Oleh : Moch. Achwan Baharuddin
A.
PENDAHULUAN
Penafsiran al-Quran dari setiap zamannya mengalami perkembangan dan
atau perubahan. Ketika membicarakn setiap metodologi dari tiap penafsiran, maka
kita akan sering berjumpa dengan istilah bi al-ma’tsur dan bi
al-ra’y. Sedangkan periode kontemporer ini, istilah tersebut berkembang
menjadi beberapa istilah, antara lain ilmi, adabi, ijtima’I dan sufi.
Adabi¸sebagai salah
satu corak penafsiran yang berkembang pada periode kontemporer ini, adalah
penafsiran yang mendudukan al-Qur’an sebagai kitab Arab terbesar dan terutama. Corak
tafsir ini sebenarnya ada sudah lama, yaitu ketika kemunculan tafsir al-kasysyaf
pada abad enam Hijriyah dan coba di angkat lagi oleh Amin al-Khulli,
Khalafullah maupun Bint Syathi’. Menurut mereka, seperti yang sudah dijelaskan
diatas, mufassir sebelum menjelaskan soal hukum, perundang-undangan, akidah,
akhlak dan lain sebagainya, langkah pertama yang harus ditempuh adalah melihat
dan memperhatikan al-Quran sebagai kitab paling agung dalam Bahasa Arab yang
mempunyai pengaruh luar biasa dalam kehidupan Sastra Arab. Artinya, sebelum
menggali aspek lain dari ayat-ayat al-Quran, sebaiknya terlebih dahulu
diuraikan pemahaman mengenai makna kata-kata yang ada dalam al-Quran dan
bantuan semua cabang ilmu sastra dan ulumul Quran sebagai sarana dalam proses
pemahaman.
Berangkat dari hal
diatas, kajian kitab al-Tafsir al-Bayani li al-Quran al-Karim karya Bint
Syathi adalah sebuah kajian yang penting. Kajian tersebut disamping melihat
wacana corak tafsir adabi yang berkembang belakangan ini, kajian
tersebut juga dapat memetakan metodologi penafsiran yang digunakan oleh corak
tersebut. Selain itu, kajian-kajian tentang tema-tema penting dalam studi
al-Quran nantinya akan dilihat dalam prespektif corak tersebut atau minimal preskpektif
salah satu tokoh yang mengembangkan corak tafsir adabi, yaitu Bint
Syathi. Semuga bermanfaat….
B.
BIOGRAFI BINT SYATHI’
Bint Syathi’ merupakan nama pena dari Aisyah Abdurrahman, seorang
mufassir wanita asal Mesir. Dia lahir dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman
dan Faridah Abdussalam Muntasyir pada tanggal 06 November 1913 di Dunyat
(Damietta), sebuah kawasan di sebalah barat sungai Nil.[1]
Bint Syathi dibesarkan ditengah keluarga Muslim taat , saleh dan
konservatif. Dimasa kecilnya, ia dididik secara tradisional oleh ayahnya yang
tidak pernah memperbolehkan untuk menempuh pendidikan formal. Namun berkat ibu
dan kakeknya, yang menyekolahkannya secara diam-diam di sekolah umum, akhirnya
dia dapat menyelesaikan pendidikan formalnya. Pada tahun 1963, Bint Syathi
mendaftarkan dirinya di Fakultas Sastra, Universitas Fuad I. ia meraih gelar LC
dalam bidang Sastra dan Bahasa Arab pada tahun 1939 dan di Universitas yang
sama, ia meraih gelar Master pada tahun 1941. Dia menyelesaikan program
Doktornya pada tahun 1950 dangan disertasi tentang puisi Abu al-A’la al-Ma’ari.
Pada awal bulan Desember 1998, Bint Syathi wafat di usia 85 tahun
karena serangan jantung. Dia meninggalkan beberapa karya tulis sehingga dia
dianggap sebagai penulis yang produktif. Diantara karyanya adalah sebagai
berikut:
·
Tafsir
al-Bayani li al-Quran jilid I (1962)
·
Tafsir
al-Bayani li al-Quran jilid II (1969)
·
Maqal
fi al-Insan;Dirasah Quraniyyah (1969)
·
Al-Quran
wa al-Tafsir al-Asri (1970)
·
Al-Ijaz
al-Bayani li al-Quran (1971)
·
Al-Syakhsyiyyah
al-Islamiyyah:Dirasah Quraniyyah (1973)
Bahkan menurut Valerie J. Hoffman Ladd, Bint Syathi telah menulis
kurang lebih sekitar 60 buku.[2]
C.
