PENDAHULUAN
Oleh : Nurul Ifadah dan Nur Muhammad Rizqi
Al-Qur’an adalah kalam Allah dan merupakan kitab suci
bagi umat Islam yang tidak ada keraguan di dalamnya. Al-Qur’an merupakan kitab
terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril dan
dijadikan sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap Muslim.. Al-Qur’an
memiliki perananan yang sangat penting bagi kehidupan umat Islam karena al-Qur’an
memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang benar dan lurus.. Bagi umat
Islam, seluruh isi kandungan yang terdapat didalam al-Qur’an berlaku bagi siapa
pun, kapan pun, dan dimana pun karena al-Qur’an merupakan inti peradaban Islam.[1]
Kegiatan
menafsirkan al-Qur’an merupakan suatu bentuk kegiatan untuk melihat dan menguji
kevaliditas sebuah teks bagi kehidupan manusia. Redaksi ayat-ayat al-Qur’an
tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh Allah sendiri. Oleh
karena itu seorang mufassir dituntut untuk memperhatikan cakupan pengertian dan
keserasian makna yang ditunjuk oleh redaksi ayat al-Qur’an.[2]
Hal ini membuahkan keanekaragaman penafsiran. Dalam mengkaji ilmu pengetahuan,
khususnya dibidang ilmu tafsir, beberapa hal yang mendasar agar sasaran atau
tujuan untuk mempelajari ilmu tersebut tercapai.
Untuk
menjadikan al-Qur’an shahih disetiap zaman diperlukan pengembangan dalam ilmu
tafsir dan pada setiap kegiatan penafsiran al-Qur’an harus selalu dikaitkan
dengan Asbabun-Nuzul ayat sebagai landasan historis. Dalam kegiatan
penafsiran juga perlu memperhatikan realitas yang ada atau dibutuhkan adanya
semacam komparasi historis agar pola penafsiran tidak bersifat “a history”. Oleh sebab itu (teks) al-Qur’an menjadi
subjek yang tepat untuk di interpretasikan.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Asbabun Nuzul
Secara
etimologi “Asbabun Nuzul” merupakan susunan kata yang terdiri dari
dua kata yaitu Asbab dan an-Nuzul. Kata asbab merupakan bentuk jamak dari kata sabaabun yang berarti sebab, alasan,
illat. Adapun kata Nuzul berasal
darikata kerja Nazala yang berarti
turun.[3]
Sedangkan secara terminologi, Asbab an-Nuzul adalah suatu peristiwa
yang melatarbelakangi turunnya ayat atau surat pada waktu proses turunnya
al-Qur’an.[4]
Seperti peristiwa yang terjadi pada saat turunnya al-Qur’an,
lalu turun satu atau beberapa ayat yang menjelaskan hukum pada peristiwa tersebut
atau seperti pertanyaan yang dihadapikan kepada Rasullullah Saw., lalu turunlah
satu ayat atau beberapa ayat al-Qur’an yang didalamnya terdapat jawabannya.
Bagi
al-Qur’an, suatu akibat tidak akan terjadi tanpa adanya sebab terlebih dahulu.
