Selasa, 22 Januari 2019

Berbincang Eksistensialisme Nilai ala Sastre

oleh : Amelia Sholikhah
            A.      Latar Belakang
Manusia merupakan kajian sentral bagi dalam Barat dewasa ini. Kajian mengenai yang ada atau eksistensialisme di barat bercorak antroporsentrisme di mana manusia sebagai pusat kajiannya. Berbeda halnya dengan tradisi Islam yang memusatkan perhatian atau mengkaji Yang Ada berpusat kepada Tuhan, teosentrisme. Perbedaan corak atau kajian mendalam mengenai yang ada disebut dalam tradisi filsafat sebagai pembahasan eksistensialisme. filsuf Perancis yang bernama Jean-Paul Sartre (1905—1980) adalah filsuf eksistensialis-ateis modern yang paling terkenal dan berpengaruh di Perancis ataupun di dunia. Pengaruhnya, manifes ataupun laten, tetap eksis sampai sekarang. Maka dari itu dalam pembahasan makalah ini saya ingin memaparkan beberapa pemikiran dari jean paul sarte tentang eksistensialisme.
           B.      Biografi Jean Paul Sarte.
Jean-Paul Sartre dilahirkan di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Keluarganya tergolong borjuasi menengah. Ayahnya seorang penganut Katolik dan ibunya penganut Protestan. Sartre kecil  merupakan anak yang ringkih  dan sangat sensitif. Masa sekolahnya merupakan pengalaman yang pahit sebab ia selalu mendapat cemooh dari  teman-temannya yang lebih tegap dan kuat (Fuad hasan:1992. 151). Pada usia dua tahun, ayah Sartre meninggal dunia dan ia akhirnya ikut sang kakek yang menganut Protestan. Oleh sang kakek, Sartre dibesarkan dalam agama Katolik.   Sewaktu kecil, Sartre masih mengakui Tuhan. Sartre kecil yang berusia 10 tahun taat beribadah. Ia rajin ke Gereja dan membaca kitab suci. Ia mengikuti jalur ibunya, seorang protestan yang taat pada ajaran. Sekitar usia 11 tahun, Sartre mulai memunculkan pikiran kritisnya tentang agama. Dalam benaknya, ia berpikir bahwa ia ingin mengawinkan Katolik dan Protestan. Baginya, Katolik mempunyai semangat kepasrahan dan Protestan mempunyai semangat kekritisan. Jika ia bisa mengawinkan keduanya,  ia akan mempunyai jiwa beragama yang kuat.   Ketaatan dan keteguhan Sartre kecil akhirnya ditumbangkan oleh dirinya sendiri.Sewaktu Sartre berusia 12 tahun, ia ingin ikut pesta di rumah temannya dan ia berdoa pada Tuhan agar dibelikan baju yang baru oleh orang tuanya. Namun, doanya  tak kunjung dikabulkan. Ia tidak dibelikan baju baru oleh orang tuanya. Karena itu, ia marah besar pada Tuhan sebab keinginannya tidak terpenuhi. Padahal, ia sangat berharap pada Tuhan agar mengabulkan permintaannya. Sejak itulah,  secara perlahan  ia mulai meninggalkan Tuhan. Meskipun ia melakukan ibadah ke Gereja, hal itu dilakukan karena ia takut terhadap orang tuanya, terutama sang ibu. Dalam hatinya, Tuhan mulai dihilangkan jauh-jauh.  Ia tidak ingin mempunyai Tuhan lagi dan ia memutuskan untuk tidak beragama. Dalam keteralineasiannya tersebut, Sartre mengungkapkan bahwa  agama baginya adalah sastra (Sarte:2002. 75-76).
 Agama dalam Kerangka Pikir Sartre Muda Konsep  Etre (Ada), Etre-En-Soi (Ada-Untuk-Diri), dan Etre-Pour-Soi (Ada-Bagi-Diri) Pada tahun 1924 Sartre muda  masuk ke perguruan tinggi yang paling bergengsi dan terkemuka di Perancis, École Normale Supérieure. Sekitar tahun 1929 ia berhasil memperoleh Agregation de Philosophie (gelar untuk mengajar) sebagai juara pertama Pada masa ini, Sastre memunculkan konsep Etre (Ada), Etre-En-Soi (Ada-Untuk-Diri), dan Etre-Pour-Soi (Ada-Bagi-Diri) (Bertens:2006. 89-90). Konsep Etre-En-Soi (Ada-Untuk-Diri) pada hakikatnya berkait dengan ada-nya manusia di bumi. Ada tersebut merupakan ada dalam wadag. Semua makhluk di bumi pasti Ada. Ada di sini bersifat tidak aktif-tidak pasif, tidak positif-tidak negatif. Konsep ini berkait dengan hal/ikhwal. Konsep yang kedua, Etre-Pour-Soi (Ada-Bagi-Diri) yakni merupakan Ada yang aktif. Manusia merupakan makhluk yang Etre-Pour-Soi (Ada-Bagi-Diri) sebab ia mampu melakukan apa saja dengan kehendaknya. Berpijak pada Etre-En-Soi (Ada-Untuk-Diri) dan Etre-Pour-Soi (Ada-Bagi-Diri),Sartre mengemukakan bahwa manusia adalah bentuk eksistensi mendahului esensi bukan esensi mendahului eksistensi. Sekadar contoh,  pensil yang diciptakan oleh sangpenciptanya mempunyai satu kegunaan yaitu untuk menulis.  Sang pencipta pensil tersebut sudah memikirkan kegunaan pensil tersebut tatkala masih dalam pikirannya. Dengan demikian, pensil tersebut esensi mendahului eksistensi. Jadi, sebelum pensil tersebut dimunculkan ke dunia, ia sudah diformat bahwa kegunaannya adalah untuk menulis.  Hal itu menandakan bahwa pensil hanya mempunyai Etre-En-Soi (Ada-UntukDiri).Berbeda halnya dengan pensil, manusia  sebelum dilahirkan masih belum terformat apa kegunaannya di dunia. Ketika ia dilahirkan, barulah manusia tersebut  bergerak dan berpikir bebas-sebebas-bebasnya sebab semua bergantung pada dirinyasendiri. Dengan demikian,  manusia yang pandai, cerdas, dan kaya hal tersebut karena manusia tersebut ingin menjadi manusia yang  pandai, cerdas, dan kaya. Sebaliknya, manusia yang bodoh dan miskin  hal tersebut karena manusia tersebut menginginkan menjadi manusia yang bodoh dan miskin.
Pemikiran Sartre yang menandaskan bahwa manusia adalah sosok eksistensi mendahului esensi pada akhirnya memunculkan ungkapan yang ekstrim dan radikal bahwa dengan mematikan Tuhan maka manusia bisa menjadi manusia yang bebas absolut. Jika Tuhan masih ada, manusia tidak akan pernah bebas secara absolut sebab selalu di bawah bayang-bayang eksistensi Tuhan. Manusia adalah pencipta bagi dirinya sendiri (causa sui). Karena itu, hidupnya selalu dalam kebebasan dalam mencari jati diri. Kebebasan tersebut dalam pandangan Sartre merupakan kebebasan yang berkesadaran. Dengan demikian, kebebasan dalam pikiran Sartre tersebut merupakan kebebasan yang bertanggung  jawab.  Karena itu, manusia yang beragama mau tidak mau tidak pernah bisa bebas sebab mereka dibelenggu oleh aturan-aturan yang ada dalam agama tersebut.  Pemikiran Sartre yang meniadakan Tuhan dan mematikan Tuhan  sebenarnya agak terpengaruh oleh pemikir pendahulunya, F. Nietzsche, --eksistensialis ateis dari Jerman--  yang menyatakan bahwa Tuhan telah mati. Jika Tuhan telah mati maka manusia akan menjadi manusia yang bebas menentukan jalan hidupnya.   Pernyataan Sartre ataupun  Nietzsche tersebut sempat mengundang banyak kontroversi --terutama di kalangan kaum Kristiani--  sebab  keduanya  banyak memarginalkan/menghina agama Kristen, baik secara implisit ataupun eksplisit. Dalam kaitannya dengan ateisme --yang semakin menguat-- yang  muncul dalampikiran Sastre, terdapat tiga alasan. Pertama, Sastre banyak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir ateis pendahulunya, misal Marx. Dalam pandangan Sastre, pemikiran Marx merupakan pemikiran yang  radikal sebab berkait dengan pembebasan manusia proletarian  dari kungkungan manusia borjuasi (Sarte:2003.33-34). Dalam konteks agama, marxisme beranggapan bahwa manusia pada akhirnya berupa materi saja. Karenaitu, mereka tidak mengakui adanya Tuhan.  Pemikiran Nietzsche  memengaruhi Sastre  dalam kaitannya dengan  pernyataan bahwa Tuhan telah mati. Pemikiran Martin Heiddeger memengaruhi Sartre dalam kaitannya dengan pernyataan bahwa manusia meninggalkan Tuhan demi ilmu pengetahuan (Anas Ahmad:2009.39).
