Oleh
: M. Achwan Baharuddin
Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Mujadilah: 11)
A. Pendahuluan
Ramadhan adalah bulan istimewa bagi umat Islam, tidak terkecuali di
dusun corogo. Sebuah pedusunan kecil yang terletak di pinggiran timur kota
Jombang sekitar 10 KM. Pada umumnya, umat islam menyambut bulan istimewa dengan
membuat kegiatan-kegiatan yang hanya bisa ditemui pada bulan ini saja, seperti
buka bersama, tadarrusan, kultum, dan sebagainya. Setiap tahunnya, gegap
gempita Ramadhan selalu diiringi dengan berbagai pengulangan ajaran normatif
oleh para penceramah, seperti terhapusnya dosa selama setahun jika berpuasa
karena Allah SWT, keutamaan Ramadhan dibandingkan bulan-bulan lainnya,
keutamaan membaca al-Quran dan sebagainya.
Terlepas dari dogmatisasi kegiatan ramadhan, sesungguhnya kegiatan
tersebut secara tidak sadar melahirkan sebuah strata kelas (meminjam istilahnya
Mark). Strata itu, secara a priori terlahir dari strata ekonomi yang
ada. Namun demikian, melihat fenomena masyarakat tidak hanya cukup kepada level
tersebut, kita harus melangkah kapada a posteriori sehingga pengetahuan
itu tidak bersumber kepada praduga.
Untuk menjembatani dua kutub tersebut kepada dua sintesis yang
“cukup adil”, maka kita harus lebih dahulu mempunyai kesadaran bahwa fenomena
yang ada tidak sesederhana demikian. Mudjahirin Thahir(2011:39) mengatakan,
bahwa realiats sosial memiliki 5 dimensi atau lapisan, yaitu empirik, simbolik,
makna, ide dan world view. Dengan demikian, realitas itu sebenarnya sederhana,
namun begitu rumit dan pelik untuk dipahami.
Salah satu tujuan penulisan ini adalah mengungkap lapisan realitas
Ramadhan yang ada. Pada awalnya, realitas tersebut tidak berarti apa-apa, hanya
masalah soal strata ekonomi belaka, sampai pada perjumpaan dengan antropologi
melahirkan berbagai pertanyaan dan persoalan yang harus dijelaskan. Salah
satunya adalah pembuktian apakah benar strata itu berdasarkan ekonomi? Atau ada
hal lainnya yang sesungguhnya tersembunyi dalam membentuk fenomena demikian.
B. Kerangka Teori
Penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz pada masyarakat jawa
telah menjadi primadona bagi peneliti antropologi pemula. Hasil penelitiannya
yang dibukukan dan diterjemahkan sebagai Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa, menyatakan bahwa masyarakat jawa terdiri dari tiga kelas;
abangan, santri, priyayi, cukup menarik perhatian. Ketertarikan tersebut
berdasarkan pada sebuah pertanyaan sejauh mana relevansi teori Geertz tersebut
pada masyarakat jawa saat ini, terutama masyarakat Muslim yang ada di
pedusunan?
Acuan dasar dari pertanyaan tersebut adalah fondasi dasar yang coba
dikembangkan oleh Madzab Frankfut dalam melihat realitas sosial. Bagi mereka,
kategori-kategori teoritik yang digunakan dalam menganalisa fenomena sosial
tidak lebih dari ketergantungan kategori-kategori tersebut yang terikat dengan
waktu dan tempat (Ritzer dan Smart, 2012:354). Dengan demikian,
kategori-kategori tersebut bersifat relatif dan dapat berubah maupun
berkembang.
Alasan yang diberikan oleh Madzab Frankfut adalah bahwa ilmu dan
teori itu ada dalam masyarakat (Ritzer dan Smart, 2012:355). Dalam artian,
bahwa keadaan masyarakat yang relatif-tentatif-homogen menunjukkan perbedaan,
perubahan dan perkembangan menuntut sebuah teoritiasasi mengikutinya, bukan
sebaliknya, yaitu masyarkat mengikuti teori-teori yang sudah ada. Dengan
demikian, perkembangan keilmuan mengikuti perkembangan masyarakat, baik dari
sisi kondisi tempat maupun waktunya.
