Masalah yang
mengemuka dalam filsafat sosial dan politik terkait dengan hakikat suatu kajian
filsafat tercermin dalam pertanyaan-pertanyaan: Apa peran yang semestinya
dilakukan oleh ‘rasio’ dalam refleksi-refleksi abstrak tentang masyarakat?
Apakah suatu teoritisasi atas dasar suatu perspektif yang tidak memihak dan
netral tentang masyarakat itu mungkin? Ataukah teoritisasi yang ada ini
hanyalah sebuah permukaan dari suatu pemikiran yang sesungguhnya bias dan
ditujukan hanya untuk kepuasan diri sendiri?
Persoalan
‘metodologis’ dalam pemahaman sosial ini sesungguhnya terkait dengan perkembangan
yang terjadi pada kajian-kajian tentang realitas sosialpolitik,di samping
tuntutan pragmatis untuk menjawab berbagai masalah yang dihadapi oleh
masyarakat itu sendiri. Dinamika masyarakat pada satu sisi menuntut adanya
reorientasi dan restrukturisasi bangunan metodologis ilmu sosial, pada sisi
lain kajian atas dasar sudut pandang baru menyajikan kekayaan analisis atas
berbagai dimensi dan hubungan-hubungan sosial yang tak mampu diungkap melalui
pendekatan sebelumnya.
Pergeseran
pemahaman aspek ‘teoritis’ dan ‘praktis’ dari teori terjadi secara gradual.
Akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut pada akhirnya membawa pada
situasi ‘keberjarakan’ antara kajian politik klasik dengan realitas sosial
dewasa ini. Pendekatan klasik terhadap politik menjadi sesuatu yang asing bagi
kita. Politik dan perangkat teori sosial yang mendukungnya menjadi sesuatu yang
‘jauh’, karena kecenderungan yang kuat adanya penekanan pada aspek normatif,
dan juga terjadi proses marginalisasi klaim-klaim pengetahuan yang mendasari
putusan politik dengan menyatakannya sebagai jenis pengetahuan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara epistemologis. Akibatnya, bila dicermati
perkembangan yang terjadi dewasa ini pada dunia ‘politik’, jarak kajian ilmiah
terhadap ‘dunia praksis’ nampak menjadi semakin lebar.
Jürgen Habermas
yang lahir pada tahun 1929 adalah pemikir kontemporer yang mencurahkan usahanya
untuk menjawab persoalan-persoalan dasar di atas melalui dan berpijak dari
suatu tradisi yang disebut Teori Kritis. Teori Kritis yang dipahami sebagai
‘teori sosial yang dikonsepsikan dengan intensi praktis’, merupakan buah
pikiran yang muncul dari refleksi yang luas tentang hakikat pengetahuan,
struktur penelitian sosial, dasar normatif interaksi sosial, dan
tendensi-tendensi politis, ekonomis, dan sosio-kultural dari jaman ini.
B.
BIOGRAFI
SANG TOKOH
Jurgen Habermas adalah filsuf kontemporer yang paling
terkenal di Jerman dan juga menghiasi panggung filsafat internasional. Ia
dilahirkan pada 18 Juni 1929 di daerah Dusseldorf Jerman. Habermas merupakan
anak Ketua Kamar Dagang propinsi Rheinland – Westfalen di Jerman Barat. Ia
dibesarkan di Gummersbach, sebuah kota menengah di Jerman dengan dinamika
lingkungan Borjuis-Protestan.
Pada tahun 1953, ketika Habermas sedang sibuk menulis
disertasi doktor, ia menerbitkan artikel yang berjudul “Berpikir Bersama
Heidegger Melawan Heidegger”. Di lingkungan filsafat akademik Jerman pasca
kehancuran akibat Perang Dunia II, Heidegger bagaikan tiang penunjang yang
diandalkan, jembatan antara dunia yang berantakan sehabis Hitler dan tradisi
luhur filsafat Jerman. Dengan sangat kritis, Habermas berujar “Ingatlah,
bagaimana dulu Heidegger menuji Nazi” Bahkan filsafat Heideggerpun dicela
Habermas, “bisa dipakai untuk apa-apa saja”.
Karya
Habermas berfokus pada landasan-landasan teori sosial dan epistemologi,
analisis masyarakat kapitalistik maju dan demokrasi, penegakan hukum (rule
of law) dalam konteks sosial-evolusioner kritis, dan politik kontemporer—khususnya
politik Jerman.