 Adapun pemikiran Sigmund Freud –psikolog-psikoanalisis dari Jerman—memengaruhi Sartre dalam kaitannya dengan pernyataan bahwa orang yang ber-Tuhan adalah orang yang neurosis/psikosis. Pemikir-pemikir  ateis tersebut, ternyata memengaruhi pemikiran Sastre secara langsung/tidak langsung.
Kedua, Sartre hidup pada zaman perang dunia ke II. Pada masa ini, Sartre banyak menyaksikan  orang-orang yang tidak bersalah terbunuh. Peperangan terjadi di mana-mana, pemerkosaan, penjarahan, dan perusakan merajalela.  Bertolak dari fenomena perang dunia II tersebut, Sartre berpandangan bahwa Tuhan tidak ada (Sarte:2002.100). Jika Tuhan ada, tidak mungkin Tuhan membiarkan umatnya  yang tidak bersalah terbunuh atau bahkan membiarkan umatnya berperang. Jika Tuhan ada,  Tuhan akanturun tangan dan menolong umatnya yang ada di muka bumi. Namun, kenyataannya, sudah berjuta-juta orang terbunuh tetapi Tuhan tidak muncul/memberikan pertolongan kepada umatnya. Bertolak dari fenomena tersebut, Sartre memunculkan pemikiran filosofisnya melalui karya sastra dalam kaitannya dengan masalah kemanusia dan politik.  Perpaduan antara filsafat dan sastra tersebut  ternyata   semakin memperindah  esensi karya yang diciptakan oleh Sartre (Sarte:2002.401). Ketiga,   eksistensi manusia harus bebas. Karena itu, nilai etisnya kebebasan berarti menghilangkan apa yang membelenggu kebebasan tersebut.  Kebebasan tersebut ditinjau dari konteks kebebasan vertikal ataupun kebebasan horizontal (Sarte:2001.300). Dengan begitu, Tuhan harus ditiadakan agar manusia bisa menjadi manusia yang bergerak sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa harus dikungkung oleh Tuhan. Bertolak dari kehidupan yang bebas dan tidak berketuhanan tersebut, Sartre benar-benar memanifestasikannya dalam kehidupan.Ketika Sartre  dekat dengan Simon de Beauvoir,  ia tidak ingin menikah dengan perempuan tersebut. Jika Sartre menikah dengan perempuan tersebut, ia akan menjadi manusia yang tidak bebas.  Ia juga tidak ingin dicap orang lain sebagai A atau sebagai B. Bahkan, karena prinsip kebebasan yang absolut tersebut dia menyatakan bahwa ”orang lain adalah neraka (hell is other people)” (Dagun:1990.90). Pemikiran Sartre tersebut sebenarnya mengutip kesejarahan Adam turun ke bumi. Dalam kisah tersebut, Adam turun ke bumi gara-gara mengambil buah kuldi yang diinginkan/diminta oleh Hawa. Alhasil, Adam pun diturunkan ke bumi oleh Tuhan karena mengambil buah kuldi. Seandainya, tidak ada Hawa, Adam tidak akan turun ke bumi. Dengan demikian, orang lain adalah neraka. Di usia yang menua, Sartre mulai (kurang) menunjukkan  gejala ketidakajegannya dalam berprinsip. Kebebasan yang digadang-gadang dan diunggulkan oleh Sartre ternyata dihadapkan pada faktisitas (Leahly, 2001:58).  Faktisitas tersebut antara lainsebagai berikut. Pertama,  tempat,  manusia tidak bisa menolak tempat/geografi. Diakui atau tidak, manusia harus bertempat tinggal, baik secara temporal ataupun permanen.                                  
Simone de Beauvoir adalah pencetus Feminis -Eksistensialis. Ia memunculkan -isme tersebut dalam kaitannya dengan reaksi terhadap  eksistensialisme –yang memandang bahwa wanita adalah kelas kedua/subordinat—yang  berada di Perancis . Keduanya, yakni Sartre dan Simone de Beauvoir memang sepakat tidak mau menikah sebab keduanya tidak ingin dibelenggu oleh ikatan perkawinan (Anas ahmad:2009.40). Karena itu, mereka tidak bisa melupakan dan/atau menghilangkan tempat tinggal sebab tempat itu ada sebelum manusia itu ada.Kedua, masa lalu, manusia pasti mempunyai masa lalu dalam kaitannya dengan pelahiran dan kisah hidupnya, baik yang putih,  hitam, ataupun abu-abu. Dalam hal ini, manusia tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu. Ia tidak bisa mengatakan bahwa ia dilahirkan tanpa ayah tanpa ibu. Semua orang dilahirkan oleh sang ibu. Dengan demikian, mereka tidak bisa lepas dari yang namanya orang tua.  Ketika seseorang mempunyai kisah masa lalu yang  buruk/buram ataupun masa lalu yang baik dan menyenangkan, semua bisa direkayasa. Sekadar contoh, kehidupan masa lalu yang buruk/buram bisa direkayasa menjadi kehidupan masa lalu yang bagus dan menyenangkan atau sebaliknya. Namun,  manusia tidak bisa lepas dari apa yang disebut dengan masa lalu, meskipun masa lalu tersebut telah direkayasa.
   Ketiga,  relasi antar manusia, diakui atau tidak,  manusia menurut  adalah sosok homo socius (makhluk sosial) dan homo comparativus (makhluk pembanding) (Darma,2005). Dengan demikian,   sebagai  merupakan makhluk sosial yang tidak lepas hubungannya dengan manusia yang lain.  Kita pun akan melakukan perbandingan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Dalam hal ini, manusia terlahir dengan ras yang berbeda, ada yang kulit putih, kulit hitam, dan kulit sawo matang. Perbedaan kulit tersebut bisa jadi menimbulkan  diskriminasi.  Pemunculan diskriminisi tersebut disebabkan oleh adanya ras yang berbeda dan juga karena adanya orang lain yang membandingkan.  Jika tidak ada orang lain dan tidak ada ras yang berbeda,  bisa  diskriminasi ras tidak akan pernah muncul di muka bumi ini. Sartre berpandangan bahwa adanya manusia lain dalam  kehidupan pasti akan menimbulkan masalah, baik masalah sosial, politik, ekonomi, budaya, dan yang rentan/sensistif adalah masalah agama. Sartre mengungkapkan bahwa manusia sebagai makhluk  individual yang bebas ternyata tidak bisa lepas dari jerat manusia yang lain dalam konteks relasi antarmanusia untuk menjalankan kehidupan. Pemikiran Sartre yang menyatakan bahwa manusia adalah sosok makhluk individual yang bebas ternyata tidak sepenuhnya benar. Hal itu disebabkan  pemikiran bahwa manusia individual jika tidak lepas dari manusia sosial.  Melalui fenomena ini, Sartre memang tidak bisa berkelit bahwa manusia tidak lepas dari relasi antarmanusia.   Keempat, kematian,  faktisitas ini merupakan sesatu yang pasti dalam ketidakpastian. Karena itu, Sartre mengungkapkan bahwa manusia pasti mati. Namun, ia tidak tahu kapan kematian itu akan terjadi dan menimpa diri. Ketika kematian tiba, eksistensi manusia akan berakhir.
           Dalam kaitannya dengan kebebasan yang absolut, Sartre tampaknya gagal untuk lepas dari kematian. Sejauh-jauhnya manusia lari dari kematian, mereka pasti akan bertemu dengan kematian. Karena  itu, Martin Heiddeger mengungkapkan bahwa manusia adalah Sein Und Seit, Ada untuk Mati.  Hal itu merepresentasikan bahwa kaum ateis tidak mampu mengelak dari apa yang disebut kematian. Mulai dari zaman dahulu sampai sekarang telah banyak filsuf ateis yang berusaha memecahkan/mendefinisikan apa itu kematian. Namun, semuanya  menemukan jalan buntu (Setiawan:2006.56). 

