Minggu, 04 Maret 2012

Pluralisme Agama



     A.     PENDAHULUAN
Dalam perbincangan masalah keagamaan kontemporer, wacana pluralisme agama merupakan salah satu tema yang paling hangat diperdebatkan saat ini, ia mendapatkan perhatian yang cukup besar dan dominan. Ia lahir di tengah keanekaragaman klaim kebenaran (truth-claims) antar agama yang berlainan. Potensi konflik dalam interaksi antaragama dapat disebabkan karena unsur internal dari agama. Setiap agama selalu memiliki klaim kebenaran (truth claim) yang berisi keyakinan bahwa agamanyalah yang paling benar. Konsekuensinya, agama yang lain pastilah dikategorikan salah atau sesat sehingga harus diluruskan. Oleh karena itu, upaya melakukan dakwah agama menjadi keniscayaan dalam rangka “meluruskan” masyarakat agar kembali “ke jalan yang benar”. Sikap ekslusivitas dan sensitivitas beragama menjadikan masyarakat gampang terpicu oleh propaganda yang menyebabkan terjadinya konflik antaragama. Jika keyakinan tersebut tidak dikontrol dan diatur, yang akan terjadi adalah perbenturan dan konflik antaragama atas nama truth claim tersebut. Kearifan masyarakat mengekspresikan klaim kebenaran itulah yang menjadi hal penting mengingat masyarakat kita terdiri dari berbagai penganut agama, dan terbelah dalam berbagai aliran keagamaan. Sikap saling menghormati dan bersikap santun terhadap the Other merupakan hal yang ditekankan agar agama membawa kedamaian, bukan kekerasan dan konflik.
Pluralisme, meski menduduki posisi fundamental dalam hubungan antar umat beragama saat ini, Namun para agamawan saling berbeda pendapat mengenai pluralisme itu sendiri. Kelompok satu mendukung atas lahirnya paham tersebut, di sisi lain, menolak. Merekapun berargumen dengan dalil-dalil yang relevan untuk melegimitasi anggapannya. Oleh karena, dengan gambaran di atasa, maka sebenarnya apa yang di maksud dengan pluralisme itu sendiri? Dan bagaimana pula al-Quran berbicara mengenai paham tersebut?.
     B.     PEMBAHASAN
    1.      Pengertian
Pluralisme dalam Wikipedia, terdiri dari dua kata, plural yang berarti beragam dan isme yang berarti paham.  Sehingga pluralisme berarti beragam pemahan atau bermacam-macam paham.[1] Namun jika di kaitkan dengan agama, pluralisme menjadi sebuah term khusus yang tidak bisa di artikan dengan semena-mena. Hal tersebut tidak lain pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna sangat luas dan di pergunakan dalam cara-cara yang berbeda pula. Seperti:
·         Pluralisme agama adalah sebuah pandangan dunia bahwa agama bukan satu-satunya sumber yang ekslusif bagi kebenaran
·         Pluralisme sebagai penerimaan atas konsep klaim-klaim kebenaran agama secara eklusif adalah sama sahihnya
·         Pluralisme sebagai sinonim untuk ekumenisme antar agama atau berbagai denominasi dalam suatu agama[2]
·         Sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antar berbagai pemeluk agama.
John Hick, tokoh pluralis memberikan definisi pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi berbeda tentang Yang Real dalam pranata social yang bervariasi dan respon yang beragam terhadap Yang Maha Agung.[3] Oleh karena itu, agama satu dengan agama lainnya kedudukannya sama.
Sedangkan Pluralisme dalam pandangan MUI sebagaimana yant termuat di dalam surat keputusan fatwa MUI no. 7/MUNAS VII/MUI//II/2005 tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme adalah sebagai berikut.
“Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga”.[4]
Melihat definisi yang di keluarkan oleh MUI tersebut, Pluralisme di pandang sebagai pandangan bahwa agama bukan satu-satunya sumber kebenaran yang eklusif. Agama menurut MUI adalah satu-satunya  sumber kebenaran yang eklusif, apa yang di yakini oleh penganut agama atau keyakinan adalah sebuah kebenaran yang harus di ikuti sedangkan apa yang berbeda dengan agama dan keyakinan oleh dirinya adalah salah.
