Selasa, 20 Januari 2015

Prinsip Enterpreneur Bob Sadino



11 Prinsip Enterpreneur Bob Sadino, dari bawah sampai sukses. 

"Saya sudah menggoblokkan diri sendiri terlebih dahulu sebelum menggoblokkan orang lain"

"Banyak orang bilang saya gila, hingga akhirnya mereka dapat melihat kesuksesan saya karena hasil kegilaan saya"

"Orang pintar kebanyakan ide dan akhirnnya tidak ada satu pun yang jadi kenyataan. Orang goblok cuma punya satu ide dan itu jadi kenyataan"

"Saya bisnis cari rugi, sehingga jika rugi saya tetap semangat dan jika untung maka bertambahlah syukur saya"

"Sekolah terbaik adalah sekolah jalanan, yaitu sekolah yang memberikan kebebasan kepada muridnya supaya kreatif"

"Orang goblok sulit dapat kerja akhirnya buka usaha sendiri. Saat bisnisnya berkembang, orang goblok mempekerjakan orang pintar"

"Setiap bertemu dengan orang baru, saya selalu mengosongkan gelas saya terlebih dahulu"

"Orang pintar mikir ribuan mil, jadi terasa berat. Saya nggak pernah mikir karena cuma melangkah saja. Ngapain mikir, kan cuma selangkah"

"Orang goblok itu nggak banyak mikir, yang penting terus melangkah. Orang pintar kebanyakan mikir, akibatnya tidak pernah melangkah"

"Orang pintar maunya cepat berhasil, padahal semua orang tahu itu impossible! Orang goblok cuma punya satu harapan, yaitu hari ini bisa makan"

"Orang pintar belajar keras untuk melamar pekerjaan. Orang goblok itu berjuang keras untuk sukses bisa bisa bayar pelamar kerja".

Senin, 27 Januari 2014

Studi Kitab " Tahdzibul kamal fi asma’I Rijal" Karya al-Mizzi


A.       Pendahuluan
Ilmu Rijal adalah satu disiplin ilmu yang penting untuk dikaji dalam rangka mendalami hadis-hadis nabi, hal ini bias dilihat dari perkembangan ilmu rijal itu sendiri dan banyak ulama hadis yang menaruh perhatiannya pada disiplin ilmu rijal.
Salah satu ulama yang menaruh perhatiannya adalah al Mizzi dengan karyanya yang diberi nama Tahdzibul kamal fi asma’I Rijal. Sebuah kitab monumental yang disusun sekitar pada tahun 705 H sampai sekarang digunakan oleh pemerhati hadis-hadis nabi jika mereka melakukan penelitian.
Dari sedikit pengetahuan dasar tersebut, kami mencoba untuk mengulas kitab tahdzibul kamal karya al mizzi tersebut dengan tujuan civitas hadis pada jaman sekarang dapat bertambah wawasannya akan halnya ilmu rija al hadis dan semoga bermanfaat.
B.        Biografi al Mizzi
Nama lengkap al Mizzi adalah al Hafidz Jamaluddin Abu al Hajjaj Yusuf ibn al Zaki Abd Rahman bin Yusuf bin Ali Abd al Mulk bin Ali bin Abi al Zuhr al Kalbi al Kudha’I al Mizzi. Ia dilahirkan pada 10 Rabiul Akhir 654 H di Syam. Ia wafat pada 12 Shafar 742 H dan di makamkan disamping isterinya, Aisyah bin Ibrahim bin Shadiq, disebelah barat makam Ibn Taymiyyah.
Al Mizzi pertama kali belajar pada tahun 675 H, ia belajar hadis pertama kali pada Zainudin Abi al Abbas Ahmad bin Abi al Khair  Salamah bin Ibrahim al Dimasyqi al Haddad al Hambali(589-678H). Dari sinilah, muncul keinginan yang tinggi terhadap Hadis sehingga ia mengarahkan cita-citanya untuk belajar dan mendalami Hadis, hal ini dibuktikan dengan didalaminya kitab-kitab hadis, seperti kutubbut tis’ah, musnad al imam ahmad, al mu’jam al kabir karya al Thabarani serta banyak kitab yang lainnya.
Kemudian al Mizzi mengembara ke kota-kota Palestina, Himsha, Himah dan Ba’albak. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya dengan menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah dan Madinah. Setelah itu, ia pergi ke Mesir dan di Alexandria ia belajar kepada Shadr al Din Sahnun sampai pada tahun 684 H. Pada tanggal 23 Dzulhijjah 718 H, ia menjadi pemimpim lembaga Hadis terbesar di Damasku, Dar al Hadis al Asyrafiyyah. Al Mizzi juga mengajar di lembaga pendidikan Darul Hadis al Himshiyah  dan pad tahun 739 H di angkat menjadi pimpinan lembaga hadis termaju di Damaskus, Darul Hadis al Nuriyah, sampai wafat.
C.       Latar Belakang Penulisan Tahdzibul Kamal
Sebuah inspirasi yang memacu al Mizzi untuk membuat karya tulis dalam Rijalul Hadis adalah kitab al kamal fi asma’I Rijal karya al Hafidz Abu Muhammad Abd al Ghani, kitab ini memuat semua para perawi kutubbut tis’ah, baik dari kalangan sahabat, tabiin, atba’ tabiin sampai semua guru-gurunya. Namun bagi al Mizzi, kitab tersebut mempunyai kekurangan-kekurangan yang harus di carikan solusinya, di antara kekurangan-kekurangan tersebut adalah kebanyakan nama-nama hingga mencapai ratusan jumlahnya dari perawi kutubuttis’ah kurangnya penjesalan dan informasi. Hal inilah yang mendorong al Mizzi pada keputusan untuk menyusun kitab baru yang berdasarkan perawi-perawi dalam kitab al kamal dan kitab itu dinamakan dengan Tahdzibul kamal fi asma’I rijal. Ia memulai menulisnya pada tanggal 9 Muharram 705 H dan selesai pada Hari Raya Idul Adha 712 H, kitab tersebut terdiri dari 14 jilid yang oleh al Mizzi mulai dipresentasikan pada 706 H..  
D.       Sistematika Penulisan
a.      Al Mizzi memulainya perawi dengan berdasarkan urutan mu’jam, bapak-bapak mereka dan memulainya dengan nama ahmad.
b.      Hal ini ia juga lakukan dalam tentang kunyah, nasab, laqab dan perawi wanita,
c.       Al Mizzi menyebutkan sejumlah biografi untuk membedakan dalam nama dan tingkatannya para perawi kutubuttis’ah.
d.      Al Mizzi membedakan nama-nama yang ia tambahkan dari biografi kitab al kamal dengan tanda yang berbeda. Ia menulis nama perawi dan nama ayah dari perawi tersebut.
e.       Jika ada sebuah periwayatan dari jalur sahabat, ia mencatumkan periwayatan tersebut atau orang yang meriwayatkan darinya.
f.       Apabila ada periwayatan langsung dari imam enam maka al Mizzi mencatumkan periwayatannya atau periwayatan dari orang yang meriwayatkan darinya atau orang lain yang meriwayatkan dari orang yang meriwayatkan darinya.
g.      Jika ada sebuah periwayatan secara langsung dan tidak maka ia cantumkan terlebih dahulu.
h.      Jika ada periwayatan tidak langsung kemudian ada periwayatan secara langsung maka ia cntumkan yang yang tidak langsung sedangkan periwayatan yang secara langsung di beri sebuah kode tersendiri,

