Kamis, 24 Januari 2013

AL-TAFSIR AL-BAYANI LI AL-QURAN AL-KARIM BINT SYATHI’



Oleh : Moch. Achwan Baharuddin 

A.    PENDAHULUAN

Penafsiran al-Quran dari setiap zamannya mengalami perkembangan dan atau perubahan. Ketika membicarakn setiap metodologi dari tiap penafsiran, maka kita akan sering berjumpa dengan istilah bi al-ma’tsur dan bi al-ra’y. Sedangkan periode kontemporer ini, istilah tersebut berkembang menjadi beberapa istilah, antara lain ilmi, adabi, ijtima’I dan sufi.
Adabi¸sebagai salah satu corak penafsiran yang berkembang pada periode kontemporer ini, adalah penafsiran yang mendudukan al-Qur’an sebagai kitab Arab terbesar dan terutama. Corak tafsir ini sebenarnya ada sudah lama, yaitu ketika kemunculan tafsir al-kasysyaf pada abad enam Hijriyah dan coba di angkat lagi oleh Amin al-Khulli, Khalafullah maupun Bint Syathi’. Menurut mereka, seperti yang sudah dijelaskan diatas, mufassir sebelum menjelaskan soal hukum, perundang-undangan, akidah, akhlak dan lain sebagainya, langkah pertama yang harus ditempuh adalah melihat dan memperhatikan al-Quran sebagai kitab paling agung dalam Bahasa Arab yang mempunyai pengaruh luar biasa dalam kehidupan Sastra Arab. Artinya, sebelum menggali aspek lain dari ayat-ayat al-Quran, sebaiknya terlebih dahulu diuraikan pemahaman mengenai makna kata-kata yang ada dalam al-Quran dan bantuan semua cabang ilmu sastra dan ulumul Quran sebagai sarana dalam proses pemahaman.     
    Berangkat dari hal diatas, kajian kitab al-Tafsir al-Bayani li al-Quran al-Karim karya Bint Syathi adalah sebuah kajian yang penting. Kajian tersebut disamping melihat wacana corak tafsir adabi yang berkembang belakangan ini, kajian tersebut juga dapat memetakan metodologi penafsiran yang digunakan oleh corak tersebut. Selain itu, kajian-kajian tentang tema-tema penting dalam studi al-Quran nantinya akan dilihat dalam prespektif corak tersebut atau minimal preskpektif salah satu tokoh yang mengembangkan corak tafsir adabi, yaitu Bint Syathi. Semuga bermanfaat….

B.     BIOGRAFI BINT SYATHI’
Bint Syathi’ merupakan nama pena dari Aisyah Abdurrahman, seorang mufassir wanita asal Mesir. Dia lahir dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman dan Faridah Abdussalam Muntasyir pada tanggal 06 November 1913 di Dunyat (Damietta), sebuah kawasan di sebalah barat sungai Nil.[1]
Bint Syathi dibesarkan ditengah keluarga Muslim taat , saleh dan konservatif. Dimasa kecilnya, ia dididik secara tradisional oleh ayahnya yang tidak pernah memperbolehkan untuk menempuh pendidikan formal. Namun berkat ibu dan kakeknya, yang menyekolahkannya secara diam-diam di sekolah umum, akhirnya dia dapat menyelesaikan pendidikan formalnya. Pada tahun 1963, Bint Syathi mendaftarkan dirinya di Fakultas Sastra, Universitas Fuad I. ia meraih gelar LC dalam bidang Sastra dan Bahasa Arab pada tahun 1939 dan di Universitas yang sama, ia meraih gelar Master pada tahun 1941. Dia menyelesaikan program Doktornya pada tahun 1950 dangan disertasi tentang puisi Abu al-A’la al-Ma’ari.
Pada awal bulan Desember 1998, Bint Syathi wafat di usia 85 tahun karena serangan jantung. Dia meninggalkan beberapa karya tulis sehingga dia dianggap sebagai penulis yang produktif. Diantara karyanya adalah sebagai berikut:
·         Tafsir al-Bayani li al-Quran jilid I (1962)
·         Tafsir al-Bayani li al-Quran jilid II (1969)
·         Maqal fi al-Insan;Dirasah Quraniyyah (1969)
·         Al-Quran wa al-Tafsir al-Asri (1970)
·         Al-Ijaz al-Bayani li al-Quran (1971)
·         Al-Syakhsyiyyah al-Islamiyyah:Dirasah Quraniyyah (1973)
Bahkan menurut Valerie J. Hoffman Ladd, Bint Syathi telah menulis kurang lebih sekitar 60 buku.[2]

