud adalah sholat lima waktu. Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa lafadz Al- Baqiyatus Sholihatu ialah perkataan yang baik, sedangkan menurut Abdurrahman bin Zaid yang dimaksud adalah seluruh amal sholeh.[8]
Pada dasarnya semua harta yang ada ditangan manusia itu mutlak kepunyaan Allah SWT. Kepunyaan manusia snediri hanya bersifat relatif, sebatas melaksanakan amanah Allah SWT yang diamanahkan kepadanya untuk mengelola dan memanfaatkannya pada hal-hal yang baik,sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Al-Hadid ayat 7:
ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَأَنفِقُواْ مِمَّا جَعَلَكُم مُّسۡتَخۡلَفِينَ فِيهِۖ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَأَنفَقُواْ لَهُمۡ أَجۡرٞ كَبِيرٞ  ٧
Artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”
Lafadz ﻣﺴﺘﺨﻠﻔﯿﻦ dalam Tafsir Al-Misbah diterjemahkan dengan berwenang. Dari kata ﺧﻠﯿﻔﺔ yakni penguasa atau yang berwenang mengelola sesuatu. Penyusun Tafsir Al-Muntakhab menjelaskannya dengan maksud Dia titipkan kepada kamu. Memang kata Mustakhlafin terambil dari kata Khalafa yang berarti belakang atau siapa yang datang sesudah yang lain datang. Atas dasar itu Al-Jalalain misalnya, menjelaskan kata tersebut dengan harta orang-orang sebelum kamu dan yang akan kamu gantikan yakni dalam kepemilikan atau wewenang pengelolaannya oleh siapa yang datang setelah kamu.
Thaba’thaba’i mengemukakan dua makna. Salah satu makna tersebut merujuk pada kata Khalifah itu. apabila merujuk pada kata tersebut maka redaksi tersebut untuk menjelaskan manusia yang sebenarnya, dan hal tersebut akan mendorong seseorang untuk berinfaq, karena manusia sadar bahwa hartanya adalah milik Allah SWT dan tugas manusia hanyalah sebagai khalifah atas harta tersebut. Sedangkan makna kedua menurut Thaba’thaba’i mengacu kepada asal makna mustakhlaf yaitu khalaf yang berarti datang sesudah yang menyatakan bahwa sifat harta adalah berpindah dan beralih dari kita dan akan diambil oleh siapa yang datang sesudah kita, dan tidak wajar apabila kita mempunyai sifat kikir, karena pada hakikatnya bukan milik kita. Kita tidak lain seperti wakil-wakil yang bertugas memelihara saja.[9]
Dalam ayat tersebut sudah jelaslah bahwa pemilik mutlak atas harta adalah Allah SWT. Allah SWT memberikan hak dan kewajiban kepada manusia untuk memepergunakanya dengan sebaik mungkin. Salah satu karakteristik ekonomi islam mengenai harta terutama dalam hal pemanfaatannya atau distribusi yang tidak terdapat dalam ekonomi kapitalis maupun sosialis adalah zakat. Diluar Islam, sistem perekonomian tidak mengenal tuntutan Allah SWT kepada pemilik harta agar menyisihkan sebagaian dari harta kita dengan tujuan untuk pembersihan jiwa dari  sifat kikir, dengki, dendam dan sifat buruk lainnya. Sedangkan dalam ekonomi konvesional sendiri pemerintah memperoleh pendapatan dari hasil pajak, bea cukai, dan pungutan. Maka islam memperolehnya degan zakat, jizyah dan kharaj.[10] 
C.    Kedudukan Harta Benda Dalam Al-Quran
Kata mal dalam Alquran disebut sebanyak 86 kali pada 79 ayat dalam 38 surah. Satu jumlah yang cukup banyak menghiasi sepertiga surahsurah Alquran. Dari 86 kata mal itu terdapat 25 kata berbentuk mufrad dengan berbagai lafal, selanjutnya 61 kali dalam bentuk isim jama’ (amwal) dan jumlah ini belum termasuk katakata yang semakna dengan mal seperti rizq, mata’ dan kanz (perbendaharan) Penyebutan berulang-ulang terhadap sesuatu di dalam Alquran menunjukkan adanya perhatian khusus dan penting terhadap sesuatu itu. Dengan demikian harta memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam Alquran, salah satu ayat Alquran yang berkaitan dengan kedudukan harta terdapat pada surah Al-Kahfi ayat 46:
ٱلۡمَالُ وَٱلۡبَنُونَ زِينَةُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱلۡبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيۡرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابٗا وَخَيۡرٌ أَمَلٗا  ٤٦
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Kata kunci
Al-malu :Harta
Banuna :Anak-anak
Zinatu : Perhiasan.[11]
Kata Al-Mal yang di posisikan sebagai zinah, berfungsi sebagai perhiasan dunia yang kerap melalaikan manusia dari mengingat Allah SWT. Allah Swt menjelaskan bahwa yang menjadi kebanggaan manusia di dunia ini adalah harta benda dan anak-anak, karena manusia sangat memperhatikan keduanya. Banyak harta dan anak dapat memberikan kehidupan dan martabat yang terhormat kepada orang yang memiliknya. Namun karena harta dan anak pula orang menjadi takabbur dan merendahkan orang lain. Allah Swt menegaskan bahwa keduanya hanyalah perhiasan hidup duniawi. Padahal manusia sudah menyadari bahwa keduanya akan segera binasa dan tidak patut dijadikan bahan kesombongan.
Beberapa kali  Allah Swt telah menyebutkan di dalam Al-Qur’an tentang harta baik dalam kalimat “ Amwaluhum” (harta mereka ) atau kata “Amwalakum” (hartamu), menjadi kedudukan yang sangat kuat dalam hukum Islam. Maka harta tersebut harus dipergunakan dan dimanfaatkan dalam semua aspek kehidupan. Dalam persoalan yang membahas tentang harta, manusia memikul tanggung jawab yang sangat besar untuk  melaksanakan milik Tuhan itu sebagai sebuah amanah yang tak boleh disia-siakan tetapi harus dimanfaatkan dengan baik.
Islam juga menentukan sampai di mana batasan hak milik harta tersebut. Telah di wajibkan  oleh Allah Swt untuk harta itu ditugaskan untuk hal-hal yang sangat berguna. Batasan  dalam mempergunakan harta benda harus menyeluruh berlaku bagi setiap orang, baik Muslim ataupun Non Muslim.[12]
Dalam urutan ayat ini harta didahulukan dari anak, padahal anak lebih dekat ke hati manusia, karena harta sebagai perhiasan lebih sempurna dari pada anak. Harta dapat menolong orang tua dan anak setiap waktu dan dengan harta itu pula kelangsungan hidup keturunan dapat terjamin. Kebutuhan manusia terhadap harta lebih besar dari pada kebutuhannya kepada anak, tetapi tidak sebaliknya.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir Al-Misbah mengomentari ayat di atas menyatakan, setelah ayat yang lalu melukiskan keadaan dan sifat dunia dengan segala gemerlapnya. Ayat ini menyebut dua dari hiasan dunia yang seringkali dibanggakan manusia dan mengantarnya lengah dan angkuh.
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Kesemuanya tidak abadi dan bisa memperdaya            manusia, Tetapi amal yang kekal karena dilakukan karena Allah Swt lagi saleh, yakni sesuai dengan tuntunan agama dan bermanfaat adalah lebih baik untuk kamu semua pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik dan lebih dapat diandalkan untuk menjadi harapan.
Selanjutnya penggunaan terminologi Al-Baqiyat Al-Shalihat di ujung ayat tidak dimaksudkan untuk meremehkan anak dan harta. Penggunaan kata Al-Baqiyat yang bermakna kekal hanya ingin membuat perbandingan. Jika ingin meraih kebahagiaan dunia, harta dan anak-anak merupakan sebuah keniscayaan. Hanya saja jika yang ingin di peroleh adalah kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan bersama Allah Swt, pilihlah satu-satunya adalah amal saleh. Andaipun ia menggunakan hartanya sebagai media amal saleh itu bukan disebabkan oleh hartanya, melainkan oleh amalnya yang mensedekahkan atau menginfakkan hartanya. Kendati pun ia memiliki anak yang saleh, itu juga hasil dari amalnya dalam upaya membentuk anak- anak yang saleh.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa harta merupakan bagian penting dari kehidupan yang tidak dipisahkan dan selalu diupayakan oleh manusia dalam kehidupannya terutama di dalam Islam. Setiap manusia memerlukan adanya harta, ia adalah penopang bagi kehidupan di dunia. Selain itu ia juga menjadi penolong sekaligus beban bagi para pemiliknya di akhirat kelak. Tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan harta. Bahkan seseorang rela pergi pagi pulang petang hanya untuk mendapatkan harta. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan nyawa melayang hanya karena memperebutkan harta. Setiap orang pada dasarnya menyenagi harta sebagaimana disebutkan Alquran dalam surah Al-Fajr ayat 20:
وَتُحِبُّونَ ٱلۡمَالَ حُبّٗا جَمّٗا  ٢٠
Artinya: “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.”
Karena cintanya yang berlebihan terhadap harta, maka banyak orang siap melakukan apa saja (penipuan, penggelapan, pencurian, perjudian, penyuapan,perampokan, korupsi, dan lain-lain). Namun demikian, Alquran memberikan rambu- rambu tertentu untuk memperoleh harta. Salah satu yang perlu di catat, lewat ayat ini, Alquran tidak hanya menyatakan harta itu penting tetapi juga mengakui bahwa harta itu adalah zinah atau perhiasan. Karenanya setiap orang akan berjuang untuk mendapatkan harta tersebut, tentunya dengan cara-cara yang dibenarkan syariat. Harta dalam pandangan Islam adalah sebagai wasilah atau sarana untuk mencapai kebaikan dan perhiasan hidup serta sendi kesejahteraan dan kemaslahatan hidup manusia. Harta menempati kedudukan yang sangat penting, Islam menempatkan harta sebagai salah satu dari lima kebutuhan pokok dalam kehidupan yang harus dipelihara (Ad- Dharuriyah Al-Khamsah).
Ad-dharuriyah Al-khamsah secara berurutan meliputi memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta.Meskipun harta menempati urutan kelima dari semua aspek Ad-Dharuriyah Al-Khamsah, ia sesuatu yang urgen dalam memelihara keempat aspek lainnya. Misalnya melaksanakan shalat sebagai bentuk perwujudan memelihara agama membutuhkan pakaian untuk menutup aurat. Makan dan minum dalam rangka memelihara jiwa dapat dipenuhi dengan harta.
Memelihara keturunan dengan melaksanakan pernikahan itupun di capai dengan harta. Memelihara akal dengan cara menuntut ilmu adalah dengan harta. Jadi, harta merupakan sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan manusia.[13]
D.    Pendistribusian Harta Dalam Al-Qur’an
Keadilan dan kesejahteraan masyarakat tergantung pada sistem ekonomi yang dianut. Dasar karakteristik pendistribusian adalah adil dan jujur, karena dalam Islam sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan semua akan dipertanggungjawabkan di Akhirat kelak. Apabila terjadi ketidakseimbangan distribusi kekayaan, maka hal tersebut akan memicu timbulnya konflik individu maupun sosial.
Islam menegaskan untuk para penguasa, agar meminimalkan kesenjangan dan ketidakseimbangan distribusi. Dalam distribusi sendiri mempunyai beberapa prinsip. Pertama, prinsip pemerataan yang bersandar kepada nilai keadilan, supaya tidak terjadi ketimpangan dalam ekonomi harus ada pemerataan distribusi kekayaan bersandar kepada nilai-nilai keadilan. Kedua, prinsip menjaga hak orang lain. Dengan prinsip mendistribusikan kekayaan kepada yang berhak menerima, maka tidak akan terjadi penguasaan terhadap hak orang lain dan tidak akan terjadi kedzaliman dan tindakan penindasan orang yang kuat kepada orang yang lemah.
Ada beberapa bentuk-bentuk distribusi kekayaan dalam Al-Qur’an, yaitu:
·         Distribusi warisan
·         Ditribusi wasiat dan hibah
·         Distribusi dalam bentuk jual beli
·         Distribusi harta rampasan perang
·         Distribusi shadaqah dan waqaf[14]
E.     Sikap Manusia Terhadap Harta
Berdasarkan ayat-ayat telah menjelaskan tentang harta terdapat beberapa ayat yang berkenaan dengan sikap manusia terhadap harta, antara lain :

