PENGANTAR
"Kapan pun,
pemikiran memang sebuah kekafiran. Ia diharamkan dan
diperangi.
Bersama lalunya zaman, ia menjadi sebuah aliran:
bahkan keyakinan dan pembaharuan.
Di atasnya, kehidupan terus melaju setapak demi
setapak
menuju muara."
-
Amin al-Khuli
Babak kedua (baca: masa pertengahan) dari dunia
pemikiran Muslim telah menunjukkan betapa kuat peran dan pengaruh teks turats
dalam pembangunan peradaban Arab-Islam. Walaupun demikian kita juga toidak
dapat mengatakan bahwa teks adalah satu-satunya pengarah dan pencetak
peradaban, sebab dialektika manusia dengan teks-lah yang banyak memberikan
kontribusi dalam pembangunan peradaban tersebut.
Pada saat itu, kegiatan keilmuan berjalan
melalui sebuah lingkaran tak berujung yang kian lama kian membosankan, bahkan
cenderung membahayakan. Pasalnya, kegiatan ini tidak mampu menampakkan
perkembangan yang berarti. Kegiatan keilmuan hanya berkutat pada pengulangan-pengulangan
karya-karya ulama klasik, dengan meyakini bahwa wacana keagamaan telah mencapai
titik final yang tak perlu dipermasalahkan lagi. Dan hampir tidak ada karya genuin
yang mampu dipersembahkan.
Kejayaan masa lalu yang terus dielu-elukan
telah mengantarkan dunia pengetahuan Islam pada suatu masa di mana semua hal
telah terkondisikan dalam norma dan nilai tertentu yang telah mendarah-daging
dalam kehidupan masyarakat. Sehingga penyelewengan dari norma-norma tersebut
dilihat sebagai sebuah ancaman, ancaman bagi stabilitas masyarakat atau hanya
ancaman bagi status sosial dalam masyarakat.
Dalam kajiannya terhadap sistem nalar bangsa
Arab, Muhammad Abid al-Jabiri menyatakan bahwa nalar yang telah menjadi kendali
atas semua perbuatan manusia Arab bukanlah merupakan endapan karakter manusia
Arab zaman lalu, melainkan hasil dari sebuah konstruksi yang dilakukan di era
kodifikasi. Pada era tersebutlah semua hal ditentukan dan dibakukan.[1] Realitas
yang digambarkan juga merupakan realitas yang adad pada saat kodifikasi
tersebut.
Beberapa patah kata Amin al-Khuli di atas
adalah sebuah gambaran yang mengerikan, di satu sisi, dan sekaligus
menggembirakan, di sisi lainnya. Kenyataan itu tampak mengerikan lantaran
penyiikapan umat, kaum cendikiawan khususnya, yang cenderung antipati terhadap
adanya sebuah gerak perubahan. Namun demikian, sebuah harapan baru terbentang
di saat percikan api perubahan itu, bersama perjalanan waktu, berubah menjadi
sebuah lentera yang akan terangi jalan menuju sebuah perubahan.
Sebuah kisah tragis yang dialami Muhammad Ahmad
Khalafullah - yang gagal dalam pengajuan karangan disertasinya yang berjudul
"al-Fann al-Qasasi fi al-Qur’an" yang melihat kisah-kisah di
dalam al-Qur’an tidak sebagai sebuah cerita faktual, melainkan hanya sebuah
perumpamaan, peringatan, nasihat, dan petunjuk kegamaan[2] - adalah
salah satu contoh dari sekian kasus tindakan represif pada munculnya
pemikiran-pemikiran baru dalam Islam. Sebelumnya, kita juga bisa menyaksikan
kisah Ali abdul Razik, dengan al-Islam wa Ushul al-Hukm, dan Thaha
Husain, dengan karyanya, Fi Syi’r al-Jahili.[3]
Begitupula dengan kisah Nasr Hamid Abu Zaid,
dengan Naqd al-Khitāb al-Dīnī (Kritik Wacana Keagamaan) dan al-Imam
al-Syafī'ī wa Ta'sīs al-Aidiūlūjiyyat al-Wasatiyyat (Imam Syafi'i:
Moderatisme, Eklektisime, Arabisme), yang juga harus berhadapan dengan “para
pembela tradisi” yang telah menetapkan cap kafir pada diri Abu Zaid,
menceraikannya secara paksa dari istrinya, bahkan menghalalkan darahnya. Namun
kita tidak akan berpanjang lebar dalam kisah ini, sebab itu sudah bukan sebuah
rahasia atau kabar baru lagi bagi kita.