C.     Pengertian Eksistensialisme
            “Eksistensialisme” yang berasal dari kata “eksistensi” dalam bahasa Indonesia dapat ditelaah dan didefinisikan melalui dua cara. Pertama, secara harfiah yakni sesuai dengan kaidah-kaidah tata bahasa yang berlaku, dan kedua, mengacu pada salah satu bentuk gerakan pemikiran yang ada dalam filsafat. Secara harfiah, kata “eksistensi” yang mana dalam bahasa Inggris adalah “existence” ialah sebentuk kata benda yang berarti “state of existing…” dan dengan kata kerja intrasitif “exist” dengan pengertian “be real…”(Oxford University:2005.149), berasal dari bahasa Latin “existo” dan “exister”. Dalam bahasa Prancis, “existo” terdiri dari “ex” dan “sisto” yang berarti to stand. Kesemuanya dalam bahasa Indonesia secara harfiah berarti “ada”, “adanya”, “hidup”, “kehidupan”, “keadaan hidup”, “berdiri”, “keadaan berdiri”, “keadaan mengada” atau “berada” (John M. Echols & Hassan Shadily:1996.224). Sedangkan imbuhan –isme di belakang kata tersebut mengacu pada sebentuk aliran, ajaran atau pemahaman sehingga apabila keseluruhan kata tersebut secara telanjang diterjemahkan, Eksistensialisme akan berarti: suatu aliran, ajaran atau pemahaman mengenai “ada”, “hidup”, “kehidupan” atau “berada”.
            Tak dapat dipungkiri bahwa terdapat cukup banyak tokoh besar dalam filsafat eksistensialisme, sebut saja Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Karl Jasper, Franz Kafka, Gabriel Marcel, Fyodor Dostoyevsky, Albert Camus dan Jean Paul Sartre. Disadari atau tidak, hal tersebut bukannya tanpa dampak sama sekali, melainkan kian mempersulit upaya pencarian arti dan makna atas eksistensialisme secara pasti. Pada tataran ini, harus diakui memang, akan lebih mudah menjelaskan satu demi satu berbagai ide tokoh eksistensialisme yang ada pada zamannya ketimbang menjelaskan istilah eksistensialisme dengan cara mengambil bagian-bagian ide utama dari para tokoh eksistensialisme tersebut. Namun, bilamana pengkajian secara seksama pada tiap-tiap tokoh besar eksistensialisme yang ada pada masanya dilakukan maka ditemui kata-kata seperti “eksistensi”, “individu”, “kebebasan”, “keputusan”, “pilihan”, “gairah” serta perhatian yang mengacu pada “subyektivitas individu” atau “manusia” kerap mereka gunakan (Vincent Martin:2003.1-2). Dengan demikian, istilah eksistensialisme yang mengacu pada salah satu bentuk gerakan pemikiran yang ada dalam filsafat dapat diartikan secara umum sebagai suatu pemahaman yang menempatkan keber-Ada-an individu atau entitas manusia di dunia sebagai yang utama.
Lebih jauh, sebagaimana telah dijelaskan dan ditegaskan sebelumnya bahwa pengkajian berikut pembahasan yang dilakukan lebih difokuskan pada eksistensialisme Jean Paul Sartre atau tepatnya konsep interaksi sosial yang termuat dalam arus pemikiran tersebut melalui segenap pertimbangan seksama mengingat kedudukan Sartre sebagai tokoh yang “mempopulerkan” berikut “mengukuhkan” eksistensialisme, maka menjadi syarat dilakukan kiranya pemaparan definisi berikut “maksud” eksistensialisme dalam pandangan Jean Paul Sartre.
Dalam Existentialism and Humanism (1946), Sartre mendefinisikan eksistensialisme sebagai aliran, ajaran atau pemahaman yang meyakini bahwa “eksistensi mendahului esensi” (existence precedes essence). Secara singkat, apa yang dimaksudkan Sartre adalah, sesuatu barulah dapat dimaknai ketika sesuatu tersebut “ada” terlebih dahulu. Sebagai misal, Sartre mengatakan, “…pertama-tama manusia ada, berhadapan dengan dirinya sendiri, terjun ke dalam dunia—dan barulah setelah itu ia mendefinisikan dirinya … Ia tidak akan menjadi ‘apa-apa’ sampai ia menjadikan hidupnya ‘apa-apa’ … manusia adalah bukan apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri, itulah prinsip pertama Eksistensialisme” (Sartre:2002.40-45). Dalil atau pemahaman di ataslah yang kemudian memunculkan istilah absurd, le neant, nausea, mauvaise foi, etre-en-soi, etre-pour-soi, facticity, humanism .

