Categories
- Al-Quran
- Bangkit bersama membangun bangsa
- Bangkit Membangun Bangsa
- BKI
- BPI
- Dakwah
- Disintegrasi
- DiskusiIAT
- DiskusiIAT.
- Filsafat
- Hadis
- HaokIAT
- HaokIH
- Hermeneutika.
- Humaniora. Budaya
- IAIN
- IAIN.
- IAT
- IAT.
- Ilha
- Ilmiah
- Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
- Ilmu al-Quran dan Tafsir
- Ilmu Hadis
- Indonesia Bangkit
- Integrasi
- KPI
- KPrBPI
- KPrIAT
- KPrIH
- KuliahOnline
- MklIAT
- MklIH
- MklTP
- Moderasi beragama
- opini
- Orientalisme
- PAI
- PBA
- PBA. Ilmu Hadis
- PBA. Pendidikan
- Pendidikan
- Sejarah
- SilaBPI
- SilaIAT
- SilaIH
- SilaIlha
- Sosial Budaya
- STAIN
- Studi Islam.
- Studi Islam. Ilmu Hadis
- Tasawuf dan Psikoterapi
- TBIg
- TMat
- UIN Gus Dur
- UIN K.H Abdurrahman Wahid.
Sample Text
About Me
- Awan
- Lulusan UIN Sunan Kalijaga dan UIN Walisongo yang sekarang ngabdi di UIN K.H Abdurrahman Wahid, Pekalongan
Formulir Kontak
Total Tayangan Halaman
Cari Blog Ini
Labels
- Al-Quran
- Bangkit bersama membangun bangsa
- Bangkit Membangun Bangsa
- BKI
- BPI
- Dakwah
- Disintegrasi
- DiskusiIAT
- DiskusiIAT.
- Filsafat
- Hadis
- HaokIAT
- HaokIH
- Hermeneutika.
- Humaniora. Budaya
- IAIN
- IAIN.
- IAT
- IAT.
- Ilha
- Ilmiah
- Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
- Ilmu al-Quran dan Tafsir
- Ilmu Hadis
- Indonesia Bangkit
- Integrasi
- KPI
- KPrBPI
- KPrIAT
- KPrIH
- KuliahOnline
- MklIAT
- MklIH
- MklTP
- Moderasi beragama
- opini
- Orientalisme
- PAI
- PBA
- PBA. Ilmu Hadis
- PBA. Pendidikan
- Pendidikan
- Sejarah
- SilaBPI
- SilaIAT
- SilaIH
- SilaIlha
- Sosial Budaya
- STAIN
- Studi Islam.
- Studi Islam. Ilmu Hadis
- Tasawuf dan Psikoterapi
- TBIg
- TMat
- UIN Gus Dur
- UIN K.H Abdurrahman Wahid.
Translate
Penulusuran
Workshop Metodologi Penelitian dan Pembimbingan Skripsi
Bersama Ali Mashuri, S.Psi, M.Sc.
Selasa, 26 Juni 2018
Relativisme Moral George Bernard Shaw
Seni Kaligrafi Dalam Pandangan Kenneth M. George
Jumat, 22 Juni 2018
Nyadran prespektif NU
Beberapa amalan Umat Islam di Jawa yang secara nama masih menggunakan bahasa Jawa namun secara subtansi telah berubah diisi dengan amalan Islami, masih saja dianggap sebagai sesuatu yang diharamkan, seperti Nyadran, Megengan, Tingkeban, Selapan atau lainnya. Padahal sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Akbar dari al-Azhar, Syaikh Jaad al-Haq menjelaskan:
العبرة فى المحرمات ليست بالأسماء، وإنما بالمسميات (فتاوى الأزهر – ج 7 / ص 210)
“Penilaian sesuatu yang diharamkan tidak terletak pada nama, namun pada subtansi isinya” (Fatawa al-Azhar 7/210)
Dalam Nyadran atau Megengan subtansinya adalah ziarah kubur, mendoakan almarhum, membaca ayat al-Quran, berbagi sedekah atas nama mayit, kesemuanya ini adalah ajaran Islam. Lalu dari segi mana yang haram dan sesat?