Sistem
teoretis Habermas diabdikan untuk mengungkapkan kemungkinan nalar, emansipasi,
dan komunikasi rasional-kritis --yang laten dalam institusi-institusi modern
dan dalam kapasitas manusia-- untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh dan
mengejar kepentingan-kepentingan rasional.
Sampai
kelulusannya dari gimnasium, Habermas tinggal di Gummersbach, dekat Cologne.
Ayahnya, Ernst Habermas, adalah Direktur Eksekutif Kamar Dagang dan Industri
Cologne. Jurgen Habermas belajar di Universitas Gottingen (1949/50), Zurich
(1950/51), dan Bonn (1951-54) dan meraih doktor filsafat dari Bonn pada 1954,
dengan disertasi berjudul das Absolute und die Geschichte. Von der Zwiepaltigkeit
in Schellings Denken (Yang Absolut dan Sejarah: Tentang Kontradiksi dalam
Pemikiran Schelling).
Dari
tahun 1956 dan seterusnya, ia belajar filsafat dan sosiologi di bawah pengusung
teori kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno di Institut untuk Riset Sosial
di Johann Wolfgang Goethe University, Frankfurt am Main. Namun, kemudian
terjadi perselisihan antara dua tokoh itu tentang disertasi Habermas.
Adorno
yang bangga pada Habermas, relatif lebih bisa menerima disertasi Habermas.
Namun, Horkheimer, yang menganggap Habermas terlalu radikal, menuntut
revisi-revisi yang tak bisa diterima oleh Habermas. Adanya perselisihan itu,
serta keyakinan Habermas bahwa Sekolah Frankfurt sudah lumpuh oleh skeptisisme
politik dan kemuakan pada budaya modern, membuat Habermas memilih menyelesaikan
habilitasi (disertasi pasca-doktoral) dalam ilmu politik di Universitas
Marburg, di bawah bimbingan tokoh Marxis, Wolfgang Abendroth.
Karya
habilitasi Habermas berjudul Strukturwandel der Offentlichkeit;
Untersuchungen zu einer Kategorie der Burgerlichen Gesellschaft
(Transformasi Struktural Ranah Publik: Suatu Penyelidikan ke dalam Kategori
Masyarakat Borjuis), yang terjemahan Inggrisnya terbit pada 1989.
Pada
1961, Habermas menjadi Privatdozent (dosen luar biasa) di Marburg, dan
–dalam langkah yang amat tidak biasa bagi dunia akademis Jerman pada waktu
itu—Habermas ditawari posisi “profesor luar biasa” ilmu filsafat di Universitas
Heidelberg pada 1962. Tawaran itu ia terima. Pada 1964, Habermas dengan
dukungan kuat dari Adorno, kembali ke Frankfurt untuk mengambil alih kursi
Horkheimer dalam pengajaran filsafat dan sosiologi.
Habermas
menerima posisi Direktur Institut Max Planck di Starnberg, dekat Munich, pada
1971, dan bekerja di sana sampai 1983, dua tahun setelah terbitnya karya
utamanya, The Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif).
Habermas lalu kembali ke kursinya di Frankfurt dan jabatan Direktur Institut
Riset Sosial.
Sejak
berhenti (pensiun) dari Frankfurt pada 1993, Habermas terus menerbitkan karyanya
secara meluas. Pada 1986, ia menerima Penghargaan Gottfried Wilhelm Leibniz
dari Deutsche Forschungsgemeinschaft, yang merupakan bentuk penghargaan
tertinggi untuk riset di Jerman. Habermas juga memegang jabatan profesor “tamu
permanen” di Northwestern University di Evanston, Illinois, dan “Profesor
Theodor Heuss” di The New School, New York, Amerika.
Habermas
mengunjungi Republik Rakyat Cina pada April 2001. Ia juga menjadi penerima
Penghargaan Kyoto 2004 dalam bidang Seni dan Filsafat. Ia berkunjung ke San
Diego, dan pada 5 Maret 2005 –sebagai bagian dari Simposium Kyoto yang diadakan
oleh Universitas San Diego—memberikan ceramah berjudul “Peran Publik Agama
dalam Konteks Sekuler.” Ceramah ini berkaitan dengan evolusi pemisahan
Gereja dan Negara, dari netralitas ke sekularisme yang intens. Habermas
menerima penghargaan Holberg International Memorial Prize pada 2005.
C.