Definisi yang berbeda di berikan oleh Anis Malik Thoha dalam bukunya, Tren Pluralisme Agama:Tinjauan Kritis, dia mengatakan bahwa pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama yang berbeda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan cirri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.[5] Dari definisi tersebut, Anis Thoha ingin mengatakan bahwa pluralisme agama tidak akan bisa berjalan tanpa adanya  koeksistensi. Sebuah kondisi yang mana umat beragama yang ada saling hidup berdampingan dengan menghormati dan saling menjalankan ajaran agama masing-masing. Oleh karena itu, pluralisme agama bagi Adian Husaini adalah sebuah paham yang meletakkan kebenaran agama-agama sebagai kebenaran relative dan menempatkan agama-agama pada posisi setara.[6]
Dengan demikian, pluralisme agama bisa dikatakan sebuah paham yang menyamaratakan agama-agama yang ada,[7] dengan menghormati ajaran masing-masing untuk tercapai koeksistensi antar umat beragama. Hal tersebut dalam dunia modern ini sangat di perlukan untuk menghindari konflik agama yang sering muncul belakangan ini.  
    2.      Wacana  Pluralisme
Pluralisme dan kebebasan beragama bukanlah milik unik bangsa-bangsa barat, pluralisme adalah milik semua peradaban dunia meski fakta adanya yang dominan dalam kurun dan waktu tertentu. Paham kemajemukan adalah paham yang berorientasi kepada pengakuan kepada pihak lain, baik itu agama, suku, ras, warna kulit, hukum maupun etika. Al-Quran dengan tegas mengakui kemajemukan tersebut, manusia di ciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan meghargai (Q.S al-Hujurat:13),  perbedaan bahasa dan warna kulit adalah sebuah realitas positif dan merupakan kebesaran Tuhan. Meski demikian, ketika kemajemukan tersebut di rangkai dengan agama, penerimaan berbeda-beda dari agamawan.
Adian Husaini, ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia dan meraih gelar Doktor bidang Peradaban Islam di Internasional Islamic University Malaysia mengatakan bahwa paham pluralisme agama adalah racun yang melemahkan keimanan dan keyakinan akan kebenaran Islam.[8] Seperti yang tertera di dalam surat keputusan MUI di atas, bagi Adian Pluralisme Agama adalah sebuah paham yang menyama ratakan semua keyakinan agama-agama sehingga dengan pluralisme maka tidak ada agama yang salah. Dengan demikian, paham pluralisme pasti akan berbenturan dengan ajaran Tauhid agama Islam yang mengakui bahwa Allah swt adalah Tuhan Maha Esa yang wajib di yakini, tiada Tuhan SelainNya sebagaimana yang termaktub dalam kalimat syahadat.
Nur Cholis Madjid mengatakan dalam bukunya “Islam Doktrin dan Peradaban” bahwa pluralisme adalah sebuah aturan Tuhan (Sunnah Allah) yang tidak akan berubah.[9] Islam sebagai agama terakhir dalam garis kontuinitas agama-agama besar, memuncaki agama tersebut dengan mengakui  hak-hak agama lainnya. Berbeda dengan Adian Husain, bagi Madjid pluralism adalah sebuah nature manusia sehingga paham pluralisme adalah sebuah solusi bagi kehidupan masyarakat beragama untuk saling hidup berdampingan dengan rukun dan saling membangun sebuah peradaban. Pluralisme bukanlah sebuah paham yang meleburkan semua agama menjadi satu dan tunggal, namun pluralisme adalah sebuah paham yang saling menghormati para pemeluk agama lainnya untuk berjalan dan beribadah sesuai ajaran masing-masing. Dengan menghormati dan mengakui, mereka berlomba-lomba untuk membangun sebuah peradaban baru dan mewujudkan kerukunan dalam dunia antar umat beragama. Namun yang perlu di garis bawahi ketikan menerapkan pluralisme agama, yaitu sikap commited terhadap agama yang di anutnya di samping sikap terbuka dan menghormati dalam berinteraksi dengan aneka pemeluk agama.[10]   
Melihat hal tersebut, pluralisme agama adalah sebuah permasalahan yang polemik. Dalam hal ini, para agamawan terbagi menjadi tiga bagian dalam memandang pluralisme agama.
a    .       Eksklusif.