D.     Eksistensialisme jean paul sarte
Jean paul sarte adalah tokoh yang menciptakan istilah “eksistensialisme” melalui eksemplar Being and Nothingness serta Existentialism and Humanism. Melalui eksistensialisme, Sartre merajai kehidupan intelektual Perancis selama dua dekade lamanya. Eksistensialisme Sartre memberikan pengaruh besar terhadap para filsuf, politisi dan seniman Perancis kala itu. Meskipun individualisme dan muatan “antisosial” dalam eksistensialisme menyebabkannya dicap sebagai “filsafat kaum borjuis” oleh banyak pihak, namun faktual para pengangguran dan gelandangan di pinggir jalan pun menyebut diri mereka sebagai “eksistensialis” (Suseno:tth.73 dan Palmer:2003.2). Disadari dan diakui atau tidak, hal tersebut membuktikan betapa kuat dan luasnya pengaruh filsafat eksistensialisme.
Terdapat beberapa tema pokok yang diusung eksistensialisme Jean Paul Sartre, antara lain “eksistensi”, “kebebasan dan pilihan”, “kesadaran”, “otentitas” serta “keterasingan” di mana kesemua hal tersebut menghantarkan eksistensialisme sebagai filsafat yang berbicara mengenai kebebasan manusia berikut etika (Suseno:tth.74). manusia yang “mengada” di dunia. Terkait aspek etika dalam eksistensialisme, sebagaimana ditegaskan Franz Magnis Suseno bahwa etika merupakan “ilmu mengenai bagaimana seharusnya manusia berperilaku” (Suseno:tth.14), maka etika eksistensialisme berupaya memberikan petunjuk atas bagaimana seharusnya manusia berperilaku dalam merespon dirinya sebagai makhluk yang pada hakekatnya bebas “sebebas-bebasnya”. Terkait hal tersebut Sartre menegaskan, “Human reality is free, basically and completely free” (realitas manusia adalah bebas, pada dasarnya dan sepenuhnya bebas) (Sartre:1956.479). Melalui serangkaian pemikiran eksistensialisme di atas, kiranya tak berlebihan menempatkan eksistensialisme sebagai puncak pemikiran Barat atas “kebebasan” dan semangat “anti-Tuhan”. Terkait hal tersebut, Fuad Hassan menegaskan bahwa ikhtiar Sartre merupakan puncak pemikiran dan pemahaman atas manusia (Fuad Hasan:1976.2).
Pandangan ontologi Sartre, pandangannya mengenai Ada juga tidak jauh dari apa yang dipahami Heidegger. Ada dalam pandangan Sarte berbeda dengan mengada. Peleburan antara Ada dengan mengada merupakan akibat dari proyek modernitas yang menekankan Cogito atau rasio, bagi kebanyakan aliran penganut postmo. Namun bukan hal tersebut yang ingin penulis uraikan, namun pandangan Ada dari Sartre yang menjadi pisau analisis eksistensialis manusia.
Dalam teori eksistensialismenya,Sarte membagi tiga modus cara berada.
              Pertama, Ada pada dirinya Being in it self.
Untuk yang pertama, modus Adanya hanya terdapat pada mengada-mengada lainnya yang tidak mampu menanyakan Adanya. Misalnya batu, emas, pohon jambu, pohon mangga yang ada dalam diri mereka sendiri. Pada batu, memiliki kodrat yang keras. Emas kodratnya jenis batuan yang berharga. Pada cara modus berada ada dalam dirinya, batu tidak bisa tidak mmemiliki kodrat atau sifat alamiah keras. Hal yang sama juga dengan emas, tidak bias tidak memiliki kodrat sebagai jenis batu-batuan yang memiliki nilai jual. Pohon jambu juga demikian akan menghasilkan buah-buah jambu sebagai kodratnya begitu juga dengan pohon mangga yang memiliki kodrat berbah mangga. Dengan kata lain, batu, pohon dan benda-benda alam lainnya, tidak dapat tidak identik dengan kodrat yang sudah ada di dalam dirinya. Ketika batu tidak lagi keras, emas tidak lagi bernilai, pohon jambu tidak agi berbuah jambu dan pohon mangga juga tidak berbuah mangga, dalam pandangan
eksistensialisme Sartre perlu disangsikan apakah itu benar-benar yang dimaksud. Hal tersebut yang dimaksud dari ada di dalam dirinya being  in it self  yakni cara modus berada di mana ia sudah dikodratkan atau ditentukan seperti itu.
          Kedua, Ada untuk dirinya Being for it self.
Modus cara berada yang kedua yaitu ada untuk dirinya being for it self. Cara mengada yang demikian memiliki kekkhasan cara berada di mana ada sifat negativitas. Maksud dari sifat negativitas ialah ada “pengingkaran” atau penolakan terhadap pengkodratan atau pengidentikkan sesuatu yang dilekatkan kepada dirinya. Hanya manusia menurut Sarte yang memiliki cara berada yang khas. Manusia bisa menolak pengidentikan pengkodratkan yang disematkan terhadap dirinya dari orang lain. Hanya manusia yang bisa mengatakan tidak terhadap pengkodratan yang tidak sesuai dengan dirinya, asal dirinya sadar atas pengkodatan yang diberikan oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya, saat manusia dikodratkan oleh suatu pengkodratan tertentu dari luar dirinya, manusia dapat menolak atau menegasikan pengkodratan yang dilekatkannya itu dengan cara mengingkari lewat pemikiran maupun perbuatan sehingga apa yang dikodratkan terhadap dirinya dapat ternegasikan. Pengkodratan atau pengidentikan diri yang datang dari luar dirinya juga bisa dikatakan persepsi yang dibangun dari luar diri terhadap diri yang dikenakan persepsitersebut. pada cara berada yang kedua, cara berada yang khas pada manusia dengan hidup dari persepsinya sendiri. Manusia tidak mesti hidup dari persepsi orang lain yang mencederai nilai-nilai yang khas yang ada di dalam diri manusia. Dalam pandangan eksistensialisme, hanya manusia yang berkah menguasai dirinya sendiri.   
          Ketiga, Ada untuk yang lain Being for others.                                     
Adapun cara berada yang ketiga, yaitu ada bagi orang lain being for other. Cara berada yang demikian merupakan cara berada dimana seseorang hidup berdasarkan
pengkodratan yang diberikan oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya, si A menganggap dirinya adlah pribadi  yang bodoh atau berpengetahuan rendah karena demikianlah orang lain melebelkan pengkodratan itu kepada dirinya. Jadi bukan atas pemaknaan dirinya yang dilakukan oleh dan untuk dirinya sendiri. Ketika seseorang hidup berdasarkan kodrat yang dilebelkan terhadap diri yang menerimanya, hal itulah yang dimaksud dengan cara modus berada untuk yang lain being for others. Namun ketika seseorang tadi menegasikan kodrat 27 yang disematkan terhadap dirinya dari orang lain, artinya ia hidup atas dasar modus eksistensi dirinya sendiri, maka ia berada pada cara berada ada untuk dirinya being for it self.
Dalam pandangan eksistensialisme yang merasuk dalam sastra berpijak dari landasan bahwa Tuhan telah mati, dan melihat dunia maupun sejarah sebagai ketakjelasan dan absurd. Oleh karena itu melalui kecemasan para manusia, memainkan kebebasan mereka serta menolak kepalsuan yang ditawarkan olehpara rasionalis optimis, dibangun suatu humanism baru dengan mencari gairah balik keputusasaan yang jelas dihadapi oleh para manusia. Di sisi lain, Sartre juga mengalami situasi zamannya,merasakan masa pendudukan dan peperangan. Ia turut pula menjadi saksi bahkan melibatkan diri dengan zamannya. Hal ini men-jadikan sebagian besar karyanya lantas menyentuh, baik langsung maupun tidak, pada persoalan-persoalan manusia modern dalam segala kondisinya (Birul:tth.47) .

E.      Kesimpulan
Pandangan ontologi Sartre, pandangannya mengenai Ada juga tidak jauh dari apa yang dipahami Heidegger. Dalam teori eksistensialismenya, Sarte membagi tiga modus cara berada. Pertama, Ada pada dirinya Being in it self. Kedua, Ada untuk dirinya Being for it self. Ketiga, Ada untuk yang lain Being for others.
Jean paul sarte adalah tokoh yang menciptakan istilah “eksistensialisme” Melalui eksistensialisme, Sartre merajai kehidupan intelektual Perancis selama dua dekade lamanya. Eksistensialisme Sartre memberikan pengaruh besar terhadap para filsuf, politisi dan seniman Perancis kala itu. Meskipun individualisme dan muatan “antisosial” dalam eksistensialisme menyebabkannya dicap sebagai “filsafat kaum borjuis” oleh banyak pihak, namun faktual para pengangguran dan gelandangan di pinggir jalan pun menyebut diri mereka sebagai “eksistensialis”. Disadari dan diakui atau tidak, hal tersebut membuktikan betapa kuat dan luasnya pengaruh filsafat eksistensialisme.
Eksistensialisme berupaya memberikan petunjuk atas bagaimana seharusnya manusia berperilaku dalam merespon dirinya sebagai makhluk yang pada hakekatnya bebas “sebebas-bebasnya”. Terkait hal tersebut Sartre menegaskan, “Human reality is free, basically and completely free” (realitas manusia adalah bebas, pada dasarnya dan sepenuhnya bebas). Melalui serangkaian pemikiran eksistensialisme di atas, kiranya tak berlebihan menempatkan eksistensialisme sebagai puncak pemikiran Barat atas “kebebasan” dan semangat “anti-Tuhan”. Terkait hal tersebut, Fuad Hassan menegaskan bahwa ikhtiar Sartre merupakan puncak pemikiran dan pemahaman atas manusia