walaupun diantara ayatnya yang turun didahului oleh sebab tertentu, tetapi
sebab disini, secara teoritis tidak mutlak adanya, walaupun secara empiris
telah terjadi peristiwanya. Adanya sebab Nuzul Qur’an ialah merupakan suatu
manifestasi kebijaksanan Allah dalam membimbing hamba-Nya. Dengan adanya asbab
an-nuzul akan lebih tampak keabsahan al-Qur’an sebagai petunjuk yang sesuai
dengan kebutuhan dan kesanggupan manusia.[5]
Terdapat
beberapa pendapat mengenai pengertian asbabun nuzul, salah satunya ialah
al-Zarqani yang menyebutkan bahwa asbabun nuzul adalah suatu peristiwa yang
terjadi sehingga kejadian tersebut dijadikan dalil atau petunjuk hukum
berkenaan dengan turunnya suatu ayat. Kemudian Subhi as-Salih juga
mengungkapkan bahwa asbabun nuzul ialah suatu peristiwa atau kejadian tertentu
yang turunnya berkenaan dengan sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat
atau beberapa ayat pertanyaan yang diajukan oleh sahabat kepada Nabi untuk
mengetahui hukum syara’ atau untuk menafsirkan suatu hal yang berkaitan dengan
agama guna memberikan penjelasan terhadap masalah yang terjadi. Sedangkan Hasbi
Ash-Siddieqy mendefinisikannya sebagai kejadian yang karenanya diturunkan
al-Qur’an untuk menerangkan hukumnya di suatu peristiwa sehingga al-Qur’an
diturunkan langsung sesudah terjadinya sebab itu ataupun dikarenakan suatu
hikmat.[6]
Tidak semua ayat atau surat dalam al-Qur’an diturunkan beriringan dengan asbabun-nuzul, tetapi
sebagian besar al-Qur’an justru diturunkan tanpa asbabun-nuzul. Berkaitan
dengan hal tersebut dapat kita ketahui bahwa al-Qur’an diturunkan dalam dua
kategori yaitu: Pertama, ayat yang turun dengan adanya sebab atau
pertanyaan. Kedua, ayat yang turun tanpa adanya sebab atau peristiwa
yang melatarbelakanginya seperti ayat-ayat yang menceritakan kisah para Nabi
terdahulu, cerita umat atau peristiwa masalalu, berita tentang hal-hal gaib,
penjelasan kondisi di hari kiamat, dan sebagainya.[7]
Oleh
sebab itu, Asbabun nuzul didefinisikan sebagai sesuatu hal yang karena
al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan hukum-hukum Islam yang mengatur umat
manusia dari alam kesesatan dan memberikan aturan-aturan atau aqidah-aqidah
pada umat Islam, yang kemudian menjadi hukum-hukum al-Qur’an.
B.
Redaksi Asbabun Nuzul
Bentuk redaksi yang menerangkan asbabun-nuzul ada yang menggunakan pernyataan tegas mengenai sebab dan
terkadang pula menggunakan pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan maknanya.[8] Hal ini dapat
dilihat pada penjelasan berikut ini:
1.
Redaksi yang jelas menunjukkan
sebab nuzul (Sharih). Hal ini terbagi menjadi tiga tingkatan:
a.
Diungkapkan dengan bahasa sebab
seperti: sababu nuzuli al-ayah kadza (sebab turunnya ayat ini adalah...).
Dalam redaksi tersebut sudah jelas mengandung pengertian penyebab diturunkannya sebuah ayat,
dan tidak memiliki kemungkinan makna lain.
b.
Diungkapkan dengan fa’ jawab ini
mengandung pengertian penyebab diturunkannya ayat tetapi kekuatannya satu
tingkat dibawah redaksi pertama.
c.
Jawaban Rasul Saw. atas sebuah
pertanyaan yang diajukan kepada beliau. Jawaban ini tidak diungkapkan dengan
menggunakan redaksi sebab atau fa’ melainkan dipahami dari sebuah
konteks pertanyaan dan ayat yang diturunkan. Contohnya terdapat pada Q.S.
al-Baqarah ayat 223:
نِسَاؤُكُمْ
حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ
ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ
الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah
tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu,
dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan
berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”.
Ayat
tersebut menggunakan redaksi sharih karena sebuah riwayat yang dibawakan
oleh Jabir yang mwngatakan bahwa orang-orang Yahudi berkata, “apabila seorang
suami mendatangi “qubul” isterinya dari belakang, anak yang lahir akan juling”.
Maka turunlah firman Allah, “Isteri-isterimu adalah ladang bagimu, maka
datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai...”[9]
Imam
Ahmad dan at-Tirmdzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Pada suatu
hari, Umar mendatangi Rasulullah lalu berkata, ‘Celaka saya wahai Rasulullah!’