Oleh karena itu, kategorisasi orang jawa yang dilakukan oleh Geertz
memerlukan sebuah proses pengujian untuk teorinya.[1] Hal ini
tidaklah hal yang baru, khususnya dalam Islamic Studies kontemporer, proses
pengujian teori-teori yang sudah ada sehingga hal itu dapat diterima dan
digunakan sebagai teori dalam melihat fenomena terkini, salah satunya adalah
prinsip abduktif.[2]
Amin Abdullah (2012:160) mengatakan, setidaknya dalam Islamic Studies ada tiga
tahap perkembangan epistemologis, induktif, deduktif dan abduktif.
C. Pembahasan
1. Mengurai Kegiatan Ramadhan
Seperti yang sudah dipaparkan dalam pendahuluan, bahwa Ramadhan di
dusun Corogo seperti halnya Ramadhan pada umumnya. Nuansa islami begitu terasa
disetiap sudut dusun kecil ini, dari adanya beberapa kegiatan terawih,
tadarrus, sampai pada persoalan duniawi, seperti adanya bersih-bersih desa dan sebagainya. Meskipun begitu, adanya
subjektivitas penulis sebagai warga sehingga beberapa kegiatan tersebut
seolah-olah hal yang wajar pada umumnya. Beberapa kegiatan yang penulis ikuti
seperti pengajian menjelang buka, shalat
tewarih dan pembagian sedikit rejeki kepada tetangga juga mendapatkan penilaian
penulis pada awalnya merupakan sebuah kegiatan yang wajar pada umumnya dan
tidak ada menariknya. Orang-orang berbondong ke Mushollah, salah satunya
Mushollah Nurul Iman, yang ada di RT 01/08, pada jam 16.45 wib. Berdasarkan
pengamatan, ada beberapa orang yang mendahului pergi ke Mushollah untuk
memberikan tanda kepada warga bahwa kegiatan itu segera dimulai.
Bapak Abu Rahmah Adhami dan Bapak H. Adam Malik, dua orang yang
secara bergantian untuk memberikan tanda kepada warga bahwa kegiatan itu segera
dimulai. Selain itu, ada Ibu Umi Karimah dan Ibu Sholihatun juga memberikan
tanda sebagaimana kedua bapak-bapak tadi. Meskipun sama-sama sebagai petanda,
namun tanda yang dihasilkan oleh mereka berbeda. Bagi kedua tokoh laki-laki
diatas, setiap jam 16.30 memulai bacaan shalawat di Mushollah dengan pengeras
suara dan di tutup dengan kalimat,
“monggo poro bapak-ibu warga corogo
lor, bileh kegiatan pengajian dipun wiwite amergi waktu sampun jam 16.30 wib”.
Dari tanda tersebut dan jarak sekitar 5 menit, maka pengajian
dengan Uztadz Helmi pun dimulai. Lain halnya dengan para bapak, kedua tokoh
wanita diatas memberikan tanda mulai dari keluar rumah masing-masing sampai
dengan mushollah, setiap orang, terutama wanita, yang dijumpai disapa dengan,
“monggo yuk....ayo bi....nang
mushollah, ngajine wes dimulai”.
Pada hakikatnya, dua tanda tersebut sama, yaitu mengajak para warga
sekitar untuk mengikuti pengajian yang diadakan di Mushollah Nurul Iman. Oleh
karena itu, opini yang terbentuk dari kegiatan tersebut, terutama bagi penulis,
adalah sebuah kegiatan umum yang ada dalam masyarakat islam dimana ada sebuah
tokoh yang memerankan sebagai “malaikat jibril” yang bertugas untuk
mengingatkan kepada manusia.
Lebih jauh, kegiatan tersebut juga berjalan normal adanya. Desain
Mushollah Nurul Islam yang mendukung untuk di pisah antara jamaah pengajian
putra dan putri juga indikator keumumannya. Selain itu, para jamaah juga duduk
melingkar sehingga posisi tengah mushollah dibiarkan kosong. Bagi para jamaah
yang mempunyai anak kecil, posisinya diluar ruangan (teras mushollah), sehingga
aktivitas anaknya tidak mengganggu konsentrasi pengajian yang sedang
berlangsung.