E.        Keunggulan Kitab Tahdzibul Kamal dengan Al Kamal
1.      Memulai penyusunan perawi berdasarkan urutan mu’jam
2.      Al Mizzi mengulangi susunan biografi dari guru dan perawi setelah membari banyak tambahan.
3.      Al Mizzi memberikan masing-masing pengarang kode sebanyak 27 kode. 6 kode untuk yang disepakati dalam kitab kutubuttis’ah, 2 kode untuk yang disepakati pengarang kitab sunan dan 19 kode untuk kitab lainnya. Kode ditulis di setiap nama pemilik biografi dengan warna hitam karena penulisan nama-nama dengan warna merah.
4.       Al Mizzi juga menambahkan empat pasal penting di akhir kitabnya yang tidak ada dalam kitab al kamal:
1.      Fasl fi man isytaha bi al nisbati ila abihi aw jaddihi aw ummihi aw ‘ammihi aw nahwi dzalik.
2.      Fasl fi man isytahara bi nisbati ila qabilah aw shina’ah aw nahwi dzalik.
3.      Fasl fi man iasytahara bi laqabihi aw nahwi dzalik
4.      Fasl fi mubhamat
Tambahan-tambahan yang mendasar diatas menjadikan kitab ini tiga kali lipat besarnya dari pada kitab al kamal. Al Tahdzib memiliki 250 bagian hadis yang tertulis dalam 40 halaman. Al Mizzi menyusun kitabnya dengan susunan yang baru baik bentuknya secara umum maupaun pokok-pokok dari setiap biografi, ia membuat susunan dalam sebagian kitabnya dengan susunan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

