Selasa, 21 Agustus 2018

Al-Quran dalam Prespektif Arthur Jeffery


PENDAHULUAN
Oleh : Ghunniyah

 Orientalisme dalam studi Al-ur’an telah melewati sejarah panjang dan mengalami pergeseran-pergeseran epistemologis. Qur’anic studies sejak era Johan al-Dimasqi ( 650-750) hingga abad tujuh belas dapat dikatakan sebagai bentuk apologi-apologi missonaris.
Pada abad ke-18 M, Qur-anic studies mengarah pada arus yang relative obyektif sejak kemunculan Islamolog, seperti George Sale dan Andrianus Relandus. Mereka hendak menyelamatkan Islam dami image buruk di Barat.
Dalam makalah ini yang berjudul “Tokoh orientalisme Atrhur Jeffry” yang mana didalamnya akan membahas mengenai biografi, pemikiran-pemikirannya terutama dalam masalah The Qur’an as scripture dan The foreign vocabulary of the Qur’an. Semoga dapat memberikan sedikit gambaran dan pemahaman dari seorang tokoh orientalisme Arthur Jeffry, tulisan ini tak lupus dari kesalan penulis.

PEMBAHASAN

A.    Biografi Arthur Jeffry
Arthur Jeffery lahir di kota Melbourne pada tanggal 18 Oktober 1892 dan meninggal 2 Agustus 1959 di  South Milford (Nova Scotia, Canada), dalam keluarga Kristen Metodis. Ia menyelesaikan pendidikan S1 (1918) dan S2 (1920) di kota kelahirannya, yaitu Universitas Melbourne. Ia kemudian berangkat ke Madras untuk mengajar di Akademi Kristen Madras (Madras Christian College). Di akademi inilah ia bertemu Pendeta Edward Sell (1839-1932), seorang missionaries yang jauh lebih senior sekaligus menjabat sebagai dosen. Dialah yang pada pertemuan selanjutnya menjadi pemicu Jeffery untuk mengkaji historisitas al-Qur’an.
Setelah sekitar setahun mengajar di Madras, Jeffery mendapat tawaran dari Dr.Charles R. Watson, Presiden pertama American University di Kairo, untuk menjabat sebagai staf di fakultas School of Oriental Studies (S.O.S). Pada tahun 1921, Jeffery berangkat ke Kairo dan menjadi staf junior di Fakultas School of Oriental Studies. Staf-staf lain terdiri dari tokoh misionaris bertaraf internasional seperti Earl E. Elder, William Henry, Temple Graidner. dan Samuel Marinus Zwemer, pendiri Konferensi Umum Misionaris Kristen sekaligus pendiri jurnal The Muslim World. Tidak lama setelah berada di Kairo, Zwemer mengangkat Jeffery sebagai Editor Pembantu (Associate Editor) untuk jurnal The Muslim World.Sekalipun pada saat itu Jeffery baru bergelar M.A.[1]
Jeffery banyak sekali menuangkan gagasannya dalam Jurnal The Muslim World. Hampir sebagian besar artikelnya diterbitkan dalam jurnal tersebut. dia menulis untuk pertama kalinya dalam jurnal tersebut mengenai “Eclecticism in Islam” (1922). Pada tahun 1923, Jeffery menyelesaikan masa bujangannya dengan mengawini Elsie Gordon Walker, sekretaris bosnya, Dr. Charles R. Watson. Pada tahun 1929, Jeffery mendapat gelar Doktor dari Universitas Edinburgh dengan anugerah yang sangat istimewa (with special honors).
Arthur Jeffery menggunakan kajian filologi dan kritik teks. Pendekatan yang digunakan merupakan salah satu bagian dari pendekatan Historis-kritis.
 
B.     Pemikiran Arthur Jeffry
1.      The Qur’an as Scripture[2]
Surat al-Fatihah menurut Jeffery bukan bagian integral dari surat-surat Alquran(it was not originally part of the text). Menurutnya, Fatihahini hanyalah merupakan susunan doa (prayer composed) sebagaimana buku suci lainnya dalam agama-agama di Timur Dekat.Pendapat Jeffery tersebut selain menyandarkan pada pendapat sesama orientalis, yaitu Noldeke, dia juga menyandarkan pemikirannya ini pada pendapat ulama Islam, yaitu Abu Bakar al-Asham yang dikutip oleh ar-Razi.[3]
Nama lain dari al-Fatihah sebutan al-Razi adalah al-asas karena salah satu alasannya, dia merupakan surat pertama dari Alqur’an.Tetapi, penulis menemukan apa yang Jeffery maksud, yaitu di dalam kitab Ghara’ib al-Qur’an wa Ghara’ib al-Furqan. Memang, al-A'sham itu berpendapat, bahwa :
عن أبي بكر الأصم أنه قال كان ابن مسعود لا يكتب في مصحفه فاتحة الكتاب

