A. PENDAHULUAN
Secara sederhana, berfikir filosofis adalah berpikir secara kritis,
mendalam sampai akar-akarnya serta dapat dipertanggungjawabkan. Pengertian
sederhana tersebut dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwasannya peranan
logika dalam berfikir filosofis menduduki peranan sentral. Meskipun demikian, para filosof klasik tidak
memperkenalkan logika dalam bangunan konsep yang dia bangun. Seperti
Aristoteles, meski membuat karya tentang dasar-dasar logika, berpendapat bahwa
logika bukan termasuk dari bagian Filsafat (berfikir secafar filosofis, red),
namun merupakan bagian sebelum dari filsafat itu sendiri, logika adalah sebuah
persiapan sebelum memasuki dunia berpikir secara filosofis.[1]
Dalam perjalanannya, logika tidak hanya sebagai ilmu persiapan untuk
memasuki dunia filsafat, tetapi bagian integral yang tidak dapat dipisahkan
dari Filsafat. Lebih lanjut, perkembangan filsafat juga kemudian menjadikan
logika sebagai ilmu cabang dari filsafat, meski hal itu tentunya terdapat
pro-kontra. Oleh karena itu, mengenal lebih jauh tentang logika, baik ketika
masih menjadi ilmu pembuka, bagian integral, maupun sebagai cabang filsafat.
Berawal dari pemaparan diatas, ada beberapa pertanyaan yang perlu
mendapat kajian, terutama dalam pembahasan makalah ini, selain sejarah logika
diatas, adalah apa yang dimaksud dengan logika, apakah ada perbedaan pengertian
melihat pergeseran aksiologis logika secara historis. Lebih jauh lagi, dalam
dunia pengetahuan kontemporer filsafat menduduki posisi strategis dan utama
dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Nah, bagaimana posisi logika dalam
persoalan tersebut, apakah sestrategis filsafat atau bahkan melebihi filsafat.
Disamping itu, logika juga perlu dikaji dalam sisi agama, bagaimana
peranan dan kedudukannya dalam agama, hal ini dikarenakan dalam agama Islam,
misalnya, literatur utama dan pertamanya-al-Quran-tidak sedikit menggunakan
redaksi akal dan berfikir. Dari semua pemaparan diatas dan keterbatasan
waktu-ruang, maka penulis coba berusaha menjawab berbagai pertanyaan diatas
semampunya dalam tulisan singkat ini.
B. PEMBAHASAN
a. Sekapur sirih “Logika”
a Logika berasal dari kata Yunani Kuno, λογική(logikos) yang berasal dari kata benda λσγσς (Logos) yang mempunyai arti sesuatu yang diutarakan, pertimbangan akal (pikiran), kata, percakapan, dan bahasa.
Sedangkan λογική(logikos) berarti mengenai sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal (piki
ran), mengenai kata, mengenai percakapan, mengenai bahasa. Oleh karena itu, logika menurut bahasa
adalah suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan melalui
bahasa.[2]
Sedangkan λογική(logikos) berarti mengenai sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal (piki
ran), mengenai kata, mengenai percakapan, mengenai bahasa. Oleh karena itu, logika menurut bahasa
adalah suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan melalui
bahasa.[2]
Sedangkan
logika menurut para ahli adalah sebagai berikut:
-
Jan Hendrik Rapar: Logika adalah cabang filsafat yang menyusun,
mengembangkan, dan membahas asas-asas, aturan-aturan formal dan
prosedur-prosedur normatif, serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan
penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional.[3]
-
Harry Hamersma: cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara
berfikir, aturan-aturan mana yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan
sah.[5]
-
I Gusti Bagus Rai Utama: logika adalah ilmu yang memepelajari
kecakapan untuk berfikir secara lurus, tepat, dan teratur.[6]
-
Loren Bagus: Logika adalah studi tentang aturan-aturan penalaran
yang tepat serta bentuk dan pola pikiran yang masuk akal.[7]
Dari pemaparan definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa logika adalah ilmu yang membahas aturan-aturan dan metode
keabsahan atau ketepatan berfikir.[8] Oleh karena itu,
filsuf klasik, Aristoteles, tidak memasukkan logika dalam karya-karya
filsafatnya dikarenakan logika merupakan pijakan utama dan pertama dalam
memasuki dunia filsafat. Lebih jauh lagi, K. Bertens mengemukakan bahwa salah
satu alasan Aristoteles karena logika menurutnya merupakan pijakan awal sebagai
persiapan untuk berfikir.[9] Tentunya, alasan tersebut
menurut sebagian orang bertentangan.
Misalnya,
seorang dapat membaca harus mengetahui tulisan. Hal ini pasti akan menimbulkan
dua kutub besar, pertama mengatakan tulisan termasuk bacaan, kedua tulisan
bukan termasuk bacaan. Contoh tersebut sama halnya dengan mengatakan pangkal
filsafat adalah penalaran, namun bagi kelompok tertentu penalaran bukanlah
filsafat, menurut sebagian lainnya penalaran adalah bagiannya.