F.        Kutipan Kitab Tahdzibul Kamal

Ø Rawi berdasarkan huruf mu’jam

(1)   ـ أَحْمَدُ بنُ إِبْرَاهِيـمَ بنِ خَالِد الْمَوْصِلِي، أَبُو عَلِي، نَزِيْـلُ بَغْدَاْد.
روى عن: إبراهيـم بن سَعْد بن إبراهيـم بن عبد الرحمن بن عَوْف الزّهرِيّ الـمدنـيّ، وإبراهيـم بن سُلَـيْـمان أبـي إسماعيـل الـمؤدب، وإسماعيـل بَن إبراهيـم بن مِقْسَم الأسَدي الـمعروف بـابن عُلَـيّة، وجعفر ابن سلـيـمان الضّبَعِيّ، وحُبَـيّب بن حَبِـيْب الكوفـيّ أخي حَمْزة بن حَبـيْب الزيّات القارىء، والـحكم بن سِنان البَـاهلـي القِرَبِـيّ، والـحكم بن ظُهَيْر الفَزاريّ، وحَمّاد بن زَيْد، وخَـلَف
بنِ خـلـيفة، وسعيد بن عبد الرحمن الـجُمَـحِيّ، وأبـي الأحْوَص سَلاّم بنَ سُلَـيْـم الـحَنَفِـيّ، وأبـي الـمنذر سَلاّم ابن سلـيـمان القارىء، وسيف بن هارون البُرْجُمِيّ، وشريك بن عبدِ الله النّـخَعِيّ القاضي، وصالـح بن عُمر الواسطيّ، والصّبَـيِ بن الأشعَث ابن سالـم السّلُولِـيّ، وأبـي زُبَـيْد عَبْثَر بن القاسم الزّبَـيْديّ الكوفـيّ، وعبد الله بن جعفر بن نُـجَيْح الـمَدِينـيّ والد علـي ابن الـمَدِيْنـيّ، وعبدِ الله بن الـمبـارك، وعمر بن عُبَـيْد الطّنَافِسيّ، وفرج بن فَضالة الشاميّ (فق)، ومـحمد بن ثابت العَبْدِيّ (د)، ومعاوية بن عبد الكريـم الثّقَـفـيّ الـمعروف بـالضّالَ، وأبـي العلا ناصح بن العلاَء، ونوح بن قـيس الـحُدّانـيّ، وأبـي عَوانة الوَضّاح بن عبد الله الـيَشْكُريّ الواسطيّ، ويزيد بن زُرَيْع، ويوسف بن عَطية الصفّـار البَصْري.
روى عنه : أبو داود حديثاً واحداً، و إبراهيـم بن عبد الله بن الجُنَيْد الخُتّليّ، وأحمد بن الـحسن بن عبد الـجبـار الصّوفـي الكبـير، وأبو يَعْلَـى أحمد بن علـي بن الـمُثنى الـمَوْصِلِـيّ، وأبو العبـاس أحمد بن مـحمد بن خالد البَرَاثِـيّ، وأحمد بن مـحمد بن عبد العزيز بنالـجعد الوَشّاء، وأحمد بن مـحمد بن الـمُسْتلـم، وجعفر بن مـحمد بن قْتـيبة الأنصاريّ الكوفـيّ، والـحسن بن علـي بن شبـيب الـمَعْمريّ، وحَمّاد بن الـمُؤمّل الضريرُ، وعبدُ الله بنُ أحمد بن مـحمد بن حَنْبل، وأبو القاسم عبدُ الله بن مـحمد ابن عبد العزيز البغوي، وأبو بكر عبدُ الله بن مـحمد بن عُبَـيد بن سفـيان القُرَشيّ الـمعروف بـابن أبـي الدنـيا،
Ø  Berdasarkan kunyah

(8779) ـ س: أبو إبْرَاهيـم التَّرْجمَانِي، اسمه: إسْمَاعِيـل بن إبراهيـم بن بَسَّام.
روىٰ عن: شُعيب بن صَفْوان (س)، وغيرِه.
روىٰ عنه: زكريا بن يحيـى السِّجْزِيُّ (س)، وغيرُه.
روى له النَّسائي. وقد تَقَدَّم فـي الأسماء. (ر: 407).


Ø  Beradasarkan man isytahara ila abihi, jaddihi, ummihi, ‘ammihi aw ghairu dzalik.
(10052) ـ [شه ابنُ أَبْجِر]، هو: عبد الـملِك بن سعيد بن حَيّان بن أَبْجَر. (ر: 4111).
Ø  Berdasarkan laqab

(11111) ـ أبو الأَحْوص: محمد بن الهيثم بن حَمّاد قاضي عُكْبَرا كُنيته أبو عبد الله، و أبو الأحوص لقبٌ غلب علـيه (ر: 6258).
Ø  Berdasarkan Mubhamat
(11176) ـ بخ د: إبْراهِيـمُ بنُ أبـي أَسِيد البَرّاد.
عن: جده، عن أبـي هريرة «إياكم والبغضة وإياكم والـحَسَد».
إن لـم يكن جده سالـم بن عبد الله البَرّاد مولـى القرشيـين، فلا أدري من هو (ر: 149).

Ø  Berdasarkan bab perawi wanita

(11414) ـ ع: أَسْمَاءُ بنتُ أبـي بَكْرٍ الصّدّيق زَوْجَة الزّبَـير بن العَوّام، وهي شَقِـيقَةُ عَبْد الله بن أبـي بَكْر. أُمّهُما أمّ العَزّىٰ قَـيْـلة، ويقال: قُتَـيْـلَةُ بنتُ عَبْدِ العُزّىٰ بنِ عَبْدِ أسعد بن جَابِر، وقـيـل: نَصْرُ بنُ مَالِكِ بنِ حِسْلِ بنِ عَامِرِ بنِ لُؤيّ.
كان إسلامها قديـماً بـمكة وهاجرت إلـىٰ الـمدينة وهي حامل بعبد الله بن الزبـير.
روت عن: النّبِـيّ (ع).
روىٰ عنها: تَدْرُس جَدّ أبـي الزّبـير مـحمد بن مُسلـم بن تَدْرُس الـمكيّ مولـىٰ حَكيـم بن حِزام، وطَلـحة بن عبد الله بن عبد الرّحمٰن بن أبـي بكر الصّديق، وعَبّـاد بن حَمْزة بن عبد الله بن الزّبـير (م س)، وعبـاد بن عبد الله بن الزّبـير (ع)، وابنها عبد الله بن الزّبـير، وعبد الله بن عبـاس (م)، وعبد الله بن عُبَـيْد الله بن أبـي مُلَـيْكة (ع)، وعبد الله بن عُروة بن الزّبـير، ومولاها عبد الله بن كَيْسان (خ م د س ق)، وابنها عُروة بن الزّبـير (خ م د س)، والقاسم بن مـحمد الثّقـفـيّ، ومرزوق الثّقـفـيّ (بخ) (خادم عبد الله بن الزّبـير)، ومُسلـم الـمُقرىء (م)، وأبو نوفل بن أبـي عَقْرب (م)، وأبو واقد اللّـيثـي، وصَفـيّة بنت شيبة (خ م س ق)، وفـاطمة بنت الـمُنْذر بن الزّبـير (ع).
وكانت تسمىٰ ذات النّطاقـين، وإنـما قـيـلَ لها ذلك لأنّها صَنَعت للنّبِـيّ سُفْرة حينَ أراد الهِجْرة إلـىٰ الـمدينة فَعَسُرَ علـيها ما تَشدّها به، فَشَقّت خِمارها، فَشدّت السّفْرة بِنِصفه، وانَتَطَقت بـالنّصف الثّانـي، فسمّاها رسول الله : ذات النّطاقـين. هكذا ذكر مـحمد بن إسحاق وغيرُه.
وقال الزّبـير بن بَكّار فـي هذا الـخَبَر: إن رسول الله قال لها: أبْدَلك الله بنطاقِك هذا نطاقـين فـي الـجَنّة، فقـيـل لها: ذات النطاقـين.
وقال الأَسو