Bersumber dari Abu Bakar Ash-Sham bahwasanya, ia berkata keberadaan Ibnu Mas’ud tidak tidak menulis Al-Fatikhah dalam mushafnya. 
Tetapi pada kitab tersebut jelas alasannya, bahwa a-A'sham memahami QS al-Hijr [15]: 87 dan dia menganggap bahwa huruf al-wawu (و)pada kata Al-quran Adhim sebagai huruf athaf(sambung), maka konsekuensinya menurut dia adalah:
“Dan huruf Athaf wajib berubah, maka wajib pula eksistensi as-sab’u al-matsani bukanlah Al-Qur’an.
Asumsi dasar dari metode-kritis historis ini adalah teks al-Qur’an, sebagaimana teks-teks “kitab suci” lainnya telah mengalami perubahan-perubahan. Selain tidak memiliki autografi dari naskah asli, wajah teks asli juga telah dirusak (berubah), sekalipun alasan perubahan itu demi kebaikan. Manuskrip-manuskrip awal al-Qur’an, misalnya, tidak memiliki titik dan baris, serta ditulis dengan khat Kufi yang sangat berbeda dengan tulisan yang saat ini digunakan. Jadi, teks yang diterima (textus receptus) saat ini, bukan Fax dari al-Qur’an yang pertama kali. Namun, ia adalah teks yang merupakan hasil dari berbagai proses perubahan ketika periwayatannya berlangsung dari generasi ke generasi di dalam komunitas masyarakat.[4]
Jeffery, orientalis Australia, juga memiliki magnum opus berjudul The Qur’an as Scripture. Studi komparatifnya mengantarkan pada kesimpulan bahwa sejatinya tidak ada kitab suci yang sakral, tetapi tindakan komunitas umat beragama (the action of community) yang membuat sebuah kitab suci menjadi sakral dan terkuduskan. Al-Qur`an, Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Avesta, Veda dan lain-lain, telah menjadi ecriture (al-kitab al-muqaddas) lantaran semata-mata disakralkan oleh para pemeluk agama.
Arthur Jeffery merupakan salah seorang tokoh orientalis yang mengkaji tentang al-Qur’an. Dimana yang kita tahu bahwa para sarjana Barat ketika mengkaji al-Qur’an adalah mengenai sejarahnya yang menurutnya kajian al-Qur’an merupakan kajian utama. Menurut Jeffery, tidaklah ada yang istimewa mengenai sejarah al-Qur’an yang mana menurutnya sejarah tersebut sama dengan sejarah kitab-kitab suci yang lainnya. Al-Qur’an dianggap suci padahal sudah banyak mengalami beberapa tahap. Dalam pandangan Arthur Jeffery, sebuah kitab dianggap suci karena tindakan masyarakat. Dari tindakan masing-masing agamalah yang menjadikan sebuah kitab itu suci. Penduduk Kuffah misalnya, yang menganggap bahwa Mushaf Abdullah Ibn Mas’ud sebagai al-Qur’an edisi mereka. Penduduk Basrah menganggap Mushaf  Abu Musa, penduduk Damaskus menganggap Mushaf Miqdad ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan mushaf  Ubayy bin Ka’ab.[5]
Pendapat Arthur Jeffery sebenarnya merupakan suatu refleksi dari agama Kristen yang dianutnya. Dimana dalam ajaran Kristen, Bible merupakan sebuah persoalan yang tidak mungkin untuk diselesaikan lagi. Hal ini disebabkan karena teks asli sudah tidak ada lagi dan terdapat beragam versi yang tidak mungkin didamaikan. Dengan menggunakan metode kritis-historis, para Orientalis menganalisa sejarah teks al-Qur’an dari zaman Rasulullah saw sampai tercetaknya teks al-Qur’an.
Dalam pandangan Jeffery, ketika Muhammad hidup. Ia menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada niatan untuk menghimpun wahyu ke dalam sebuah mushaf. Sehingga dari sinilah muncul suatu upaya untuk menjatuhkan dan menyamakan bacacaan al-Qur’an yang dikenal dengan model mushaf utsmani.[6]
a.       Al-Qur’an pada masa Rasulullah
Menurut Jeffery, ketika Muhammad masih hidup, materi wahyu belumlah dihimpun dan disusun. Meskipun dalam hal ini Muhammad telah merekam sejumlah materi wahyu, namun al-Qur’an yang sudah dihimpun ini tidaklah ada bukti ketika Muhammad wafat. Jeffery mengatakan pula bahwa pada awalnya sebenarnya para sahabat tidak merasa perlu untuk menghimpun wahyu dan menurutnya kebutuhan itu muncul ketika para sahabat menghadapi situasi yang baru.[7]Denganberpendapatsepertiini, Jeffery inginmenunjukkanbahwa Muhammad tidakpunyaambisisedikitpununtukmenghimpunwahyudalamsebuahmushaf.[8]