Rasulullah pun bertanya, ‘apa yang membuatmu celaka?’ Umar berkata,
‘Semalam saya menggauli isteri saya dari arah belakang.’ Namun Rasulullah tidak
menjawab. Lalu Allah menurunkan ayat, ‘isteri-isterimu adalah ladang bagimu,
maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai...’[10]
Rasulullah
bersabda,
“Gaulilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, dan hindari
menjima’ isteri pada duburnya ketika dia sedang haid.”
2.
Redaksi yang tidak jelas
menunjukkan makna sebab nuzul (Ghair Sharih).
Pada redaksi ini
terdapat beberapa kemungkinan makna. Hal ini berarti menunjukkan sebab nuzul
tetapi disaat yang sama juga mengandung arti penjelasan status hukum yang
terkandung dalam ayat yang sedang diceritakan. Yang dapat menentukan mana makna
yang paling kuat diantara dua kemungkinan makna tersebut adalah qarinahnya saja.
Dengan demikian, apabila ada dua riwayat terkait
dengan sebab nuzul ayat atau beberapa ayat, yang satu menggunakan redaksi yang
jelas (sharih) dan yang satu menggunakan redaksi yang tidak jelas (ghair
sharih), maka yang diambil sebagai sebab nuzul adalah riwayat redaksi yang
beredaksi jelas (sharih), sedangkan riwayat yang beredaksi tidak jelas
dianggap sebagai penjelasan atas apa yang terkandung dalam ayat tersebut. Contohnya
terdapat pada Q.S. al-Baqarah ayat 223:
نِسَاؤُكُمْ
حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ
ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ
الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah
tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu,
dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan
berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”.
Pada
ayat tersebut terdapat redaksi ghair sharih, dimana dalam sebuah riwayat
yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Hakim, dari Ibnu Abbas mengemukakan bahwa penduduk
sekitar Yastrib (Madinah) tinggal berdampingan bersama kaum yahudi. Mereka
menganggap bahwa kaum Yahudi terhormat dan berilmu, sehingga banyak dari mereka
yang meniru perbuatannya dan menganggap bahwa apa yang dilakukan kaum yahudi
itu baik. Salah satu perbuatannya yang dianggap baik oleh mereka ialah tidak
menggauli isterinya dari belakang.[11]
Sedangkan penduduk kampung sekitar Quraisy
(Makkah) menggauli isterinya dengan segala keleluasaannya. Hal ini sangat
berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Maka ketika kaum Muhajirin
tiba di Madinah salah seorang mereka kawin dengan seorang wanita Ansar. Ia
berbuat seperti kebiasaannya tetapi ditolak oleh isterinya dengna berkata
“kebiasaan orang sini, hanya menggauli isterinya dari muka.” Kejadian tersebut
sampailah pada Nabi Saw, sehingga turunlah ayat tersebut yang membolehkan
menggauli isterinya darimana saja baik depan, belakang atau terlentang asal
tetap di tempat yang lazim.[12]
C. Urgensi dan Manfaat Asbabun
Nuzul
Banyak
ulama yang memandang bahwa ilmu ini sebagai salah satu cabang ilmu yang
memiliki kedudukan yang penting dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an
yang merupakan formulasi kalam Allah dalam bentuk tulisan yang diorientasikan
bagi kemaslahatan manusia. Urgensi dari
kedudukan ilmu asbab an-nuzul dapat dilihat dari pendapat para ahli ilmu
al-Qur’an tentang peranan asbabun nuzul, di antaranya:[13]
1.
Ibn Daqiq al-‘Id (615-702 H), menyatakan: “Mengurai asbab an-nuzul al-Qur’an adalah merupakan salah satu cara
yang kuat dalam memaknai al-Qur’an”[14]
2.
Ibn Taimiyah (661-728 H): “Mengenali asbab an-nuzul menolong (membantu) seseorang untuk
memahami ayat-ayat al-Qur’an, karena pengetahuan tentang sebab akan mewariskan
pengetahuan terhadap musabab”
Dilihat
dari pandangan ulama tersebut dapat diketahui bahwa ilmu asban an-nuzul
mempunyai kedudukan yang penting dan tak terpisahkan dari ilmu-ilmu al-Qur’an
yang lain. Dengan mempelajari asbabun nuzul maka secara tidak langsung kita
telah mempelajari kandungan isi dalam al-Qur’an. Selain itu, manfaat mempelajari
asbabun nuzul yaitu:[15]
a.