PRINSIP METODOLOGI PENAFSIRAN
Pada kata pengantar kitab al-Tafsir al-Bayani li al-Quran, Bint
Syathi menjelaskan bahwa apa yang ditulis dalam karyanya tersebut mengikuti
standard metode yang sudah di tetapkan oleh Dosen sekaligus Suami tercintanya,
Amin al-Kulli.
Perlu diketahui, gagasan Amin al-Kulli adalah menciptakan paradigm
baru mengenai al-Quran, yaitu menjadikan metode susastra sebagai titik tolak
kajian khusus lainnya. Metode susastra yang dimaksud adalah pengkajian al-Quran
dengan dua tahap:
1.
Dirasah
ma Haula al-Nass (Kajian seputar
al-Quran)
Kajian tersebut meliputi kajian khusus dan kajian umum. Kajian
khusus adalah kajian ulum al-Quran. Sedangkan kajian umum adalah kajian
konteks/situasi, material dan immaterial lingkungan Arab.
2.
Dirasah
ma fi al-Nass (kajian tentang
al-Quran itu sendiri)
Kajian ini bermaksud untuk mencari makna etimologis, terminologis.
Semantic yang stabil dalam sirkulasi kosakata dan makna semantic dalam satu
ayat yang ditafsirkan.[3]
Berangkat dari metode yang ditawarkan oleh Amin al-Kulli tersebut,
Bint Syathi kemudian menetapkan metode penafsirannya sebagai berikut.
1.
Kajian
Tematis. Basis metodologinya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami dari
al-Quran secara objektif dan hal itu harus dimulai dengan pengumpulan semua
surat dan ayat mengani topic yang ingin dipelajari.
2.
Mengurutkan
ayat-ayat setema sesuai dengan tartib al-nuzul-nya. Untuk memahami ma
haula al-nass dan untuk dapat memahami gagasan tertentu dalam al-Quran
menurut konteksnya, ayat-ayat disekitar gagasan yang sedang dibahas harus
disusun menurut tatatnan kronologis pewahyuan hingga dapat diketahui keterangan
mengenai wahyu dan tempat pewahyuannya.
3.
Memahami
dalalat al-fadz dengan menyadari bahwa al-Quran diturunkan dengan bahasa
Arab. Karena Bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam al-Quran, maka
untuk memahami arti kata-kata yang termuat dalam al-Quran, kata-kata tersebut
digunakan pada saat wahyu digunakan dalam berbagai penggunannya, baik hakiki
atau majazi.
4.
Memahami
pernyataan-pernyataan yang sulit dalam naskah susunan al-Quran untuk mengetahui
maksudnya, baik bentuk lahir maupun semangat teksnya.[4]
D.
TEMA ULUM AL-QURAN;HURUF MUQATHA’AH DALAM FAWATIH AL-SUWAR
Menurutnya, wacana huruf muqat}t}a’ah dalam konteks al-ijaz
al-bayani akan lebih tepat ketika huruf-huruf tersebut diperlakukan sebagai
huruf. Huruf-huruf muqat}t}a’ah disebutkan untuk menunjukkan bahwa
al-Quran disusun dari huruf hijaiyyah. Huruf hijaiyyah yang dirangkai menjadi
kata, kata-kata yang dirangkai menjadi sebuah kitab suci bernama al-Quran.
Hanya sesederhana itu dan tidak perlu penafsiran yang macam-macam. Huruf-huruf
tersebut juga menunjukkan kepada masyarakat Arab bahwa al-Quran diturunkan
dengan bahasa ibu serta dengan huruf-huruf seperti yang mereka kenali dalam
bahasa sehari-hari dan menjadi bukti kelemahan mereka yang tetap tidak bisa
menjawab tantangan Allah untuk membuat sebuah karya tulis seperti al-Quran.