b.      Al-Qur’an pada zaman Abu Bakar
Dalam pandangan Jeffery, bahwa teks yang dihimpun pada masa ini bukanlah teks revisi resmi. Karena menurutnya, teks tersebut merupakan koleksi pribadi untuk khalifah Abu Bakar. Jeffery meragukan jika Abu Bakar memang menghimpun mushaf. Jeffery menegaskan bahwa banyak mushaf lain yang beredar dan beredar di berbagai wilayah. Diantaranya, Salim Ibn Mu’qib, Ali Ibn Talib, Anas Ibn Malik, Abu Musa al-Ash’ari, Ubay Ibn Ka’ab dan Abdullah Ibn Mas’ud. [9]
c.       Mushaf pra-Utsmani
Menurut Arthur Jeffery, ada dua kategori uatam dari mushaf-mushaf yang diklasifikannya, yaitu mushaf primer dan sekunder. Menurutnya terdapat 15 Mushaf primer dan 13 Mushaf sekunder.[10] Beberapa mushaf primer dan sekunder, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mushaf-mushaf primer:
a) Mushaf Salim ibn Ma’qil
b) Mushaf Umar ibn Khaththab
c) Mushaf Ubay ibn Ka’ab
d) Mushaf ibn Mas’ud
e) Mushaf Ali ibn Abi Thalib
2. Mushaf-mushaf sekunder
a) Mushaf Alqama ibn Qais
b) Mushaf al-Rabi’ ibn Khutsaim
c) Mushaf al-Harits ibn Suwaid
d) Mushaf al-Aswad ibn Yazid
e) Mushaf Hiththan
Banyaknya Mushaf pra-Utsmani menunjukkan bahwa pilihan Utsman terhadap tradisi teks Madinah tidaklah berarti pilihan terbaik. Dari klasifikasi mushaf primer dan sekunder di atas, Jeffery mengomentari beberapa mushaf di dalamnya, diantaranya adalah:
1)      Mushaf Abdullah Ibn Mas’ud
Kritikan Jeffery, bahwa al-Fatihah bukanlah bagian dari al-Qur’an. Ia adalah do’a yang diletakkan di depan dan dibaca sebelum membaca al-Qur’an. Asumsi lain yang dikatakan oleh Jeffery adalah Abdullah Ibn Mas’ud menganggap bahwa surat an-Nas dan al-Falaq tidaklah termasuk dalam al-Qur’an. Selain itu, ada dua versi berbeda mengenai Mushaf Ibn Mas’ud yakni versi yang dikemukakan ibn Nadim dalam Fihris berbeda dengan versi as-Suyuti dalam Itqan.
2)      Mushaf Ubay Ibn Ka’ab
Dalam hal ini, Jeffery berpendapat bahwa mushaf tersebut memiliki persamaan dengan Mushaf Ibn Mas’ud dan mengandung dua ekstra surat: al-Hafd dan al-Khala’.
d.      Al-Qur’an pada zaman Utsman bin Affan
Pada umumnya para orientalis menyalahkan tindakan Utsman yang menutup perbedaan. Menurut Jeffery, sebenarnya terdapat beragam mushaf yang beredar diberbagai wilayah kekuasaan Islam. Mushaf-mushaf tersebut berbeda dengan Mushaf Utsmani. Jadi ketika Mushaf Utsman dijadikan satu teks standart yang resmi dan digunakan untuk seluruh wilayah kekuasaan Islam, maka hal tersebut menurutnya tidaklah terlepas dari alasan-alasan politis.[11]
      2.      Foreign Vocabulary of the Qur’an
Dalam hal ini, jeffery ingin menganalisis secara kritis terhadap al-Qur’an. Menurutnya hal ini belum dilakukakn oleh mufassir Muslim dengan memuaskan. Jeffery mengklaim bahwa tafsir al-Qur’an yang dilakukan oleh para mufassir Muslim tidak kritis dan belum memuaskan karena menurutnya tidak memuat pengaruh bahasa asing.
Menurut Jeffery, mengetahui kosa kata al-Qur’an adalah sebuah keharusan untuk memahami al-Qur’an itu sendiri. Disebabkan kosa kata al-Qur’an banyak mengandung kosa kata asing, maka untuk mengetahui kosa kata asing tersebut merupakan keharusan bagi yang ingin memahami al-Qur’an.
Arthur Jeffery, seorang orientalis Australia Amerika,dalam tulisannya bertitel A Variant Text of the Fatihah, dia menyimpulkan hasil analisanya bahwa, surat al-Fatihah bukanlah bukanlah integral dari surat-surat Al-Qur’an.
Dalam karyanya mengenai kosa kata asing dalam Al-Qur’an, Misalnya kata الرحمن yang terdapat dalam Al-Fatikah ini berasal dari bahasa Hebrew. Sedangkan menurut Al-Mubarrad dalam Asy-Syuyuthi berasal dari Ibraniyyah asalnya dengan al- Kha (خ) .[12]
Jeffery mempublikasikan kosa kata asing dalam Al-quran yang berasal dari bahasa Aramaic-Syriac group bahasa Semit ini sampai 322 kosa kata.Begitu pula dengan Pengetahuan ilmu Qira'ah-nya, Jefferybersama Bergsträsser mendalamin ilmu Qira'ah ini di Kairo.