Namun demikian, ketika suatu hari penulis datang terlambat,
tepatnya pada 13 Ramadhan, sehingga memaksa untuk duduk diluar-hal ini juga
dikarenakan sudah penuhnya jamaah yang ada didalam. Seorang wanita, mbah Isa
namanya, nyeletuk
“mas...monggo kedalem, ten mriki panggonane wadon-wadon” (Mas, masuk
kedalam ruangan saja, diluar itu tempatnya wanita)
Perkataan Mbah Isah pun
disetujui oleh Ibu Anik
“iyo mas....mlebet mawon, mriki
panggonane ibu-ibu” (Ya mas, masuk saja, disini tempatnya ibu-ibu).
Oleh karena itu, pengetahuan posisi, bahkan di Mushollah di dusun
kecil pun, akan menyelematkan seseorang dari pandangan-pandangan negatif.
Tetapi, sebelum beranjak ke dalam Mushollah, seorang laki-laki juga datang
terlambat. Berbeda dengan sambutan yang diterima oleh penulis, laki-laki itu
datang mengetahui bahwa salah satu sudut tempat yang dijadikan duduknya telah
ditempati oleh seorang wanita, meskipun tempat duduk itu juga ada diluar
Mushollah.
“minggir-minggir, iki panggonku” (beranjaklah
dari tempat dudukmu, itu tempat duduk saya)
“gak iso, iki gone wong wadon, teko
keri ngusir” (tidak bisa, ini adalah area
wanita, kamu juga datangnya terlambat tetapi menyuruh orang pergi)
“wes, pokok e minggir” (saya tidak tahu-menahu, kamu harus pergi)
“kene, lunggoh jejer ku ae nek
ngunu” (sebelah sini, duduk disebelah saya
kalau masih ingin duduk disini)[3]
Tentunya, percakapan tersebut juga sederhana dan biasa, namun jika
dipahami lebih jauh bahwa percakapan tersebut merupakan perdebatan opini yang
dimiliki oleh mereka berdua. Pemahaman atas opini seperti demikian juga pernah
terjadi sebelum dan sesudahnya, yaitu jika
laki-laki terlambat maka dia langsung masuk ke dalam Mushollah dengan tidak
menghiraukan apakah didalam sudah penuh atau tidak. Hal ini juga terjadi pada
beberapa tokoh penting Dusun Corogo jika datang terlambat, baik dari tokoh
laki-laki maupun wanita.
2. Mengenal Masyarakat Dusun Corogo
Dusun Corogo merupakan sebagian wilayah administrasi dari Desa
Janti, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang. Selain Corogo, wilayah
administrasi Desa Janti melingkupi Dusun Gereh, Janti Tengah dan Janti Barat.
Berbeda dengan beberapa wilayah administrasi lainnya, Dusun Corogo merupakan
wilayah yang terpisah dari Janti secara geografis dimana bentangan sawah beberapa
hektar memisahkannya.
Selain persoalan geografis, Corogo memiliki budaya yang berbeda
dari pada dusun lainnya yang masih dalam wilayah administrasi Desa Janti. Salah
satunya adalah sisi ekonomi. Secara ekonomi, warga masyarakat Corogo jauh
berbeda dengan dusun lainnya dimana sebagian masyarakatnya terkategori
masyarakat menengah kebawah. Untuk mencukupi kebutuhan ekonominya, para warga
banyak yang menjadi buruh sawah di alam sekitar.
Pada pagi hari setelah melaksanakan shalat subuh, mereka sudah
berhamburan keluar rumah untuk pergi ke sawah, baik untuk melakukakan panen,
nandur, mengontrol atau bahkan hanya sekedar mengairi sawah. Dalam kacamata
Geertz, tentunya fenomena ini digolongkan kepada tipologi abangan dimana
kehidupan kesehariannya tidak dapat dilepaskan dari kegiatan di sawah.
Hal ini dikarenakan sawah merupakan salah satu tempat untuk mencukupi
kebutuhan ekonominya. Selain sawah, bagi para pekerja sawah juga
melakukan kegiatan ekonomi di pasar dan kota.