Ø  Berdasarkan Kunyah perawi wanita
(11605) ـ د ت س: أُمّ بُجَيْد الأَنْصَارِيّة يقال: اسمُهَا حَوّاء، لها صُحبة، وكانت من الـمُبـايعات.
روىٰ حديثَها عبد الرّحمٰن بن بُجَيْد الأَنْصاريّ (د ت س)، عن جَدّته أُمّ بُجَيْد الأنصاريّة، عن النّبِـيّ «رُدّوا السائلَ ولو بظلفٍ مُـحْرَق».
روى لها أبو داود، والتّرمذيّ، والنّسائي.
G.       Penutup
Meski kitab tahdzibul kamal fi asma’I Rijal karya al Mizzi ini menimbulkan pro kontra yang antara lain apakah kitab tersebut sebagi ringkasan, penyempurna atau hal baru dari kitab al kamal fi asma’I rijal karya al Ghani namun kitab tersebut telah memberikan warna tersendiri pada ilmu rija al hadis, terutama dari ketegori penyusunan dan sistematika kitab rijal yang ada.
Demikianlah yang bias kami ulas dan kami sadar tiada gading tak retak maka kami sebagai pemkalah membuka seluas-luasnya saran, kritik maupun yang lain untuk menjadikan pengetahuan tentang kitab ini lebih bertambah dan semoga bermanfaat.