Aristoteles,
salah satu tokoh pertama Filsafat, meski tidak memasukkan logika dalam
karya-karyanya, namun dalam kenyataannya, logika dalam filsafat Arietoteles
menduduki posisi strategis. Salah satu bukti bahwa Filsafat Aristoteles
menggunakan “kerangka kerja” logika adalah banyak didapati didalam
karya-karyanya struktur kerja logika, seperti analitika-penyelidikan
tentang argumen berdasarkan putusan-putusan yang benar dan dialektika-penyelidikan
tentang argumen berdasarkan hipotesa. Selain itu, Aristoteles membuat beberapa
karya yang kemudian hari menjadi pijakan pengembangan logika, categoriae, De
Interpretatie, Analitica Priora, Analitica Posteriora, Topika dan De
Sophisticis Elenchis.
Cicero-lah,
Filsuf Yunani abad pertama, yang mengenalkan logika dalam filsafat. Meski
sebagai orang pertama-menurut sebagian besar-yang memperkenalkan istilah logika
dalam filsafat, namun dia mengartikan logika sebagai seni berdebat, bukan sebagai
aturan dan metode menyingkap keabsahan sebuah pernyataan. Sedangkan filsuf
pertama yang menggunakan istilah logika seperti sekarang adalah Alexander
Aphrodisias, seorang filsuf abad ke-3 yang menyatakan bahwa logika adalah ilmu
yang menyelidiki lurus atau tidaknya pemikiran.[10]
Logika yang
berkembang dewasa ini merupakan sebuah metode berfikir yang sesuai aturan,
tentunya, aturan ini bersinergi kepada epistemologi yang dipegang oleh masing
filsuf. Seperti filsuf rasionalisme, berpegang pada aturan-aturan keabsahan
berfikir secara rasional, filsuf empirisme berpegang kepada aturan-aturan
empirik. Namun demikian, aturan-aturan keabsahan tersebut merupakan aturan
ilmiah sehingga bisa dijadikan dasar kelogisan berpikir ilmiah. Hal ini
dikarenakan filsafat kontemporer memposisikan logika sebagai suatu metode
berpikir ilmiah sehingga aturan-aturan dalam metode tersebut harus sesuai
dengan criteria metode ilmiah. Oleh karena itu, beberapa filsuf mengkategorikan
logika kepada logika ilmiah dan alamiah, artinya logika meski membicarakan
metode dan aturan berpikir, namun pemikiran tidak semuanya bisa mengikutinya.
Seperti logika ilmiah adalah penarikan kesimpulan dari premis-premis
(proposisi) dengan ketentuan ilmiah, berbeda dengan logika alamiah yang
terkadang mengesampingkan ketentuan ilmiah.
Ahmad
Tafsir dalam bukunya, Filsafat Ilmu, mengatakan bahwa berpikir dengan
logika (logis) adalah penyimpulan sebuah proposisi yang ada atas kesuasaiannya
dengan hukum alam. Sedangkan rasional adalah menarik kesimpulan seseuai dengan
akal. Sebaliknya, logika alamiah adalah penyimpulan yang tidak sesuai dengan
ketentuan hukum alam, tetapi hal ini dapat dipergunakan sebagai pengetahuan
selama argument-argument yang dipakai untuk menyimpulkannya dapat diterima
akal.[11] logika alamiah ini kemudian dikenal
dengan logika suprarasional.
Salah satu contohnya adalah Ibrahim dan Api sebagaimana yang termuat kisahnya
dalam al-Quran. Dari kisah tersebut, jika dilihat dari logika (sebagai metode
dan aturan berfikir yang benar), tentunya menjadi seperti ini:
Ibrahim adalah Manusia
Api menghanguskan benda yang dibakar
Manusia dibakar hangus
Tentunya, logika ilmiah menarik kesimpulan Ibrahim dibakar hangus. Tetapi,
sebagaimana yang dikisahkan dalam al-Quran bahwasannya Ibrahim tidak hangus.
Oleh karena itu, menurut logika ilmiah peristiwa terbakarnya Ibrahim tidak
dibenarkan. Namun dengan kacamata logika alamiah, hal itu dapat dibenarkan
dengan argument-argument seperti ini.
Tuhan
membuat api. Api itu terdiri atas dua substansi, yaitu api dan panas. Api dan
panas sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Namun, secara kondisional dan
kepentingan Tuhan, Tuhan mengubah sifat api dari panas menjadi dingin. Bolehkah
Tuhan berbuat seperti itu?[12]
Dengan
penjelasan Ahmad Tafsir diatas, tentunya dapat disimpulkan bahwa logika adalah
pijakan berfikir logis, berfikir logis merupakan menarik sebuah kesimpulan atas
premis-premis yang ada beserta argumennya dan dapat diterima oleh
akal.Penjelasan Tafsir tersebut juga perlu digaris bawahi bahwasannya logika merupakan
suatu metode berfikir yang integral dengan corak dan aliran epistemologi yang
dianutnya.