Sementara itu, kita patut berbahagia dengan
hadirnya beberapa orang pendobrak tradisi tersebut yang telah berhasil
mengalirkan kembali budaya wacana yang sempat menggenang dan berputar-putar
dalam lingkaran repetisi yang tak produktif. Kendati mendapatkan kritik pedas,
bahkan ancaman, pada awal kemunculannya, pemikiran-pemikiran baru ini secara
berangsur telah mendapatkan tempat di hati para akademisi al-Qur’an
kontemporer.
Dalam sebuah karyanya, al-Nashsh,
al-Sulthah, al-Ħaqīqah (Teks, Otoritas, Kebenaran), Abu zaid menyatakan
bahwa realitas sejarah pemikiran kita tidak hanya menggambarkan kuatnya
pengaruh teks terhadap bangunan peradaban Arab-Islam, melainkan juga
menggambarkan pertarungan wacana pemikiran, oleh sejumlah aliran pemikiran,
dengan berselimutkan kepentingan-kepentingan politik yang silih berganti
memegang tampuk kekuasaan secara represif.
“Seringkali sikap-sikap menentang, khususnya
dalamkancah pemikiran, disebabkan oleh kletidaktahun atau adanya proses-proses
kekaburan yang tmbul dari anggapan picik bahwa “apa yang ada dalam pikiran”
identik dengan “apa yang adad di dalam kenyataan.” ….Hal semacam ini banyak
terjadi pada pikiran masyarakat awam. Karena itu, reaksi mereka terhadap
pemikran yang berlawanan, bahkan menyangkut hal sepele, sangatlah keras ibarat
reaksi seorang dukun terhadap apap yang mereka anggap melawan “kesucian” yang
menjadi landasan hidupnya. Hal ini adalah wajar dan bisa dimaklumi sehubungan
dengan pikiran masyarakat awam. Namun, jika sikap itu menimpa kaum cendikiawan
dan tokoh-tokoh kebudayaan dan pendidikan dari kalangan perguruan tinggi, maka
ia merupakan pertanda krisis intelektual yang mendekati taraf memperihatinkan.”[4]
PEMBAHASAN
Dalam pembacaannya terhadap Rethinking
Qur'an: Towards a Humanistic Hermeneutics, karya Abu Zaid, A. Rafiq
mengkategorikan pemikiran Abu Zaid dalam dua kelompok besar: kajian yang
berdimensi vertical (kajian tentang hubungan teks al-Qur'an dengan Sang Author)
dan kajian yang berdimensi horizontal (kajian tentang dunia teks dan hubungannya
dengan para pembaca).[5] Dan
kajian ini kita ini akan kita lakukan berdasarkan klasifikasi tersebut.
Ketepatan klasifikasi ini bisa dibuktikan pada
kandungan beberapa karya Abu Zaid, meskipun kita tidak bisa bersifat kaku dalam
penentuannya. Sebab antara karya yang satu dengan yang lainnya terdapat
keterkaitan satu sama lain yang menuntut adanya penjelasan. Misalnya pendapat
Abu Zaid tentang Historisitas al-Qur'an yang telah disebutkan dalam bukunya Naqd
al-Khitāb al-Dīnī kembali ia paparkan dalam bukunya Mafhūm al-Nās
(Tektualitas al-Qur'an) demi menjelaskan posisi teks al-Qur'an secara lebih
detail.
Sebagai langkah awal, demi tujuan mendapatkan
pemahaman yang mendekati komprehensif, akan kami paparkan beberapa pemikiran
Abu Zaid yang telah tertuang dalam beberpa karyanya. Dan sebagai tindak lanjut,
akan kami paparkan lebih jauh langkah-langkah hermeneutis dalam proses
pembacaan dan pemahaman teks-teks al-Qur'an.