Dalam prakteknya, sikap tersebut dapat di lihat dari pandangan MUI dan Adian Husaini. Kelompok ini berpandangan bahwa agama yang di peluknya adalah agama yang paling benar, agama lain sesat dan tidak mendapatkan petunjuknya. Mereka berusaha untuk meyankinkan pemeluk agama lainnya untuk memeluk agama yang di yakininya sebagai agama paling benar.[11] Sebagai contoh adalah pandangan kelompok eksklusfi Islam terhadap Kristen. Mereka menyoroti konsili vatikan II (1962-1965)yang menjadi muara agama Kristen sebagai agama yang salah dan tidak otentik sehingga baginya agama yang dipeluknya adalah agama yang paling benar dan otentik.[12] Pandangan eksklusf tidak hanya pada muslim, umat kristiani juga banyak memakai paham tersebut dalam menilai agama lainnya. Frans Rosenzweig, tokoh Yahudi mengatakan bahwa agama yang benar adalah Yahudi dan Kristen. Islam adalah suatu tiruan dari agama Kristen dan agama Yahudi.[13]   
b  .      Inklusif.   
Dalam kelompok ini, mereka mementingkan toleransi beragama dalam menciptakan kehidupan yang harmonis. Hal tersebut di rasa penting, karena “Islam” dalam kaitannya kehidupan beragama tidak hanya menunjukkan makna atribut kepada agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad saw, namun menunjukkan arti subtantif terhadap para pemeluk agama yang menyerahkan diri atau pasrah terhadap Tuhan. Dengan demikian, semua pemeluk agama tak terkecuali mempunyai kedudukan yang sama selama mereka memiliki ketundukan dan ketulusan kepada Tuhan.[14] Nilai toleransi beragama untuk menjalankan agama masing juga di jumpai dalam piagam madinah pasal 25 ayat 2-3.
“2. Kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagaimana kaum muslimim bebas memeluk agama mereka. 3, kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut atau sekutu-sekutu mereka dan diri mereka sendiri”[15]
c   .       Pluralis
Kelompok ini bagaikan mengamalkan sebuah pepatah banyak jalan menuju Roma, mereka beranggapan bahwa banyak jalan menuju Tuhan, jalan yang beragam dan tak tunggal.[16] Muhammad saw dengan membawa agama Islam merupakan Nabi terkahir dalam garis kontinuitas kewahyuan dengan Nabi sebelumnya yang juga menyabrkan agama samawai, dengan demikian maka tidak heran jika di muka bumi ini terdapat banyak jalan untuk menuju kepada Tuhan. Jargon pemerhati Quran dan Hadis “s{a>lih li kulli zama>n wa maka>n”  mungkin tepat untuk melihat fenomena tersebut. Sebelum adanya nabi terakhir, Tuhan mengutus pelbagai Nabi pada ruang dan waktu yang berbeda adalah sebuah solusi untuk mengatasi permasalahan yang di alami manusia. Dengan demikian-terlepas dari klaim adanya agama otentik dan tidak-adanya beragam agama atau jalan menuju Tuhan adalah sebuah fitrah bagi manusia. Muhammad saw dengan ajaran-ajarannya meski sudah berumur berabad-abad juga memiliki umat dan pengikutnya sampai sekarang dan hal tersebut juga tidak menutup kemungkinan terhadap Nabi dan ajaran-ajarannya sebelum Muhammad saw. Di samping hal itu, agama-agama tersebut mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana hak tumbuh dan berkembang agama Islam.
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah di wasiatkan-Nya kepadaNuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada Agama itu orang yang di kehendakiNya dan member petunjuk kepada (agama)Nya orang yang kembali (kepadaNya). (Q.S al-Syura:13)
    3.      Pluralisme dan Pluralitas
Keragaman budaya, suku bangsa, ideologi politik, dan terutama agama merupakan fenomena yang khas di Indonesia. Keragaman ini positif jika saja ia tercipta dalam satu realitas yang harmonis dan toleran. Namun, justru dengan keragaman ini manusia senantiasa bertikai di ladang-ladang konflik dan kekerasan. Ini terjadi ketika agama –lewat campur tangan sejarah-- mengklaim atas satu kebenaran yang absolut, mutlak, dan tak tergugat melalui perantara interpretasi yang monolitik dan tidak peka atas realitas yang tidak tunggal.
Kondisi atau fakta akan adanya keanekaragaman dalam realitas inilah yang kemudian didefinisikan dengan pluralitas. Pluralitas sebagai sebuah realitas antropologis harus dipahami oleh manusia untuk kemudian dapat bersanding tanpa membedakan warna kulit, “baju”, agama, budaya, bahasa, latar belakang pendidikan, ras, suku dan aspek-aspek lain yang berpotensi menimbulkan adanya diskriminasi ataupun fanatisme berlebihan.