Sebagaimana pemaparan sebelumnya, logika merupakan sebuah alat penalaran dalam
berfikir yang berdasarkan premis-premis dalam bentuk proposisi. Oleh karena
itu, langkah awal dalam berlogika adalah memiliki pengetahuan awal, baik secara
a priori atau a posteriori, yang ada dalam premis tersebut.
Tentunya, penalaran dengan asas logika tersebut akan tidak benar-jika tidak
ingin mengatakan sesat-sejak awal jika proses bernalar tidak didahului
pengetahuan. Lebih lanjut, jika dicermati secara seksama, unsur-unsur yang ada
dalam logika adalah term atau konsep, proposisi dan penyimpulan.
b. Objek Logika
Membicarakan logika sebagai ilmu tersendiri, atau framework ilmiah,
tentunya membawa kepada pertanyaan objek kajian logika. Dalam disiplin ilmu
pengetahuan, objek kajian terbagi menjadi dua, objek formal dan material. Hal
ini juga berlaku kepada kajian logika sebagai suatu disiplin ilmu.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas bahwasannya logika adalah ilmu
yang mempelajari metode dan aturan-aturan berpikir yang sah. Berawal dari
definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwasannya objek material dari
logika adalah berfikir atau pemikiran tentang ilmu itu. Sedangkang objek formal
dari logika adalah metode atau aturan-aturan keabsahan berfikir.
Pembagian objek kajian logika, menurut sebagian orang, akan bertemu pada
psikologi. Seperti yang sudah diketahui, objek material suatu keilmuan masih
memungkinkan sama dengan objek material ilmu lainnya. Semisal, objek material
filsafat dan kedokteran sama, yaitu manusia. Sama halnya dengan filsafat dan
kedokteran, objek material logika dan psikologi sama, yaitu kajian aktivitas
berpikir. Namun yang membedakan diantara keduanya adalah sebagai berikut.
Logika mempelajari hukum-hukum, patokan-patokan dan rumus-rumus
berpikir. Psikologi juga membicarakan aktivitas berpikir, karena itu kita
hendaklah berhati-hati melihat persimpangannya dengan logika. Psikologi
mempelajari pikiran dan kerjanya tanpa menyinggung sama sekali urusan benar
salah. Sebaliknya, urusan benar salah menjadi pokok dalam logika.[13]
c. Macam-Macam
Logika
Tidak sedikit buku yang membahas persoalan logika dalam filsafat, sejak
era klasik hingga sekarang berjumlah ratusan. Akibatnya, bagi sebagian orang
macam-macam logika sangat membingungkan dikarenakan dalam buku tertentu
macam-macam logika belum tentu dijumpai dalam buku-buku lainnya. Oleh karena,
secara sederhana penulis ingin membagi beberapa macam logika sependek
pengetahuan yang dimiliki hasil dari pembacaan beberapa refrensi yang ada.
1. Logika dilihat dari kualitas
a. Naturalis
Naturalis dalam KBBI diartikan sebagai
sesuatu yang bersifat alami, bercorak alam nyata.[14]
Sedangkan yang dimaksud disini bahwa logika naturalis adalah kecakapan
berlogika berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia.[15]
Sebagai manusia ciptaan Tuhan, tentunya manusia manusia memiliki beberapa
pengetahuan yang sudah terkonstruk dalam pikirannya yang berguna untuk
kehidupan sehari.
Secara nyata, logika naturalis adalah
metode dan aturan berfikir kaum rasionalis. Mereka memandang bahwa adanya
prinsip-prinsip dasar dalam dunia dimana hal itu bersumber dalam budi manusia
dan diakui kebenarannya oleh akal. Oleh karena itu, bagi mereka pengetahuan
tidak berdasarkan pengalaman atau eksperimen, namun berdasarkan kepada ide bawaan
(Rene Descartes).
Dengan demikian, dalam buku-buku filsafat
corak pemikiran seperti ini biasanya dirujukkan kepada tokoh-tokoh Rasionalis,
seperti Descartes, Spinoza, Leibniz, Wolf dan berakar kepada Plato dan
Aristoteles.
b. Ilmiah
Berbeda dengan naturalis, logika ilmiah
lahir sebagai jawaban dari kekurangan dari logika naturalis. Logika ilmiah
lebih menitik beratkan kepada penyusunan hukum-hukum, aturan, patokan dan
rumus-rumus berpikir lurus. Lebih jauh lagi, bahwasannya kehadiran logika
ilmiah memperhalus dan mempertajam pikiran dan akal budi. Dengan demikian,
kesimpulan-kesimpulan logis dari premis-premis yang dinyatakan dapat
dipertanggungjawabkan pembuktiannya.