I. Sebuah Bedah Pustaka
Abu Zaid, begitu sapaan akrab pemikir kelahiran
Thanta, Mesir 10 Juli 1943 ini, adalah seorang pemikir yang juga produktif dan
banyak menuangkan gagasan-gagasan gemilangnya ke dalam beberapa karya ilmiah
yang di antaranya akan disebutkan berikut. Sebagian dari karya-karyanyalah yang
membuat para Ulama Mesir kebakaran jenggot dan tak segan-segan menetapkan cap
kafir kepadanya. Karya tersebut adalah Naqd al-Khitāb al-Dīnī (Kritik
Wacana Keagamaan) dan al-Imam al-Syafī'ī wa Ta'sīs al-Aidiūlūjiyyat
al-Wasatiyyat (Imam Syafi'i: Moderatisme, Eklektisime, Arabisme). Berikut cuplikan
beberapa karya Abu Zaid:
- Naqd al-Khitāb al-Dīnī (Kritik Wacana Keagamaan)
Dalam karyanya yang "kontroversial"
ini, Abu Zaid menegaskan bahwa, selain posisinya sebagai kalam Allah, al-Qur'an
sebuah produk budaya (muntaj al-Tsaqāfī) yang tidak berbeda dari
teks-teks budaya lainnya. Namun lebih dari itu, al-Qur'an juga terbukti, dengan
duo-gerak sentripetal dan sentrifugal, berperan sebagai produsen budaya (muntij
al-Tsaqāfī).
Sepintas tampak inkonsistensi pemikiran Abu
Zaid yang berusaha menyatukan sebab (muntij al-Tsaqāfī) dan akibat (muntaj
al-Tsaqāfī) sekaligus dalam sesuatu, yakni al-Qur'an. Menurutnya, al-Qur'an
turun dalam dimensi ruang dan waktu yang menandakan keterlibatan di dalam dan
keterpengaruhannya oleh dimensi kemanusiaan. Sementara itu, sejak pertama
penurunannya, al-Qur'an juga telah menjadi pembentuk realitas baru.
Selain itu, ia menegaskan bahwa keberadaannya
sebagai produk dan produsen budaya tidak kemudian menurunkan kualitasnya
sebagai kalam Tuhan, sebab di sana teks al-Qur’an berperan secara aktif dan
selektif. Ia hidup dan berdialektika dengan budaya setempat.
- al-Nashsh, al-Sulthah,
al-Ħaqīqah (Teks, Otoritas, Kebenaran)
Dalam karyanya ini, Abu Zaid membangun sebuah
landasan tentang historisitas teks al-Qur’an, baik secara teologis, filosofis
dan linguistik. Kajian tersebut dibahas dalam bab I buku ini. Pada tiga bab
selanjutnya Abu Zaid memaparkan beberapa pembacaan ideologis-tendensius
terhadap teks al-Qur’an serta memaparkan akar-akar pembacaan yang melalaikan
konteks historis, kultural dan lingusitik teks tersebut.
Selain itu, buku al-Nashsh, al-Sulthah, al-Ħaqīqah
(Teks, Otoritas, Kebenaran) ini juga membahas tentang konsep Ta’wil dan Majaz
(metafora) di dalam al-Qur’an. Serta kajian tentang beberapa level konteks
yang perlu diperhatikan saat melakukan pembacaan terhadap teks al-Qur’an, yang
meliputi level konteks ekstrenal (interpersonal), level konteks intenal (relasi
antar unsur), level konteks linguistik (komposisi kalimat) dan level pembacaan
(penafsiran).[6]
- Isykāliyāt al-Qirā’ah wa Āliyyāt at-Ta’wil
Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh M. Mansur dan Khoiron Nahdliyyin dengan judul Hermenutika
Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas
Diskursus Keagamaan (ICIP, Jakarta Selatan: 2004)
Dalam buku ini, Abu Zaid banyak mengulas
tentang teks sebagai simbol (semiotika) serta perdebatan antara beberapa aliran
teologis, kaum filsuf dan sufi dalam menyikapi simbol-simbol tersebut.
Buku ini juga sedikit pemikiran beberapa pakar yang menjadi rujukan Abu Zaid,
seperti Abdul Qahir al-Jurjani, dengan teori al-Nadzm-nya. Serta paparan
tentang pembacaan atas pembacaan.