Pluralitas atau keragaman berbagai hal itu sebetulnya memang sebuah hal yang alami tanpa melalui rekayasa atau kehendak manusia. Maksudnya, itu kehendak Tuhan sebagai pencipta manusia dan seluruh kehidupan yang ada di muka bumi. Tentunya, dengan tujuan agar perbedaan itu diambil aspek positifnya sebagai jalan pemandu untuk bekerja sama, intropeksi diri, dan tolong-menolong.[17] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat: 13:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.“
Dalam perkembangannya, pluralitas melahirkan sebuah paham yang bersedia untuk menerima, menjaga, dan menghormati akan adanya perbedaan di dalam realitas yang kemudian diistilahkan dengan kata “pluralisme”.[18] Pluralisme,~meminjam istilah Cak Nur~ merupakan paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan, yakni keragaman, hiteroginitas, dan kemajemukan itu sendiri.[19] Pluralisme merupakan sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin dengan kenyataan itu.[20] Oleh karena itu ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara.
Pluralisme dengan penegasan yang demikian mengharuskan adanya prinsip-prinsip pokok. Yaitu: pertama, pluralisme harus menghapus segala bentuk absolutisme, truth claim dan pembenaran terhadap diri sendiri dengan menafikan orang lain. Setiap absolutisme bukanlah pluralisme, sebab setiap absolutisme tidak pernah mengakui terhadap kebenaran orang lain, kelompok dan entitas lain. Setiap truth claim juga bukan pluralisme, karena ia hanya mengakui kebenaran ada pada pada diri, kelompok dan entitasnya sendiri.
Kedua, pluralisme mensyaratkan adanya relativisme dalam pemahaman, penafsiran, artikulasi dan segala bentuk derivasi nalar kelompok. Setiap pluralisme harus menegaskan bahwa setiap masalah, persoalan, kasus dan solusinya bahkan terhadap “kebenaran” itu sendiri ditentukan oleh kondisi masyarkat, konteks dan budaya sebuah kelompok. Dengan begitu setiap kebenaran dalam pemahaman manusia harus dianggap relatif.
Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa pluralisme bukan berarti relativisme absolute dan singkritisme. [21] Tidak berarti yang dikaitkan dengan ide relativisme ini (sebagai syarat pluralisme) adalah tidak adanya “kebenaran” sama sekali, tetapi justru ide itu menegaskan adanya “kebenaran” yang begitu banyak sebagai bagian dari konteks. Dalam hal ini Cak Nur mengatakan:
“ Tidak berarti bahwa kita dibenarkan membiarkan relativisme tak terkendali, sehingga tidak ada keberanian dan tidak ada pendirian untuk berbuat. Tetapi, setiap bentuk penyelesaian masalah yang kita temukan dan kita yakini kebenarannya untuk saat dan tempat itu, harus dilaksanakan dengan tulus dan sungguh-sungguh, kita harus pula tetap terbuka untuk setiap perbaikan dan kemajuan…bahwa kaum beriman adalah mereka yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan mereka yang hari esok adalah mereka yang lebih baik daripada hari ini.”[22]
Pandangan pluralisme yang dimaksudkan di sini bukan berarti mencampuradukkan atau membuat “gado-gado” unsur-unsur tertentu saja yang menguntungkan dan mengarah pada pengkaburan, tapi lebih dari itu~meminjam kata pak Waryono~ adalah bagaimana perbedaan itu memperkaya pengalamannya.[23] 
Ketiga, pluralisme mensyaratkan adanya bentuk toleransi dalam bersikap. Persoalan toleransi merupakan prinsip yang paten dan harus ada dalam pluralisme. Setiap pluralis harus menghargai adanya kemajemukan terhadap yang lain, sebagaimana setiap orang juga ingin dihargai. [24]Dari sikap toleransi inilah yang akan melahirkan sikap saling menghormati baik antar individu, kelompok, entitas dan sebagainya.
   4.      Pluralisme dalam al-Quran
Bagaimana dengan respon al-Qur’an sendiri terhadap realitas kebhinekaan agama-agama; enklusif, inklusif ataukah pararel? Jika mendasarkan pada argumen-argumen para pemerhati pluralitas agama, baik itu yang pro maupun kontra, ada beberapa konsep yang di jadikan landasan untuk menjustifikasinya.
     a.       Islam

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”(Q.S Ali Imran: 19)
Berawal dari kata al-isla>m seperti pada ayat di atas dan pada tempat lainnya serta derivasinya, agama yang benar adalah agama yang mempunyai sifat pasrah terhadap Tuhan. Al-isla>m tersebut tidak menunjukkan pada sebuah nama agama tertentu, namun lebih menekankan pada subtansi makna dalam beragama, yaitu pasrah dan tunduk. Hal tersebut sebagaimana yang di lontarkan Cak Nur.