Huruf-huruf muqat}t}a’ah itu diucapkan menyendiri dan terpotong, oleh
karenanya huruf-huruf tersebut tidak dapat memberikan makna atau petunjuk
apapun. Bahkan hampir tidak keluar tanpa suara. Kemudian, ketika huruf-huruf
tersebut mengambil posisi yang setara dengan satu kata dalam retorika bahasa
al-Quran, maka terkuaklah rahasia besarnya.[5]
Surah al-Quran terdapat 114, dari semuanya terdapat 26 surah
Makkiah dan 3 surah Madaniyah yang dimulai dengan huruf muqat}t}a’ah. Adapun
surah-surah Makkiah yang diawali dengan huruf muqat}t}a’ah sesuai dengan
urutan waktu turun, adalah:
Al-Qalam (nun),
Qaf,Shad, al-A’raf (alif lam mim shad), Yasin, Maryam (Kaf Ha Ya Ain
Shad), Thaha, al-Syu’ara (Tha Sin Mim), al-Naml(Tha Sin),
al-Qashash (Tha Sin Mim), Yunus (Alif Lam Ra), Hud (Alif Lam
Ra), Yusuf (Alif Lam Ra), al-Hijr (Alif Lam Ra), Luqman (Alif
Lam Mim), Ghafir dan Fushilat (Ha Mim), al-Syura (Ha Mim Ain Sin
Qaf), al-Zukhruf (Ha Mim), al-Dukhan (Ha Mim), al-Jatsiyah (Ha
Mim), al-Ahqaf (Ha Mim), Ibrahim (Alif Lam Ra), al-Sajdah (Alif
Lam Mim), al-Rum (Alif Lam Mim) dan al-Ankabut (Alif Lam Mim).
Sedangkan
surah-surah Madaniyah adalah al-Baqarah, Ali Imran (Alif Lam Mim) dan
al-Ra’d (Alif Lam Mim Ra’).[6]
Semua jumlah
huruf muqat}t}a’ah yang ada, ulamapun juga setuju, terdiri dari 14 huruf
dari huruf hijaiyyah dan tidak termasuk yang diulang-ulang. Di dalamnya terdiri
dari:
·
Huruf
hams lima huruf, separuh dari jumlah huruf hams yang ada sepuluh
·
Separuh
huruf jahr
·
Tiga
huruf halqiyyah; separoh dari keseluruhannya dan sepruh huruf
nontenggorokan
·
Sepuluh
huruf sayyidah yang sama dengan keberadaan huruf rakhwah.
·
Separuh
huruf isti’la’ sebagaimana jumlah huruf istifal yang ada
Dari
penelitiannya tersebut, Bint Syathi menarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Fawatih
dimulai surah al-Qalam yang menunjukkan rahasia huruf. Kemudian
bertambah banyak dan datang beruntun pada pertengahan periode Makkiah-dari
surah Qaf yang menempati urutan ke-34 hingga surah al-Qashash yang menempati
urutan ke-49.
2.
Setiap
surah dalam al-Quran yang dimulai dengan huruf muqat}t}a’ah, mengandung
pembuktian kebenaran al-Quran, penegasan al-Quran adalah Firman Allah dan
jawaban atas yang menentangnya. Selain itu, terdapat penyerupaan dengan kaum
terdahulu yang menentangnya, baik dari sikapnya ataupun akhir dari nasib
penentangya.
3.
Kebanyakan
surah yang diawali dengan muqat}t}a’ah diturunkan ketika serangan
orang-orang musyrik mencapai puncaknya.[7]
Kesimpulannya, Fawatih
dengan muqat}t}a’ah adalah bagian ijaz al-Quran karena dengan
ijaz al-Quran tersebut, yang terdiri dari hanya beberapa huruf hijaiyyah
sudah bisa membungkam para kaum penentang yang meragukan al-Quran adalah Firman
Allah. Sebuah huruf yang mengandung beberapa makna dan salah satu makna yang
diyakini para ulama adalah Fawatih dengan muqat}t}a’ah mengandung
nama Allah maha Agung.
Pendapat
tersebut terlihat ketika Bint Syathi menafsirkan Surah al-Qalam. Al-Qalam
sendiri dimulai dengan huruf muqat}t}a’ah, yaitu huruf nun. Setelah
memaparkan berbagai pendapat ulama tentang tafsir huruf nun tersebut,
Bint Syathi mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan huruf nun menunjukkan
keagungan dan rahasianya huruf tersebut, bentuk sumpah dan bukti atas kenabian
Muhammad saw serta sebagai bantahan terhadap musuh yang berusaha mendatangkan
surah yang sama, itu semua sesuai dengan corak penafsiran yang diikuti dan
dikembangkannya.[8]
E.