H. Adam Malik, salah satu tokoh sentral dalam kegiatan pengajian
Ramadhan, di pagi Hari pergi ke sawah, pada siang hari sudah berpindah
ke pasar. Tentunya, bagi Adam, sawah dan pasar memiliki posisi
yang sama, yaitu sumber ekomominya. Hal yang sama dilakukan oleh Sunarto, di
pagi hari ke sawah dan siangnya menjadi pekerja bangunan di kota. Ketika
musim yang menuntut mereka berdua lebih banyak waktu di sawah, seperti
musim panen dan tandur, maka mereka meninggalkan kegiatan di pasar dan
bangunannya.[4]
Meski demikian, beberapa warga ada yang menjadikan sawah sebagai sumber
tunggal ekonominya, hal ini diwakili oleh Rojali dan Kusnan. Mereka berdua,
kehidupannya tidak dapat dilepaskan dengan kegiatan di sawah, sehingga
jika sawah tidak ada kegiatan maka mereka tidak mempunyai kesibukan.
Disamping sawah dan pasar sebagai sumber kehidupan
ekonomi, terdapat beberapa warga dusun yang menjadikan birokrasi, kantor,
pabrik, pendidikan dan wirausaha sebagai sumber ekonominya. Abu Rahmah Adhami
dan Umi Karimah, misalnya, menjadikan pendidikan sebagai sumber ekonominya,
meskipun mereka bukan dibesarkan dari keluarga yang memiliki pendidikan sebagai
konsentrasinya. Abu Rahmah dan Umi Karimah sama-sama sebagai Guru Professional
di SMK N dan SMP N salah satu di kota tersebut. Bagi mereka, meski tidak
dibesarkan oleh keluarga yang berpendidikan, mereka menganggap hal itu penting
dan dapat memberikan kehidupan yang berbeda.
Selain mereka berdua, Saifuddin juga
merupakan warga yang menjadikan pendidikan sebagai sumber ekonominya. Saifuddin
bekerja sebagai staff pengajar salah satu kampus ternama di Propinsi Jawa Timur
dan tidak mempunyai kesibukan selain mengajar. Kumala Dewi, sebagai istri dari
Saifuddin, juga tidak memilki kesibukan kecuali menjadi Ibu Rumah Tangga.
Sistem keluarganya merupakan warisan pendidikan yang diberikan oleh orang
tuanya, yaitu Hj Sholihatun-H.Sofjan Hadi dimana keduanya merupakan tokoh dusun
Corogo.
Birokrasi diwakili oleh Fuad
Hasanuddin dan M Eksan Wahyudi dimana keduanya sumber ekonominya tidak dapat
dilepaskan dari birokrasi. Fuad sebagai kepala pedukuhan sehingga waktu
kesehariannya dihabiskan di kelurahan. Sedangkan Eksan, meski bukan petugas desa,
dia merupakan salah satu warga yang
peduli dengan isu-isu sensitif birokrat, baik di pedukuhan, desa, kecamatan,
kabupaten, propinsi maupun negara.
Selain beberapa sumber ekonomi diatas, sebagian masyarakat Corogo
menjadikan pabrik dan wirausaha. Masyarakat buruh pabrik ini diwakili oleh
Masyithah, Habibah, Nana dan sebagainya dimana rata-rata mereka mengenyam
pendidikan sampai SMP-SMA sederajat. Sedangkan wirausaha diwakili oleh
Saifullah, Andri, Lutfi, Udin dan sebagainya dimana mereka sama-sama hanya
mengeyam pendidikan sampai SMP-SMA, namun tidak tertarik dengan dunia buruh
pabrik.
Sedangkan secara religiusitas, tipoli masyarakat Corogo tidak
begitu menonjol. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan Mushollah diluar bulan
Ramadhan tidak begitu ramai seperti halnya kegiatan di Mushollah bulan
Ramadhan. Beberapa warga yang menjadikan
rutinitas jamaah ke Mushollah, seperti Mulyono, H. Adam Malik, Hj. Sholihatun,
Syamsuddin, Mar’ah, Isa, Wagirin, Syafi’i dan sebagainya. Beberapa orang
tersebut dalam kegiatan Ramadhan tidak menonjol kecuali beberapa orang. Seperti
H. Adam Malik, baik dalam maupun diluar Ramadhan, selalu hadir dalam setiap
kegiatan di Mushollah. Keaktifan tersebut dapat dilihat dari posisinya ketika
pengajian Ramadhan, disamping sebagai orang yang berperan memberikan tanda akan
dimulainya pengajian, H. Adam juga selalu menempati posisi duduk dideretan
paling depan sejajar dengan penceramah.