Membantu memahami ayat dan dapat menghilangkan kekeliruan pemahaman
seorang mufassir.
b.
Mengetahui hikmah dibalik penetapan sebuah hukum
c.
Membantu menyelesaikan makna-makna ayat al-Qur’an dan mendorong
mufassir untuk berpegang kepada hakikat dari penafsiran al-Qur’an.
D.
Macam-Macam Asbabun Nuzul
Untuk
memahami al-Qur’an tidak selalu mempelajari situasi dan masalah lokal saat itu
sebagai latar belakang turunnya al-Quran, tetapi juga harus memahami perkembangan situasi dan kondisi masyarakat secara keseluruhan ketika al-Qur’an
diturunkan. Asbabun Nuzul al-Qur’an terbagi menjadi beberapa macam yaitu:
1. Asbabun
Nuzul Mikro
Asbabun nuzul mikro adalah ilmu yang mengelaborasi hubungan
antara suatu ayat al-Qur’an dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Pemahaman
dalam metode yang dikembangkan oleh ulama salaf ini berimplikasi pada keharusan
adanya Asbabun Nuzul yang tersebut dalam al-Qur’an, sehingga hal-hal yang tidak
disinggung dalam al-Qur’an tidak bisa disebut sebagai Asbabun Nuzul.
Pedoman
dasar para ulama dalam mengetahui Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya
ayat) adalah melalui: “riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah dan
sahabat”, itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai sesuatu
yang bila jelas maka ia mempunyai hukum marfu. Al-Wahidi mengatakan:[16]
“Tidak
halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada
riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya,
mengetahui sebab-sebabnya, dan membahas tentang pengertiannya”.
Metode
tersebut ditempuh dan digunakan oleh ulama Salaf, mereka sangat berhati-hati
untuk mengatakan sesuatu mengenai Asbabun-Nuzul tanpa pengetahuan yang
jelas. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun-nuzul
adalah riwayat, ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad yang secara
pasti menunjukkan Asbabun-Nuzul.
Menurut Ibn
jarir At-thabari, semasa hidup beliau pada akhir abad 9–10 M, telah terjadi
interaksi kultural dengan ragam muatannya baik dalam perubahannya maupun
dinamika masyarakat yang terus bergulir, tentu saja hal ini mewarnai cara
pandang dan cara berpikir kaum muslimin, sebagai sebuah konsekuensi logis yang
tak terhindarkan. Untuk menunjukkan kepakarannya di bidang sejarah Asbabun
Nuzul, Ath-Thabari melontarkan tiga pernyataan mendasar mengenai konsep sejarah,
antara lain: Pertama, menekankan
esensi ketauhidan dari misi kenabian. Kedua,
pentingnya pengalaman pengalaman dari umat dan kosistensi dan pengalaman
sejarah.[17]
Berkenaan
dengan qiro’at (cara baca) surat Al-fatihah,
ين
الد يوم ملك Ath-Thabari memaparkan ada tiga jenis
tanda baca : Ma’ dengan bacaan pendek, panjang dan dengan membaca Fatha Ka’. Sehingga
pada akhirnya beliau menjelaskan bahwa makna takwil dengan Ma’dibaca panjang
berdasarkan kepada sebuah riwayat dari ibn kuraib dari ibn abbas.[18]
2. Asbabun
Nuzul Makro
Asbabun nuzul yang bersifat makro yaitu asbabun nuzul yang tidak
hanya membahas bagian-bagian individual al-Qur’an saja dan bukan hanya berupa
peristiwa dan pertanyaan yang melatarbelakangi turunnya ayat yang menyangkut
sosio-historis. Tetapi asbabun nuzul makro ialah sabab yang membahas secara
menyeluruh menyangkut hubungan sosial didalam masyarakat Arab pada waktu itu.