H.       Daftar Pustaka

Softwere maktabah Syamilah
Softwere al I’lam Wa Tarajim al Rijal



Jumat, 24 Januari 2014

Qua Status Shadaqah era kontemporer

Agama tidak hanya mengajarkan keseimbangan hidup di akherat belaka, tetapi mengajarkan keseimbangan hidup di dunia. Terdapat beberapa teks-teks keagamaan menganjurkan kehidupan yang berimbang; meski hal itu tidak secara langsung terucapkan. Salah satu nilai fundamental agama yang berdasarkan atas keseimbangan hidup adalah adanya perintah shadaqah atau infaq.
Tidak henti-hentinya para cendekiawan, mubaligh, dai dan sebagainya menganjurkan kepada orang yang berlebihan hartanya untuk mengeluarkan sedikit hartanya untuk kaum yang kekurangan harta melalui jalan shadaqah atau infak. Secara aplikatif, penerapan ajaran ini mulai bergeser sehingga ketika ditemui seorang pengemis, pengamen , anjal dan sebagainya, mereka (orang berlebih harta) memberikan sedikit hartanya untuknya. Tetapi fenomena yang bertolak belakang adalah mereka semua (pengemis dkk) tidak hanya orang yang benar-benar kekurangan harta, melainkan orang yang menjadikannya sebagai profesi untuk mencari harta tidak memenuhi kebutuhan hidup semata, bahkan terdapat beberapa oknum yang digunakan untuk “menumpuk harta’’.
Sehingga, perlu diketahui pada dewasa ini, pengamen, pengemis, anjal dan sebagainya bukanlah satu-satunya yang mewakili seseorang yang berhak atas harta shadaqah itu. Meski begitu, pelarangan untuk memberikan sedikit harta kepada mereka, tentunya, bersifat mengeneralisir “mata” atas pandangan mengenainya. Hal itu dikarenakan berdampak negatif; meyakiti hati, bagi para pengemis dkk yang benar-benar membutuhkan uluran tangan.
Beberapa waktu lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumenep, Madura, Jawa Timur, mengeluarkan fatwa haram, bagi para pengemis, karena tindakan yang dilakukan adalah menghinakan diri sendiri. Fatwa haram tersebut juga didukung oleh MUI Pusat. Hal ini tidak lepas dari pandangan mereka terhadap pengemis adalah penyakit sosial, pengemis merupakan bukan pilihan hidup, hal ini di perparah adanya pengemis  yang teroganisir dan pengemis musiman seperti yang biasa dilihat pada bulan Ramadhan. Dari asumsi-asumsi inilah fatwa pengharaman pemberian terhadap pengemis dan kegiatan pengemis yang dipelopori MUI Sumenep yang kemudian disetujui oleh MUI pusat diketuk, namun apresiasi terhadap fatwa tersebut beragam. Ada yang pro dan ada kontra.
MUI Sukabumi menganggap hal itu salah karena megeneralisir masalah dan takutnya menyakiti orang yang benar-benar miskin, yang membutuhkan uluran bantuan. Sedangkan menurut Said Agil Siraj, fatwa pengharaman itu lebih tepat kepada kegiatan pengemis karena banyaknya orang yang memobilisasinya saat ini namun tidak sepakat jika menegmis itu dilarang karena hal itu adalah permasalahn yang berdomain dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Melihat fenomena diatas yang disertai pro kontra, mungkin yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sikap kita saat ini dan bagaimana pula kita bias menerapkan konsap al yad al ulya khair min yad al suflah?. Pengemis, diakui tidak untuk saat ini telah menjadi penyakit sosial masyarkat yang memnutuhkan sebuah solusi, tidak cukup hanya fatwa pengharaman.
Banyak solusi yang bermunculan, semisal MUI Padang SumBar menawarkan untuk mendata para pengemis dan melkukan cek langsung ketempat tinggalnya, meski sulit hal ini sudah berjalan. Di Jawa Timur, pemprov menawarkan diskusi terbuka dengan para pengemis, memberikan keterampilan serta modal usaha di antara 500rb-1juta, hal ini sesuai yang dikatakan oleh Agil Siraj bahwa pengemis adalah malasah domain pemeintah, dari teratas sampai kebawah.
Pengamen, permasalahan juga tidak berbeda dengan pengemis, keberadaan mereka diakui tidak telah menjadi penyakit social serta menambahkan setumpuk permasalahn kepada semua yang terkait, baik pemerintah maupun lembaga-lembaga social.
Menurut Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, tidak hanya sebatas pemberdayaan yang demikian atau pemberdayaan lembaga-lembaga social lainnya yang terkait, namun dari diri kita sendiri harus pandai melihat dan memilah pengamen itu sendiri.
Telah diketahui, bahwa banyak di antara para pengamen itu yang sebenarnya bukan orang-orang yang membutuhkan bantuan, bahkan mereka itu orang-orang kaya yang banyak harta, tapi mereka menjadikan hal ini sebagai profesi (mata pencaharian) dan tidak bisa meninggalkannya. Jika anda melihat pengamen itu laki-laki yang tampak masih kuat dan segar, jangan anda beri, karena ia mampu bekerja seperti para pekerja lainnya. Sedangkan anak-anak, yang bukan pengamen sebenarnya dapat diketahui dari kerapian dan kemantapan penampilan, hal ini menunjukkan bahwa ia menjadikan “meminta-minta” sebagai kebiasaan sehingga terbiasa, bahkan dengan ucapan yang lancar serta hafal doa-doa lengkap dengan mimiknya. Adapun wanita, dapat diketahui dari seringnya muncul dan banyaknya bolak-balik. Yang jelas, jika diketahui bahwa orang yang melakukan itu memang sengaja berprofesi demikian tanpa kebutuhan, maka tangkap dan bawa lalu serahkan ke lembaga yang menangani masalah pengamen”.
Apa yang dikatakan ada benarnya, jika kita melihat realita pengamen di jalan-jalan trotoar atau dalam kendaraan umum, hampir semua pakaian yang dipakai oleh pengamen dalam bahasa penulis, sudah keren dan gaul. Solusi yang ditawarkan Syaikh Abdullah bias kita lakukan untuk memilah pengemis.
Oleh karena itu, kajian mendalam mengenai hal ini; mungkin kajian teks keagamaan mengenai ajaran-ajaran shadaqah, member harta kepada orang lain, dapat dilakukan dengan pendekatan literalur, tetapi kajian mengenai pengamen, pengemis dan sebagainya; harus dilakukan dengan pendekatan fenomenologis, sosiologis dan antropologis. Dengan begitu, kajian teks-teks agama, tentunya semakin kuat tidak berdiri sendiri, perlu melakukan intgrasi-interkoneksi dengan pendekatan lainnya sehingga persoalan itu tidak dilihat dari satu sudut pandang belaka. Selain itu, dengan menggunakan berbagai pendekatan, solusi persoalan akan lebih, harapannya, humanis.

  