2. Logika dilihat dari waktunya
a. Tradisional
Tidak jauh berbeda dengan logika alamiah,
bahwasannya logika tradisional adalah metode dan aturan berpikir logis
mengikuti beberapa tokoh klasik, seperti Aristoteles, Logikus dan sebagainya.
Namun, perbedaannya adalah logika tradisional tidak mengungkung dirinya hanya
kepada tokoh-tokoh Rasionalis, tokoh-tokoh klasik empiris, seperti kaum Stoa, Chrysippus, Johanes Damascenus dan
Boethius.
b. Modern
Jika logika tradisional dapat dikatakan
sebagai Aristoteles sentries, maka logika modern sebaliknya. Dalam logika
modern, logika-logika yang berpusat kepada Aristoteles atau filsuf-filsuf
klasik ditinggalkan. Era ini ditandai dengan penemuan logika baru oleh Raymundus
Lullus dengan istilahnya, ars magna.
Dalam logika tradisional setidaknya
perkembangannya dipengaruhi oleh rasional dan empirisme. Namun begitu,
kehadiran Lullus mencoba memberi warna baru dengan mengatakan bahwasannya
pengetahuan tidak hanya berpusat kepada rasionalis dan empirisme, namun dimensi
mistik perlu dipertimbangkan.[16]
Berbeda dengan Lullus, filsfus Jerman,
Immanuel Kant lebih condong mengatakan bahwa metode atau aturan logika berpusat
kepada akal budi yang disintesiskan dari rasio dan pengalaman inderawi. Selain
itu, Henry Bergson (1859) juga menganggap tidak hanya akal terbatas, pengalaman
juga terbatas. Oleh karena itu, metode dan aturan berpikir yang absah adalah
intuisi.[17]
Selain itu, menurut
Theodore Sider perkembangan logika modern merupakan perkembangan logika
matematika dan simbol. Dalam artian, logika modern melihat bahasa sebagai
alatnya dengan definisi formal, kalimat-kalimat formal dan sebagainya.[18]Lebih lanjut, logika modern menggunakan
teknik-teknik matematika dalam menganalisa sebuah bahasa, salah satu contohnya
adalah dengan menggunakan rumus-rumus.
3. Logika dilihat dari obyeknya
a. Formal
Logika adalah
metode dan aturan berpikir yang benar. Oleh karena itu, benar atau tidaknya
suatu kesimpulan dari premis-premis yang dibicarakan dalam logika memiliki dua
kategori, benar dalam bentuknya dan benar dalam substansinya.
Logika formal
adalah logika yang membicarakan kebenaran sebuah pernyataan dari sisi
bentuknya. Pernyataan dianggap logis secara formal apabila kesimpulan yang
ditarik logis dari premis dengan mengabaikan isi yang terkandung didalamnya.[19] Dengan
demikian, logika formal akan mempunyai kesimpulan yang benar jika memiliki
bentuk pernyataan yang benar. Misalnya,
Semua binatang
adalah mati
Semua cicak
adalah mati
Jadi, semua
cicak mati
Contoh diatas
memiliki bentuk premis yang dapat dibenarkan, hal ini berbeda dengan contoh
dibawah ini,
Semua PNS
adalah penerima gaji
Semua Pegawai
Swasta adalah penerima gaji
Jadi, semua
PNS adalah pegawai swasta.
Contoh diatas
tidak dilihat ilmu logika kesimpulannya tidak dapat dibenarkan, hal ini
dikarenakan bentuk dari kesimpulannya tidak memiliki dasar terhadap bentuk
premis-premisnya. Bagaimana dengan kesimpulan yang mengabaikan substansi
premisnya? Berikut contohnya.
Malaikat itu
benda fisik
Batu itu
malaikat
Contoh diatas
memperlihatkan bahwasannya kesimpulannya logis secara bentuknya karena
kesimpulannya ditarik dari bentuk premis-premis yang ada. Namun, logika
tersebut, tentunya, tidak benar jika dilihat dari substansi, baik premisnya
maupun kesimpulannya.
b. Material
Selain
kebenaran logika dilihat dari bentuknya, keabsahannya juga dapat dilihat dari
substansi atau isinya. Logika material adalah kesimpulan premis yang ditarik
dari substansi atau isi premis-premis yang ada. Berbeda dengan logika formal,
logika material penekanan kebenaran kesimpulannya berada pada substansi kesimpulan
sesuai dengan substansi premis yang ada.