- al-Imam al-Syafī'ī wa Ta'sīs al-Aidiūlūjiyyat
al-Wasatiyyat (Imam
Syafi'i: Moderatisme, Eklektisime, Arabisme)
Buku ini adalah salah satu karya Abu Zaid yang
dijadikan alasan bagi para tim penguji naskah Abu Zaid untuk pengukuhannya
sebagai Guru Besar Universitas al-Azhar Kairo Mesir. Dalam buku ini, Abu Zaid
melihat di balik sikpa moderat, eklektik dan Fanatisme al-Syafi’i kepada bangsa
dan bahasa Arab, suku Quraisy khususnya. Di sini ia mensinyalir bahwa konsep otoritas
as-Sunnah dan al-Ijma’ yang ditawarkan al-Syafi’I telah berkontribusi pada
pengukuhan teks sebagai rujukan utama pembacaan al-Qur’an, di satu sisi, dan
kebekuan intelektual Muslim, di sisi yang lain.
Abu Zaid membuktikan dugaan ini dengan fakta
sejarah kedekatan al-Syafi’I dengan dinasti Umaiyah yang nota bene
adalah bangsa Arab. Sementara pada pemerintah dinasti Abbasyiah, al-Syafi’I
justru memperjauh posisi dan hijrah ke Baghdad yang masih dipimpin oleh seorang
Gubenur berkebangsaan Arab.[7]
- Mafhūm al-Nās (Tektualitas al-Qur'an)
Setelah banyak memeparkan hubungan teks dengan
Sang author, di satu sisi, dan para pembaca, di sisi lain, dalam buku ini Abu
Zaid memfokuskan diri pada kajian teks dan seluk beluknya. Di awal buku ini,
dia kembali menjelaskan posisi al-Qur’an sebagai produk budaya (muntaj
al-Tsaqāfī) dan produsen budaya (muntij
al-Tsaqāfī). Dalam hal ini, Abu Zaid tampak ingin menegaskan sisi
historisitas al-Qur’an. Sebagai pembuka ia memulai kajiannya dengan pembahasan proses
penurunan wahyu serta kondisi penerima pertama.
Buku ini lebih merupakan seuah kritik terhadap
pemahaman-pemahaman klasik dalam ulum al-Qur’an (studi al-Qur’an) yang
meliputi konsep Asbāb al-Nuzūl, Makkī-Madānī, Nāsikh-Mansūkh, al-‘Ām dan
al-Khās dan semacamnya. Misalnya kritiknya terhadap konsep penentuan
ayat-ayat Makkī-Madānī. Dalam
kajian klasik, para pakar al-Qur’an cenderung memisahkan dimensi teks dari
dimensi realitas (konteks historis) sehingga mereka akan menghadapi kebingungan
saat akan menafsirkan huruf-huruf muqaththa’ah. Bila mereka mau sedikit
memperlonggar sikap mereka itu, setidaknya mereka dapat mencari rujukan makna
dari huruf-huruf tersebut dalam konteks historis ayat bersangkutan dan
terhindar dari penentuan muhkām dan mutsyābīh.[8]
- Rethinking Qur'an: Towards a Humanistic Hermeneutics
Sebagaimana yang dikatakan A. Rafiq di atas,
kajian-kajian Abu Zaid dilanjutkan dengan kajian horizontal yang membahas
posisi al-Qur’an dalam hubungannya dengan para pembaca. Buku yang merupakan
kumpulan pidato Abu Zaid pada acara pengukuhan dirinya sebagai ketua lembaga
Ibn Rushd og Humanism and Islam di University of Huanitics, Utrecht, Belanda
ini adalah salah satu karyanya yang fokus dalam kajian horizontal tersebut.[9]
Dalam buku ini, Abu Zaid menegaskan bahwa teks
al-Qur’an adalah sebuah wacana (diskursus) yang terus hidup dan berdialektika
dengan para pembacanya (the spoken). Ia membedakan teks sebagai wacana
dan teks sebagai mushaf yang cenderung diam (the silent)
mati dan terkungkung dalam struktur kebahasaannya saja. Hal ini merujuk pada
kisah pertempuran antara pihak Ali ibn Abi Thalib dan Mu’awiyah ibn abi Sufyan
yang berakhir dengan jalan arbitrase (tahkim) lantaran Mu’awiyah
mengangkat mushaf dengan hunusan pedang menjelang kekalahannya. Di sini
kepentingan politik Mu’awiyah menjadi juru bicara mushaf yang diam itu.