      a.       Kata مالك (ayat 4)
Dalam Al-Qur’an kata مالك menggunakan huruf min dan huruf alif yang dibaca panjang.
·         Menurut Ibn Mas’ud ra, Umar bin Khattab r.a dan ‘Aisyah r.a مليك يوم الدين
·         Menurut Ubai bin Ka’ab مليك يوم الدين
·         Menurut Ali nin Abi Thalib ملك يوم الدين
  
      b.      Ayat 5إيّاك
Menurut Jeffry dan Ubai bin Ka’ab dibaca dengan tanpa tasydid.
·         Jumhur Sab’ah            إياك نعبد وإياك نستعين
·         Abu Fayyid اياك نعبد واياك نستعين

      c.       Kata اهد نا  ayat 6
Kata ihdina dalam Al-Qur’an menurut Jeffry, Ibn Mas’ud membacanya arsyadna , Ali r.a dan Ubai bin Ka’ab membacanya tsabitna dan Ubai adakalanya membaca dzulna.
Beberapa ragam bacaan:
·         Jumhur Sab’ah            الصّراط المستقيم  اهدنا
·         Ali dan Ubai bin Ka’ab    ثبتنا الصّراط المستقيم
·         Ibn Mas’udأرشدنا الصّراط المستقيم
·         Tsab al-Banani بصرنا الصّراط المستقيم

      d.      Kata صراط / الصّراط (ayat 6/7)
·         Abi Amru, Jumhur      الصّراط المستقيم   
·         Ja’far bin Muhammad صراط المستقيم   
·         Mujahid, Ibn Katsir    السّراط المستقيم    
·         Zaid bin Ali     صراطا مستقيما
·         Umar bin Khattab       صراط من أنعمت عليهم      
  
3.      Ragam bacaan al-Qur’an
Jeffery menggunakan metodologi orientalis dan menolak cara kritis kaum Muslimin dalam menganalisis isnad. Jeffery berpendapat bahwa tidak adanya tanda titik dalam Mushaf Utsmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca untuk memberikan tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang dipahami..
4.      Al-Qur’an Edisi Kritis
Menurut Jeffery, al-Qur’an memiliki banyak kelemahan dimana ia berkeinginan untuk menyususn sebuah al-Qur’an dengan bentuk yang baru yang kemudian disebut dengan al-Qur’an edisi kritis. Pandangan Jeffery format al-Qur’an edisi kritis tersebut memiliki empat jilid. Jilid pertama, mencetak teks Hafs yang diklaim sebagai textus receptus. Teks tersebut akan direkontruksi menurut sumber-sumber terlama, yang berkaitan dengan tradisi Hafs. Teks tersebut akan dicetak menurut nomor ayat Flugel. Jilid kedua, berisi pengenalan (introduction). Jilid ketiga, dilengkapi dengan anotasi-anotasi, yang pada dasarnya merupakan komentar terhadap apparatus criticus. Adapun jilid keempat, berisi kamus al-Qur’an.[14]          
KESIMPULAN

Pemikiran-pemikiran Arhur Jeffry dalam bukunya yang berjudul The Qur’an as scripture  yang didalamnya berisi mengenai Al-Qur’an, bahwa sejatinya tidak ada kitab suci yang sakral, tetapi tindakan komunitas umat beragama (the action of community) yang membuat sebuah kitab suci menjadi sakral dan terkuduskan. Al-Qur`an, Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Avesta, Veda dan lain-lain, telah menjadi ecriture (al-kitab al-muqaddas) lantaran semata-mata disakralkan oleh para pemeluk agama.
Kemudian dalam buku yang berjudul The foreign vocabulary of the Qur’an, membahas mengenai kosa kata-kosa kata asing didalam Al-Qur’an menurut Atrhur Jeffry di dalam Surah Al-Fatikhah pada Kata مالك (ayat 4), Ayat 5إيّاك , Kata اهد نا  ayat 6, Kata صراط / الصّراط (ayat 6/7), Kata غير (ayat 7) terdapat banyak perbedaan pendapat dikalangan Jumhur dan Shahabat dalam membacanya.
      