TEMA ULUM AL-QURAN II;QASAM DALAM AL-QURAN
Bint Syathi dalam karyanya, al-Tafsir al-Bayani, memuat
empat belas surat yang ditafsirkannya. Dari keempat belas itu, delapan
diantaranya mengandung gaya sumpah yang jelas, yaitu al-Dhuha, al-Adiyat,
al-Nazi’at, al-Balad, al-Qalam, al-Asr, al-Lail dan al-Fajr. Sedangkan
satu surah yang menggunakan qasam samar adalah al-Takatsur.
Dengan demikian, kajian qasam prespektif Bint Syathi perlu di apresiasi.
Bint Syathi sendiri tidak mendefinisikan qasam secara
eksplisit. Dia sepertinya mengikuti definisi umum yang telah berkembang atau
menyimpan definisinya dalam apa yang dikandung dalam pemikirannya. Dia hanya
mengungkapkan bahwa tujuan utama dari qasam untuk penetapan (li
al-iqrar’).[9] Namun Bint Syathi membedakan antara qasam dengan khalaf.
Qasam menurutnya adalah kata yang mengandung makna sumpah yang tidak
akan dilanggar oleh pengucapnya. Sedangkan al-khalf digunakan khusus
pelanggaran atau ingkar terhadap sumpah.[10]
Qasam dalam al-Quran
tentunya beraneka ragam bentuknya, begitu pula dengan huruf qasam itu
sendiri. Namun penulis membatasi kepada huruf qasam berupa wawu (و).
Menurut Bint Syathi, penggunaan qasam dengan huruf wawu mempunyai
dua kategori. Pertama, wawu digunakan untuk lafal Allah atau Rabb. Hanya
saja lafal wawu yang disertakan dengan lafal Allah atau Rabb, dua
tempat merupakan sumpah yang bukan diungkapkan oleh Allah secara
langsung, akan tetapi merupakan rekaman al-Qur’an terhadap sumpah kaum musyrik
pada hari kiamat, yakni pada QS al-An’am:23 dan 30. Sedangkan empat tempat
lainnya ditempatkan pada pertengahan pembicaraan, baik itu didahului oleh الفأ pada QS al-Hijr: 92 dan al-Dzariyat:23, atau فلا pada QS
al-Nisa: 65, atau اي pada QS Yunus:53. Pada kondisi inilah qasam dapat
berfungsi sebagai penguat, penetapan atau pengagungan, yang merupakan fungsi
asli dari wawu qasam.[11]
Kedua, wawu qasam yang
berada pada awal kalimat dan awal surah, seluruh subyeknya Allah, seperti al-Dhuha,
al-Lail, al-Fajr, al-Nazi’at, al-Adiyat, al-Zariyat, al-Saffat, al-Sama’,
al-Tur dan lain sebagainya. Seluruh surah tersebut makiyyah.[12]
Dengan pengkategorian tersebut, Bint Syathi ingin mengatakan bahwa
ada tujuan lebih dari pemakaian lafal, qasam atau tempatnya. Para
mufassir terdahulu, menafsirkan ayat-ayat dengan menggunakan wawu qasam,
seperti penafsiran pada Q.S al-Dhuha:1-2, hanya sebatas kepada keagungan muqsam
bih. Mereka berpendapat atas keagungan malam secara mutlak, tidak memandang
tingakt kegelapan atau situasi malam yang tersebut pada ayat.[13] Atau
Mereka hanya menafsirkan al-dhuha dengan melihat hikmah dari terpilihnya
waktu tersebut.
Dengan demikian, para ulama terdahulu melihat fenomena qasam dengan
huruf wawu sering mencampur antara keagungan muqsam bih dengan
hikmah diciptakannya muqsam bih tersebut. Padahal, menurutnya hikmah
penciptaan semua orang sudah mengetahuinya, karena tidak ada ciptaan Allah yang
tidak mempunyai hikmah.[14] Itu
semua, menurutnya adalah penafsiran yang dipaksakan, dalam artian memaksakan
hikmah penciptaan kepada dibalik terpilihnya lafal tersebut menjadi muqsam
bih dengan huruf wawu.