Hal itu juga terjadi pada Hj. Shalihatun dimana dia selalu duduk
sejajar dengan penceramah, meski pada wilayah wanita. Hal serupa juga dialami
oleh Umi Karimah. Tetapi, perbedaan keduanya terletak pada sisi religiusitas
diluar Ramadhan dimana Hj. Shalihatun selalu hadir dalam kegiatan Mushollah,
sedangkan Umi Karimah hanya beberapa momen kegiatan. Kondisi Umi Karimah juga
sama dengan yang dialami oleh Abu Rahmah Adhami, meski pada kegiatan pengajian
Ramadhan menduduki posisi yang sama dengan H. Adam, tetapi diluar Ramadhan dia
hanya terlihat aktif pada beberapa sebagian kegiatan yang diadakan di Mushollah.
Meskipun mereka berdua tidak aktif dalam kegiatan Mushollah diluar Ramadhan,
semua kegiatan keagamaan yang dilakukan masyarakat Corogo, bahkan kegiatan
non-keagamaan, selalu meminta pendapat dan persetujuan darinya. Hal ini terjadi
ketika kegiatan tarling menyambut bulan Ramadhan dimana para pemuda
mendiskusikan format acara kepada beberapa tokoh, salah satunya kepada Abu
Rahmah Adhami dan Umi Karimah.
Oleh karena itu, realiatas masyarakat diatas seolah-olah mendukung
beberapa tokoh yang sependapat dengan tipologi masyarakat jawa yang digagas
oleh Geertz. Mark R Woodward (1999: 2-4) melihat bahwa tipologi tersebut hanya
dapat dilihat dari prespektif islam modernis dan kolonial. Hal ini, menurutnya,
bahwa framework yang dipakai oleh Geertz tidak dapat dilepaskan dari
islam prespektif keduanya. Oleh karena itu, Martin Jay (2013:385) berpendapat
netralisir sebuah realitas dari beberapa teoritikal yang ada harus melepaskan
semua teori-teori tersebut dan mensistesiskan realitas kepada teori baru, bukan
realitas yang harus tunduk kepada teori.
Dengan demikian, untuk memahami realitas masyarakat dan
berlangsungnya pengajian ramadhan di Dusun Corogo, maka diperlukan titik temu
antara realitas sehari-hari masyarakat dengan realiatas yang ada dalam
pengajian. Secara garis besar, tujuan sub-bab berikut ini adalah memahami kedua
realitas dan mensitesiskan sehingga melahirkan sebuah teori dari realitas yang
ada.
3. Memahami Kegiatan Ramadhan
Puncak dari penelitian ini adalah menguaraikan secara antropologis
kegiatan pengajian ramadlan di Dusun Corogo. Salah satu titik berangkat untuk
menjelaskan, sebagaimana struktur tulisan ini, adalah dengan melihat kegiatan
ramadlan dengan tipologi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya
pada rangkaian pengajian. Oleh karena, sebagai peneliti yang meniliti rutinitas
kegiatan warganya sendiri, antara kesadaran subyektif dan obyektif sangat
diperlukan.
Kesadaran subyektif merupakan alat untuk menelaah realitas yang
secara tidak sadar memiliki nilai-nilai antropologetik. Sedangkan kesadaran
obyektif adalah alat untuk menjelaskan realitas tersebut tanpa adanya tendesi
yang memihak kelompok tertentu. Tentunya, hal ini sama dengan sebuah penelitian
diri sendiri dan menjelaskannya kepada khalayak umum. Sebuah tindakan yang
menuntut diri sendiri untuk mencari formula bahwa argumen yang disusun dapat
diterima oleh khalayak umum sebagai kebenaran.