C.    PRINSIP METODOLOGI PENAFSIRAN
Pada kata pengantar kitab al-Tafsir al-Bayani li al-Quran, Bint Syathi menjelaskan bahwa apa yang ditulis dalam karyanya tersebut mengikuti standard metode yang sudah di tetapkan oleh Dosen sekaligus Suami tercintanya, Amin al-Kulli.
Perlu diketahui, gagasan Amin al-Kulli adalah menciptakan paradigm baru mengenai al-Quran, yaitu menjadikan metode susastra sebagai titik tolak kajian khusus lainnya. Metode susastra yang dimaksud adalah pengkajian al-Quran dengan dua tahap:
1.      Dirasah ma Haula al-Nass (Kajian seputar al-Quran)
Kajian tersebut meliputi kajian khusus dan kajian umum. Kajian khusus adalah kajian ulum al-Quran. Sedangkan kajian umum adalah kajian konteks/situasi, material dan immaterial lingkungan Arab.
2.      Dirasah ma fi al-Nass (kajian tentang al-Quran itu sendiri)
Kajian ini bermaksud untuk mencari makna etimologis, terminologis. Semantic yang stabil dalam sirkulasi kosakata dan makna semantic dalam satu ayat yang ditafsirkan.[3]

Berangkat dari metode yang ditawarkan oleh Amin al-Kulli tersebut, Bint Syathi kemudian menetapkan metode penafsirannya sebagai berikut.
1.      Kajian Tematis. Basis metodologinya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami dari al-Quran secara objektif dan hal itu harus dimulai dengan pengumpulan semua surat dan ayat mengani topic yang ingin dipelajari.
2.      Mengurutkan ayat-ayat setema sesuai dengan tartib al-nuzul-nya. Untuk memahami ma haula al-nass dan untuk dapat memahami gagasan tertentu dalam al-Quran menurut konteksnya, ayat-ayat disekitar gagasan yang sedang dibahas harus disusun menurut tatatnan kronologis pewahyuan hingga dapat diketahui keterangan mengenai wahyu dan tempat pewahyuannya.
3.      Memahami dalalat al-fadz dengan menyadari bahwa al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab. Karena Bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam al-Quran, maka untuk memahami arti kata-kata yang termuat dalam al-Quran, kata-kata tersebut digunakan pada saat wahyu digunakan dalam berbagai penggunannya, baik hakiki atau majazi.
4.      Memahami pernyataan-pernyataan yang sulit dalam naskah susunan al-Quran untuk mengetahui maksudnya, baik bentuk lahir maupun semangat teksnya.[4]