Menurut Bint Syathi’, pemakaian wawu qasam memperlihatkan
adanya makna yang diinginkan yang keluar dari form lafal tersebut, seperti
pemakaian amr dan nahy namun tidak menunjukkan sebuah arti
perintah maupun larangan. Wawu qasam seperti dalam Q.S al-Dhuha:1
menunjukkan adanya penekanan perhatian dari hal-hal yang bersifat indrawi atau
materil sebagai suatu fenomena alam yang umum diketahui dan tidak ada celah
untuk mendebat atau mengingkarinya, untuk persiapan menjelaskan (tautiah
idhahiyyah) sesuatu yang maknawi atau hal-hal berbau gaib yang tak tampak
yang sering kali menjadi bahan perdebatan yang dijadikan muqsam bih.[15]
Sehingga penafsiran atas al-Dhuha (dan al-Lail) yang
menggunakan wawu qasam adalah sebagai berikut:
“gambaran bersifat fisik dan realita konkret, yang setiap hari
dapat disaksikan manusia ketika cahaya memancar pada dini hari. Kemudian
turunnya malam ketika sunyi dan hening;tanpa menganggu sistem alam. Silih
bergantunya dua keadaan, dapat menimbulkan keingkaran, bahkan sebagai sesuatu
yang tak pernah terlintas dalam pikiran siapa pun, bahwa langit telah
meninggalkan bumi dan menyerahkannya kepada kegelapan dan keganasa setelah
cahaya memancar pada waktu dhuha, dan adakah yang lebih merisaukan, jika sesudah
wahyu yang menyenangkan, cahayanya menerangi Nabi, datang saat-saat kosong dari
wahyu yang terputus. Seperti malam sunyi kita saksikan datang sesudah waktu
dhuha yang cahanya gemerlapan”.[16]
Penafsiran seperti itulah menurut Bint Syathi penafsiran sesuai
dengan metode adabi atau kesusastraan yang ia ikuti dan kembangkan.
F.
PENUTUP
Corak tafsir adabi adalah corak yang dikembangkan lagi dalam
periode kontemporer ini. Corak penafsiran tersebut menekankan gaya retorika
bahasa dalam menafsirkannya, sehingga tidak heran jika corak penafsiran adabi
sering disebut juga dengan penafsiran kesusastraan.
Penafsiran terhadap huruf muqatta’ah dalam fawatih suwar dan
qasam dengan huruf wawu oleh Bint Syahti dalam karyanya sangat
kental dengan aroma sensitivitas kesusastraan.
G.
DAFTAR PUSTAKA
Sahiron
Syamsuddin, An Examination of Bintu Syathi’’s method of Interpreting The
Qur’an . Yogyakarta:Titian Ilahi Press, 1999
Ensiklopedi
Oxford Dunia Islam Modern, Vol I, terj.
Eva Y.N. Bandung:Mizan, 2002
Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal. Jakarta:Perspektif,
2010
Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir al-Bayani li al-Quran al-Karim Juz
I & II. Kairo: Dar al-Ma’arif. 1968
Issa J. Boullata, Al-Quran Yang Menakjubkan:Bacaan Terpilih Dalam Tafsir Klasik hingga Modern
dari Seorang Ilmuan Katolik, Terj,
Bachrum Dkk. Tangerang:Lentera Hati, 2008
[1]
Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bintu Syathi’’s method of Interpreting
The Qur’an (Yogyakarta:Titian Ilahi Press, 1999), hlm. 6
[2]
Valerie J. Hoffman Ladd, “A’isyah Abd Rahman” dalam Ensiklopedi Oxford Dunia
Islam Modern, Vol I, terj. Eva Y.N (Bandung:Mizan, 2002), hlm. 4
[3]
Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Quran Kaum Liberal (Jakarta:Perspektif,
2010), hlm. 347-351
[4]
Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir al-Bayani li al-Quran al-Karim Juz I
(Kairo: Dar al-Ma’arif. 1968), hlm. 10-11
[5]
Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir al-Bayan al-Quran al-Karim Juz II
(Kairo: Dar al-Ma’arif. 1968),hlm, 41-43
[6]
Aisyah Abdurrahman, “Fawatih al-Suwar dan Rahasia Huruf” dalam Issa J.
Boullata, Al-Quran Yang Menakjubkan:Bacaan
Terpilih Dalam Tafsir Klasik hingga Modern dari Seorang Ilmuan Katolik, Terj, Bachrum Dkk (Tangerang:Lentera Hati,
2008), hlm. 291
[7]
Aisyah Abdurrahman, “Fawatih al-Suwar…, hlm. 293-294
[8]
Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir al-Bayan…, hlm. 42
[9] Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al bayani, hlm. 246
[10] Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al-Bayani…, hlm. 224
[15] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 25-26
[16] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm 26