TEORI
“LANGUAGE DAN COMMUNICATIVE ACTION” HABERMAS
c.1 Habermas versus
Mazhab Frankfrut
Habermas bertolak dari
Teori Kritis Masyarakat Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno yang masuk dalam
jajaran ‘mazhab Franfurt’,sebuah nama yang semula digunakan untuk menyebut
sekelompok sarjana yang bekerja pada institute fur Sozialforschung (lembaga
penelitian sosial) di Frankfrut am Main, yang mencapai puncaknya ketika Max
Horkheimer menjadi direkturnya dengan ditandai bergabungnya teman dekatnya,
seperti T.W Adorno, H. Marcues, Walter Benjamin dan lain sebagainya.[1]
Ia
hendak mengembangkan gagasan teori masyarakat yang dicetuskan dengan maksud
yang praksis. Habermas melihat apa yang disampaikan oleh kedua punggawa mazhab
Teori Kritis awal itu tidaklah mencukupi untuk menganalisa keadaan masyarakat. Habermas melihat bahwa kebuntuan yang dialami Teori Kritis
Frankfurt generasi pertama, yang dipelopori oleh Adorno, Horkheimer, dan
Marcuse, tersebut sebenarnya berpijak pada kesalahan epistemologis didalam
mengartikan rasionalitas. Bagi para pendahulunya tersebut, rasionalitas lebih
dipandang sebagai rasionalitas instrumental, yakni bentuk rasionalitas yang
mengutamakan kontrol, dominasi atas alam ataupun manusia untuk menghasilkan
efektifitas dan efisiensi, dan prioritas pada hasil yang paling maksimal. Habermas
melihat miskonsepsi atas rasionalitas tersebut, dan kemudian merumuskan potensi
emansipatoris dari rasionalitas yang tidaklah instrumental, yakni rasionalitas
komunikatif. Rasionalitas komunikatif ini sudah tertanam didalam akal budi
manusia itu sendiri, dan didalam kemampuan mereka berkomunikasi satu sama lain,
sehingga akan selalu ada dan tidak mungkin dihilangkan selama manusia itu masih
ada.
Dalam hal
ini, Habermas melahirkan gagasan pembagian ilmu pengetahuan menjadi tiga
kelompok. Pertama, ilmu empiris-analitis. System kerjanya mencari
hokum-hukum pasti, bukan mengamati melainkan mengorganisir kesan yang Nampak
secara indrawi dalam naungan kepentingan teknis yang diobjektifkan. Kedua,
ilmu histori-hermeneutis. Keinginan memahami, dalam medium bahasa dan interaksi
yang bertujuan menangkap makna. Ketiga, ilmu tindakan. Berusaha membantu
manusia dalam tindakan bersama. Namun demikian, pemikiran Habermas pada dasarnya
terletak atas distingsi ilmu empiris-analitis disatu pihak, dan ilmu kominikasi
dipihak lain. Maka, lahirlah gagasan tentang paradigma “kerja” dan paradigma
“komunikasi”[2]
c.2 Pemikiran Habermas
Pemikiran Habermas
berangkat dari penemuannya tentang distingsi “praksis” tindakan manusia.
Tindakan dalam arti yang mempengaruhi proses hidup manusia sebagai makhluk “yang
berjenis”, sekaligus yang mempunyai cirri-ciri mendasar yang dapat berobservasi
secara empiris.
Penemuan Habermas
tentang dua dimensi praksis, kedua dimensi ini tidak bisa dipisahkan satu sama
lainnya, yaitu dimensi “kerja” dan “interaksi” atau “komunikasi” yang
dikukuhkan dalam penelitiannya tentang struktur social dengan membedakan dua
tindakan social. Pertama. “tindakan rasional-bertujuan”, yang meraup
dimensi kerja dan; kedua, “tindakan komunikatif”, yang bekerja pada
dimensi interaksi.
“Tindakan
rasional-bertujuan” itu mengandung sifat yang instrumental, dalam artian bahwa
suatu tindakan yang sebetulnya sudah diarahkan oleh aturan tertentu, berdasarkan
pengetahuan empiris, dengan cara-cara yang tepat untuk mencapai suatu tujuan,
hal ini berlaku pada manusia yang berhubungan dengan alam, dalam artian
subyek-objek. Serta mengandung sifat “strategis”, dalam artian sebuah kehendak
tindakan yang sudah ditentukan dan tergantung pada pola-pola teori yang sudah
dianggap pasti dan penilaiannya sudah ada kaidah-kaidahnya.
“tindakan komunikatif”
diarahkan kepada tindakan komunikasi antar subjek-subjek yang disepakati
bersama pada hubungan timbale balik, dalam bentuk norma-norma. Symbol-simbol
yang dipahami terjadi lewat medium bahasa pergaulan, atau bahasa sehari-hari,
karena dalam bahasa struktur pemahaman subjek yang berinteraksi, berkembang
bebas dari tekanan atau dominasi.