DAFTAR PUSTAKA
.  
 Ahmad,Anas. Agama dalam kerangka pikir  ateisme  jean-paul sartre Parafrase Vol. 09. No. 02 September 2009.Diakses pada tanggal 30/04/2018, pukul 13.20.
Birul Sinari Adi, Absurditas dalam drama les mouches karya jean-paul sartre Sebuah Pendekatan Semiotik.
Bertens, K. 2006. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta: Gramedia.
Dagun, S.M. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Yogyakarta: Rhineka Cipta
Hasan, Fuad.1976. Berkenalan dengan Eksistensialisme, Jakarta: Pustaka Jaya
Martin, Vincent ,2003. Filsafat Eksistensialisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
Oxford University, 2005. Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New York: Oxford University Press
Saefuddin,Fahmi, Gender dan Eksistensialisme Sartre.Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jurnal Studi Al-Qur’an; Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani.Vol. 13 , No. I , Tahun. 2017 doi.org/10.21009/JSQ.013.1.07 diakses pada tanggal 30/04/2018. Pukul 13.00 wib
Suseno,Franz Magnis,2000, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, Yogyakarta: Kanisius.
Suseno,Franz Magnis,1993, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius 
Sartre, Jean Paul, Eksistensialisme dan Humanisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sartre, Jean Paul , 1956 . Being and Nothingness, New York : Philosophical Library. .
Sartre, J.P. 2001. Kata-kata. Terjemahan. Jakarta: Gramedia.
__________. 2001. Kematian yang Tertunda. Terjemahan.   Yogyakarta: Jendela.
__________. 2002.   Eksistensialisme dan Humanisme.  Terjemahan.Pustaka Pelajar:
Pustaka Pelajar.
__________. 2002. Seks dan Revolusi. Terjemahan.  Yogyakarta: Bentang.  
__________. 2002. The Age of Reason. Terjemahan.  Yogyakarta: Jendela.
__________. 2003. Pengantar Teori Emosi. Terjemahan.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.  
__________. 2004. Dogmatik Kritik. Terjemahan. Yogyakarta: Celepuk.
Setiawan. 2006. “Skema Manusia Biofili dan Nikrofili”. Jurnal  Prasasti Vol. 17. No. 1.



Rabu, 02 Januari 2019

Sastra, Psikologi dan Hermeneutika sebagai pendekatan penfasiran al-Quran

Oleh: Nikmatu Cahyaningsih, Dani Atriana dan Alfa Ilmiyatun

Latar Belakang
Di era modern saat ini, banyak dijumpai fenomena yang telah menggencarkan masyarakat muslim. Hal ini ditandai dengan maraknya kemunculan para ustadz yang dengan gampangnya menafsirkan ayat al-Qur’an dengan seenaknya sendiri, tanpa diimbangi dengan keilmuan yang memadai. Sehingga dalam hal ini banyak masyarakat yang mudah terpengaruh dalam pemikiran-pemikiran yang jauh dari kata benar. Mereka juga dengan mudahnya menetapkan suatu hukum tanpa didasari kaidah-kaidah penafsiran yang baik. Maka, tidak sedikit dari mereka yang dengan mudahnya menganggap salah bahkan kafir terhadap kelompok diluar mereka.
Oleh karena itu, untuk mengatasi berbagai persoalan yang tengah dihadapi oleh masyarakat, terutama dalam konteks pemahaman terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Maka, diperlukan sebuah pengetahuan yang komprehensif tentang kaidah yang berhubungan dengan ilmu tafsir, selain penguasaan bahasa Arab yang baik pula. Disamping itu, dibutuhkan juga sebuah pendekatan dan metode yang baik dan benar sebagai sarana untuk memahami setiap makna ayat dalam al-Qur’an dan menetapkan suatu hukum berdasarkan kaidah penafsiran yang benar dan tepat. Hal ini dikarenakan tidak mungkin seorang mufasir melakukan sebuah penafsiran tanpa penguasaan kaidah-kaidah penafsiran untuk dapat memenuhi prasyarat sebagai seorang penafsir.


PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendekatan Tafsir
Nyoman Kutha Ratna menguraikan bahwa pendekatan secara etimologis berasal dari kata appropio, approach, yang diartikan sebagai jalan dan penghampiran.(Ulya,2017:25) Selain itu, Abuddin Nata dalam bukunya Metodologi Studi Islam mendefinisikan pendekatan sebagai cara pandang yang digunakan untuk menjelaskan suatu data yang dihasilkan dalam penelitian.(Abudin Nata, 1998:142) Istilah pendekatan merujuk pada pandangan tentang terjadinya proses yang sifatnya masih sangat
umum. Pendekatan selalu berkaitan dengan tujuan, metode, dan teknik, karena tenik yang bersifat implementasional tidak terlepas dari metode yang digunakan. Sementara, metode sebagai suatu rencana yang menyeluruh tentang penyajian materi selalu didasarkan dengan pendekatan dan pendekatan merujuk kepada tujuan yang telah diterapkan sebelumnya. Jadi, pendekatan merupakan langkah pertama yang berisi cara-cara untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data dalam mewujudkan tujuan sebuah kajian studi.

Secara etimologi, kata tafsir berasal dari bahasa Arab yang berbentuk mashdar dari kata fassara - yufassiru - tafsiran yang berarti al-bayan dan al-idhah (penjelasan, uraian, keterangan, interpretasi dan komentar.(Soleh Sakni, 2013:62). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tafsir didefinisikan sebagai keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat suci Al-Qur’an atau kitab suci lain sehingga lebih jelas maksudnya. Al-Suyuthi mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara untuk mengungkapkan lafal-lafal Al-Qur’an disertai makna dan hukum yang terkandung didalamnya.(Ulya,2017:5-6)Secara umum, kata tafsir mengandung arti menjelaskan, menguraikan, menafsirkan. Sedangkan, definisi tafsir secara terminologi mengandung pengertian sebagai kasyf al-murad ‘an al-lafdh al-musykil (menjelaskan apa yang dimaksud dari kalimat yang sulit). Sementara itu, dalam bahasa teknis tafsir dapat diartikan sebagai penjelasan, penafsiran, dan kometar terhadap Al-Qur’an yang berisi langkah-langkah untuk memperoleh pengetahuan dalam membantu memahami al-Qur’an, menjelaskan makna, dan mengklarifikasi implikasi hukumnya. Oleh karena itu, para praktisi tafsir mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang berhubungan dengan upaya untuk memahami dan menjelaskan al-Qur’an dalam batas kapasitas manusia (Soleh Sakni, 2013:63). Jadi, pendekatan tafsir dapat diartikan sebagi suatu cara pandang yang digunakan mufassir dalam memahami, menjelaskan, dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dikombinasikan dengan berbagai bidang keilmuan yang lain.

B. Macam-Macam Pendekatan Tafsir
1. Pendekatan Sastra
Sastra secara umum dapat diartikan sebagai ungkapan pribadi seorang yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, semangat, keyakinan dalam suatu gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat-alat bahasa. Pendekatan sastra merupakan suatu cara pandang dalam memahami, menjelaskan, meenafsirkan ayat Al-Qur’an dengan menggunakan pisau bedah sastra(Ulya,2017:167). Dalam memahami teks Al-Qur’an, pendekatan kebahasaan menjadi sangat urgen dan signifikan. Sebagai suatu kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, Al-Qur’an yang diturunkan ke dalam lingkup masyarakat Arab, secara langsung telah tertransformasikan dari sebuah teks illahi ke dalam teks insani, karena telah berubah dari wahyu menjadi sebuah interpretasi. Oleh karena itu, dalam memahami maksud atau makna yang terkandung dalam sebuah teks Al- qur’an, harus dilihat dari segi bahasa Arab sebagai bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an(M.Sholahuddin, 2016:121). Sehingga, dapat memunculkan suatu makna yang tepat terhadap suatu redaksi ayat setelah memperhatikan kaidah-kaidah dalam bahasa Arab.