1.      Sangat cinta  terhadap harta
Mencintai harta sudah menjadi hal yang sangat lazim bagi manusia. Hal ini telah Allah terangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Fajr [89]:20:
وَتُحِبُّونَ ٱلۡمَالَ حُبّٗا جَمّٗا  ٢٠
Artinya; “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.”
Pada ayat ini, kata hubbun jamma menurut Al-Qurtubi, kata tersebut dimaknai dengan kecintaan terhadap harta yang sangat mendalam , baik harta tersebut didapat dengan jalan yang halal maupun dengan jalan haram sekaligus.
Dari penafsiran tersebut, dapat diambil kesimpulannya bahwa manusia tidak di perkenankan menyukai dan mencintai harta di luar batas kewajaran. Sebab apabila manusia terpedaya oleh banyak nya harta , mereka akan menghalalkan segala jalan untuk mendapatkan harta tersebut demi disebut sebagai orang yang sukses.
2.      Suka mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya
Diantara sifat tercela manusia adalah sering kali mengupulkan harta dan selalu menghitungnya. Allah secara tegas telah mencela orang-orang yang sering menghitung hartanya sebagai bentuk ekspresi cinta yang luar biasa terhadap harta, sebagaimana yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an surat al-Humazah [104]:1-3 sebagai berikut :
وَيۡلٞ لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ  ١ ٱلَّذِي جَمَعَ مَالٗا وَعَدَّدَهُۥ  ٢ يَحۡسَبُ أَنَّ مَالَهُۥٓ أَخۡلَدَهُۥ  ٣
Artinya: “Kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela,Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya.”
Secara tematik, ungkapan ayat tersebut berbicara tentang celaan terhadap orang-orang yang suka mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Mereka berasumsi bahwa harta yang mereka cintai dapat mengkekalkannya dalam kehidupan mereka di dunia, pada nyata nya harta tersebut tidak mengkekalkan. Pandang tersebut merupakan prinsip yang sangat keliru.
3.      Berbangga dengan harta
            Berbangga dengan harta dan perhiasan dunia sudah mendarah daging di hati manusia. Seperti firman Allah Swt yang telah termaktub dalam Al-Qur’an surat al-Hadid [57]:20 sebagai berikut ;
ٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞ وَزِينَةٞ وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٞ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِۖ كَمَثَلِ غَيۡثٍ أَعۡجَبَ ٱلۡكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصۡفَرّٗا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمٗاۖ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٞ شَدِيدٞ وَمَغۡفِرَةٞ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٞۚ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ  ٢٠
          Artinya:  “ Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam- tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”[15]
       Menurut M Quraish Shihab dalam kitab nya Tafsir al-Misbah, memahami ayat ini sebagai gambaran dari awal proses perkembangan manusia hingga mencapai dewasa. Kata la’ib pada ayat ini merupakan gambaran dari keadaan bayi yang merasakan lezatnya permainan, walaupun ia sendiri melakukan nya tanpa mengerti apa tujuannya kecuali bermain. Kemudian kata al-lahwu yang bermakna kelengahan, sering dilakukan oleh semua anak-anak. Sedangkan kata al-zinah berarti sebuah perhiasan , yang kerap kali dilakukan oleh pemuda dan remaja karena mereka mempunyai kebiasan suka berhias.
          Kata tafakkur berarti berbangga, sikap ini juga sudah menjadi watak yang sering dilakukan oleh kaum pemuda. Kemudian kata selanjutnya yaitu takatsur fi’i-amwal wa’l-awlad berarti suka memperbanyak harta dan anak, pelakunya adalah orang dewasa.[16]
4.      Sikap bakhil tentang harta
Sikap bakhil terhadap harta berarti menahan sesuatu yang semestinya menjadi hak orang lain. Perilaku ini mencul atas dasar manusia yang terlalu mencintai harta yang tidak menjaminnya hidup kekal diakhirat nanti nya.