Rasulullah Bersedekah Makanan Atas Nama Khadijah
قَالَتْ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا ذَبَحَ الشَّاةَ فَيَقُولُ أَرْسِلُوا بِهَا إِلَى أَصْدِقَاءِ خَدِيجَةَ . قَالَتْ فَأَغْضَبْتُهُ يَوْمًا فَقُلْتُ خَدِيجَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا (رواه مسلم)
“Aisyah berkata: “Jika Rasulullah menyembelih kambing, maka beliau berkata: “Kirimkan daging-daging ini untuk teman-teman dekat Khadijah”. Aisyah berkata: “Saya memarahi Nabi di suatu hari”. Nabi bersabda: “Saya sudah diberi rezeki mencintainya” (HR Muslim)
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَفْعَلُهُ مِنْ ذَبْحِ الذَّبِيْحَةِ وَالتَّصَدُّقِ بِهَا عَنْ خَدِيْجَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا بَعْدَ وَفَاتِهَا فَقَالَ: طَبْعًا هَذَا مِنَ الصَّدَقَةِ نَعَمْ يُؤْخَذُ مِنْهُ اَنَّهُ يَتَصَدَّقُ عَنِ الْمَيِّتِ اِمَّا بِلَحْمٍ وَاِمَّا بِطَعَامٍ وَاِمَّا بِنُقُوْدٍ اَوْ بِمَلاَبِسَ يَتَصَدَّقُ عَنِ الْمَيِّتِ هَذَا مِنَ الصَّدَقَةِ عَنْهُ اَوْ بِاُضْحِيَّةٍ عَنْهُ فِي وَقْتِ اْلاُضْحِيَّةِ هَذَا كُلُّهُ مِنَ الصَّدَقَةِ عَنِ الْمَيِّتِ يَدْخُلُ فِيْهِ (فتاوى الاحكام الشرعية رقم 9661)
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallamamelakukan penyembelihan hewan dan menyedekahkannya untuk Khadijah setelah wafatnya (HR Muslim No 4464). Syaikh berkata: Secara watak ini adalah sedekah. Dari dalil ini dapat diambil kesimpulan bahwa boleh bersedekah atas nama mayit baik berupa daging, makanan, uang atau pakaian, ini adalah sedekah, atau dengan qurban saat Idul Adlha. Kesemua ini adalah sedekah atas nama mayit” (Fatawa al-Ahkam asy-Syar’iyah No 9661)
Melakukan sedekah untuk almarhum dapat dilakukan dimana pun, termasuk juga di makam, seperti yang disampaikan oleh ahli hadis al-Hafidz adz-Dzahabi bahwa seorang ulama bernama Abu al-Qasim Ismail bin Muhammad yang diberi gelar Qiwam as-Sunnah (penegak sunah) juga membawa makanan di makam:
وَسَمِعْتُ غَيْرَ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ (الْاِمَامِ اَبِي الْقَاسِمِ) أَنَّهُ كَانَ يُمْلِي ” شَرْحَ مُسْلِمٍ ” عِنْدَ قَبْرِ وَلَدِهِ أَبِي عَبْدِ اللهِ، فَلَمَّا كَانَ خَتْمُ يَوْمِ الْكِتَابِ عَمِلَ مَأْدَبَةً وَحَلَاوَةً كَثِيْرَةً، وَحُمِلَتْ إِلَى اْلمَقْبَرَةِ (تاريخ الإسلام للذهبي – ج 8 / ص 195)
Saya dengar lebih dari satu orang dari muridnya, bahwa Abu al-Qasim menulis Syarah Muslim di dekat makam anaknya Abu Abdillah. Ketika ia khatam menulis kitab, ia membuat makanan dan masnisan yang banyak, serta dibawa ke makam (Tarikh al-Islam, 8/195)
تاريخ الإسلام للذهبي – (ج 8 / ص 193)
إسماعيل بن محمد بن الفضل بن علي بن أحمد بن طاهر. الحافظ الكبير، أبو القاسم التيمي، الطلحي، الإصبهاني، المعروف بالحوزي، الملقب بقوام السنة.