Menurut sejarahnya, pendekatan sastra secara eksplisit telah bersentuhan dengan kajian al-Qur’an sejak abad ke-20 M yang dipelopori Amin al-Khuli. Dimana sasarannya adalah untuk terhindar dari tarikan-tarikan individual-ideologis. Ia berusaha untuk menciptakan pemahaman turats secara paripurna (awwal tajdid qatl al-qadim fahman) dan dialah yang pertama kali menempatkan al-Qur’an sebagai kitab sastra terbesar (kitab al-arabiyya al-akbar) sebagai implikasinya. Bint al-Syati’ yang memiliki nama lengkap Aisya Abdurrahman, istri Amin al-Khuli, juga termasuk murid setianya. Secara konsisten, dia juga menggunakan pendekatan yang ditawarkan suaminya, yakni dalam beberapa karya tafsirnya, di antaranya al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, Min Asrar al-Arabiyya fi Bayan al-Qur’an serta Maqal fi al-Insan Dirasah Qur’aniyyah.

Selain itu, terdapat pula generasi penerus dari al-Khuli yaitu, Nasr Hamid Abu Zayd yang melahirkan simpulannya tentang al-Qur’an sebagai teks yang memiliki pesan etik, moral, spiritual, dan juristik(Ulya,2017:170-171). Berdasarkan teori-teori ilmiah tentang teks yang dipegang olehnya, maka ia berpendapat bahwa al-Qur’an adalah fenomena historis dan mempunyai konteks spesifik (The Qur’an as a historical phenomenon and as having a specific context). Beliau menganggap al-Qur’an sebagai teks berbahasa Arab yang dapat dipelajari oleh siapa saja, baik muslim maupun nonmuslim. Sehingga, dalam pernyatannya tersebut tercantum beberapa aspek utama dalam studi al-Qur’an diantaranya:
a. Al-Qur’an merupakan teks, lebih khususnya teks linguistik. Sebagaimana teks linguistik, al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan budayanya.
b. Teks seharusnya dikaji dengan menggunakan pendekatan bahasa dan sastra.
c. Titik awal dari kajian al-Qur’an bukan dari iman, melainkan dari obyektivitas ilmiah. Sehingga, baik muslim maupun nonmuslim bisa memberi sumbangan pada kajian al-Qur’an(Ulya,2017:179).

Dalam menafsirkan al-Qur’an, Abu Zayd membagi penafsiran al-Qur’an menjadi dua yaitu, penafsiran literal yang mengasumsikan al-Qur’an merupakan teks yang ahistoris dan penafsiran alegoris yang mendasarkan pada teks al-Qur’an sebagai sesuatu yang historis. Hal ini tentu berbeda dengan pendapat ulama pada umumnya yang membagi penafsiran al-Qur’an menjadi tiga yaitu, penafsiran tekstual, rasional, dan penafsiran yang bersifat intuitif(Ulya,2017:180). Sebelum masuk pada metode penafsiran dengan pendekatan sastra yang dilaksanakan oleh Abu Zayd terdapat beberapa hal yang harus diketahui, yaitu :

a) Makna dan signifikansi
Makna adalah sesuatu yang direperesentasikan oleh sebuah teks, atau dengan kata lain sebuah representasi dari tanda-tanda yang dimaksud penulis. Sedangkan signifikansi adalah menamai sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang, atau sebuah persepsi, situasi, atau sesuatu yang dapat dibayangkan. Signifikansi selalu mengimplikasikan sebuah hubungan dan satu kutub konstan yang tak berubah dari hubungan itulah apa yang dimaksud oleh teks. Jika makna bersifat statis karena historisitasnya, maka signifikasi bersifat dinamis.

b). Ada tiga level makna
Meskipun makna bersifat statis tetapi statusnya bertingkat. Menurut Abu Zayd ada 3 (tiga) level makna, yaitu :
1) Level pertama adalah makna yang hanya menunjuk kepada bukti atau atau fakta historis, yang tidak dapat diinterperatsikan scara metaforis.
2) Level kedua adalah makna yang menunjuk pada bukti atau fakta sejarah dan dapat diinterpretaasikan secara metaforis.
3) Level ketiga adalah makna yang bisa diperluas berdasarkan signifikansi yang diungkap dari konteks sosio-kultural di tempat teks itu muncul.

Dengan demikian, tidak semua makna selalu dicari signifikansinya, karena bisa jadi makna itu harus dipahami sebagai bukti atau fakta sejarah, baik yang tidak bisa maupun yang bisa dipahami secara metaforis.

c). Interpretasi
Interpretasi adalah proses menguraikan kode-kode. Dalam proses ini penafsir seharusnya mengambil makna sosio-kultural sebagai bahan pertimbangan dengan menggunakan kritik historis sebagai analisis pendahuluan yang diikuti oleh analisis sastra dan bahasa. Makna ini akan membimbing penafsir untuk menemukan pesan baru yaitu signifikansi teks. Pesan baru atau sigifikansi teks inilah produk dari pendekatan sastra(Ulya,2017:181-182).
Adapun contoh dari pengaplikasian tiga tahapan dari pendekatan sastra yang digunakan oleh Abu Zayd diatas, diantaranya dalam kasus poligami yang tersebut dalam QS. an-Nisa’ ayat 3.
Pertama, konteks teks itu sendiri. Untuk memulainya, Abu Zayd mengkontraskan ketiadaan atau ketidakhadiran praktik hukum yang mempunyai “Bahwa yang mana kepemilikan tangantangan kananmu” (tawanan perang atau para budak) sebagai selir dalam wacana Islam di satu sisi, dari pada keberlanjutan poligami : “Lalu menikahi perempuan sebagai seruan untukmu, dua, tiga atau empat “ di sisi yang lain. Bagi Abu Zayd, ketiadaan ini mengindikasikan ketiadaan kesadaran historis tentang teksteks agama, yang teks-teks agama itu adalah teks bahasa dan teks bahasa adalah teks produk manusia dan sosial dan wadah bagi budaya masyarakat.

Abu Zayd beralasan bahwa kebolehan bagi laki-laki untk menikahi 4 (empat) orang isteri seharusnya dianggap sebagai konteks hubungan manusia, khususnya antara laki-laki dan perempuan sebelum Islam datang menjadi agama yang mapan. Periode pra-Islam, yang mana hukum kesukuan adalah yang berkuasa, dimana poligami tak dibatasi. Dalam konteks ini, kebolehan memiliki 4 (empat) isteri seharusnya dilihat sebagai setting tentang pembatasan. Tentang poligami yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad yang menikahi lebih dari 4 (empat) isteri, Abu Zayd menyatakan bahwa ini adalah praktik umum dalam periode pra-Islam. Dia mengusulkan bahwa pembatasan seharusnya dilihat sebgai perubahan upaya pembebasan perempuan dari dominasi laki-laki. Jadi dalam konteks ini, secara tidak langsung al-Qur’an ingin mengatakan bahwa pernikahan yang dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Dimana seorang laki-laki hanya menikahi satu orang isteri saja(Ulya,2017:184).