Allah Swt telah berfirman dalam Qs Ali- Imran [3]:180:
وَلَا يَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ هُوَ خَيۡرٗا لَّهُمۖ بَلۡ هُوَ شَرّٞ لَّهُمۡۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِۦ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ وَلِلَّهِ مِيرَٰثُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ  ١٨٠
Artinya: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Pada hakikatnya harta yang banyak sangatlah sedikit sekali bila dilihat dari sudut pandang Allah Swt. segala sesuatu yang ia dapatkan kemudian akan habis terpakai dan hancur seiring dengan berjalan nya kenimatan dunia. Sesungguh nya harta adalah sesuatu yang diinfakkan menjadi sebuah tabungan kelak di akhirat nanti.[17] 

Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari pemaparan paper berjudul
"Harta Benda Perspektif Al-Qur’an [1] ( Study Tafsir Ayat Ekonomi )"







[1] Yusuf Qardhawi, Norma Dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta: Gema Insani, 1997).74
[2] Dahlia Haliah Ma’u, Harta Dalam Perspektif Al-Qur’an (Manado: STAIN Manado, 2013).88
[3] Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi (Medan: IAIN Medan, 2012).90
[4] Achmad Fathoni Hermansyah, Kedudukan Harta Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadist (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2018).109
[5] Toha Andiko, Konsep Harta Dan Pengelolaannya Dalam Al-Qur’an (Bengkulu: IAIN Bengkulu, 2016).65
[6] Dahlia Haliah Ma’u, Harta Dalam Perspektif Al-Qur’an............... 90
[7] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002).70
[8] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta: Gema Insani, 2000).142
[9] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan Dan Keserasianal-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002).16
[10] Muhammad Subhan, Konsep Harta Perspektif Ekonomi Islam (Lamongan: Universitas Islam Lamongan, 2016).269
[11] Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).161
[12] Djamal’uddin Ahmad Al-Buny, Problematika Harta Dan Zakat, II (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983).23-25
[13] Sarmiana Batubara, ‘Harta Dalam Perspektif Alquran, Jurnal Imara’, II (2018).
[14] Taufik Hidayat, Konsep Pendistribusian Kekayaan Menurut Al-Qur’an (Air Molek: STAIN Nurul  Falah, 2017).123
[15] Eko Zulfikar, ‘“Telaah Kritis Makna Harta Batil Dalam Al-Qur’an :Diskursus Agar Tidak Mendapatkan Harta Dengan Cara Haram Dan Ilegal."’, IAIN Tulungagung, 6–8.
[16] Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan Dan Keserasianal-Qur’an.........40
[17] Zulfikar.......9