ولد سنة سبعٍ وخمسين وأربعمائة في تاسع شوال.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِىُّ يَأْتِى مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا . وَكَانَ عَبْدُ اللهِ يَفْعَلُهُ (رواه البخارى رقم 1193 ومسلم رقم 3462)
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Saw mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, baik berjalan atau menaiki tunggangan. Dan Abdullah bin Umar melakukannya” (HR Bukhari No 1193 dan Muslim No 3462)
Imam an-Nawawi berkata:
فِيْهِ جَوَازُ تَخْصِيْصِ بَعْضِ الْأَيَّامِ بِالزِّيَارَةِ ، وَهَذَا هُوَ الصَّوَابُ وَقَوْلُ الْجُمْهُورِ (شرح النووي على مسلم – ج 5 / ص 62)
“Dalam hadis ini dijelaskan bolehnya menentukan sebagian hari untuk ziarah. Ini adalah pendapat yang benar dan pendapat mayoritas ulama” (Syarah Muslim 5/62)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ رَجُلٍ يَزُوْرُ قَبْرَ أَخِيْهِ وَيَجْلِسُ عِنْدَهُ إِلاَّ اسْتَأْنَسَ بِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ حَتَّى يَقُوْمَ
“Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: Tak seorang pun yang berziarah ke makam saudaranya dan duduk di dekatnya, kecuali ia merasa senang dan menjawabnya hingga meninggalkan tempatnya”
Al-Hafidz al-Iraqi memberi penilaian terkait status hadis ini:
قَالَ الْحَافِظُ الْعِرَاقِي أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا فِي الْقُبُوْرِ وَفِيْهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ سَمْعَانَ وَلَمْ أَقِفْ عَلَى حَالِهِ وَرَوَاهُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ فِي التَّمْهِيْدِ مِنْ حَدِيْثِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَحْوَهُ وَصَحَّحَهُ عَبْدُ الْحَقِّ اْلأَشْبِيْلِيِّ (تخريج أحاديث الإحياء 4 / 216)
“Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi al-Dunya dalam al-Qubur. Di dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Sam’an, saya tidak mengetahui perilakunya. Hadis yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abdilbarr dari Ibnu Abbas dan disahihkan oleh Abdulhaqq al-Asybili” (Takhrij Ahadits al-IhyaIV/216)
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ عَبْدٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ رَجُلٍ كَانَ يَعْرِفُهُ فِى الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلاَّ عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ (رواه الخطيب في التاريخ 6 / 137 وابن عساكر 10 / 380 عن أبى هريرة وسنده جيد ورواه عبد الحق في الأحكام وقال : إسناده صحيح كما في القليوبي)
“Rasulullah Saw bersabda: Tidak seoramgpun yang melewati kuburan temannya yang pernah ia kenal ketika di dunia dan mengucap salam kepadanya, kecuali ia mengenalnya dan menjawab salamnya” (HR al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Tarikh VI/137 dan Ibnu ‘Asakir X/380 dari Abu Hurairah. Dan sanadnya baik, juga diriwayatkan oleh Abdulhaqq dalam al-Ahkam, ia berkata: Sanadnya sahih)
صحيح البخارى – (ج 14 / ص 40)
قَالَ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَرْبَعَ عُمَرٍ كُلُّهُنَّ فِى ذِى الْقَعْدَةِ ، إِلاَّ الَّتِى كَانَتْ مَعَ حَجَّتِهِ (رواه البخاري)
“Tidak dilakukan oleh Rasulullah” atau “Tidak ada contoh dari Rasulullah” bukan sebuah dalil untuk melarang suatu amalan yang telah menjadi ‘ijtihad’ oleh sebagian ulama. Klaim semacam ini memang sering dijadikan alat oleh ulama Salafi-Wahabi untuk membidahkan amalan-amalan yang dilakukan oleh mayoritas uma Islam. Sebagai contoh, tidaklah ditemukan dalil bahwa Rasulullah mengkhatamkan bacaan al-Quran selama Tarawih di bulan Ramadlan, ternyata fatwa Syaikh Bin Baz, ketua Komisi Fatwa Arab Saudi berkata lain:
هذا عمل حسن فيقرأ الإمام كل ليلة جزءا… وهكذا دعاء الختم فعله الكثير من السلف الصالح ، وثبت عن أنس – رضي الله عنه – خادم النبي – صلى الله عليه وسلم – أنهفعله ، وفي ذلك خير كثير والمشروع للجماعة أن يؤمنوا على دعاء الإمام رجاء أن يتقبل الله منهم
“Mengkhatamkan al-Quran selama Tarawih bulan Ramadlan adalah amal yang baik. Imam membaca 1 juz setiap malam. Demikian halnya dengan doa khataman al-Quran dilakukan oleh banyak ulama Salaf. Dan telah menjadi riwayat yang sahih bahwa Sahabat Anas, pelayan Nabi, melakukan doa khatam al-Quran. Di dalamnya ada banyak kebaikan. Bagi jamaah disyariatkan untuk mengamini doa imam, dengan harapan Allah mengabulkan doa mereka” (Majmu’ Fatawa Bin Baz 11/388)
Rasulullah Saw, Khulafa’ al-Rasyidin dan Para Sahabat Rutin Berziarah Tiap Tahun
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ التَّيْمِيِّ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ عِنْدَ رَأْسِ الْحَوْلِ فَيَقُوْلُ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ قَالَ وَكَانَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ (مصنف عبد الرزاق 6716 ودلائل النبوة للبيهقى 3 / 306)
“Diriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim al-Taimi, ia berkata: Rasulullah Saw mendatangi kuburan Syuhada tiap awal tahun dan beliau bersabda: Salam damai bagi kalian dengan kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu (al-Ra’d 24). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga melakukan hal yang sama” (HR Abdurrazzaq dalam al-MushannafNo 6716 dan al-Baihaqi dalamDalail al-Nubuwah III/306).