D.    TEMA ULUM AL-QURAN;HURUF MUQATHA’AH DALAM  FAWATIH AL-SUWAR
Menurutnya, wacana huruf muqat}t}a’ah dalam konteks ­al-ijaz al-bayani akan lebih tepat ketika huruf-huruf tersebut diperlakukan sebagai huruf. Huruf-huruf muqat}t}a’ah disebutkan untuk menunjukkan bahwa al-Quran disusun dari huruf hijaiyyah. Huruf hijaiyyah yang dirangkai menjadi kata, kata-kata yang dirangkai menjadi sebuah kitab suci bernama al-Quran. Hanya sesederhana itu dan tidak perlu penafsiran yang macam-macam. Huruf-huruf tersebut juga menunjukkan kepada masyarakat Arab bahwa al-Quran diturunkan dengan bahasa ibu serta dengan huruf-huruf seperti yang mereka kenali dalam bahasa sehari-hari dan menjadi bukti kelemahan mereka yang tetap tidak bisa menjawab tantangan Allah untuk membuat sebuah karya tulis seperti al-Quran. Huruf-huruf muqat}t}a’ah itu diucapkan menyendiri dan terpotong, oleh karenanya huruf-huruf tersebut tidak dapat memberikan makna atau petunjuk apapun. Bahkan hampir tidak keluar tanpa suara. Kemudian, ketika huruf-huruf tersebut mengambil posisi yang setara dengan satu kata dalam retorika bahasa al-Quran, maka terkuaklah rahasia besarnya.[5]
Surah al-Quran terdapat 114, dari semuanya terdapat 26 surah Makkiah dan 3 surah Madaniyah yang dimulai dengan huruf muqat}t}a’ah. Adapun surah-surah Makkiah yang diawali dengan huruf muqat}t}a’ah sesuai dengan urutan waktu turun, adalah:
Al-Qalam (nun), Qaf,Shad, al-A’raf (alif lam mim shad), Yasin, Maryam (Kaf Ha Ya Ain Shad), Thaha, al-Syu’ara (Tha Sin Mim), al-Naml(Tha Sin), al-Qashash (Tha Sin Mim), Yunus (Alif Lam Ra), Hud (Alif Lam Ra), Yusuf (Alif Lam Ra), al-Hijr (Alif Lam Ra), Luqman (Alif Lam Mim), Ghafir dan Fushilat (Ha Mim), al-Syura (Ha Mim Ain Sin Qaf), al-Zukhruf (Ha Mim), al-Dukhan (Ha Mim), al-Jatsiyah (Ha Mim), al-Ahqaf (Ha Mim), Ibrahim (Alif Lam Ra), al-Sajdah (Alif Lam Mim), al-Rum (Alif Lam Mim) dan al-Ankabut (Alif Lam Mim).
Sedangkan surah-surah Madaniyah adalah al-Baqarah, Ali Imran (Alif Lam Mim) dan al-Ra’d (Alif Lam Mim Ra’).[6]
Semua jumlah huruf muqat}t}a’ah yang ada, ulamapun juga setuju, terdiri dari 14 huruf dari huruf hijaiyyah dan tidak termasuk yang diulang-ulang. Di dalamnya terdiri dari:
·         Huruf hams lima huruf, separuh dari jumlah huruf hams yang ada sepuluh
·         Separuh huruf jahr
·         Tiga huruf halqiyyah; separoh dari keseluruhannya dan sepruh huruf nontenggorokan
·         Sepuluh huruf sayyidah yang sama dengan keberadaan huruf rakhwah.
·         Separuh huruf isti’la’ sebagaimana jumlah huruf istifal yang ada
Dari penelitiannya tersebut, Bint Syathi menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Fawatih dimulai surah al-Qalam yang menunjukkan rahasia huruf. Kemudian bertambah banyak dan datang beruntun pada pertengahan periode Makkiah-dari surah Qaf yang menempati urutan ke-34 hingga surah al-Qashash yang menempati urutan ke-49.
2.      Setiap surah dalam al-Quran yang dimulai dengan huruf muqat}t}a’ah, mengandung pembuktian kebenaran al-Quran, penegasan al-Quran adalah Firman Allah dan jawaban atas yang menentangnya. Selain itu, terdapat penyerupaan dengan kaum terdahulu yang menentangnya, baik dari sikapnya ataupun akhir dari nasib penentangya.
3.      Kebanyakan surah yang diawali dengan muqat}t}a’ah diturunkan ketika serangan orang-orang musyrik  mencapai puncaknya.[7]
Kesimpulannya, Fawatih dengan muqat}t}a’ah adalah bagian ijaz al-Quran karena dengan ijaz al-Quran tersebut, yang terdiri dari hanya beberapa huruf hijaiyyah sudah bisa membungkam para kaum penentang yang meragukan al-Quran adalah Firman Allah. Sebuah huruf yang mengandung beberapa makna dan salah satu makna yang diyakini para ulama adalah Fawatih dengan muqat}t}a’ah mengandung nama Allah maha Agung.
Pendapat tersebut terlihat ketika Bint Syathi menafsirkan Surah al-Qalam. Al-Qalam sendiri dimulai dengan huruf muqat}t}a’ah, yaitu huruf nun. Setelah memaparkan berbagai pendapat ulama tentang tafsir huruf nun tersebut, Bint Syathi mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan huruf nun menunjukkan keagungan dan rahasianya huruf tersebut, bentuk sumpah dan bukti atas kenabian Muhammad saw serta sebagai bantahan terhadap musuh yang berusaha mendatangkan surah yang sama, itu semua sesuai dengan corak penafsiran yang diikuti dan dikembangkannya.[8]