Oleh karena
itu, dalam memahami logika formal maupun material diperlukan sebuah pengetahuan
yang benar ketika membuat sebuah premis. Jika premis tersebut secara nyata berisikan
sesuatu yang salah, maka dapat dipastikan substansi kesimpulan juga salah. Perhatikan
beberapa contoh dibawah ini.
-
Manusia adalah binatang berkaki empat
Alibaba adalah manusia
Jadi, alibaba adalah binatang berkaki empat
-
Semua ayam mempunyai kaki
Dadang bukanlah ayam
Dari dua
contoh diatas, jika ditelaah lebih lanjut maka contoh pertama merupakan contoh
yang menunjukkan keabsahan bentuk kesimpulannya, tidak pada sisi substansinya.
Sedangkan contoh kedua menunjukkan bahwa kesimpulannya absah secara substantif,
tidak secara bentuknya.
4. Logika dilihat dari proses atau dasar pemikiran
a. Deduksi
Logika
deduktif adalah penarikan kesimpulan dari premis-premis yang ada, premis-premis
tersebut merupakan sebuah pernyataan umum yang sudah diketahui.[22] Oleh
karena itu, sebagian orang mengatakan bahwasannya logika deduksi (dan induksi)
merupakan logika yang dikembangkan oleh filsuf klasik sekitar abad ketiga
Sebelum Masehi (SM). Salah satu metode deduksi yang sering dipakai adalah
silogisme. Seperti Aristoteles, dia mengatakan bahwa silogisme merupakan sebuah
argumen yang diambil secara pasti dari premis-premis yang menyatakan
permasalahan berlainan.[23]
Oleh karena
itu, silogisme adalah penalaran atau penarikan kesimpulan yang terdiri dari
tiga prosisi. Proposisi pertama dan kedua merupakan premis (anteseden),
sedangkan proposisi yang ketiga merupakan kesimpulan (konsekuen). Premis
pertama digolongkan kepada premis mayor, sedangkan premis kedua dikategorikan
sebagai premis minor.[24]
Perhatikan
contoh berikut ini.
Semua manusia
adalah berakal
Hasan adalah
manusia
Jadi, hasan
adalah berakal
Memang,
dilihat dari contoh-contoh diatas maka dijumpai kesulitan untuk memahami
dikarenakan adanya kemiripan contoh. Namun, Mundiri membatasi patokan-patokan
terhadap logika yang disebut dengan silogisme sebagai berikut.
-
Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus partikular
-
Apabila salah satu premis negatif, kesimpulannya harus negatif
-
Dari dua premis yang sama-sama partikular, maka tidak sah mengambil
sebuah kesimpulan
Berbeda dengan
Mundiri, Sabarti Akhadiah memberikan patokan logika silogisme sebagai berikut.
-
Di dalam silogisme hanya ada tiga macam: term mayor, term minor dan
tengah
-
Term dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas dari term-term dalam
premisnya
-
Term tengah tidak boleh terdapat dalam kesimpulan
Dari patokan
yang diberikan kedua tokoh diatas, sesungguhnya tidak ada perselisihan, namun
satu sama lainnya melengkapi, sehingga dapat di gabungkan kedua patokan
tersebut menjadi sebuah patokan umum yang harus dipatuhi dalam silogisme.
b. Induksi
Jika penalaran
deduksi adalah menarik kesimpulan dari sesuatu yang umum, maka penalaran atau
logika induksi sebaliknya. Logika induksi adalah penarikan kesimpulan yang
bersifat umum dari premis-premis yang bersifat khusus. Misalnya,
Sapi itu
binatang bermata
Cicak itu
binatang bermata
Kerbau itu
binatang bermata
Jadi, semua
binatang bermata.
Tentunya, bagi
para pembaca akan menimbulkan pertanyaan, seperti dimakah letak perbedaan
antara deduksi dan induksi selain prosesnya? Suwardi dalam bukunya, Filsafat
Ilmu, menjelaskan dengan tabel sebagai berikut.
Induksi
|
Deduksi
|
Proses
pemikiran dari sesuatu yang khusus kemudian disimpulkan kepada yang umum
|
Proses
pemikiran dari sesuatu yang umum kemudian disimpulkan kepada yang khusus
|
Kesimpulan
induksi bersifat generalisasi dan sintesis
|
Kesimpulan
deduksi bersifat analitis
|
Penalaran
induksi bersifat probable dengan lainnya bergantung kepada alasan
|
Penalaran
deduksi bersifat sahih dengan relevansi premis yang ada
|
Penalaran
induktif tidak siap dipakai untuk menjelaskan deduksi
|
Penalaran deduksi
adalah tonggak penalaran untuk perkembangan keilmuan
|
Tabel :
Suwardi Endraswara (2013:192-193)
5.
Logika dilihat dari kesimpulannya
a.
Langsung
Logika
langsung yang dimaksud disini adalah penalaran yang premisnya sebuah proposisi dan
langsung disusul dengan proposisi sebagai kesimpulannya. Untuk memahaminya,
cermati contoh sebagai berikut.