Sebagaimana yang sudah diuraikan diatas, bahwa kegiatan pengajian
ramadlan merupakan sebuah area warga untuk mengisi waktu disore hari dalam rangka
menunggu datangnya adzan maghrib dengan menimba ilmu. Dengan dipelopori oleh
kedua tokoh sentral, H. Adam Malik dan Abu Rahmah Adhami, pengajian tersebut
seolah menegaskan posisi keduanya dalam struktur masyarakat. Hal ini terlihat
dalam struktur duduknya yang tidak pernah tergantikan, mereka berdua selalu
duduk disamping penceramah. Selain itu, sebuah tindakan pada penutupan
pengajian menjadikan bukti lain dari posisi tersebut. Hal itu tercermin kepada
persoalan bingkisan untuk penceramah,
Abu : iki pak ustadz e egk iso
gowo bingkisane.
H. Adam : Fuad, ngongkon sopo
kunu
Fuad : lha yo, pak Abu karo H.
Adam iki piye, bingkisan sak mene yow Ustadz e ora iso gowo
Pul, ngajak o To ngeterno bingkisan
nang omah e Ustadz iki
Sunarto : nganggo opo?
Fuad : nganggo motor kae lho (sambil
menunjuk ke luar Mushollah)
Saifulloh : giaplek, sak karepe
dewe ae rek
Husnan : motor sak mono akene
bingung, nyileh diluk gone andri.
Saifulloh dan Sunarto : njeh
Percakapan tersebut memang sederhana, namun jika dianalisa lebih
jauh bahwa percakapan tersebut menunjukkan posisi masing-masing dengan
tugasnya. Oleh karena itu, struktur masyarakat Dusun Corogo pada umumnya
memiliki peranan penting disini. Jika diamati secara seksama, percakapan
tersebut mempunyai struktur fungsional masyarakat seperti berikut:
Tokoh
|
Peranan
|
H. Adam Maklik
Abu Rahmah Adhami
|
Memiliki kewenangan untuk memerintah dan mengatur
|
Fuad
|
Menerima perintah dan memiliki kewenangan untuk memerintah dan
mengatur, tetapi tidak sampai kepada batas peranan H. Adam Malik dan Abu
Rahmah Adhami
|
Saifulloh
Sunarto
|
Menerima perintah dari dua kategori diatas, namun perintah
kategori pertama lebih absolut dari pada perintah kategori kedua yang lebih
cenderung tentatif
|
Sebagaimana sub bab mengenal masyarakat Dusun Corogo, bahwa
tipologi masyarakat jawa yang ditetapkan oleh Geertz tidak sepenuhnya dapat
diterapkan, maka tipologi masyarakat Corogo tentunya menarik untuk dipelajari
lebih jauh. Mudjahirin Tahir (2006:272) mengidentifikasi bahwa masyarakat jawa,
selain jawa pesisiran, adanya sebuah hirarki dalam memandang manusia, yaitu
dari golongan wong gedhe dan wong cilik cenderung kepada status
pekerjaan. Oleh karena itu, status mereka dalam kehidupan sosial ditentukan
oleh pekerjaan halus (kantoran) dan kasaran (pertanian dan
perdangan). Namun, fenomena pekerjaan yang dimiliki oleh beberapa pelaku dalam
pembicaraan tersebut beragamam dan cenderung memilki dua pekerjaan.
Tokoh
|
Pekerjaan
|
H. Adam Malik
|
Pertanian (kasar)
Perdagangan (kasar)
|
Abu Rahmah Adhami
|
Guru (halus)
|
Fuad
|
Ketua Dukuh (halus)
|
Sunarto
|
Pertanian (kasar)
Bangunan (kasar)
|
Saifullah
|
Wirausaha (kasar)
|
Kategori pekerjaan beberapa orang tersebut secara tidak langsung
menolak anggapan Mudjahirin Tohir diatas. Hal ini, dua tokoh sentral
realitasnya memilki pekerjaan kategori halus dan kasaran.
Kategori pekerjaan Fuad juga seharusnya menjadikan orang terpandang, namun pada
realitasnya masih merasakan adanya sebuah perintah dari sesama manusia yang
harus segera dilaksanakan. Oleh karena itu, penulis lebih condong untuk
mengatakan bahwa hirarki dalam masyarakat di Dusun Corogo ada, namun tidak
sebagaimana yang jelaskan oleh Mudjahirin Tahir.
Hirarki masyarakat Dusun Corogo diatas, oleh penulis klasifikasikan
sebagai berikut.