E.     TEMA ULUM AL-QURAN II;QASAM DALAM AL-QURAN
Bint Syathi dalam karyanya, al-Tafsir al-Bayani, memuat empat belas surat yang ditafsirkannya. Dari keempat belas itu, delapan diantaranya mengandung gaya sumpah yang jelas, yaitu al-Dhuha, al-Adiyat, al-Nazi’at, al-Balad, al-Qalam, al-Asr, al-Lail dan al-Fajr. Sedangkan satu surah yang menggunakan qasam samar adalah al-Takatsur. Dengan demikian, kajian qasam prespektif Bint Syathi perlu di apresiasi.
Bint Syathi sendiri tidak mendefinisikan qasam secara eksplisit. Dia sepertinya mengikuti definisi umum yang telah berkembang atau menyimpan definisinya dalam apa yang dikandung dalam pemikirannya. Dia hanya mengungkapkan bahwa tujuan utama dari qasam untuk penetapan (li al-iqrar’).[9]  Namun Bint Syathi membedakan antara qasam  dengan  khalaf. Qasam menurutnya adalah kata yang mengandung makna sumpah yang tidak akan dilanggar oleh pengucapnya. Sedangkan al-khalf digunakan khusus pelanggaran atau ingkar terhadap sumpah.[10]
Qasam dalam al-Quran tentunya beraneka ragam bentuknya, begitu pula dengan huruf qasam itu sendiri. Namun penulis membatasi kepada huruf qasam berupa wawu (و).
Menurut Bint Syathi, penggunaan qasam dengan huruf wawu mempunyai dua kategori. Pertama, wawu digunakan untuk lafal Allah atau Rabb. Hanya saja lafal wawu yang disertakan dengan lafal Allah atau Rabb, dua tempat merupakan sumpah yang bukan diungkapkan oleh Allah secara langsung, akan tetapi merupakan rekaman al-Qur’an terhadap sumpah kaum musyrik pada hari kiamat, yakni pada QS al-An’am:23 dan 30. Sedangkan empat tempat lainnya ditempatkan pada pertengahan pembicaraan, baik itu didahului oleh الفأ  pada QS al-Hijr: 92 dan al-Dzariyat:23, atau فلا pada QS al-Nisa: 65, atau اي pada QS Yunus:53. Pada kondisi inilah qasam dapat berfungsi sebagai penguat, penetapan atau pengagungan, yang merupakan fungsi asli dari wawu qasam.[11]
Kedua, wawu qasam yang berada pada awal kalimat dan awal surah, seluruh subyeknya Allah, seperti al-Dhuha, al-Lail, al-Fajr, al-Nazi’at, al-Adiyat, al-Zariyat, al-Saffat, al-Sama’, al-Tur dan lain sebagainya. Seluruh surah tersebut makiyyah.[12]
Dengan pengkategorian tersebut, Bint Syathi ingin mengatakan bahwa ada tujuan lebih dari pemakaian lafal, qasam atau tempatnya. Para mufassir terdahulu, menafsirkan ayat-ayat dengan menggunakan wawu qasam, seperti penafsiran pada Q.S al-Dhuha:1-2, hanya sebatas kepada keagungan muqsam bih. Mereka berpendapat atas keagungan malam secara mutlak, tidak memandang tingakt kegelapan atau situasi malam yang tersebut pada ayat.[13] Atau Mereka hanya menafsirkan al-dhuha dengan melihat hikmah dari terpilihnya waktu tersebut.
Dengan demikian, para ulama terdahulu melihat fenomena qasam dengan huruf wawu sering mencampur antara keagungan muqsam bih dengan hikmah diciptakannya muqsam bih tersebut. Padahal, menurutnya hikmah penciptaan semua orang sudah mengetahuinya, karena tidak ada ciptaan Allah yang tidak mempunyai hikmah.[14] Itu semua, menurutnya adalah penafsiran yang dipaksakan, dalam artian memaksakan hikmah penciptaan kepada dibalik terpilihnya lafal tersebut menjadi muqsam bih dengan huruf wawu.
Menurut Bint Syathi’, pemakaian wawu qasam memperlihatkan adanya makna yang diinginkan yang keluar dari form lafal tersebut, seperti pemakaian amr dan nahy namun tidak menunjukkan sebuah arti perintah maupun larangan. Wawu qasam seperti dalam Q.S al-Dhuha:1 menunjukkan adanya penekanan perhatian dari hal-hal yang bersifat indrawi atau materil sebagai suatu fenomena alam yang umum diketahui dan tidak ada celah untuk mendebat atau mengingkarinya, untuk persiapan menjelaskan (tautiah idhahiyyah) sesuatu yang maknawi atau hal-hal berbau gaib yang tak tampak yang sering kali menjadi bahan perdebatan yang dijadikan muqsam bih.[15]
Sehingga penafsiran atas al-Dhuha (dan al-Lail) yang menggunakan wawu qasam adalah sebagai berikut:
“gambaran bersifat fisik dan realita konkret, yang setiap hari dapat disaksikan manusia ketika cahaya memancar pada dini hari. Kemudian turunnya malam ketika sunyi dan hening;tanpa menganggu sistem alam. Silih bergantunya dua keadaan, dapat menimbulkan keingkaran, bahkan sebagai sesuatu yang tak pernah terlintas dalam pikiran siapa pun, bahwa langit telah meninggalkan bumi dan menyerahkannya kepada kegelapan dan keganasa setelah cahaya memancar pada waktu dhuha, dan adakah yang lebih merisaukan, jika sesudah wahyu yang menyenangkan, cahayanya menerangi Nabi, datang saat-saat kosong dari wahyu yang terputus. Seperti malam sunyi kita saksikan datang sesudah waktu dhuha yang cahanya gemerlapan”.[16]

Penafsiran seperti itulah menurut Bint Syathi penafsiran sesuai dengan metode adabi atau kesusastraan yang ia ikuti dan kembangkan.
F.     PENUTUP
Corak tafsir adabi adalah corak yang dikembangkan lagi dalam periode kontemporer ini. Corak penafsiran tersebut menekankan gaya retorika bahasa dalam menafsirkannya, sehingga tidak heran jika corak penafsiran adabi sering disebut juga dengan penafsiran kesusastraan.
Penafsiran terhadap huruf muqatta’ah dalam fawatih suwar dan qasam dengan huruf wawu oleh Bint Syahti dalam karyanya sangat kental dengan aroma sensitivitas kesusastraan.
G.    DAFTAR PUSTAKA

Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bintu Syathi’’s method of Interpreting The Qur’an . Yogyakarta:Titian Ilahi Press, 1999

Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Vol I, terj. Eva Y.N. Bandung:Mizan, 2002

Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Jakarta:Perspektif, 2010

Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir al-Bayani li al-Quran al-Karim Juz I & II. Kairo: Dar al-Ma’arif. 1968
Issa J. Boullata, Al-Quran Yang Menakjubkan:Bacaan  Terpilih Dalam Tafsir Klasik hingga Modern dari Seorang Ilmuan Katolik,  Terj, Bachrum Dkk. Tangerang:Lentera Hati, 2008



[1] Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bintu Syathi’’s method of Interpreting The Qur’an (Yogyakarta:Titian Ilahi Press, 1999), hlm. 6

[2] Valerie J. Hoffman Ladd, “A’isyah Abd Rahman” dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Vol I, terj. Eva Y.N (Bandung:Mizan, 2002), hlm. 4
[3] Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal (Jakarta:Perspektif, 2010), hlm. 347-351
[4] Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir al-Bayani li al-Quran al-Karim Juz I (Kairo: Dar al-Ma’arif. 1968), hlm. 10-11

[5] Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir al-Bayan al-Quran al-Karim Juz II (Kairo: Dar al-Ma’arif. 1968),hlm, 41-43

[6] Aisyah Abdurrahman, “Fawatih al-Suwar dan Rahasia Huruf” dalam Issa J. Boullata, Al-Quran Yang Menakjubkan:Bacaan  Terpilih Dalam Tafsir Klasik hingga Modern dari Seorang Ilmuan Katolik,  Terj, Bachrum Dkk (Tangerang:Lentera Hati, 2008), hlm. 291
[7] Aisyah Abdurrahman, “Fawatih al-Suwar…, hlm. 293-294
[8] Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir al-Bayan…, hlm. 42

[9] Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al bayani, hlm. 246

[10] Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al-Bayani…, hlm. 224
[11] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 100

[12] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 246-247

[13] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 24-25

[14] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 25

[15] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 25-26

[16] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm 26

PETA STUDI ORIENTALIS PRESPEKTIF HERBERT BERG




      A.     PENDAHULUAN
Islam mempunyai dua sumber hukum yaitu al-Quran dan al-sunnah, keduanya merupakan refrensi tertinggi bagi setiap muslim dalam memahami hukum Islam. Dalam memahami kedua sumber itu, jika dibandingkan jauh lebih berat mengembangkan pemikiran terhadap Sunnah dari pada al-Quran, Karena dalam pemahaman dan penafsiran al-Quran tidak akan mengurangi otoritas al-Quran sebagai wahyu dan juga pegangan hidup dan sumber utama ajaran Islam dan hal tersebut berbeda dengan pemahman dan penafsiran terhadap al-sunnah. Salah satu indikasinya adalah berkurangnya otoritas al-sunnah dengan munculnya gerakan inkar al-sunnah. Kelompok tersebut dengan secara tegas menolak keberadaan al-sunnah, mereka mencukupkan dengan al-Quran.
Hal diatas wajar terjadi terhadap ­al-sunnah, karena al-sunnah sendiri bukan sebuah Firman suci Tuhan, melainkan hanya sesuatu yang dinisbatkan kepada seorang Nabi yang terkadang di lain waktu sebagai manusia biasa. Para sarjana, baik muslim atau non-muslim berlomba-lomba mempelajarinya untuk membuktikan asumsi awal bahwa al-sunnah atau hadis bersumber kepada Nabi Muhammad saw.
Dalam peta studi al-sunnah, para pemerhati tidak asing lagi dengan sarjana-sarjana Non-Muslim yang mengeluarkan pendapat atau konsep mengenai al-sunnah. Seperti Goldziher, dia secara tegas menolak keberadaan hadis dikarenakan tidak dapat dibuktikan keautentikannya. J. Schacht menolak karena menurut studinya hadis bersumber kepada abad II-III H. akan tetapi, banyak sarjana non-Muslim yang tidak sependapat dengan mereka, salah satunya adalah N. Abbott.    
Sekilas, memetakan sarjana non-muslim adalah sebuah kepentingan fundamental dalam studi orientalis, hal tersebut bertujuan agar terhindar dari sikap generalisasi pandangan terhadapnya. Oleh karena itu, penulis mengangkat tema peta studi hadis orientalis menurut prespektif orientalis itu sendiri, dalam hal ini Herbert Berg. Semuga bermanfaat.