Kerbau itu
Binatang
Sebagian binatang
itu kerbau
b. Tidak langsung
Berbeda dengan logika langsung, logika
tidak langsung adalah sebuah penalaran dengan kesimpulannya berdasarkan atas
beberapa proposisi. Contohnya sebagai berikut.
Kerbau itu binatang
Binatang itu buaya
Cicak itu binatang
Sebagian binatang itu
kerbau
d.
Manfaat Logika Dalam Pengembangan Keilmuan
Sebagaimana
yang sudah dipahami, salah satu ciri pengetahuan adalah ilmiah. Ilmiah dalam
arti bahwa ilmu tersebut prosesnya menggunakan metode-metode, aturan-aturan dan
penalaran-penalaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Walaupun demikian, sudah
menjadi kesepakatan umum bahwa semua itu tergantung masing-masing ilmuan untuk
memakai metode, aturan dan penalaran yang mana.
Secara
historis, peranan logika sudah diaplikasikan oleh manusia untuk menguraikan
peristiwa-peristiwa yang terjadi, meski logika mistis atau dongeng. Namun,
dalam perkembangannga logika ilmiah lebih dikedepankan dalam hal itu guna
memperoleh pengetahuan yang lebih ilmiah.[27] Lebih
lanjut, sebuah pengetahuan harus memiliki unsur reasonable untuk
diterima. Tentunya, unsur tersebut bertemu dengan fungsi logika itu sendiri,
yaitu menjelaskan alasan-alasan tentang suatu kesimpulan yang dapat diterima
dan tidak.
Dengan
demikian, tugas logika dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah membuka cara
berpikir logis ilmuwan dalam tata cara kerja ilmiah. Sebaliknya, ilmu
pengetahuan sebagai hasil aktifitas logika. Logika dan pengetahuan merupakan
dua term yang tidak dapat dipisahkan. Pengetahuan tanpa logika bohong dan
logika tanpa pengetahuan kosong.
Lebih lanjut,
manfaat logika dalam pengembangan ilmu pengetahuan dapat diperinci sebagai
berikut.
1.
Logika menyatakan, menjelaskan, dan mempergunakan metode dan aturan
abstrak yang dapat dipakai dalam pengembangan semua keilmuan.
2.
Daya berpikir abstrak tersebut membantu melatih dan mengembangkan
daya berpikir ilmiah
3.
Logika mencegah ketersesatan berpikir yang harus dihindari oleh
ilmu pengetahuan
4.
Logika modern membantu berpikir secara mandiri dan membedakan
pikiran yang salah dan benar.
5.
Selain itu, logika membantu berpikir lurus, tepat dan teratur
sehingga membantu memperoleh kebenaran yang menjadi modal penting dalam
pengembangan pengetahuan.[28]
e.
Proposisi, Logika dan Objektivitas
Dalam uraian
diatas, proposisi selalu menghiasi ketika mencoba memahami arti dari sebuah
logika, hal ini dikarenakan proposisi merupakan bagian integral dari logika itu
sendiri. Lebih jauh lagi, keabsahan sebuah logika tergantung pada kebenaran
proposisi yang disusun untuk dijadikan sebuah premis, baik premis mayor maupun
minor.
Proposisi
dapat diartikan sebagai sebuah ungkapan pembenaran atau pengingkaran atas
pemahaman sederhana. Proposisi merupakan sebuah proses lanjutan dari kerja
intelek, pemahaman sederhana, dan merupakan sebuah proses awal dari kerja
intelek terakhir, yaitu penalaran.[29]
Ketiga cara kerja inilah yang dinamakan cara kerja intelek secara komprehensif.
Perhatikan
contoh berikut ini,
Hasan adalah manusia penyabar
Besi dipanaskan akan memuai
Agus Salim adalah diplomat
Semua
pengetahuan sederhana yang tertuangkan dalam pernyataan diatas adalah
proposisi, atau dalam kata lain proposisi merupakan pernyataan dari pemahaman
sederhana yang dibenar dan salahkan. Oleh karena itu, jika ada sebuah
pernyataan dari pemahaman sederhana tetapi tidak dapat dinilai benar atau
salah, namun hanya sebuah pernyataan yang menunjukkan sebuah kehendak atau
keinginan, maka hal itu bukanlah sebuah proposisi. Misalnya,
Semoga Tuhan melindungimu
Ambilkan saya segelas air
Alangkah cantiknya gadis itu
Menjadi sebuah
pertanyaan disini adalah validitas kebenaran dan kesalahan sebuah proposisi.
Dari sini, perlu penulis jelaskan bahwasannya kebenaran proposisi itu dilihat
dari ketegori proposisi itu sendiri. Setidaknya, proposisi secara ketegoris
terdapat dua macam, yaitu proposisi analitik dan proposisi sintetik.