Kedua, meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara keseluruhan. Dengan hal ini, Abu Zayd berharap bahwa makna implisit yang tak disebutkan dalam teks dapat ditemukan. Sebagaimana tersebut dalam teks, bahwa yang dikehendaki dalam pernikahan yakni suami hanya memiliki satu orang isteri saja, jika suami tersebut takut tidak dapat berlaku adil. Selanjutnya, dalam QS. an-Nisa’ ayat 129 juga disebutkan bahwa keadilan sang suami terhadap isteri-isterinya itu tidak mungkin tercapai, meskipun suami itu menghendaki demikian. Analisis lingustik memberikan kesan bahwa untuk berbuat adil antara isteri-isteri adalah tidak mungkin sama sekali. Ketentuan bersyarat, penggunakan partikel ‘jika’ mengindikasikan tidak akan terpenuhinya syarat. Aspek penting lainnya adalah penggunaan partikel lain ‘lan’ (tak kan pernah) yang mana berfungsi sebagai bukti kuat, dalam permulaan kalimat . Penandaan ini bahwa ‘bisa adil’ tak kan pernah terjadi. Oleh karena itu, Abu Zayd menyimpulkan bahwa di sana ada dobel negasi, yakni ketiadaan secara keseluruhan tentang kemungkinan menjadi adil atas dua isteri atau lebih dan ketiadaan tentang kemungkinan memiliki hasrat yang menggebu untuk menjadi adil dengan mereka(Ulya,2017:185).

Ketiga, didasarkan pada langkah-langkah terdahulu, mengajukan sebuah reformasi tentang hukum Islam. Dalam hukum Islam, poligami diklasifikasikan dibawah perbuatan mubah. Term ‘mubah atau pembolehan’ bagi Abu Zayd adalah tidak sesuai, karena pembolehan pada kenyataannya adalah pembatasan dari poligami yang asalnya tak terbatas yang dipraktikkan sebelum datangnya Islam. Pembatasan tak berarti pembolehan. Meskipun demikian poligami tidak termasuk larangan tentang perbuatan yang diperbolehkan (tahrim al-mubahat). Di dasarkan pada pembedaan-pembedaan lahirnya adil antara mabda’, qaidah, dan hukum, Abu Zayd beralasan bahwa poligami seharusnya diperlakukan sebagai hukum, yang mana tak bisa menjadi qaidah. Keadilan adalah mabda’ yang seharusnya dilanjutkan pada level qaidah dan hukum. Hukum adalah sebuah problem relatif yang diikat oleh syarat-syarat tertentu yang tergantung dan bisa berubah. Dalam hal ini, simpulan dari argumen yang diungkapkan oleh Abu Zayd tentang larangan yang dinyatakan secara tak langsung dan poligami sebagai hukum yang tak bisa melanggar atau memperkosa qaidah dan mabda’, maka bisa dibuktikan bahwa argumentasi final tentang poligami seharusnya dilarang (Ulya,2017:186-187).

2. Pendekatan Psikologis
Psikologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yakni, pscyche yang berarti jiwa dan logos yang beararti ilmu pengetahuan. Psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji perilaku individu dengan lingkungannya. Secara harfiah, psikologi dapat diartikan sebagai ilmu jiwa. sedangkan menurut istilah, psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, proses, maupun latar belakangnya( M. Arif Khoiruddin, 2017). Jadi, pendekatan psikologi mengandung pengertian tentang suatu cara pandang dalam menghampiri teks al-Qur’an melalui jembatan psikologi manusia.

Al-Qur’an sebagai kitab Allah yang autentik di dalamnya mengandung keterangan mengenai manusia dengan segenap sifat dan perilakunya. Untuk merumuskan konsep manusia, sifat-sifat manusia dan nilai-nilai moral menurut Al-Quran merupakan tugas psikologi muslim. Selanjutnya, agar tidak terhenti di tataran ideologis atau keimanan saja, tetapi dapat berlanjut menjadi ilmu, bahan-bahan tersebut harus diolah secara ilmiyah. Konsep manusia Qurani atau teori tentang perilaku manusia yang diturunkan dari Al-Quran itu harus diverifikasi dengan menggunakan metodologi ilmiah. Hal ini bukan untuk menjustifikasi kebenaran Al-Quran dengan alat ilmu, melainkan karena dua alasan. Pertama, karena yang membaca Al-Quran dan mencoba merumuskan teori tentang manusia itu adalah manusia dengan segala kelemahannya, maka akan ada kemungkinan keliru. Jadi, kebenaran di tataran ideologis itu perlu adanya pengujian, baik pengujian epistimologi maupun pengujian empiris. Kedua, agar konsep atau teori tentang perilaku manusia itu dapat menjadi teori psikologi, maka ia harus dapat diperiksa, didialogkan dan didiskusikan secara terbuka oleh semua kalangan masyarakat.
Dalam menjembatani teks yang terdapat dalam Al-Qur’an, maka dalam psikologi dapat digunakan beberapa pendekatan, yakni:
a. Pendekatan Struktural
Pendekatan ini bertujuan untuk mempelajari pengalaman seseorang berdasarkan tingkatan atau kategori tertentu. Struktur pengalaman tersebut dilakukan dengan menggunakan metode pengalaman dan introspeksi. Pendekatan ini digunakan oleh Wilhelm Wundt.
b. Pendekatan Fungsional
Pendekatan ini dilakukan untuk mempelajari bagaimana agama dapat berfungsi atau berpengaruh terhadap tingkah laku hidup individu dalam kehidupannya. Pendekatan ini digunakan oleh William James.
c. Pendekatan Psiko-analisis
Pendekatan ini dilakukan untuk menjelaskan tentang pengaruh agama dalam kepribadian seseorang dan hubungannya dengan penyakit jiwa. Pendekatan ini pertama kali digunakan oleh Sigmund Freud (Douglas A. Bernstein, 1998: 7-10). 

Adapun yang dimaksud dengan nuansa psikologis adalah nuansa tafsir yang analisisnya menekankan pada dimensi psikologi manusia. Banyak kitab tafsir yang mengkaji dan menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan dimensi penafsirannya. Contoh tafsir yang menggunakan pendekatan psikologi adalah seperti karya Mubarok yang berjudul Jiwa dalam Al-Qur’an yang didalamnya memusatkan kajiannya dalam kata nafs dalam Al-Qur’an. Kata nafs dalam bahasa Arab memiliki arti ruh, diri manusia, hakikat sesuatu, darah, saudara, kepunyaan keghaiban, jasad, zat, kebesaran dan lain-lain. Dalam konteks manusia, kata nafs yang ada dalam Al-Qur’an digunakan untuk menyebutkan manusia sebagai makhluk yang tinggal di dunia ataupun manusia yang nantinya akan hidup di akhirat.
Dalam QS. Al-Maidah: 32, kata nasf digunakan untuk menyebutkan manusia di dunia yaitu manusia hidup yang bisa dibunuh. Tetapi dalam QS. Yasin: 54 kata nafs digunakan untuk menyebut manusia di alam akhirat. Sedangkan pengertian lain yang ditulis oleh al-Mubarok nafs adalah sebagai sisi dalam manusia. Sebagaimana dalam QS. Al-Ra’d:10, bahwa manusia memiliki sisi dalam dan sisi luar. Jika sisi luarnya dapat dilihat pada perbuatan zahirnya, maka sisi dalamnya menurut al-Qur’an berfungsi sebagai penggeraknya. Dalam QS. Al-Shams: 7 secara tegas menyebut nafs sebagai jiwa. Misalnya ketika seorang mufasir menguraikan surat al-Fatihah, ia menyampaikan pesan moral yang terkandung dalam al-Fatihah dengan bahasa yang tegas dan menekankan pentingnya melakukan segala sesuatu atas dasar nama Allah. Bahwa mengurus orang tua, mengelola upah buruh, menghindari maksiat dan membaca buku adalah hal yang biasa. Tapi menurutnya, semua perbuatan tersebut akan mendatangkan kemuliaan apabila dilakukan atas dasar nama Allah (M.Sholahuddin, 2016:122-123).