Fazlur rahman mengomentari bahwa dibutuhkan beberapa peralatan
ilmiah untuk mengontrol kemajuan ilmu al-Qur’an tafsir, antara lain: pertama,
diakui prinsip bahwa tidak hanya pengetahuan tentang bahasa Arab saja yang
diperlukan untuk memahami al-Qur’an secara tepat, tetapi juga memahami bahasa
Arab pada zaman Nabi. Kedua, tradisi historis yang berisi laporan-laporan
tentang bagaimana orang-orang di lingkungan Nabi memahami perintah al-Qur’an dimasukkan
sebagai alat yang perlu untuk menerapkan makna yang tepat dari firman Allah SWT.[19]
Dalam Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh, merupakan salah satu
contoh penafsiran yang tidak hanya menekankan bahasa tetapi juga menekankan
realitas universal sebagai munasabah atas asbabun nuzul seperti Q.S al-Lail
ayat 15 dan 17, dimana inti dari asbabun nuzul ayat ditujukan hanya kepada
Umayyah dan Abu Bakar, akan tetapi Muhammad Abduh bahkan menafsirkan ayat
tersebut secara univesal tanpa adanya pengkhususan terhadap tokoh sejarah yang
dituju oleh teks.
KESIMPULAN
Asbabun
nuzul memiliki peranan penting dan kegunaan yang cukup besar dalam usaha penafsiran
al-Qur’an karena urgensi mempelajari asbabun nuzul yaitu untuk memperdalam
penghayatan dan wawasan penafsiran al-Qur’an serta membentengi diri dari
kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan al-Qur’an. Dengan mengetahui asbabun
nuzul seorang mufassir yang hendak memahami al-Qur’an benar-benar bisa menjiwai
suasana sosiologis dari makna yang terkandung didalam al-Qur’an. Jika seorang
mufassir tidak berpijak pada sejarah munculnya sebuah teks maka kita tidak
memiliki kajian analisis yang bersifat obyektif. Oleh karena itulah pentingnya
nilai-nilai historis sebagai barometer untuk melacak sejarah masalalu dan yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman
Dahlan. 1997. Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung:
Mizan.
As-Suyuthi, Jalaluddin. 2008. Terj. Sebab Turunnya
Ayat al-Qur’an. Depok: Gema Insani.
Anshori. 2013. Ulumul Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo.
Hamid, Abdul. 2016. Pengantar
Studi Al-Qur’an. Jakarta: Kencana.
Samsurrohman. 2014. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Bumi Aksara
Suaidi, Pan. Almufida. Asbabun Nuzul: Pengertian,
Macam-Macam, Redaksi dan Urgensi. Vol.1 No.1, Tahun 2016.
Suma, Muhammad
Amin. 2014. Ulumul Qur’an. Jakarta:
Rajawali Pers.
Susfita, Nunung. Asbabun
Nuzul al-Qur’an dalam Perspektif Mikro dan Makro. Vol.13 No.1. Tahun 2015.
Zaini, Ahmad. Asbab an-Nuzul dan Urgensinya dalam
Memahami Makna al-Qur’an. Vol.8, No.1, Tahun 2014.
[1] Samsurrohman,
Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), hlm.1
[2] Abd.
Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
1997), hlm.22
[3]
Abdul Hamid, Pengantar Studi Al-Qur’an,
(Jakarta: Kencana, 2016) hlm.102-103
[6] Ahmad Zaini, “Asbab an-Nuzul dan Urgensinya dalam
Memahami Makna al-Qur’an”, Vol.8, No.1, Tahun 2014, hlm.4-5
[11] Pan Suaidi, Almufida “Asbabun Nuzul: Pengertian,
Macam-Macam, Redaksi dan Urgensi”, Vol.1 No.1, Tahun 2016, hlm.117
[16]
Nunung Susfita, Asbabun Nuzul al-Qur’an
dalam Perspektif Mikro dan Makro, Vol.13 No.1, Tahun 2015, hlm.71
[17]
Nunung Susfita, Asbabun Nuzul al-Qur’an
dalam Perspektif Mikro dan Makro,…hlm.72