Proposisi
analitik adalah proposisi yang predikatnya mempunyai pengertian yang sudah
terkandung pada subyeknya. Sedangkan proposisi sintetik adalah proposisi yang
predikatnya mempunyai pengertian yang bukan menjadi keharusan bagi subyeknya.
Kuda adalah
hewan
Pepaya ini
manis
Dari kedua contoh
proposisi diatas, contoh pertama merupakan proposisi analitik, dikarenakan
pengertian hewan sudah dapat dimengerti dalam kata kuda. Sedangkan contoh kedua
dinamakan proposisi sintetik, dikarenakan pengertian manis belum terkadung
dalam subyeknya, yaitu pepaya.
Kedua macam
proposisi tersebut sesungguhnya adalah pemahaman mengenai sumber pengetahuan
itu sendiri. Dalam proposisi pertama, dituntut adanya sebuah pengetahuan
alamiah, a priori, untuk memahaminya. Sedangkan proposisi kedua adalah
sebuah pengetahuan yang bersifat a posteriori, sebuah pengetahuan yang
validitasnya tergantung kepada sebuah pengalaman inderawi.[30]
Dengan
demikian, hubungan antara proposisi, logika dan objektivitas erat. Penalaran
ilmiah membutuhkan kebenaran logika dalam berpikirnya, sedangkan kebenaran
logika bertumpu kepada kebenaran proposisi yang disusun. Kebenaran-kebenaran,
baik dalam proposisi dan logika, tentunya bersifat relatif, tidak mutlak. Dari
sini, sikap obyektif seorang ilmuwan diperlukan untuk melihatnya dengan benar.
Ketika proposisi dibangun dengan rasionalitas, bukan emperis, maka ketika
menilai proposisi tersebut dan digunakan sebagai logika ilmiah hendaklah
menyikapinya dengan rasional, bukan emperical.
f.
Logika Dalam Studi Islam
Sungguh
menguras tenaga dan pikiran tatkala harus menjelaskan logika dalam Studi Islam.
Secara eksplisit, Islam dijadikan sebagai obyek keilmuan tentunya membutuhkan
logika untuk mengembangkannya sebagaimana keilmuan lainnya. Namun secara
historis, justru logika merupakan salah satu dimensi yang menyebabkan keilmuan
dalam Islam stagnan. Hal ini tentunya dapat dimengerti karena perkembangan
keilmuan berbanding lurus dengan perkembangan Logika atau sebaliknya.
Terlepas dari
itu semuanya, dengan segala keterbatasan dan kedangkalan keilmuan yang dimiliki
oleh penulis, dalam kesempatan kali ini, penulis mencoba untuk mengidentifikasi
penyebab kemunduran atau stagnasi Logika yang ada dalam Islam (studi ,Red).
Menurut hemat
penulis, ada beberapa alasan mengapa logika dalam Islam mengalami stagnasi,
yaitu
1.
Bergulat dengan Hukum
Logika dalam
Islam sebenarnya sudah diajarkan dan diamalkan sudah jauh hari oleh Umat Islam.
Dalam Studi Islam, Logika beristilahkan dengan Ilmu Mantiq.[31] Dalam
buku monumentalnya al-Akhdhari, ilmu mantiq, para sarjana Muslim
sesungguhnya masih berpolemik atas hukum mempelajari Logika. Dalam perkembangan
keilmuan, polemik hukum mempelajarinya telah mempengaruhi sebagian umat Islam
untuk mempelajarinya, sehingga perkembangannya tidak signifikan. Logika yang
ada dalam kitab-kitab klasik belum juga terbarukan dengan logika-logika baru
hasil “sintesis” sarjana modern maupun kontemporer.
Polemik hukum
dan keterpengaruhan hukum Logika (Ilmu Mantiq) dalam dunia Islam, terlebih
Islam yang berada ditimur lebih menerima ajaran al-Ghazali dan Syafi’i,
berimbas pada mental pelajar Muslim untuk menekuni dunia logika. Lebih jauh
lagi, hukum yang tersebar dan menduduki rangking pertama adalah haram, sehingga
menimbulkan antipati terhadap logika oleh umat Islam.
2.
Romantisisme Mu’tazilah
Nama golongan
ini mungkin secara nyata sudah tidak ada dalam dunia kontemporer. Namun, secara
keilmuan, hal itu dapat dijumpai lagi. Padahal, golongan inilah yang secara
historis telah mampu membawa Islam bersanding dengan agama-agama lain secara
ilmiah. Tentunya, dalam hal ini penulis tidak ingin mengatakan mendukung Mu’tazilah
untuk dibangkitkan lagi. Namun, penulis ingin mengatakan bahwa logika jika
dipertemukan dalam agama tidak ada salahnya. Seperti pisau, pisau itu akan
membahayakan dan tidaknya berbanding lurus kepada yang memegang dan
memanfaatkannya. Jadi pisau dan logika tidak pernah salah, namun oknum yang memegang
dan memanfaatkannya lah yang salah. Sehingga begitu naif, jika alat itu yang dijudgment
bersalah atas tindakan oknum yang yang memeganginya.