Dalam buku ini, Abu Zaid juga memaparkan
beberapa gaya tutur al-Qur’an (polyphonic) yang secara umum meliputi
gaya tutur Tuhan tentang dirinya, dialog dan negosiasi.[10] Lebih
lanjut, dalam buku ini, Abu Zaid juga mengajak para pembaca untuk mengadakan
dekonstruksi syari’ah serta pembacaan ulang terhadap teks-teks keagamaan seperti
al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas.
* * * *
Demikian cuplikan beberapa karya Abu Zaid
berkenaan dengan pemikirannya dalam bidang al-Qur’an dan penafsirannya. Dalam
pemikirannya ini, Abu Zaid banyak dipengaruhi oleh para pemikir sebelumnya,
baik dari kalangan pemikir Muslim ataupun pemikir hermeneutika barat. Namun
kita akan kesulitan untuk menentukan secara pasti di mana letak
keterpengaruhannya tersebut. Sebab, diakui oleh Abu Zaid bahwa dirinya tidak
suka menjelaskan tentang asal-usul pemikirannya sebab semuanya telah berbaur
dalam atu pikirannya. Dan ia tidak mau menyelipkan pendapat pribadinya, dan
mencari penguatan, pada pendapat para gurunya tersebut.
II. Analisis Wacana Al-Qur’an
Abu Zayd menganggap fenomena wahyu
keagamaan sebagai bagian dari budaya di tempat ia muncul.[11]Abu Zaid sendiri merasa
perlu memberikan penjelasan baru atas proses pewahyuan al-Qur'an dengan
meminjam teori komunikasi Roman Jakobson, meski tidak sama persis. Menurut Abu
Zaid, proses pewahyuan tidak lain adalah sebuah tindak komunikasi yang secara
natural terdiri dari pembicara, yaitu Allah, penerima, yakni Muhammad, sebuah
kode komunikasi, yakni bahasa Arab, dan sebuah Canel, yaitu Ruh Suci
(Jibril)[12].
Konsep wahyu menurut Abu Zaid tampak seperti ini;
Konteks
Pembicara (Allah) Pesan
(Qur'an) Penerima (Muhammad)
Canel (Malaikat Jibril)
Kode (Bahasa Arab)
Dari konsep wahyu di atas, terlihat jelas
bahwa Abu Zaid tidak mengingkari bahwa Allah-lah sang pengirim pesan (Author).
Namun ia lebih fokus pada teks al-Qur'an yang ada pada kita. Menurutnya,
pembahasan tentang aspek metafisik proses turunnya wahyu dari pembicara (Allah)
berada di luar jangkauan manusia, dan dapat menjerumuskan kita pada pembahasan
yang mitologis. Abu Zaid sendiri menolak arguman yang menyatakan bahwa
al-Qur'an diturunkan serentak dari Lauh al-Mahfud ke langit dunia, dan
dari sana ia diturunkan secara gradual kepada Nabi Muhammad berdasarkan
situasi-situasi tertentu.
Dari momen bahwa teks diwahyukan dan
dibaca oleh Nabi, ia tertransformasi dari sebuah teks ilahi menjadi sebuah teks
manusiawi, karena ia berubah dari wahyu menjadi interpretasi. Pemaknaan
Muhammad atas teks merepresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks
dengan pemikiran manusia. Menurut Abu Zaid, realitas adalah dasar, dari
realitas dibentuklah teks al-Qur'an, dan dari bahasa dan budayanya terbentuklah
konsepsi-konsepsi, dan di tengah pergerakannya dengan interaksi manusia,
terbaharuilah maknanya.
Pandangan di atas mengantarkan Abu Zaid
pada kesimpulan bahwa al-Qur'an adalah "produk budaya", yakni bahwa
teks muncul dalam sebuah struktur budaya Arab abad ke tujuh selama lebih dari
dua puluh dua tahun, dan ditulis berpijak pada aturan budaya tersebut, yang di
dalamnya bahasa merupakan sistem pemaknaannya yang sentral.