Sabtu, 23 November 2013

TEORI INTERPRETASI JORGE J.E GRACIA DAN RELEVANSINYA TERHADAP METODOLOGI PEMAKNAAN HADIS

PENDAHULUAN 

 A. Latar Belakang Masalah

Islam mempunyai dua sumber hukum yaitu al-Quran dan al-sunnah, keduanya merupakan refrensi tertinggi bagi setiap muslim dalam memahami hukum Islam. Dalam memahami keduanya, kita dituntut untuk menggali makna-makna yang terkandung di dalamnya secara menyeluruh, tanpa meninggalkan aspek-aspek penting di dalamnya, kendati setiap orang mempunyai kemampuan berbeda dalam menangkap dan memahami lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam al-Quran dan hadis, karena keduanya mengandung nilai-nilai yang bersifat zahir dan batin. Memahami kedua sumber itu, jika dibandingkan jauh lebih berat mengembangkan pemikiran terhadap Sunnah dari pada al-Quran. Karena dalam pemahaman dan penafsiran al-Quran tidak mengurangi otoritas al-Quran sebagai wahyu dan juga pegangan hidup dan sumber utama ajaran Islam. Disamping itu Allah sendiri telah menjamin ketidakberubahan esensi misi al-Quran. Sedangkan hadis sendiri, bagi umat Islam menduduki peringkat kedua setelah al-Quran, dimana berfungsi sebagai penjelas ungkapan al-Quran yang mujmal, mutlaq, khas dan sebagainya. Disamping itu, periwayatan al-Quran termasuk periwayatan secara mutawatir, sedangkan hadis periwayatannya sebagian besar secara ahad, dan dalam kedudukannya al-Quran sebagai qat’i al-wurud sedangkan hadis kadangkala qat’i al-wurud. Secara umum, setidaknya terdapat tiga fokus kajian dalam ilmu hadis, yakni kritik sanad, kritik matan dan pemaknaan hadis. Kritik sanad dan kritik matan menjadi kajian penting dalam ilmu hadis, sebab hadis sendiri pada mulanya tidak tertuliskan sebagaimana al-Qur’an. Selain itu juga, jarak kodifikasi hadis dengan masa kenabian sangatlah jauh sehingga studi sanad dan matan menjadi penting guna mengungkapkan orisinalitas sebuah hadis. Tidak jauh berbeda dengan studi sanad dan matan, pemaknaan hadis juga menjadi bagian penting kajian hadis. Meski sudah banyak terdapat syarah-syarah hadis yang ditulis oleh ulama klasik, problematika pemaknaan hadis tidak selesai disini. Ini dikarenakan syarah-syarah tersebut hanya sebatas atau sebagian besar tentang makna gramatika bahasa dan tidak banyak membahas pada substansi atau makna dan kandungan hadis itu sendiri. Oleh karena itu, problematika pemaknaan hadis untuk saat ini dan banyak ditawarkan solusinya oleh intelektual Muslim kontemporer adalah metodologi dan pendekatan dalam memaknai hadis. Yusuf Qardhawi, semisalnya, memaknai hadis harus memperhatikan beberapa prinsip, antara lain; meneliti ke-sahihan sesuai dengan acuan ilmiah yang ditetapkan, pengertian bahasa, asbab al-wurud dan memastikan nas tersebut tidak bertentangan dengan nas lain yang lebih kuat kedudukannya. Berbeda dengan Qardhawi, Muhammad Syahrur berpendapat bahwa dalam memaknai hadis nabi, seseorang harus memperhatikan antara hadis yang bersifat risalah (berisi hukum-hukum dan ajaran) dan nubuwwah (berisi pengetahuan dan informasi). Bagi Syahrur, umat Islam tidak perlu menaati isi kandungan hadis-hadis yang bersifat nubuwaah. Selain kedua tokoh tersebut, terdapat beberapa tokoh lain juga yang menawarkan metodologi dan pendekatan dalam memaknai teks-teks hadis, semisal Shalahuddin al-Adlabi, Muhammad Ghazali, Fazlurrahman, Musahadi Ham dan lain sebagainya. Selain persoalan metodologi dan pendekatan dalam studi ulum al-Hadis, pemaknaan terhadap matan hadis tidak hanya menempati posisi yang sangat signifikan dalam wacana pemikiran islam kontemporer, tetapi secara subtantif memberi spirit reevaluatif dan reinterpretatif terhadap berbagai pemahaman dan penafsiran yang selama ini menjadi taken for granted di kalangan umat Islam. Signifikansi ini menjadi lebih tampak jelas ketika normatifitas hadis di perhadapkan dengan realitas dan tuntutan perkembangan zaman. Pemaknaan, sebagai salah satu problematika penting dalam studi ulum al-hadis, memerlukan upaya upaya serius dan kehati-hatian dalam melaksanakannya. Sebab tingkat pemahaman dan penafsiran seseorang terhadap redaksi hadis dan kekuatan eksplorasi teks sangat menentukan corak dan karakter pemikirannya, apakah seorang tersebut sebagai tekstualis atau kontekstualis. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para tokoh Islam kontemporer sampai saat sangat serius menyerukan spirit reevaluatif dan reinterpretasi teks-teks hadis, baik itu melalui pendekatan keilmuan internal itu sendiri (baca: ulum al-hadis) maupun pendekatan keilmuan eksternal (baca: ilmu sosial-humanistik dan sains) dan salah satu keilmuan yang sering diterapkan adalah hermeneutika. Hermeneutika sebagai sebuah teori dan metode penafsiran sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam studi agama, dalam hal ini penerapan dalam studi hadis. Fazlur Rahman adalah salah satu contoh intelektual Muslim yang menerapkan hermeneutika dalam studi Agama. Oleh karena itu, penggunaan hermeneutika menjadi sebuah keniscayaan dalam memaknai teks agama, tidak terkecuali hadis. Hal itu tidak hanya karena persoalan jarak antara kelahiran teks hadis tersebut dengan masa sekarang yang begitu jauh, tetapi juga dikarenakan secara umum hadis mencakup semua teladan Nabi, baik itu ucapan, tingkah laku dan penetapan yang sudah terbakukan dalam bentuk teks. Teks hadis, di sinilah, objek dari ilmu hermeneutika sebagaimana teks-teks lainnya. Secara umum, hermeneutika, dalam hal ini teori penafsiran yang ditawarkan oleh Gracia, mencoba untuk menjembatani kesenjangan situasi dan kondisi di mana teks-teks tersebut lahir dan masyarakat pada masa saat ini, sehingga persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat diluar pengarang tersebut dapat dipecahkan melalui teks, yaitu teks hadis dan menjadikan teks sebagai teks yang hidup dan bermakna, bukan teks ‘usang’ masa lalu. Penafsiran menurut Gracia adalah sebuah proses atau aktivitas yang melebihi dari pemahaman, sehingga penafsiran terkait dengan sang pengarang, bahkan kepada pembaca dimana teks tersebut diciptakan juga terkait. Sedangkan pemahaman menurut istilah Gracia understand adalah aktifitas mental dimana seseorang memahami sesuatu, yaitu makna teks. Tetapi dalam proses pemahaman, seseorang tidak dapat direduksi dengan pemahaman sang pengarang ataupun sesuatu terkait tentang sang pengarang. Sehingga demikian, hanya melalui penafsiran teks maka kesenjangan antara teks, pengarang dan masyarakat sekarang dapat teratasi, bukan melalui pemahaman teks. Namun yang menjadi ketertarikan penulis dari teori penafsiran Gracia untuk di angkat adalah prinsipnya tentang interpretasi, yaitu interpretasi adalah teks. Disini letak perbedaan Gracia dengan para tokoh hermeneuitka lainnya, karena sebagian besar bahwa interpretasi adalah aktifitas pemahaman atau proses pemahaman. Selain itu, interpretasi terkadang juga dipahamai sebagai akhir dari sebuah kegiatan (baca: produk penafsiran). Kajian dan penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan maksud dari interpretasi adalah teks dan bagaimana bangunan atas konsep tersebut diperlukan. Mengingat, bahwa kaitannya dengan persoalan studi agama, dalam hal ini studi teks-teks agama, terutama hadis, saat ini semua obyek penelitiannya adalah teks. Secara historis, hadis mengalami proses transformasi dari budaya ucapan atau hafalan kepada tulisan, sehingga sekarang akses untuk memahami dan menafsirkannya berkaitan langsung dengan teks atau tulisan, bukan lagi dengan ucapan atau hafalan. Oleh karena itu, ekplorasi lebih jauh dan mendalam atas gagasan penafsiran yang ditawarkan oleh Gracia diperlukan dan untuk lebih mengarahkan dan memfokuskan penulisan selanjutnya, maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah. 