DAFTAR PUSTAKA

Arthur Jeffry. 2007. Arhur Jeffry Papers 1920-1959 .Columbia University Library.
Muslih. Membedah Pemikiran Atrhur Jeffry seputar variasi teks Al-Fatikha. Bandung:UIN Sunan Gunung Jati.
Jurnal Al-Bayyan, Studi Al-Qur’an dan Tafsir 1,1 (Juni, 2016)
M.Syarifuddin, Anwar. 2011. Kajian Orientalis terhadap Al-Qur’an dan Hadits .UIN Syarif Hidayatullah.
Syamsudin Arif.2014. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani.
PDF,Sejarah Kodifikasi al-Qur’an: Telaah Atas Pemikiran Arthur Jeffery
Abdul Karim, Pemikiran Orientalis Terhadap Kajian Tafsir Hadis, STAIN Kudus, Jurnal Addin, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013.
Arthur Jeffery. 1937. Materials for the History of the Text of the Qur’an. Leiden: E.J. Birll.


[1] M.Syarifuddin, Anwar,  Kajian Orientalis terhadap Al-Qur’an dan Hadits ,(UIN Syarif Hidayatullah).2011,hlm.12
[2]  Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani,2008),hlm.36
[3]  Ibid,hlm.37
[4]  Siti Zubaidah,”Pemikiran Arthur Jeffry” Hermeneutik, Vol.7 No.2. Desember 2013,hlm.8
[5]  Rahmawati ,”Sejarah Kodifikasi al-Qur’an: Telaah Atas Pemikiran Arthur Jeffery,hlm.3.
[6]Abdul Karim, Pemikiran Orientalis Terhadap Kajian Tafsir Hadis, STAIN Kudus, Jurnal Addin, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013.hlm.317.
[7]PDF,Sejarah Kodifikasi al-Qur’an: Telaah Atas Pemikiran Arthur Jeffery,hlm.4.
[8] Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an, (Leiden: E.J. Birll, 1937), hlm. 5-6
[9]Op.cit,hlm.4.
[10]Abdul Karim,Op.Cit.hlm.319.
[11]PDF,Sejarah Kodifikasi al-Qur’an: Telaah Atas Pemikiran Arthur Jeffery,hlm.4-7.
[12]  Jurnal Al-Bayyan, Studi Al-Qur’an dan Tafsir 1,1 (Juni, 2016)
[13]  Muslih, Membedah Pemikiran Atrhur Jeffry seputar variasi teks Al-Fatikha (Bandung:UIN Sunan Gunung Jati)
[14]Ibid,hlm.8-9.