Minggu, 27 Mei 2018
Memaknai "Hadis Syetan di Belenggu" pada bulan ramadan
Bulan Ramadan adalah bulan penuh berkah. Dari setiap langkah, detik, menit dan jam menjadi begitu penting ketika bulan Ramadan. Dengan berbagai keberkahan yang ada dalam bulan ramadan ini, setiap insan manusia tidak mw ketinggalan untuk menyambutnya. Hal ini juga didukung oleh Hadis Nabi bahwa bulan ramadan ini penuh dengan nilai-nilai luhur, sehingga sang syaithan pun melemah, bahkan di kurung ketika ramadan datang. Demikianlah pesan tersirat dari hadis Nabi berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا كَانَتْ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَنَادَى مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنْ النَّارِ وَذَلِكَ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad Ibnul 'Ala dari Abu Bakr bin 'Ayasy dari Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jika tiba waktu awal malam di bulan ramadlan maka setan-setan dan pemimpin-pemimpinnya dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan tidak ada yang dibuka. Pintu-pintu surga dibuka dan tidak ada yang ditutup, lalu ada penyeru yang berseru, "Hai orang yang mencari kebaikan, teruskanlah. Hai orang yang mencari keburukan, berhentilah. Sesungguhnya Allah membebaskan orang-orang dari neraka, dan itu terjadi pada setiap malam. " (HR Ibn Majah, No. 1632).
Secara tekstual, hadis tersebut memberikan informasi mengenai tentang kemudahan-kemudahan berbuat baik pada bulan ramadlan dikarenakan para syaitan di belenggu oleh Allah SWT. Namun, ketika berbicar fenomena bulan ramadlan, maka perbuatan, perkataan keji dan sebagainya masih sering kita temui. Sehingga menimbulkan pertanyaan mendasar, bagaimana sesungguhnya makna hadis di atas jika kita hubungkan dengan fenomena tersebut?
Pertama. Yang harus kita pahami terlebih dahulu dari hadis di atas adalah mengenai gaya bahasa yang dipakai, apakah retoris atau bukan. Jika kita memahami sebagai bahasa non-retorika, maka hadis itu tidak sesuai dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Kita tidak bisa pungkiri, pada bulan ramadan ini, kejahatan, keburukan, dan sebagainya masih berkelindang dalam kehidupan nyata. Pencurian atau kriminalitas masih selalu ada menghiasi berita dalam televisi kita, meski ada yang mengatakan bahwa itu karena faktor konsumerisme kehidupan menyambut kedatangan hari raya. Oleh karena itu, hadis tersebut harus dipahami sebagai bahasa retorik. Lantas bagaimana artinya?
Kedua. Secar retorik. Syaitan dibelenggu dan pintu neraka ditutup merupakan sebuah informasi dari Nabi bahwa pada bulan ramadlan orang untuk melakukan kebaikan itu lebih mudah, kebaikan-kebaikan yang dikerjakan oleh manusia pada bulan ini juga mendapatkan pahala yang berlipat ganda yang tidak bisa dijangkau oleh logika manusia. Kita pada bulan-bulan selain ramadan, untuk mengkhatamkan al-quran itu sangat sulit, dan bahkan, jangankan mengkhatamkan, membaca al-quran pun juga sangat berat. Tetapi, pada bulan ramadlan, jangankan membacanya, mengkhatamkan al-quran pun kita sangat mudah hanya dalam rentang satu bulan dan bahkan bisa berkali-kali. Kita pada bulan-bulan selain ramadlan, untuk menghidupkan malam dengan ibadah itu sangat berat, maka pada bulan ramadlan, jangan menghidupkan malam dengan ibadah, kita juga sangat ringan untuk menghabiskan berjam-jam hanya untuk beribadah pada malam bulan ramadlan.