Oleh karena
itu, ketika Hamka dipenjara, dia berkata, “kalian bisa memenjarakan fisik saya,
tapi pikiran dan akal saya tidak bisa dipenjarakan oleh siapa pun”. Hal ini
karena pikiran maupun akal tidak bisa dihentikan untuk selalu berproses
melahirkan pemikiran-pemikiran. Seharusnya, umat Muslim tidak terpengaruh
secara signifikan terhadap hukum mempelajari Logika, tetapi tetap mempelajari
untuk kepentingan keilmuan itu sendiri.
Stigma negatif
perlu dirubah dengan berlandaskan aksiologi keilmuan Islam, untuk kepentingan
kemajuan ilmu yang ada. Pisau meski sudah beribu-ribu yang digunakan untuk hal
negatif, namun dari perjalanan ruang-waktu, pisau tersebut masih diproduksi
dengan menghiraukan hal negatif yang sudah ditimbulkan, karena hal itu timbul
bukan dari pisaunya, apalagi pembuatnya, kenegatifan itu lahir dari oknum yang
memegang dan memahaminya.
C.
KESIMPULAN
Dari pemaparan
diatas bahwasannya penulis dapat menyimpulkan
1.
Logika lahir bersamaan dengan kehadiran filsafat, meskipun secara
istilah baru dijumpai pada abad pertama masehi, namun secara ontologis logika
sudah lahir sejak jauh hari.
2.
Logika merupakan sebuah ilmu tentang metode dan aturan berpikir
yang absah, benar atau salah. Keabsahan, kebenaran atau kesalahan itu juga tergantung
kepada logika mana yang dipakai.
3.
Objek material dari logika adalah berfikir. Sedangkang objek formal dari
logika adalah metode atau aturan-aturan keabsahan berfikir
4.
Tentunya, kehadiran logika sejak awal sangat membantu pengembangan
keilmuan dikarenakan sifat dasar keduanya yang sama. Oleh karena itu, perkembangan dan kemunduran ilmu berbanding lurus (salah satu faktornya) dengan perkembangan dan kemunduran Logika
D.
DAFTAR PUSTAKA
Akhadiah.
Sabarti dan Dewi Listyasari. Winda (ed), Filsafat Ilmu Lanjutan,
Jakarta: Kencana, 2011
Bagus. Lorens,
Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005
Copi. Irving
M., Introduction to Logic: Eigth Edition, New York: Macmillan Publishing
Company, 1990
Endraswara.
Suwardi, Filsafat Ilmu: Konsep, Sejarah dan Pengembangan Metode Ilmiah,
Yogyakarta: CAPS, 2013
Hamersma.
Harry, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2008
K. Bertens, Sejarah
Filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 1999
KBBI Offline
versi 1.5
Keraf. Sonny
dan Dua. Mikhael, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis,
Yogyakarta: Kanisius, 2001
Mundiri, Logika,
Jakarta: Raja Grafindo Persada dan IAIN Walisongo Press, 2001
Rapar. Jan
Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996
Sider.
Theodore, Logic For Philosophy, Versi pdf, Tk:Tp, 2010
Tafsir. Ahmad,
Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan,
Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007
Utama. I Gusti
Bagus Rai, Filsafat Ilmu dan Logika, Bandung: Universitas Dyana Pura,
2013
http://
santosogereja.blogspot.co.id
[8] Definisi
logika yang selama ini ditawarkan memunculkan persoalan lain. Seperti, metode
dan aturan bagaimana sehingga pemikiran dapat dikatakan absah. Lebih lanjut,
Irving M. Copi mengatakan bahwa definisi tersebut masih menyisahkan persoalan
absah dan tidaknya (reason well or correctly) sebuah pernyataan.Irving M. Copi, Introduction to
Logic: Eigth Edition (New York: Macmillan Publishing Company, 1990), hlm. 3
[17] M. Achwan Baharuddin “Epistemologi
Irfani” dalam http://achwanruhayyun.blogspot.co.id /2011/10/
epistemologi-irfani.html. Di akses pada tanggal 09 Nopember 2015
[31] Ilmu Mantiq secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu
yang membahas tentang alat dan formula berfikir agar terhindar dari kesalahan. Lih.
Athiep Schutz, Pengertian Dan Ruang Lingkup Ilmu Mantiq, dalam http://awatifbaqis.blogspot.co.id /2012/04/pengertian-dan-ruang-lingkup-ilmu.html.
Di akses pada tanggal 17 November 2015