Nilai Prespektif Kant


     oleh : Edi Mulyono
     A.    Pendahuluan
Pandangan Immanuel Kant mengenai etika tak kalah menariknya. Menurutnya etika bersifat fitri. Meskipun demikian, sumbernya tidak bersifat rasional ataupun teoritis. Bahkan, menurut kant, ia bukan urusan nalar murni, juustru apabila manusia menggunakan nalarnya dalam berusha merumuskan eika ia dengan sendirinya tidak akan sampai pada etika yang sesungguhnya disamping bakal berselisih satu sama lain mengenai mana baik dan mana buruuk etika yang bersifat rasional bukan lagi etika, akan tetapi bisa terjebak dalam untung rugi. Dengan kata lain perbuatan etis dapat menghasilkan keuntungan bagi pelakunya, tetapi juga bisa mengakibatkan kerugian baginya. Immanuel Kant mengatakan bahwa etika adalah urusan nalar praktis artinya pada dasarnya nilai-nilai moral itu sudah ada pada diri manusia sebagai kewajiban, kecenderungan manusia untuk berbuat baik misalnya suudah ada pada diri manusia. Manusia pada intinya hanya menunaikan kecenderungan diri dalam setiap perbuatannya.
      B.     Kehidupan Immanuel Kant
Immanuel Kant dilahirkan sebagai anak keempat dari seorang pembuat pelana kuda Konigsberg pada 1724 M. Beberapa nenek moyangnya datang dari skotlandia ke jerman. Dia berkembang dalamsuasana kekristenan yang sholeh, dimulai 1740 ia mengkaji filsafat, matematika, dan teologi di konigsberg. Dari tahun 1747 sampai tahun 1755 terdorong untuk membiayai hidupnya sendiri setelah kematian ayahnya. Dia bekerja sebagai guru pribadi dalam bebrapa keluarga pada akhir periode ini ia ditunjuk ebagai dosen pada sebuah universitas. Dua kali ia melamar menjadi guru besar filsafat di konisberg namun ia gagal, pada tahun 1764 ia menolak menjadi guru besar sastra di konigsberg, akhirnya pada 1770 dia diangkat menjadi guru besar logika dan metafisika.pada tahun 1796 dia berhenti memberi kuliah dengan alasan telah tua, pada tahun 1798 kesehatannya menurun, dan pada tahun 1804 dia meninggal dalam keadaan pikun.[1]
Immanuel Kant bertubuh sangat kecil, kurus, berdahi rata, bahu kanannya lebih tinggi dari pada bahu kiri. Dia lemah pada dasarnya sehat/
    C.     Tujuan Filsafat Immanuel Kant
Melalui Filsafatnya kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar supaya maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme, sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetap melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal. Nah, kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni.[2]
      D.    Karya-karya Immanuel Kant
Karya kant dibagi menjadi dua bagian, bagian praktis dan bagian kritis, pada masa prakritis 1746-1770 kant menulis pelbaga masalah dari bidang ilmu alam, ilmu pasti, dan ilmu filsafat. Kemudian selama 11 tahun kant tidak menulis apapun. Itulah saat pikiran kant berubah.[3]
Kant sendiri menulis bahwa empirisme filsuf skotlandia david hume membangunkannya dari tidur dogmatisnya hume telah mendestruksikan anggapan filsafat sebelumnya bahwa paham-paham seperti subtansi atau sebab dapat ditemukan dalam realistis empiris. Yang pasti menurut hume adalah yang empiris. Dan itu berarti pengetahuan kita tidak lebih dari sderetan kesan-kesan indrawi saja. Kant mengambil alih dan sekaligud mengatasi titik tolak hume itu. Menurutnya hume betul dalam kritik terhadap filsuf sebelumnya, akan tetapi ia tidak betul dalam pengetahuan manusia.
Setelah karya pertamanya diterbitkan pada usia dua puluh dua (1764) terdapat masa jeda selama delapan tahun sejak itu hingga seterusnya diikuti karya-karya lain. Kecuali dari tahun 1770 hingga tahun 1781saat nyaris ia tidak memplubikasikan karyanya  meskipun paada dasarnya ia adalah penulis produktif, akan tetapi kant diam pada saat itu. [4]
Karyanya yang menegakkan popularitasnya secara definitif adalah Kritik de reinen vernunfi (critique of pure reason) diterbitkan pada tahun 1781
Suatu garis pemisah yang jelas digambarkan antara karya kritiis dan praktis. Dimulai pada tahun 1781 (pada saat itu kant berusia 57 tahun). Karya-karya selanjutnya di selesaikan dalam waktu yang singkat. Karya saelanjutnya adalah prolegomena zu einer jeden kunftigen metaphysik (prolegomena to any future metaphysics) pada 1783.
Karya kant tentang etika atau filsafat praktis  cukup banyak. Dua tahun setelah publikasi prolegomena, dia mulai menulis filsafat etikanya. Buku pertama yang muncul adalah grundlegunk zur metafisik der siten(grown work of the metafisik of moral) pada 1785,tiga tahun berikutnya 1788 dia menerbitkan kritik der praktisum farnun(criticue of practical preason) yang dikenal dengan sercon criticue, karya2 lain yang memiliki keterkaitan dengan teori etika kant adalah kritik der kraft (criticue of man) yang dipublikasikan pada tahun  1790.[5]
     E.     Pemikiran Immanuel Kant
Filasafat yang di kenal dengan kritisisme adalah filsafat yang di introdusir oleh Immanuel Kant. Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak.[6]
Kant mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni dan memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan dengan menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme. Gagasan ini muncul karena pertanyaan mendasar dalam dirinya, yaitu Apa yang dapat saya ketahui? Apa yang harus saya lakukan? Dan Apa yang boleh saya harapkan?.
Filsafat Kant disebut sebagai filsafat kritis, karena pemikirannya mengkritik pandangan empirisme dan rasionalisme sebagai dua pandangan yang bertentangan dalam filsafat, terutama sejak renaisans dan pencerahan. Kant kemudian menyatakan bahwa kedua pandangan ini berat sebelah. Kant berusaha menganalisis syarat-syarat serta batas-batas kemampuan rasional manusia serta dimensinya yang murni teoritis dan praktis-etis dengan menggunakan rasio itu sendiri. Titik tolak analisis kant bertolak dari analisis terhadap kegiatan akal-budi, lalu mencoba memahami kemampuan serta batas-batas akal budi itu. Analisi itu bersifat kritis dan bukan psikologi dengan mencari daya/potensi yang berperan dalam proses ilmiah. Analisisnya lebih bersifat kritis logis yang meneliti hubungan antar unsur-unsur isi pengertian satu sama lain.