Tekstualitas al-Qur'an
Abu Zayd mambagi teks menjadi dua, yakni
teks primer dan teks sekunder. Teks primer adalah al-Qur'an, sedangkan teks
sekunder adalah Sunnah Nabi, yaitu komentar tentang teks primer. Abu Zayd
mengklasifikasikan teks-teks keagamaan yang diproduksi oleh para sahabat dan
ulama sebagai teks-teks sekunder lainnya yang merupakan interpretasi atas teks
primer dan sekunder. Oleh karena itu, teks-teks sekunder hanyalah
interpretasi-interpretasi atas teks primer. Tekstualitas al-Qur'an mengarahkan
pemahaman dan penafsiran seseorang atas pesan-pesan al-Qur'an.
Tekstualitas al-Qur'an meniscayakan
penggunaan perangkat-perangkat ilmiah, yakni studi-studi tekstual modern.
Pengabaian atas aspek tekstualitas al-Qur'an ini menurut Abu Zayd akan mengarah
pada pembakuan makna pesan dan kepada pemahaman mitologis atas teks.
Menurut Abu Zayd, tekstualitas al-Qur'an,
seperti terekspresikan dalam al-Qur'an itu sendiri, berkaitan dengan tiga hal
berikut: Pertama kata wahyu dalam al-Qur'an secara semantik setara
dengan kalam Allah dan al-Qur'an adalah sebuah pesan. Sebagai perkataan dan
pesan, Qur'an meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai sebuah
"teks". Kedua, urutan tekstual surat dan ayat dalam teks
al-Qur'an tidak sama dengan urutan kronologis pewahyuan. Urutan kronologis
pewahyuan merefleksikan historisitas teks, sementara struktur dan urutan yang ada
seperti saat ini merefleksikan tekstualitasnya. Sebuah genre spesifik
dalam ilmu-ilmu al-Qur'an, yakni munasabah ayat-ayat al-Qur'an telah
diciptakan untuk menyediakan sebuah interaksi aktif antara penafsir dengan
teks, karena dalam korelasi ini tersimpan kemungkinan yang bisa terungkap dalam
proses pembacaan. Ketiga, Qur'an terdiri atas ayat-ayat muhkamat, yang
merupakan induk teks, dan ayat-ayat mutasyabihat, yang harus dipahami
berdasarkan ayat-ayat muhkamat. Keberadaan dua macam ayat ini merangsang
pembaca untuk menentukan bahwa ayat-ayat muhkamat adalah kunci untuk
melakukan penjelasan dan klarifikasi terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
Problematika Konteks
Sebagai
konsekwensi turunan dari pendapatnya bahwa al-Qur'an adalah produk budaya,
menurut Abu Zaid, memahami al-Qur'an dapat menggunakan analisis linguistik dan
analisis wacana, sebagaimana teks pada umumnya.
Dalam hal ini, Abu Zaid menjelaskan bahwa
terdapat empat (4) level konteks yang perlu diperhatikan oleh pembaca saat
berhadapan dengan teks. Keempat level tersebut adalah level konteks ekstrenal dan interpersonal,
level konteks internal (relasi antar unsur), level konteks linguistik
(komposisi kalimat) dan level pembacaan (penafsiran).
Konteks eksternal
di sini dimaksudkan untuk menyebut tiga macam konteks, yaitu konteks
epistemologis dan ideologis sebuah teks, hubungan antara author-teks-penerima,
serta hubungan teks al-Qur'an dengan teks-teks yang ada di sekitarnya. Macam
ketiga dari level pertama ini tidak akan disebutkan di sini mengingat tidak
adanya urgensi dalam penyebutannya.
Dimensi
epistemologis dari sebuah teks adalah kesadaran masyarakat secara umum,
terlepas dari perbedaan antara kelompok yang disebabkan perbedaan status sosial
mereka. Sedangkan dimensi ideologis dari sebuah teks mencerminkan urat saraf
dari pesan yang disampaikan. dengan kata lain, dimensi epistemologis adalah
sesuatu yang memungkinkan terjadinya sebuah komunikasi, sementara dimensi
ideologis lebih mengarah pada isi pesan yang disampaikan dalam proses komuinikasi
terebut. Dengan demikian, dimensi epistemologis dapat dilihat pada struktur
bahasa, sementara dimensi ideologis dapat dilihat dalam struktur teks.[13]
Sementara itu, Abu
Zaid juga menekankan adanya pembahasan yang mencakup keseluruhan unsur
pembentuk wacana teks tersebut; author-teks-penerima. Ketimpangan dalam
melihat ketiga unsur tersebut akan berakibat pada hilangnya salah satu dimensi
pembentuk makna teks.