Dengan pemahaman demikian, maka kita tidak heran dengan kriminalitas yang masih terjadi dalam bulan Ramadlan. Hadis di atas, masih dalam koridor konteks yang berlaku.
Senin, 21 Mei 2018
Memaknai Puasa di Era Milenial
Puasa adalah Al-Imsak yang berarti menahan. Bagi Al-Ghazali, puasa hanya menahan makan-minum adalah level terbawah. level tengah-tengah adalah menahan hawa nafsu. hawa nafsu secara sederhana dapat diartikan sbg keinginan diri, dan hal ini yang condong kepada hal-hal yg tercela. perbuatan tercela adalah debatable, setiap individu mungkin memiliki ragam prespektifnya dalam menilai. Namun, dari beragam prespektif itu: dengki, hasut, ujaran kebencian, provokatif, mendapatkan kesepakatan bersama. oleh karena itu, jika kita ingin naik level puasa ramadhan yg tiap tahun dilaksanakan dan belum tentu tahun besok bisa, mari tahun ini kita berusaha sebaik mungkin untuk menggapainya dg menahan diri dari dengki, hasut, ujaran kebencian, provokatif.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
قَالَ أَحْمَدُ أَفْهَمَنِي رَجُلٌ إِسْنَادَهُ
artinya : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Al Maqburi dari Ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan kotor, melakukan hal itu dan masa bodoh, maka Allah tidak butuh (amalannya) meskipun dia meninggalkan makanan dan minumannya (puasa)." Ahmad berkata; Seorang laki-laki memahamkanku tentang isnad hadits ini (HR Bukhori, No 5597).
Secara implisit, ujaran dan atau perbuatan kotor, terlebih bagi yang tau itu adalah tercela, namun karena dorongan-dorongan diri: bisa kepentingan apapun itu, dia tetap berujar dan melakukannya, Niscaya dia hanya mendapatkan kelaparan dan kehausan belaka.
Dalam hadis diatas, الجهل mengindikasikan kuat bahwa ujaran dan perbuatan itu adalah sengaja, atas kesadaran diri. Sehingga, dengan ujaran yang tidak sengaja, maka tidak dalam bagian khitab atau pembahasan hadis ini.
Di Era milenial, hadis tersebut juga dapat dipegangi bagi jiwa-jiwa muda yang hidupnya dalam keseharian sangat intens dengan dunia digital dan media sosial. Ujaran kebencian, provokatif, issu SARA yang sengaja kita sebar dengan sengaja melalui dunia digital dan media sosial, maka akan menjumudkan posisi puasa kita pada level yang terbawah, tidak ada perubahan dari tahun ke tahun.
oleh karena itu, jika puasa tidak bisa menahan diri kita dari ujaran dan perbuatan tercela, apalagi yang bisa mencegahnya? Jika tidak tahun ini, kapan lagi kita bisa naik level puasanya? karena hidup bukanlah kita kreator utama, hidup kita diputuskan oleh Sang Maha Kreator.
Level ketiga adalah level tertinggi dan hanya orang-orang tertentu yang bisa menjalaninya. pada level ini, tidak hanya meninggalkan makan-minum, perbuatan yang didorong nafsu tercela, tetapi juga harus meninggalkan yang lain kecuali Allah SWT (ما سوى الله).
oleh karena itu, kita sudah beberapa kali diberi kesempatan untuk berjumpa dengan Ramadlan, nah, seyogyanya, puasa kita tidak pada level terbawah terus, jika demikian, kita bukanlah manusia yang progresif, selalu menanamkan dalam hati bahwa hari ini lebih baik dari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini, kita manusia pemalas, yang sangat rugi, rugi dan rugi.
Popular Posts
-
Berikut adalah Film Pendek karya Mahasiswa dalam mengikuti Mata Kuliah Moderasi Beragama 1. Kelompok 1_ toleransi 2. Kelompok 2_ akomondat...
-
Sambil menunggu pesawat yang delay lebih dari 60 menit. Kesempatan ini saya ingin menyampaikan mengenai “belajar moderasi beragama dari ta...
-
Berikut Beberapa Referensi Mata Kuliah untuk Kalender Akademik Gasal 2023/2024 1. Harmonisasi Sains dan Agama 2. Moderasi Beragama 3. Herme...