Kritisisme Immanuel Kant sebenarya telah memadukan dua pendekatan alam pencarian keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substanstial dari sesuatu itu. Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak dapat dijadikan tolok ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata dan rasional, sebagaimana mimpi yang nyata tetapi “tidak real”, yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran.
            Dengan pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirisme harusnya bergabung agar melahirkan suatu paradigma baru bahwa kebenaran empiris harus rasional, sebagaimana kebenaran rasional harus empiris. Jika demikian, kemungkinan lahir aliran baru yakni rasionalisme empiris.
      a )      Macam-macam Kritik Menurut Immanuel Kant
1.      Kritik Atas Rasio Murni
Adapun  Inti  dari  isi buku yang  berjudul Kritik atas Rasio Murni  adalah sebagai berikut:
a.       Kritik atas akal murni menghasilkan sketisisme yang beralasan.
b.      Tuhan yang sesungguhnya adalah kemerdekaan dalam pengabdian pada yang  di cita-citakan. Akal praktis adalah berkuasa dan lebih tinggi dari pada akal teoritis.
c.       Agama dalam ikatan akal terdiri dari moralitas. Kristianitas adalah moralitas yang abadi
2.      Kritik Atas Rasio Praktis
            Rasio  praktis adalah rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan, atau dengan kata lain, rasio yang memberi perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberi perintah yang mutlak yang disebutnya sebagai imperatif  kategori.
3.      Kritik Atas Daya Pertimbangan
            Kritik atas daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif.
Adapun Inti dari Critique of  Judgment (Kritik atas pertimbangan) adalah sebagai berikut:
·         Kritik atas pertimbangan menghubungkan diantara kehendak dan pemahaman.
·         Kehendak cernderung menuju yang baik, kebenaran adalah objek dari  pemahaman.
·         Pertimbangan yang terlibat terletak diantara yang benar dan yang baik
·         Estetika adalah cirinya tidak teoritis maupun praktis, ini adalah gejala yang ada pada dasar subjektif.
·         Teologi adalah teori tentang fenomena, ini adalah bertujuan: (a) subjektif (menciptakan kesenangan dan keselarasan) dan (b) objektif (menciptakan yang cocok melalui akibat-akibat dari pengalaman).[7]
    b)      Moralitas menurut kant
Moralitas menhyangkut  hal yang baik dan buruk, akn tetapi bukan sembarang baik dan buruk. Menurut bahasa kant moralitas adalah apa yang baik menurut dirinya sendiri, yang baik tanpa batas sama sekali. Kebaikan moral adalah yang baik dari segala segi tanpa pembatasan jadi yang baik bukan hanya dari segala segi, melainkan baik begitusaja.
Menurut kant kehendak baik adalah kehendak yang mau melakukan kewajiban. Suatu pengada yang murnirohani (tidak berbadan) yang semata-mata ditentukan oleh akal budi, tidak memerlukan paham kewajiban, ia  dengan sendirinya akan bertindak sesuai dengan akal budi. Akan tetapi ia bukan roh murni manusia juga punya hawa nafsu yang bersaing dengan akal budi dengan dorongan batin, kebutuhan fisik dan psikis. Jadi tindakannya yang rasional atau tindakan menurut akal budi bersaing dengan tindakan yang menyesuiakan dengan segala kondisi indrawi alami. Manusia tidak hanya tertasrik untuk bebuat baik, juga ia bisa berbuat jahat.[8]
Ada tiga kemungkinan orang melakukan kewajiban. Yang pertama orang melakukan kewajiban karena hal itu menguntungkan, misalnya ia mendapat nama baik kepada langgangannya, kedua ia melakukan kewajiban karena karena ia merasa langsung terdorong dalam hatinya, misalnya ia membantu orang yang menderita karena tergerak hatinya merasa kasihan, ketiga orang melakukan kewajiban karena demi kewajiban tersebut, jadi ia melakukannya karena ia memenuhi apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Menurut kant, hanya kehendak yang ketiga inilah yang bener-benar dikatan moral.
Kebaikan jasmaniah dan kebaikan alami
Penalaran moral kant mensyaratkan dan secara sistematis memasukan tujuan-tujuan manusia yang bersifat alamiah atau fisik kedalam objek rasio murni praktis, karena dia beragumentasi bahwa rasio membatasai dan mengondisikan pencarian kita dan atas tujuan-tujuan alamiah kita sendiri, dan menuntut tujuan-tujan alamiah orang lain tunduk kepada kemauan kondisi alamiah rasional universal yang sama. Dari tujuan-tujuan yang terbatas ini dan bersyarat ini kant menurunkan komponen bersyarat kedua tentang kebaikan tertinggi yang dinamakan kebaikan alamiah.
Suatu mahluk terbatas adalah suatu mahluk dengankebutuhan-kebutuhan suatu mahluk dengan kodratnya itu memiliki kecenderungan dan keinginan inderawi keinginan ini menyediakan mahluk rasional terbatas dengan tujuan-tujuan alamiah. Tujuan-tujuan yang di perkirakan dapat mendahului setiap ketentuan kehendak melalui rasio. Tujuan ini dipersatukan oleh rasio sebagai sebagai kebijaksanaan menjadi ide tentang kebahagiaan
Rasio sebagai kebikjasanaan mendefinisikan kebaikan alamiah bagi manusia mendahului pertimbangan moral apapun. Sepanjang seseorang mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi suatu tindakan demi kebahagiaan atau ketidakbahagiaan pribadinya sendiri ia tidak berkaitan dengan moralitas atas tindakannya.
Kebahagiaan, kebaikan, kesejahteraan alamiah manusia dapat dicakupkan dalam atau dikeluarkan dari objek rasio murni praktis. Seseorang yang mendapatkan kesenangan dalam kerja atau orang menikmati manfaat dari pekerjaannya jelas berhak atas kebahagiaan yang dinikmatinya. Dan kebahagiaan itu tercakup dalam tujuan tindakan moralnya. Kebahagiaan orang yang berhak sedemikian itu merupakan kebaikan bagi moralitas, sesuatu yang secara moral menuntuk kita untuk mencarinya. Disisi lain kebahagiaan yang dimiliki oleh pencuri yang zalim yang dengan mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap keluarga dan masyarakatnya mencuri uang dengan jumlah yang besar hidup bercukupan di negeri lain sama sekali bukan kebaikan moral. Kebahagiaan yang di milikinya yang jauh dari kebaikan moral merupakan kejahatan moral menurut kant.[9]
Tahap-tahap proses pengetahuan menurut Emanuel Kant
1   .      Penampakan pada obek
2   .      Intuisi
3   .      Persepsi
4   .      Pengalaman