Konteks internal yang dimaksudkan Abu Zaid adalah mencakup
pembahasan susunan ayat dan surat dalam al-Qur'an (namun Abu Zaid tidak akan
membahas perdebatan apakah penentuan susunan tersebut adalah ketetapan Allah
atau hasil ijtihad Ulama) serta variasi gaya tutur al-Qur'an, yang terkadang
juga menimbulkan perbedaan penafsiran.
Pada tingkat
pertama, proses diturunkannya al-Qur'an secara berangsur-angsur dalam rentang
waktu 20 tahun lebih mengandaikan adanya perbedaan konteks yang
melatarbelakangi turunnya masing-masing ayat. Begitu pula dengan variasi gaya
tutur al-Qur'an yang memiliki konsekwensi makna tersendiri. Dalam hal seperti
ini, kita tidak dapat bersikap seperti para sarjana al-Qur'an pada umumnya yang
berinisiatif untuk menemukan titik temu dari masing-masing ayat, yang terkadang
terlalu dipaksakan. Pengkajian terhadap al-Qur'an adalah pengkajian terhadap
teks dan konteks yang melingkupinya.
Konteks linguistik
adalah konteks yang langsung bersentuhan dengan makna gramatikal teks
al-Qur'an. Dalam level ini pembaca dihadapkan pada taqdim-ta'khir, hadzf,
idlmar dan sebagainya. Namun, bagi Abu Zaid pembacaan ini tidak cukup hanya
pada kajian linguistik belaka. Pembaca diharapkan juga dapat menangkap makna
tersembunyi dari sebuah teks (al-Maskut 'anhu).[14]
Konteks terakhir
adalah konteks pembacaan atau penafsiran. Berkaitan dengan konteks eksternal
tadi, terdapat dimensi ideologis yang tak jarang disispkan delam isi pesan
teks. Di sini perlu disadari adanya pembacaan yang dilakukan oleh penutur. Pada
saat ia bertutur, ia mengadakan pembacaan terhadap kata-kata yang akan ia
keluarkan. Dalam hal ini ia melibatkan "pembaca imajiner", yaitu
dirinya sendiri, dengan tujuan agar pesan yang ia maksudkan dapat diterima oleh
pembaca asli.
Makna dan Maghza
Mengulangi
pendapat Abu Zaid di atas, teks al-Qur'an bukanlah sebuah korpus tertutup yang
menutup kemungkinan adanya perbedaan pemahaman. Teks al-Qur'an bukanlah teks
mati sebab ia adalah sebuah teks diskursus atau wacana yang terus menerus
berdialektika dengan para pembacanya. Berkaitan pula dengan konteks eksternal
historis yang melatar belakangi turunnya ayat al-Qur'an, Abu Zaid menggunakan
istilah al-Ma'na (meaning) dan al-Maghza (significance)
untuk membedakan makna-makna teks berdasarkan perubahan konteks historisnya.
Yang dimaksud dengan yang pertama adalah arti yang diambil secara langsung dari
konteks historis terciptanya sebuah teks. Oleh karenanya yang pertama ini juga
sering disebut sebagai makna asli (original meaninig). Dan makna
ini telah membeku sehingga tidak akan mengalami perubahan.
Sementara yang terakhir adalah arti yang
diperoleh melalui pergesekan antara makna asli di atas dengan keseluruhan
konteks yang mempengaruhi pembaca. Dengan pergesekan ini, sangat dimungkinkan
lahirnya makna-makna baru yang lebih relevan dan mampu menjawab tantangan
zaman. Inilah yang disebut dengan pembacaan yang produktif (al-Qira'ah
al-Muntijah).
Lebih jauh, Abu Zaid ingin menyampaikan
bahwa penjagaan terhadap turats (tradisi) tidak hanya dilakukan dengan
menghindarkan tradisi tersebut dari "ancaman" perubahan, dengan
mensakralkannya dan menganggap pemaknaannya telah mencapai titik final.