Dalam tindakan
komunikasi, jika manusia mampu sepakat dalam dunia alamiah (berhubungan dengan
alam) dan dunia objektif (berhubungan dengan masyarakat), maka tercapailah
‘klaim kebenaran’(truth). Kemudian, dalam pelaksanaan norma-norma pada
konteks dunia social-masyarakat, manusia dapat sepakat , maka tergapailah ‘klaim
ketetapan’ (rightness). Selanjutnya, kesuaian antar dunia batiniah
dengan ekspresi manusia, dimana keduanya berjalan seimbang, maka akan lahir
‘klaim autentisitas atau kejujuran’ (sincerety). Akhirnya, proses
perjalanan unutuk menegejawantahkan macam-macam klaim itu, dimana manusia mampu
mencapai kesepakatan dalam prosesnya, maka terwujudlah apa yang dinamakan
‘klaim komprehensibitas’ (comprehensibility).[3]
Pada kondisi semacam
ini, Habermas lalu menawarkan gagasan tentang model “non-selektif” untuk
mencerna masyarakat yang rasional. Non-selektif dalam arti, kehendak untuk
mengembangkan masyarakat rasional secara keseluruhan yang mungkin dengan
menyebarkan struktur-struktur kesadaran modern, dimana masyarakatnya sudah
semakin rasional. Habermas kemudian mengembangkan teorinya dengan menghubungkan
jaring-jaring relasi “pragmatis-formal” manusia, dalam arti berhubungan dengan
dunia praksis tindakan manusia. Realitas praksis manusia itu adalah dunia
objektif(kenyataan alam), dunia social dan dunia subjektif (diri sendiri).
Dengan hadirnya ketiga dunia itu, manusia bisa mengembangkan tiga sikap
atasnya, yaitu; sikap mengobjektifkan, sikap konformatif-norma (mengambil jarak
untuk bersikap kritis) dan sikap ekspresif (kehendak untuk merealisasikan
kritik dengan realitas praksis).[4]
Dunia
Sikap
dasar
|
Objektif
|
Social
|
Subjektif
|
Mengobjektifkan
|
Hubungan
kognitif-intrumental
|
Hubungan
kognitif-strategis
|
Hubg
objektivitas dengan diri
|
Konformatif-Norma
|
Hubg
estetis-moral dengan lingkungan yang tidak diobjektifkan
|
Hubungan
kewajiban
|
Hubungan
sensor diri
|
Ekspresif
|
Hubg
estetis-moral dengan lingkungan yang tidak diobjektifkan
|
Pernyataan
diri
|
Hubg
spontan indrawi dengan diri
|
Akan tetapi, Habermas kemudian memperingatkan bahwa
ada tiga kenyataan yang tidak bisa dirasioanalkan, dimana akan sulit
mendapatkan pengetahuan yang sahih. Pertama, sikap menobjektifkan dalam
dunia batin (subjektif) sejauh dalam dimensi subjektifitas. Kedua, sikap
konfortimatif-norma dalam dunia objektif (alam) karena merupakan wilayah
ilmu-ilmu alam dan filsafat alam, yang berusaha untuk mengalih-pindahkan
sifat-sifat manusia kepada tubuh alam, sehingga akan sulit Untuk mengejar
ketertinggalannya guna menyamai rekor kesuksesan yang ditorehkan oleh ilmu-ilmu
alam kepada perkembangan sejarah manusia. Ketiga, sikap ekspresif
terhadap dunia social-masyarakat, sebab sikap ekspresif dalam dunia social akan
melahirkan konsekuensi pada kesemerawutan terhadap interaksi social, sehingga
tidak akan mungkin dapat dirasionalkan.[5]
Bagi Habermas, ketika
seseorang berhubungan dengan dunia kehidupan, maka dia mengalami salah satu
dari 3 relasi pragmatis. Pertama, dengan sesuatu di dunia objektif (sebagai
totalitas entitas yang memungkinkan adanya pernyataan yang benar. Kedua, dengan
sesuatu di dunia sosial (sebagai totalitas hubungan antar pribadi yang diatur
secara legitim/sah). Ketiga, dengan sesuatu di dunia subjektif (sebagai
totalitas pengalaman yang akses ke dalamnya hanya dimiliki si pembicara dan
yang dapat dia ungkapkan di hadapan orang banyak).[6]
Ucapan
komunikatif selalu melekat pada berbagai hubungan dengan dunia. Tindakan
komunikatif bersandar pada proses kooperatif interpretasi tempat partisipan
berhubungan bersamaan dengan sesuatu di dunia objektif, sosial, dan subjektif.