Pandangan Emanuel Kant tentang nilai
Dapat di lihat dari pemikiran Emanuel Kant bahwa ia termasuk kalangan subyektif  tentang nilai. karena ia lebih menekankan peran akal tentang mengambil keputusan akan tetapi tidak sama dengan kalangan subyektif yang lain. Emanuel Kant lebih dari itu. Karena ia melihat sesuatu bernilai pada suatu hal bahwa sebenarnya jika orang memandang tentang suatu hal maka akan dibawa kepada akal budi yakni lebih dalam dari akal, lewat akal budi tersebut orang akan mengambil keputusan apakah hal itu bernilai atau tidak. Dan peran objek hanya sebagai obyek saja seluruhnya di serahkan kepada akal budi yang ada pada subyek.  Menurut Emanuel Kant bahwa akal budi manusia ada dua yakni akal budi teoritis dan akal budi praktis, dengan akal budi teoritis manusia mendapatkan pengetahuan dari pengalaman empiris. Dengan akal budi praktis manusia menggunakannya untuk bertindak yaitu memutuskan untuk bertindak mana tindakan yang baik dan mana tindakan yang buruk. Nah, dengan akal budi teoritis inilah kant mendapatkan informasi dari indera tentang obyek, akan tetapi dengan akal budi praktis ini kant memutuskan tindakanya dan menilai tentang obyek yang ia dapat dari pengalaman empiris dan inderawi.     
     F  .      Penutup
Tiga karya pemikiran Immanuel Kant yang sangat penting merupakan kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, kritik atas pertimbangan. Ketiga karyanya inilah yang sangat mempengaruhi pemikiran filosof sesudahnya, yang mau tak mau menggunakan pemikiran kant. Karena pemikiran kritisisme mengandung patokan-patokan berfikir yang rasional dan empiris
Moralitas menyangkut  hal yang baik dan buruk, akan tetapi bukan sembarang baik dan buruk. Menurut bahasa kant moralitas adalah apa yang baik menurut dirinya sendiri, yang baik tanpa batas sama sekali. Kebaikan moral adalah yang baik dari segala segi tanpa pembatasan jadi yang baik bukan hanya dari segala segi, melainkan baik begitusaja.
Menurut Emanuel Kant bahwa akal budi manusia ada dua yakni akal budi teoritis dan akal budi praktis, dengan akal budi teoritis manusia mendapatkan pengetahuan dari pengalaman empiris. Dengan akal budi praktis manusia menggunakannya untuk bertindak yaitu memutuskan untuk bertindak mana tindakan yang baik dan mana tindakan yang buruk

      G.    Daftar Pustaka

M. Amin Abdullah, Antara Ghozali dan Kant Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002
Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada Media, 2008
Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika, Yogyakarta : Kanisius, 1997
Drs. Atang Abdul Hakim, MA., Filsafat Umum dari Metologi Sampai teofiologi, Bandung : pustaka setia, 2008


[1] M. Amin Abdullah, Antara Ghozali dan Kant Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 33
[2]Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada Media, 2008, hlm 116
[3] Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika, Yogyakarta : Kanisius, 1997, hlm 137
[4] M. Amin Abdullah, Antara Ghozali dan Kant Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 34

[5] Ibid..hlm. 34
[6]Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada Media, 2008, hlm 114

[7]Drs. Atang Abdul Hakim, MA., Filsafat Umum dari Metologi Sampai teofiologi, Bandung : pustaka setia, 2008, hlm 287
[8]Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika, Yogyakarta : Kanisius, 1997, hlm. 144
[9] M. Amin Abdullah, Antara Ghozali dan Kant Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm.99-101