Tokoh
|
Kategori
|
Kelompok
|
Ideologi
|
H. Adam Malik
|
Atas
|
Kyai
|
Pemimpin
|
Abu Rahmah Adhami
|
Atas
|
Kyai
|
Pemimpin
|
Fuad
|
Menengah
|
Pengurus
|
Dipimpin
|
Sunarto
|
Kebawah
|
Santri
|
Dipimpin
|
Saifullah
|
Kebawah
|
Santri
|
Dipimpin
|
Sesungguhnya, hirarki tersebut tidak lain merupakan hasil
interelasi nilai-nilai pesantren dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ridin
Sofwan (200:119) interelasi dalam islam tidak hanya pada nilai tidak hanya pada
satu arah, namun terkadang juga berlawanan arah, sehingga kebudayaan jawa
begitu komplek. Kompleksitas tersebut, menurut Woodward (1999:5) menjadikan
kebudayaan jawa menarik menarik untuk diteliti lebih jauh. Selain itu juga,
Woodward (1999:2) mengatakan bahwa para sarjana kesulitan untuk menemukan
kesapakatan dalam penelitian dibandingkan dengan peniliti lainnya.
Meskipun dalam masyarakat Dusun Corogo, interelasi nilai-nilai
pesantren sangat kuat, namun dalam sisi tuturan, masyarakatnya tidak
sepenuhnya mengikuti nilai-nilai pesantren. Hal ini terlihat bahwa percakapan
diatas tidak digunakannya norma strata tuturan sebagaimana yang dipegang teguh
dunia pesantren. Dalam hal ini, masyarakat Dusun Corogo terpengaruh dialek suroboyoan,dimana
lebih cenderung meniadakan strata kelas dalam tuturan.
D. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa strata
sosial yang ada di Dusun Corogo, secara tidak langsung menggambarkan peranan
tinggi sosial seseorang karena kecakapan ilmu, pengetahuan, dan wawasannya.
Jadi, derajat tinggi bukan hanya sekadar jabatan atau pekerjaan tinggi. Derajat
juga bukan dalam artian gaji tinggi, tetapi derajat juga dapat diartikan
sebagai peranan yang dimiliki ditengah masyarakat sehingga keilmuan yang
dimiliki benar-benar menjadikannya orang berguna.
Oleh karena itu, keilmuan bukan berarti selamanya diartikan sebagai
pendidikan formal, semua pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk orang banyak
adalah sebuah ilmu dan menjadikan pemiliknya memiliki keistimewaan berbeda
dengan orang lain.
E. Daftar Pustaka
Abdullah. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Amin. Darori (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Semarang:PKIBJ
IAIN Walisongo dan Gramedia, 2000
Geertz. Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa, tk:tp,tt.
Jay. Martin, Sejarah Mahzab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam
Perkembangan Teori Kritis, Nurhadi, terj, Bantul: Kreasi Wacana,
2013
Ritzer. George dan Smart. Barry, Handbook Teori Sosial, Imam
Muttaqien, dkk, penj, Bandung: Nusa Media, 2012.
Thohir. Mudjahirin (ed), Refleksi Pengalaman Penelitian
Lapangan: Ranah Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora, Semarang: Fasindo, 2011
Thohir. Mudjahirin, Orang Islam Jawa Pesisiran, Semarang:
Fasindo, 2006
Woodward. Mark R, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus
Kebatinan, Hairus Salim, penj. Yogyakarta:LkiS, 1999.
[1] Menurut
Mudjahirin Thohir (2006:9), kategorisasi Geertz berdasarkan struktur sosial
masyarakat jawa, tepatnya Mojokuto, yaitu desa yang cenderung animistik dengan
tradisi slametan, pasar yang cenderung Islamistik dengan perdangangan dan
birokrasi yang cenderung Hinduistik.
[2] Pola pikir abduktif
adalah pola pikir yang lebih menekankan adanya unsur hipotesa,
interpretasi, proses pengujian, konsep-konsep, dalil-dalil, gagasan yang
dihasilkan dari kombinasi dua pola induksi-deduksi untuk memperoleh sebuah pengetahuan.
[3]
Pengamatan pada pengajian 19 Ramadhan
[4] Hal ini juga
dimungkinkan dengan adanya pandangan bahwa sawah sudah tidak dapat
dijadikan sumber ekonomi tunggal sebagaimana masyarakat yang diteliti oleh
Geertz.