Pembicara dan pendengar menggunakan sistem acuan ketiga dunia tersebut sebagai
kerangka kerja interpretatif tempat mereka memahami definisi situasi bersama.
Mereka tidak secara langsung mengaitkan diri dengan sesuatu di dunia namun
merelatifkan ucapan mereka berdasarkan kesempatan aktor lain untuk menguji
validitas ucapan tersebut. Kesepahaman terjadi ketika ada pengakuan
intersubjektif atas klaim validitas yang dikemukan pembicara. Konsensus tidak
akan tercipta manakal pendengar menerima kebenaran pernyataan namun pada saat
yang sama juga meragukan kejujuran pembicara atau kesesuaian ucapannya dengan
norma.
Proses yang
terjadi dalam ucapan komunikasi adalah konfirmasi (pembuktian), pengubahan,
penundaan sebagian, atau dipertanyakan secara keseluruhan. Proses defenisi dan
redefinisi ini yang terus berlangsung ini meliputi korelasi isi dengan dunia
(ditafsirkan secara konsensual dari dunia objektif, sebagai elemen privat dunia
subjektif yang hanya bisa diakses oleh orang yang bersangkutan. Jadi komunikasi
terbentuk dalam situasi intersubjektif, dimana “situasi” tidak didefinisikan
secara kaku, tapi diselami konteks-konteks relevansinya,
Tindakan
komunikatif memiliki 2 aspek, aspek teologis yang terdapat pada perealisasian
tujuan seseorang (atau dalam proses penerapan rencana tindakannya) dan aspek
komunikatif yang terdapat dalam interpretasi atas situasi dan tercapainya
kesepakatan. Dalam tindakan komunikatif, partisipan menjalankan rencananya
secara kooperatif berdasarkan definisi situasi bersama. Jika definisi situasi
bersama tersebut harus dinegosiasikan terlebih dahulu atau jika upaya untuk
sampai pada kesepakatan dalam kerangka kerja definisi situasi bersama gagal,
maka pencapaian konsensus dapat menjadi tujuan tersendiri., karena konsensus
adalah syarat bagi tercapainya tujuan. Namun keberhasilan yang dicapai oleh tindakan
teologis dan konsensus yang lahir dari tercapainya pemahaman merupakan kriteria
bagi apakah situasi tersebut telah dijalani dan ditanggulangi dengan baik atau
belum. Oleh karena itu, syarat utama agar tindakan komunikatif bisa terbentuk
adalah partisipan menjalankan rencana mereka secara kooperatif dalam situasi
tindakan yang didefiniskan bersama. Sehingga mereka bisa menghindarkan diri
dari dua resiko, resiko tidak tercapainya pemahaman (ketidaksepakatan atau
ketidaksetujuan) dan resiko pelaksanaan rencana tindakan secara salah (resiko
kegagalan).
D.
Penutup
Perkembangan
masyarakat dari masa ke masa dengan di iringi oleh perkembangan keilmuan serta
paradigma yang ada di tengah-tengah masyarakat sehingga membutuhkan pembaharuan
ulang atas konsep-konsep ataupun teori-teori yang ada. Hal ini terlihat dari
usaha Habermas dalam melahirkan teori komunikatif yang sudah berkembang dengan
tawaran teori baru.
Habermas mencoba
memberikan hal yang praksis dalam melihat masyarakat modern yang mana hal
tersebut belum diakomodir oleh teori-teori yang ada, dalam hal ini teori-teori
yang di kembangkan oleh mazhab Frankfrut dengan tokoh Adorno dan kawan-kawan.
[1]
Sindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern Oleh Max
Hokheimer dalam Rangka Sekolah Frankfrut (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm
20-25
[2]
F.M Suseno, “kata Pengantar” dalam Habermas, Ilmu dan Teknologi terj Hasan Basari, (Jakarta: LP3ES, 1990) hlm. Xix-xx
[3]
Fransico Budi hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Politik &
Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm.
xxii
[4]
Fransico Budi hardiman, Kritik Ideology:Pertautan Pengetahuan dan
kepentingan. (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 93
[5]
Ahmad Jauhari, Memahami Rasio Komunikatif Jurgen Habermas (Yogyakarta:
UIN-Sunan Kalijaga,Fakultas Ushuluddin, 2004), hlm. 149.