B. Rumusan Masalah 
1. Bagaimanakah maksud dan bangunan teori penafsiran yang ditawarkan oleh Gracia?
2. Bagaimana relevansi teori tersebut terhadap metodologi pemaknaan hadis kontemporer?
3. Bagaimana aplikasi teori penafsiran terhadap pemaknaan hadis?

C. Kerangka Teori 
Paradigma baru telah lahir ketika IAIN menjadi UIN, tidak hanya sebatas perubahan nama. Ketika dimasa IAIN, ilmu keagamaan berdiri sendiri yang kemudian melahirkan beberapa dikotomi keilmuan, namun, dimasa UIN, ilmu keagamaan tidak menyendiri dan bebas intervensi ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dalam artian bahwa perkembangan keilmuan agama, sosial dan humaniora saling berhubungan satu sama lainnya sehingga perkembangan agama tidak hampa dengan permasalahan sosial dan humaniora atau sebaliknya. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Amin Abdullah dalam karyanya, Islamic Studies di Perguruan Tinggi:Pendekatan Integratif-Interkonektif, sebagai berikut. Proyek besar reintegrasi epistemology keilmuan umum dan agama mengandung arti perlunya dialog dan kerjasama antar disiplin ilmu umum dan agama yang lebih erat dimasa yang akan datang. Pendekatan interdisiplinary dikedepankan, interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti. Interkoneksitas dan sensivitas antar berbagai disiplin ilmu-ilmu kealaman dengan disiplin ilmu-ilmu social dan disiplin humanities serta disiplin ilmu-ilmu agama perlu diupayakan secara terus menerus. Paradigma tersebut tidak hanya menghubungkan antara ilmu keagamaan dengan sosial dan humaniora, akan tetapi menghubungkan kepada sains dan komunikasi. Sehingga melahirkan lingkaran baru sesuai dengan hubungan antara agama-sosial dan humaniora-sains dan komunikasi. Gambar diatas menunjukkan bahwa semua keilmuan memiliki hubungan yang menyatu pada titik temu, tidak ada dikotomi keilmuan antara ilmu agama, umum dan lain sebagainya. Keilmuan tersebut berorientasi pada penekanan perpaduan antara ilmu-ilmu keagamaan (hadlarah al-nas), ilmu kealaman dan kemasyarakatan (hadharah al-ilm) dan ilmu etika filsafat (hadharah al-falsafah). Paradigma diatas dikenal dengan integrasi-interkoneksi, yakni mengembangkan keilmuan tertentu dengan mengaitkan dan mengkombinasikannya dengan keilmuan lainnya. Paradigma tersebut mengharuskan keilmuan meleburkan dan menjadi satu dengan keilmuan lainnya, baik sisi normativitas-sakralitas kepada historis-profanitas, atau menghapuskan sisi historisitas keberagamaan kepada normativitas-sakralitas tanpa reserve. Keharusan tersebut secara otomatis membebaskan dikotomi keilmuan dengan saling berdiri bersama menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Integrasi-interkoneksi keilmuan pada dunia kontemporer adalah sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditolak. Tidak terkecuali dengan keilmuan hadis dengan mengintgrasi-interkoneksikan dengan keilmuan lainnya, seperti linguistik, sosiologis, antropologis, hermeneutis dan lain sebagainya. Hal tersebut tidak lain untuk memperkaya varian temuan yang bermanfaat bagi keilmuan itu sendiri dan masyarakat secara pragmatis.