      B.     NAPAK TILAS KEHIDUPAN HERBERT BERG
Herbert Berg lahir di Brasil tahun 1964. Pada tahun 1965, keluarga Berg pindah ke Kanada, tepatnya di kota Waterloo, Provinsi Ontario. Meskipun Berg lahir di Brasil dan di besarkan di Kanada, akan tetapi secara etnis, dia adalah keturunan Jerman.
Di kota Waterloo, Berg menyelesaikan sekolah menengah dan tingkat atas di Waterloo-Oxford District Secondary School pada tahun 1983. Kemudian melanjutkan studinya pada Universitas Waterloo dan mendapatkan BMat (Bachelor of Mathematic) pada tahun 1988. Di Universitas yang sama, Berg menyelesaikan program Religious Studies/ Middle East Studies pada tahun 1989. Pada tahun 1990 dia meraih gelar Master of Art di Pusat Studi Agama Universitas Toronto dan meraih gelar Doctor of Philosophy pada tahun 1996.
Berg dikenal sebagai seorang yang menekuni bidang Nation of Islam dan aktif meneliti sejarah awal keagamaan modern. Berg memberikan kontribusi berharga atas terbitnya buku The Development of Exegesis in Early Islam: The Debate over The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period (2000) dan method and Theory in the Study of Islamic Origin (2003). Di samping itu, Berg juga penulis article produktif, di antara karyanya adalah: “Context Muhammad” dalam Blackwell Companion to the Quran, ed. Andrew Rippin. “Ibn Abbas in Abbasid-Era:Tafsir” dalam Abbasid Studies:Occasional Papers of the School of Abbasid Studies. “Competing Paradigms in the Study of Islamic Origins: Quran 15:89-91 and Value of Isnads” dalam Methods and Theories in the Study of Islamic Origins.

     C.    GEOGRAFI IMAJINER ORIENTALIS
Membicarakan Orientalis sama halnya dengan membicarakan Muslim. Muslim tidak hanya satu warna, melainkan banyak warnanya.  Begitu halnya dengan Orientalis, mereka tidak satu warna, satu pemikiran dan satu tujuan. Seperti dalam bidang hadis, tidak sedikit yang meragukan keotentikan sumber hukum kedua dalam Agama Islam, namun tidak sedikit pula yang menerima Hadis sabagai sumber hukum kedua setelah al-Quran. Herbert Berg, seorang tokoh orientalis dalam karyanya The Development of Exegesis in Early Islam: The Debate over The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period membagi orientalis yang focus dengan kajian hadis kedalam beberapa kategori sebagai berikut.
            a.      Skepticism
Pada Tahun 1848, setelah memperhatikan Sahih Bukhari dan mempertimbangkan hanya 4000 hadis yang otentik dari 600.000 hadis yang ada, Gustav Weil kemudian mengusulkan agar orang-orang Eropa mengkritik tanpa ragu, setidaknya setengah dari 4000 hadis. Langkah tersebut di ikuti oleh Aloys Sprenger yang menyatakan bahwa banyak hadis yang sebenarnya tidak otentik.
Meski Weil dan Sprenger sudah menyatakan keraguan atas hadis-hadis Nabi. Akan tetapi bagi Berg, penggerak kelompok ini adalah Goldziher dan diteruskan oleh J. Schacht. Goldziher di dalam karyanya Muslim Studies, Vol II, secara tegas mengungkapkan keraguannya atau perbedaan pandangan yang cukup signifikan mengenai asal-usul dan perkembangan literatur hadis.[1]
“The Word Hadith means ‘tale’, ‘communication’. Not only are communications among those who have embraced the religious life called ‘hadith’, but also historical information, whether secular or religious, and whether of times long past or of more recent events”[2].   
Pada dasarnya, ungkapan Ignaz tersebut menolak hadis sebagai sumber ajaran agama, hadis hanya bersifat informasi historis, baik informasi masa lalu maupun kejadian-kejadian pada sekarang.
Penerus estafet Skeptisisme Goldziher, menurut Berg adalah Joseph Schacht. Dalam karyanya The origins of Muhammadan Jurisprudence, Schacht menyajikan suatu fondasi atau setidaknya titik tolak bagi keseluruhan studi hadis di Barat.[3] Fondasi tersebut adalah Projecting back, e-Silatio dan Common Link.[4]  Menurut Berg, meski Schacht menawarkan suatu argumen yang lebih baik dibanding Goldziher, tetapi dia tetap tidak bisa beranjak jauh dari pengaruh Goldziher.