Minggu, 15 Maret 2020

Part 1: Kuliah Semantika Kelas B


Setiap orang, melihat sebuah tanda menyimpulkan dengan istilah yang berbeda. Saussure mempunyai istilah penanda (signifier) dan petanda (signified). Pierce memiliki istilah Simbol, Ikon dan Indeks. Simak pemaparan pemakalah sebagai berikut:
Menurut Ferdinand de Saussure tanda merupakan kesatuan integral antara dua bidang, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified).[1] Sisi pertama disebut dengan penanda atau bisa disebut dengan signifier. penanda merupakan aspek material dari sebuah tanda. Sedangkan sisi yang kedua yaitu petanda atau disebut dengan signified yaitu sebuah konsep mental, misalnya saat seseorang menyebutkan kata “kucing” yang mana kata tersebut disusun dari penanda (k-u-c-i-n-g) adalah apa yang terkesan pada pendengar, tapi bukanlah kucing yang sebenarnya melainkan sebuah konsep tentang “kucing”. [2]
Adapun tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks yaitu tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat.
Perbedaan istilah tersebut, tentu membuat berkecamuk bagi pemerhati al-Quran ketika menerapkannya, manakah yang sebenarnya penanda (signifier) dan petanda (signified) atau Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks.
Berikut adalah Contoh ayat al-Qur’an merupakan kitab tanda, yaitu : Q.S Al-Anfal ayat 60:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ.
Artinya: Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu milliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh-musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetpi Allah mengetahuinya. Apa saja yang infakkan dijalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan didholimi (dirugikan). (QS. Al-Anfal : 60)
Dalam ayat tersebut yang menunjukkan tanda adalah kata تُرْهِبُونَ yang mana berasal dari susunan huruf رهب yang berarti takut atau gentar. Sedangkan menurut mayoritas mufashir kata تُرْهِبُونَ yang berarti mei tanda, kemudian tanda itu akan dihubungkan dengan objek yang dapat berupa kekuatan militer. Sehingga akan memunculkan sebuah interpretan yaitu tindakan menakut-nakuti yang disertai dengan pengerahan kekuatan militer. Penjelasan tersebut adalah hubungan tanda oleh keterkaitan antara tiga aspek yaitu : representamen, objek, dan interpretan. Lafal turhibun yang menghasilkan pemaknaan menakut-nakuti dengan kekuatan militer menurut Pierce akan di transformasikan menjadi tanda baru yang dibuhungkan dengan objek berupa “meneror”. Hasil pemaknaan dari penghubungan tersebut yaitu menakut-nakuti yang disertai dengan tindakan teror.[3]

Bagaimana menurut kalian tentang penerapan tanda dalam memahami ayat al-Quran yang telah dilakukan oleh pemakalah di atas?


[1] Fadhli Lukman, Pendekatan Semiotika dan Penerapannya Dalam Teori Asma’ Al-Qur'an, Jurnal Religia, Vol. 18 No. 2, Oktober 2015. hlm.216
[2] Nasrul Syarif, Pendekatan Semiotika Dalam Studi Al-Qur’an, An-Nida’: Jurnal Prodi KPI, P-ISSN: 2354-6328 E-ISSN: 2598-4012, hlm. 99
[3] Doni Burhan Noor Hasan,...hlm. 557

Part 1: Semantik Kelas A

Salah satu pendekatan yang ditawarkan oleh Linguistik umum adalah pendekatan Sinkronik dan Diakronik. Coba lihat pemaparan pemakalah sebagai berikut:


Sinkronik merupakan dimensi yang sifatnya statis, dan dilakukan dengan memperhatikan aspek Fonologis, Morfologis, dan Sintaksis. Analisis secara mendalam menjadi syarat wajib dalam cara kerja pendekatan ini, dengan analisis yang dilakukan diharapkan dapat menguraikan makna sebuah kata lebih dalam. Saussure dalam teori linguistiknya,  mengisyaratkan bahwa yang dituju dari pendekatan Sinkronik adalah metode analitik, sehingga dalam mencari makna sebuah kata dilakukan dengan menganalisis keterkaitan antar elemen teks.[1] 

Sedangkan diakronik adalah dimensi sekumpulan kata yang hidup dan berubah dengan kriteria tertentu. Dalam metode diakronik, waktu merupakan rukun wajib dalam cara kerja metode ini, dimana salah satu hal yang dilakukan adalah melakukan perbandingan bahasa antara zaman dahulu dengan sekarang, untuk mengetahui pertumbuhan makna sebuah kata.
 
Ada yang dapat menyimpulkan, Sinkronik dan Diakronik secara sederhana dan kegunaannya dalam memahami al-Quran?

[1] Ahmad Mujahid, “Makna Sinkronik-Diakronik Kata ‘Usr Dan Yusr Surat Al-Insyirāh” 22 (2019).hal. 102-103