Penjagaan tradisi yang sejati adalah dengan cara mengkaji ulang makna tradisi
tersebut dan kembali menerapkannya dalam menjawab tantangan zaman. Cara ini,
menurut Abu Zaid, lebih menghormati teks turats daripada sekedar
menjaganya.
Daftar Bacaan
1. Nasr Hamid Abu Zaid, al-Nashsh,
al-Sulthah, al-Ħaqīqah (Teks,
Otoritas, Kebenaran: edisi terjemah Indonesia oleh Sunarwoto Dema), LkiS,
Yogyakarta 2003
2.
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhūm al-Nāshsh (Tekstualitas Al-Qur’an:
Kritik terhadap Ulum al-Qur’an: edisi terjemah Indonesia oleh Khoiron
Nahdliyyin) LKiS, Yogyakarta 2001.
3.
Nasr Hamid Abu Zaid, Isykāliyāt
al-Qirā’ah wa Āliyyāt at-Ta’wil (Hermenutika Inklusif: Mengatasi Problematika
Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan : edisi terjemah
Indonesia oleh M. Mansur dan Khoiron Nahdliyyin, ICIP, Jakarta Selatan: 2004)
4.
Nasr Hamid Abu Zaid, al-Imam
al-Syafī'ī wa Ta'sīs al-Aidiūlūjiyyat al-Wasatiyyat (Imam Syafi'i:
Moderatisme, Eklektisime, Arabisme: edisi terjemah Indonesia oleh Khoiron
Nahdliyyin LkiS, Yogyakarta 1997
5.
Hilman Latif dalam Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik
Teks Keagamaan, Elsaq Press, Yogyakarta 2003
6.
Abdul Mustaqim, Sahiron
Syamsudin, ed. Studi al-Qur'an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi
Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
7.
A. Rafiq, Rethinking
Qur'an: Membaca Qur'an di antara Teks dan Diskursus, Jurnal Studi Ilmu-ilmu
Al-Qur'an dan Hadits Vol. 6, No I/ Januari 2005
8.
Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi,
(Formasi Nalar Arab: Edisi Terjemah oleh Imam Khoiri), IRCiSod, Yogyakarta,
2003
[1] Muhammad Abid
al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, (Formasi Nalar Arab: Edisi
Terjemah oleh Imam Khoiri), IRCiSod, Yogyakarta, 2003 Halaman 98
[2] Penolakan itu juga
berujung dengan larangan mengajar bagi khalafullah dan Amin al-Khuli, sebagai
dosen pembimbingnya, khususnya di dalam bidang studi Islam. Selengkapnya, baca
Hilman Latif dalam Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Elsaq
Press, Yogyakarta 2003, Halaman 40-42.
[3] Ibid
[4] Lihat al-Nashsh, al-Sulthah, al-Ħaqīqah (Teks, Otoritas, Kebenaran: edisi terjemah
Indonesia oleh Sunarwoto Dema), LkiS, Yogyakarta Halaman 85
[5] Lihat A. Rafiq, Rethinking
Qur'an: Membaca Qur'an di antara Teks dan Diskursus, Jurnal Studi Ilmu-ilmu
Al-Qur'an dan Hadits Vol. 6, No I/ Januari 2005, Halaman 175
[7] Berbeda dengan sikap para
pendahulu dan sekaligus gurunya, imam Abu Hanifah dan Imam Malik yang menolak
tawaran pemerintah saat karya-karya beliau akan dijadikan sebagai rujukan utama
dalam dunia pengetahuan Muslim
[8] Lihat Mafhūm al-Nāshsh (Tekstualitas Al-Qur’an:
Kritik terhadap Ulum al-Qur’an: edisi
terjemah Indonesia oleh Khoiron Nahdliyyin) LKiS, Yogyakarta
2001 Halaman 95
[11] Abdul Mustaqim, Sahiron
Syamsudin, ed. Studi al-Qur'an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi
Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. Halaman. 155.
[14] Makna tersembunyi di sini
bukanlah makna sisipan (fahwa al-khitab) seperti yang disebutkan oleh
para pakar ushul al-Fiqh. Yang dimaksud di sini adalah makna yang dengan
sengaja tidak disebutkan oleh penutur dengan alas an tertentu.