“The idea we have gained of the formative periode is thoroughly different from the fiction which asserted itself from the early third century A.H onward. After work of Goldziher there remained no doubt that the conventional picture concealed rather than revealed the truth; and I trust that the sketch by which I have tried to replace it comes nearer reality”[5]
Namun harus di akui, metode yang dipakai oleh Schacht dalam menetapkan asal-usul hadis, secara spesifik unik. Keunikan tersebut terletak pada usulan alternatifnya untuk menolak metode sarjana Muslim yang dianggapnya tidak relevan.[6]
    
        b.      Non-Skepticism
Teori dan Metodologi yang ditawarkan oleh Goldziher dan Schacht  memicu banyak komentar, pujian, kritik dari berbagai kalangan dan sekaligus menempatkan arah perdebatan. Para pengkritik atau tidak sependapat dengan kedua tokoh diatas, menurut Berg, berargumen untuk mengkoreksi misunderstanding penulisan hadis Nabi dan penggunaan isnad dalam hadis.[7]
Seperti Nabia Abbot. Menurutnya, penulisan hadis sejak pertama kali sudah berlangsung terus-menerus dalam tradisi Islam. Pertama kali dalam arti bahwa para sahabat sejak dahulu sudah merekam hadis dalam bentuk tulisan. Sedangkan maksud dari “terus-menerus” adalah sebagian besar hadis sudah diriwayatkan dalam bentuk tulisan hingga pada masa terjadinya pengkoleksian hadis kanonik.[8]
“the tentative conclusion is that we have here a literary fragment that dates, most probably, from the third century of Islam. This tentative conclusion is based, first, on the quality and script of the papyrus, and, second, on the pecualirities of the text itself. The papyrus is fine in quality, unlike most of the generally coarse product met wiht in papyrus documents of the fourth century of the Hijrah.”[9]  
Senada dengan Abbot, Fuat Sezgin mengatakan bahwa tradisi tulis menulis sudah berlangsung semenjak Islam masa klasik. Sebagai penopang pendapatnya, Sezgin melihat shig^at tahammul wa al-ada’ (metode transmisi sanad) yang biasa digunakan dalam periwayatan hadis berhubungan dengan materi secara tertulis.[10]
          c.       Middle Ground
Perdebatan antara kelompok Skeptism dan non-Skeptism diatas melahirkan kelompok yang mecoba menemukan posisi tengah-tengah, antara percaya dan tidak percaya akan kesejarahan dan otentisitas literatur hadis.[11]
Juynboll, salah satu tokoh yang dimasukkan Berg dalam kelompok ini, mencoba untuk menjawab pertanyaan dimana, kapan dan siapa yang bertanggungjawab atas beredarnya sebuah hadis. Pemasukan Juynboll kedalam kelompok ini, menurut Berg, berdasarkan atas keyakinan laporan terdahulu, Juynboll tidak sepenuhnya percaya namun juga tidak seluruhnya salah ketika dilihat secara menyeluruh, menyatu dalam deskripsi yang secara historis akurat dan dapat dipercaya.[12] Menurut Juynboll, Hadis yang ada dalam kitab kanonik, seperti Bukhari dan Muslim, belum dapat dipastikan akan keotentikannya,[13] dalam artian bahwa ada sebagian hadis yang ada dalam dua kitab kanonik diatas, keotentikannya diragukan.
Fazlur Rahman adalah tokoh yang ada dalam kelompok Middle Ground versi Berg. Menurutnya, posisi Rahman sangat unik. Di satu sisi, dia menerima kesimpulan Goldziher bahwa sebagian besar hadis ahistoris. Namun sebagai muslim, dia ragu untuk menolak hadis yang terdapat dalam kitab kanonik dan menganggap sunnah Nabi adalah palsu.[14]
Selain tokoh diatas, Gregor Schoeler adalah tokoh Middle Ground versi Berg. Berg menganggapnya telah menawarkan konsep alternatif menganai mode transmisi pengetahuan dalam berbagai cabang keilmuan Islam. Dengan mencampur metode oral dan lisan, Schoeler berusaha mempertahankan keotentikan hadis sebagaimana yang ada sekarang, dan mempertimbangkan perbedaan dari hasil observasi.[15]
Selain ketiga tokoh diatas, Berg memasukkan nama-nama lain kedalam kelompok ini, semisal Harald Motzki, Horovitz, J. Robson, N.J Coulson dan U. Rubin.   
           d.      New-Skepticism
Paham yang dilahirkan oleh Goldziher dan Schacht tidak akan mati. Demikian kesimpulan penulis ketika membaca karya Berg, The Development of Exegesis in Early Islam: The Debate over The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period. Paham tersebut, bagi Berg, diwarisi oleh Michael Cook dan Norman Calder.
Michael Cook mencoba mengembangkan pandangan Schacht tentang penyebaran isnad yang terjadi akibat pembuatan otoritas tambahan matan yang sama. Menurut Cook, hal tersebut terjadi dengan cara melompati perawi yang sejaman atau menyandarkan suatu perkataan kepada guru yang berbeda.[16]
Sedangkan Calder berpendapat bahwa pendikotomian tradisional antara periwayatan oral dan tertulis tidak dapat ditarik secara tajam.[17] Dalam artian, bahwa teks-teks tertulis, sebagaimana keberadaannya sekarang, tidak hanya menggambarkan sedikit corpus tertulis pada saat itu, tetapi merupakan bagian kecil menyangkut aktivitas lisan. Dengan demikian, sesuatu yang tertulis adalah bentuk dari sesuatu yang dibicarakan. Hadis yang lahir pada masa common link menunjukkan isi hadis tersebut menjadi pembicaraan pada masa tersebut, bukan common link yang bertanggungjawab, akan tetapi lebih kepada skenario kelahiran hadis yang disengaja oleh orang pada masa tersebut.[18]    