D. Metode dan Pendekatan Penelitian 
1. Metode 

Secara kategorikal, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena penelitian ini bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian secara holistik yang dideskripsikan melalui kata-kata dan bahasa dalam konteks tertentu. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka karena obyek penelitian bersandarkan pada data-data yang tersebar dalam bentuk buku, artikel, laporan penelitian, situs dan lain sebagainya. Kemudian data-data tersebut dibagi kedalam data primer dan sekunder. Data primer berupa karya-karya Jorge J.E Gracia dalam bentuk buku dan artikel, terutama yang berkaitan dengan teori interpretasi. Buku yang menjadi data primer dalam penelitian ini adalah A Theory of Textuality:The Logic and Epistemology. Dipilihnya buku tersebut sejauh penelusuran dan pembacaan peneliti karena dalam buku tersebut Gracia memaparkan teori interpretasinya secara komprehensif. Sementara data sekunder adalah buku Text;Ontological Status, Identity, Author, Audience. Dalam buku ini, Gracia memaparkan tiga elemen penting dalam sebuah interpretasi, yaitu pengarang, teks dan audien atau pembaca. Selain itu, teks-teks lainnya yang secara langsung mengacu pada tema ini serta tulisan di buku-buku yang secara tidak langsung mengacu dengan tema. Pada tahap selanjutnya, setelah data dikumpulkan, dilakukan analisis data. Analisis tersebut meliputi analisis deskriptif dan verikatif. Analisis deskriptif menggunakan teknik analisis domain (domain analysis) yang bertujuan untuk eksplorasi. Analisis ini digunakan untuk memetakan gambaran umum tentang objek penelitian pada tingkat permukaan namun relative utuh tentang objek penelitian tersebut. Sementara pada analisis verikatif, digunakan teknik analisis isi (content analysis) dangan tujuan konfirmasi. Model ini, disamping teknik yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif, teknik analisis isi dipandang sebagai teknik analisis data yang paling umum. 

2. Pendekatan 
Pendeketan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan sejarah, dimana salah satu variannya adalah sejarah pemikiran. Menurut Kuntowijoyo, sejarah pemikiran merupakan terjemahan dari history of thought, history of ideas, atau intellectual history. Sementara pemikiran dapat dipilah-pilah ke dalam pemikiran perorangan atau pemikiran seorang tokoh, isme tertentu, gerakan intelektual, periode tertentu dan pemikiran kolektif. Berdasarkan pemilahan tersebut, penelitian ini masuk dalam kategori yang pertama atau sejarah pemikiran tokoh, yakni pemikiran tokoh Jorge J.E Gracia dan pemaknaan hadis. Sejarah pemikiran mempunyai tiga macam pendekatan, yaitu teks, konteks dan hubungan pemikiran dengan masyarakatnya. Penelitian ini hanya menggunakan pendekatan teks, hal-hal yang harus dilakukan adalah menelusuri genesis pemikiran, serta perkembangan dan perubahan pemikirannya. Kecuali itu, varian pemikiran, komunikasi pemikiran, dialektika internal, kesinambungan pemikiran dan intertekstualitas, juga harus dipertimbangkan dalam melakukan studi tokoh yang menggunakan pendekatan teks. 


PENUTUP
       Kesimpulan
Berdasarkan penelitian penulis, serta dengan mengacu kepada rumusan masalah yang diajukan dalam tulisan ini, yaitu; pertama, Bagaimanakah maksud dan bangunan teori penafsiran yang ditawarkan oleh Gracia?, kedua, Bagaimana relevansi teori tersebut terhadap metodologi pemaknaan hadis kontemporer? Dan ketiga, Bagaimana aplikasi teori penafsiran terhadap pemaknaan hadis, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan.
     1.      Interpretation atau interpretasi menurut Gracia adalah teks. Interpretasi sebagai teks terdiri dari teks yang ditafsirkan ‘interpretandum’, keterangan-keterangan tambahan ‘interpretans’ dan mufassir. Tetapi, perlu disadari bahwa komentar-komentar tambahan dari mufassir bukanlah interpretasi, melainkan gabungan antara teks yang ditafsirkan dan teks tambahan dinamakan interpretasi. Sedangkan interaksi pembacaan oleh pembaca terhadap interpretasi yang melahirkan sebuah pemahaman makna teks adalah understanding. Untuk menghindari kesalahpahaman atas gagasan interpretasinya, Gracia memberikan rambu-rambu yang harus dipahami. (a) komentar-komentar itu bukan untuk mendistorsi makna teks atau menghalangi makna yang diharapkan oleh pengarangnya, melainkan sebagai keharusan untuk proses pemahaman kepada makna teks. Pada prinsipnya, pendapat Gracia ini berdasarkan hakikat dan tipologi teks yang dikembangkannya (b), kesalahpahaman atas gagasan interpretasi sebagai teks lebih cenderung kepada kesalahan memahami fungsi interpretasi, terutama fungsi historis, padahal fungsi interpretasi tidak terbatas hanya historis, terdapat fungsi pemaknaan (meaning function) dan fungsi implikatif (implicative function).  
    2.  Gracia memberikan penekanan-penekanan terhadap fungsi interpretasinya, terutama fungsi historis dan pemaknaan. Fungsi historis, dia lebih menekankan dengan langkah seimbang pemahaman atau principle of proportional understanding. Sedangkan fungsi pemaknaan, dia lebih menekankan dalam fungsi kebudayaan yang dimiliki oleh teks dari pada fungsi kebahasaan yang dimiliknya.
     3.      Relevansi gagasan interpretasinya dalam studi metodologi pemaknaan hadis adalah; pertama, hakikat teks sebagai interpretandum memberikan penegasan bahwa pemahaman hadis tidak harus melakukan penilaian sanad dengan mandiri, hal itu bisa mengikuti para pakarnya; kedua; prinsip pemahaman proporsional yang ditawarkannya juga dapat dipertimbangkan sebagai metodologi memahami makna teks secara historis; ketiga, fungsi kebudayaan yang dimiliki teks pada fungsi pemaknaan memberikan acuan baru dalam memaknai teks-teks hadis dimana selama ini berpegang kepada fungsi kebahasaan semata.