3. Pendekatan Hermeneutis
Membincang istilah hermeneutika adalah sama dengan menelusuri masa lalu. Hal ini karena hermeneutika sebenarnya adalah bukan istilah yang baru muncul, tetapi istilah ini lahir seiring lahirnya agama dan filsafat. Hermeneutis adalah salah satu bentuk metoda penafsiran yang di dalam pengoperasiannya dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks atau ayat. Dalam hal ini selalu dihubungkan dengan tiga aspek, yaitu: 
1). Dengan konteks apa teks itu ditulis, jika kaitannya dengan al-Qur’an maka dalam konteks apakah ayat itu diturunkan, 
2). Bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, 
3). Bagaimana keseluruhan teks atau pandangan tentang teks tersebut (Amina,tt:130)

Sebagai langkah teknis ketika menafsirkan ayat al-Qur’an, ketika prinsip tersebut dapat dikolaborasi lebih lanjut sebagai berikut, yaitu setiap ayat yang hendak ditafsirkan dianalis: 
1). Dalam konteksnya, 
2). Dalam konteks pembahasan topik yang sama dalam al-Qur’an, 
3). Menyangkut soal bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan di seluruh bagian al-Qur’an, 
4). Menyangkut sikap benar-benar berpegang teguh pada prinsip-prinsip al-Qur’an, 
5). Dalam konteks al-Qur’an sebagai weltanschauung atau pandangan hidup (Suryadilaga,2006:88).

Model hermeneutis yang dikembangkan oleh para mufassir kontemporer itu pun sangat beragam. Keberagaman ini muncul bukan hanya karena semakin terbukanya umat Islam terhadap gagasan-gagasan yang berasal dari luar, seperti isu tentang HAM, gender, demokrasi, civil society, pluralisme dan sebagainya, namun juga karena adanya kekurangan metode dan pendekatan yang ada selama ini (Mustaqim, 2014: 164). Dalam studi pendekatan tafsir sendiri, pendekatan secara hermenutis ini mengambil telaah dari Farid Esack. Tidak berbeda dengan pendapat mayoritas intelektual Islam, Esack berpendapat bahwa al-Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhamad melalui malaikat Jibril secara harfiah dan lisan dalam kata-kata bahasa Arab yang paling murni (Ulya,2017:71). 
Al-Qur’an dipercaya sebagai kitab yang unik jika dilihat dari kemurnian Arabnya, keelokan bahasanya, gaya retorikanya, dan lain-lain. Jika dilihat dari soal relasi pewahyuan, bahasa dan isi di satu sisi dengan komunitas penerimanya di sisi lain, al-Qur’an tidaklah unik. Ayat-ayat dalam al-Qur’an senantiasa merupakan tanggapan atas masyarakat tertentu. Meski di dalam ayatnya ada klaim bahwa al-Qur’an itu penebar rahmat seluruh alam, petunjuk bagi seluruh umat manusa tetapi secara khusus al-Qur’an di masa pewahyuannya ditujukan bagi masyarakat Arab. Melihat historisitas yang demikian maka tak bisa dihindari bahwa teks tak bisa lepas dari konteks, tidak ada teks yang berdiri sendiri, demikian pula teks al-Qur’an (Naim, 1996:53). Menurut Esack, mengkaitkan teks al-Qur’an dengan konteks historis dan linguistiknya dengan disertai kesadaran al-Qur’an yang meruang waktu bukan berarti akan membatasi pengertian dan pesan-pesannya berada dalam konteks itu saja, tetapi justru memahami makna pewahyuannya dalam konteks tertentu di masa lalu, yang nantinya diharapkan sebagai dasar pijak agar dapat mengkontekstualisasikan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya di setiap saat dan tempat. Dengan demikian beriman kepada relevansi abadi al-Qur’an tidaklah harus diidentikkan dengan penafsiran teks yang universal. Yang menentukan posisi Esack yang lain adalah penekanannya pada ide pewahyuan progressif. Pemahaman ini berangkat ketika dia menemukan teks al-Qur’an yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur,(Qs. Al-Isro’: 106) juga ada teks yang menyatakan bahwa al-Qur’an muncul di tengah-tengah perjuangan dan setiap perjuangan membutuhan dukungan dan arahan sehingga al- Qur’an tidak diturunkan sekaligus. Dari ayat-ayat inilah mencerminkan dengan baik bahwa ada interaksi kreatif antara kehendak Tuhan, realitas di bumi, dan kebutuhan masyarakat untuk ditanggapi. Di sini, maka Tuhan tidaklah berbicara pada suatu ruang yang hampa dan tidak mengirim pesan yang dibentuk dalam kehampaan.

Sebagai bukti kedua statemen Esack di atas adalah adanya asbab al-nuzul dan bahasan naskh al-Qur’an. Kedua ini mencerminkan kehadiran Tuhan yang mewujudkan kehendak-Nya dalam situasi umat-Nya, yang berbicara sesuai realitas mereka dan yang firman-Nya dibentuk oleh realitas itu. Pendeknya dalam bahasa Fazlurrahman adalah bahwa keduanya itu menunjuk pada karakter situasional al-Qur’an (Naim, 1996:60).
Di antara asumsi hermeneutika yang harus digaris bawahi adalah bahwa setiap orang mendatangi teks pasti membawa persoalan dan harapannya sendiri sehingga tak masuk akal menuntut seorang penafsir menyisihkan subyektifitasannya sendiri. Sedangkan konsekuensi dari asumsi hermeneutis di atas adalah bahwa dengan hermeneutika, umat beriman akan dihadapkan dengan pluralitas makna al-Qur’an. Oleh karena itu, wajar jika hermeneutika yang dikenakan dalam teks al-Qur’an seringkali menemui ganjalan lantaran umat Islam pada umumnya meyakini kemanunggalan makna.


PENUTUP

Dalam memahami suatu ayat yang terkandung dalam al-Qur’an, tidak dapat dialakukan secara langsung, tanpa diimbangi dengan keilmuan yang memadai. Oleh karenanya selain penguasaan bahasa Arab yang baik dan juga pengetahuan akan kaidah-kaidah ilmu tafsir, juga dibutuhkan pula beberapa pendekatan dan juga metode yang baik dan tepat dalam menafsirkan al-Qur’an. Sehingga, dapat dirumuskan suatu hasil penafsiran yang baik dan tepat terhadap pemaknaan suatu redaksi ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an. Pendekatan tafsir merupakan suatu cara pandang dalam memahami, menjelaskan, menafsirkan setiap makna ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an melalui berbagai bidang keilmuan yang lain.


DAFTAR PUSTAKA

A. Bernstein Peggy W. Nash, Douglas. 1998. Essentials of Psychology, New York:Hougton Mifflin Compeny.
Alfatih Surya Dilaga, M. 2016. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras.
Arif Khoiruddin, M. 2017. "Pendekatan Psikologi dalam Studi Islam". Journal An-nafs:Vol.2, No.1
Abdullah Ahmed an-Na’im, Mohammed Arkoun, dkk, 1996. Dekonstruksi Syariah II : Kritik Konsep, Penjelajahan Yang Lain , terj.Farid Wajdi. Yogyakarta : Lkis.
Mustaqim, Abdul. 2014. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an. Yogyakarta: Adab Press.
Nata, Abuddin. 1998. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Solahudin, M. 2016. "Pendekatan Tekstual dan Kontekstual dalam Penafsiran Al-Qur’an". Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 1,2.
Soleh Sakni, Ahmad. 2013. "Model Pendekatan Tafsir dalam Kajian Islam". JIA /XIV/No.2.
Ulya. 2017. Berbagai Pendekatan dalam Studi Al-Qur’an. Yogyakarta: Idea Press.
Wadud, Amin. "Qur’an and Woman", dalam Charles Kurzman, Liberal Islam.