      D.    KESIMPULAN
Melihat dari pemaparan diatas, maka sikap generalisasi terhadap orientalis jelas salah. Sikap tersebut semakin salah jika tidak melakukan kajian dahulu sebelum menyimpulkannya.
Pemaparan Berg tersebut, terlepas dari sikap subjektivitas, perlu diapresiasi untuk menimbulkan sikap terbuka dan sadar diri terhadap kajian yang ada meski apa yang sudah menjadi kesimpulannya masih bersifat pro-kontra, seperti memasukkan Juynboll kepada middle ground dan adanya kelompok tersebut.
Sebagai penutup, kajian-kajian selanjutnya memberikan peluang untuk lebih mengetahui atas pembagian yang sudah dilakukan oleh Berg, apakah hal tersebut dapat dibenarkan atau tidak.

     E.     Daftar Pustaka

Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam: The Debate over The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period
H. A. Juynboll, “Some Isnad-Analytical Methods Illustrated on The Basis of Several Women-Demeaning Saying from Hadith Literature,” dalam jurnal al-Qantara 10. 1989.
Nabia Abbot, “an Arabic Papyrus in The Oriental Institute Stories of The Prophets” dalam Journal of Near Eastern Studies, Vol. V, July, 1946,
Joseph Schacht, “The Origins Of Muhammadan Jurisprudence” (Oxford: The Clarendon Press. 1967.
Ignaz Goldziher, Musliem Studies, V2. (London:George Allen & Unwin LTD. 1971




[1] Herbert Berg, The Developmet…, hlm. 9.

[2] Ignaz Goldziher, Musliem Studies, V2. (London:George Allen & Unwin LTD. 1971), hlm. 3


[3] Herbert Berg, The Development…, hlm. 13

[4] Teori Common Link  adalah sebuah ide yang mengatakan bahwa periwayat tunggal dalam suatu rangkaian sanad, yang mana rangkaian kebawah dan keatasnya perawinya berkembang, maka dapat dipastikan hadis tersebut lahir di era perawi tunggal tersebut. teori projecting back, yaitu menyandarkan sanad kepada tokoh-tokoh dibelakang yang mempunyai otoritas yang lebih tinggi. Hal ini, menurut Schacth  terjadi pada abad kedua hijriah, dimana seorang Qadhi akan mengeluarakn sebuah keputusan-keputusan hokum, maka keputusan tersebut dinisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya,bukan pada dirinya sendiri. Lebih lanjut, Schacht mengatakan, cara yang tepat untuk mengetahui sebuah keberadaan hadis pada masa tertentu adalah dengan menunjukkan hadis tersebut tidak dijadikan sebuah argument tertentu dalam sebuah kepetusan hukum jika hadis itu ada dan hal tersebut dikenal dengan teori E-Silatio. M. Achwan Baharuddin, “Hadis Prespektif Pemikiran Prof. Dr. Joseph Schacht”, Makalah, tidak diterbitkan (Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: 2010), hlm. 6-7

[5] Joseph Schacht, “The Origins Of Muhammadan Jurisprudence” (Oxford: The Clarendon Press. 1967), hlm 329

[6] Herbert Berg, The Development…, hlm. 14

[7] Herbert Berg, The Development…, hlm. 18

[8] Herbert Berg, The Development…, hlm. 18

[9] Nabia Abbot, “an Arabic Papyrus in The Oriental Institute Stories of The Prophets” dalam Journal of Near Eastern Studies, Vol. V, July, 1946, hlm. 170

[10] Herbert Berg, The Development…, hlm. 62

[11] Herbert Berg, The Development…, hlm. 26

[12] Herbert Berg, The Development…, hlm. 27

[13] G. H. A. Juynboll, “Some Isnad-Analytical Methods Illustrated on The Basis of Several Women-Demeaning Saying from Hadith Literature,” dalam jurnal al-Qantara 10 (1989), hlm. 343

[14] Herbert Berg, The Development…, hlm. 32

[15] Herbert Berg, The Development…, hlm 35

[16] Herbert Berg, The Development…, hlm 44

[17] Herbert Berg, The Development…, hlm. 45

[18] Skenario tersebut adalah pembuatan isnad terhadap hadis yang di terima oleh suatu kelompok untuk mempresentasikan identitas kelompoknya atau dengan kritik isnad timbal balik antar kelompok. Herbert Berg, The Development…, hlm. 47