“karean sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa itu merupakan tuntutan alami manusia, maka agama (al-di>n, secara harfiah antara lain berarti “ketundukan”, “kepatuhan” atau “ketaatan”) yang sah tidak bisa lain dari sikap pasrah kepada Tuhan(al-isla>m). Maka tidak ada agama tanpa sikap itu, yakni keagamaan tanpa kepasrahan kepada Tuhan adalah tidak sejati”[25]
 Gagasan al-isla>m adalah sebuah aktivitas keagamaan yang pasrah dan tunduk kepada Tuhan, bukan sebatas nama agama tertentu sudah ada sejak lama. Menurut Adian Husaini, gagasan tersebut pertama kali di keluarkan oleh W. C Smith (1964-1973). Smith mengatakan bahwasannya
”Islam adalah kata kerja, mucul sekitar sepertiga kali jumlah kemunculan lata kerja asalnya ‘aslama’ (tunduk, berserah diri secara keseluruhan, memberikan diri kepada komitmen total). Ia merupakan kata kerja; nama sebuah bentuk tindakan, bukan sebuah institusi; sebuah keputusan pribadi; bukan sebuah system social”[26]
Namun, jika menilik khazanah tafsir al-Quran yang ada, mufassir juga menyadari akan hal tersebut, bahwa arti dari al-isla>m yang menunjukkan terhadap sebuah nama agama bukan satu-satunya makna yang terkandung, namun sikap pasrah, selamat, tunduk dan derivasinya juga memungkinkan makna yang terkandung dalam arti al-isla>m.[27]  Dengan adanya penegasan dari mufassir, maka nilai-nilai pluralitas yang di kembangkan berdasarkan pada arti al-isla>m tidak sepenuhnya bisa di salahkan. Para mufassir telah memberikan lampu hijau akan adanya kemajemukan agama-agama, meski begitu, mereka(umat beragama) harus tetap menegakkan nilai dasar agama yang sejati, pasrah, tunduk dan taat kepada Tuhan.  Memang harus di akui, agamawan sejati adalah agamawan yang memiliki kepasrahan dan ketaatan kepada Tuhan, tanpa nilai tersebut, agamawan belum bisa di katakana sempurna beragamanya. Umat muslim harus pasrah dan taat kepada Allah, umat kristiani harus pasrah dan taat kepada kristus, begitu juga dengan umat  Buddha dan Yahudi harus memiliki kepasrahan dan ketaatan kepada Tuhannya masing-masing.[28] Karna umat muslim menyatakan dirinya Islam dan agama tersebut adalah agama yang paling benar dan menyelamatkannya tanpa di sertai sikap pasrah dan taat kepada Tuhannya, Allah, maka hal tersebut sia-sia belaka.
Namun bagaimana dengan hadis-hadis Nabi yang berbunyi sebagaimana berikut ini.
حدثنا عبيد الله بن موسى قال اخبرنا حنظلة بن أبي سفيان عن عكرمة بن خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال  : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان )[29]

Dalam hadis di atas dengan jelas di katakana bahwasannya al-isla>m memiliki pondasi lima (yang lebih terkenal dengan sebutan rukun iman).  Apa yang di namakan al-isla>m atau al-isla>m tidak bisa berdiri tanpa adanya sikap-sikap yang harus di penuhi oleh umat islam di atas, meyakini tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw sebagai utusannya dan seterusnya. Menurut penulis, al-islam dalam hadis tersebut adalah sebuah attribute atau nama sebuah agama, bukanlah sebuah makna subtansi seperti yang penulis jelaskan di atas.

    b.      Ahl al-Kita>b
Berbicara mengenai pluralisme agama dalam al-Quran, menilik konsep ahl al-kita>b dalam al-Quran juga menduduki posisi penting.[30] Dengan melihat konsep ini, maka secara tidak langsung akan membawa kepada kontuinitas agama-agama samawai, yang lebih terkenal dengan bahasa abrahamic religious. Al-Quran sendiri menyebut term ahli kitab sebanyak 31 kali dalam 7 surat madaniyyah dan 2 surat makiyyah.[31] Secara historis, pertemuan Muhammad saw dengan agama-agama lain, Yahudi-Nasrani, lebih banyak terjadi di Madinah.[32] Kesadaran atas keberagaman mereka sebagi pemeluk agama yang harus di akui dan di hormati juga terjadi pada periode Madinah. Sebelumnya, Yahudi dan Nasrani di istilahkan oleh al-Quran sebagai ahzab atau syiya’ (sekte-sekte atau partisan), sedangkan dalam periode Madinah, mereka di istilahkan sebagai ahl al-kita>b.[33] Meski datangnya perintah untuk mengakui keberagaman agama muncul di madinah, namun hal tersebut sudah cukup menjadi bukti atas pengakuan Islam terhadap eksistensi agama-agama tersebut. 
قُولُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (Q.S al-Baqarah:136)
Dalam teks di atas, Musa dan Isa sebagai Nabi Kaum Yahudi dan Nasrani adalah nabi dalam kontuinitas kewahyuan agama Ibrahim, sehingga tidak mengherankan jika bagi umat muslim di perintahkan untuk tidak saling berselisih dengan mereka. Sikap kesadaran akan eksistensi agama-agama lain tersebut penting dalam sejarah perkembangan agama Islam itu sendiri sebagai agama terakhir dari agama Ibrahim yang di turunkan oleh Allah swt. Dengan sikap tersebut, umat muslim lebih di terima kehadirannya oleh penduduk madinah. 
Dalam tempat lain, al-Quran memerintahkan kepada umat muslim untuk berdialog dengan ahli kitab untuk mencari titik temu.
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (Q.S ali imran: 64)
Dalam tafsir Ibn Katsir di jelaskan, bahwasannya kalimah sawa>’ adalah kalimat adil, umat muslim dan ahli kitab ada di dalam semuanya.[34] Sebuah solusi cerdas di berikan oleh al-Quran-jika melihat pengertian kalimah sawa>ibn Katsir-bahwa kunci kerukunan umat beragama adalah adil, dengan adil maka secara tidak langsung memandang semua umat beragama adalah sama, egaliter. Sikap tersebutlah-egaliter antar umat beragama-yang dalam pandangan Moqsith perlu di kembangkan terus menerus dalam masyarakat yang pluralistic sekarang.[35]  Dengan demikian, umat beragama dapat mengambil sisi positif dari keanekaragaman agama, yaitu berlomba-lomba dalam kebaikan,[36] dalam bahasa Cak Nur, membangun peradaban gemilang antar umat beragama.
   C.     PENUTUP
Melihat pemaparan di atas, penulis dalam penutup ini mencoba menyimpulkan beberapa poin sebagai berikut.
1  .      Pluralisme Agama adalah sebuah paham yang mengajarkan atas hak dan kewajiban umat beragama dalam kehidupan, tanpa ada diskriminatif dan tidak menyatukan agama atau meleburkan semua agama menjadi satu agama dan Tuhan.
2 .    Pluralisme agama bukanlah sebuah paham yang membenarkan agama atau menyalahkan agama lainnya, pluralisme agama bukan membenarkan atau menyalahkan keyakinan antar agama, tetapi pluralisme agama adalah sebuah paham yang mengajarkan kerukunan umat beragama dengan menghormati agama dan keyakinan masing-masing.
3  .      Dalam al-Quran, nilai-nilai pluralitas tercermin dari konsep al-isla>m dan ahl al-kita>b.
Demikian yang dapat di jelaskan untuk di pahami dan tetntunya, saran dan kritik di harapkan untuk memperbaiki tulisan ini.

“Memahami keyakinan orang lain tidak hanya membutuhkan pengetahuan mengenai sumber-sumber agama itu (kitab suci, dogma dan hukum), tetapi juga pengetahuan mengenai apa yang betul-betul di percayai dan di lakukan orang tersebut”.
(John L Esposito.2010:22)


   D.     DAFTAR PUSTAKA
Abd Baqi’, Fuad.  Al-Mu’jam al-Mufarras li al-Fadz al-Quran Kairo: Dar al-Hadis.tt
Abd Moqsith, Prespektif al-Quran Tentang Pluralitas Umat Beragama , Jakarta: PPs UIN Syarif Hidayatullah. 2007.
Ahmad, Zainal Abidin. Piagam Nabi Muhammad saw:Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang. 1973
Fanani, Ahmad Fuad Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagaman Liberatif, Jakarta: KOMPAS, 2004
Ghafur, Waryono Abdul. Tafsir Sosial, Yogyakarta: eLSAQ, 2005
Husaini, Adian Wajah Peradaban Barat:Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, Jakarta:Gema Insani Press. 2005
-----------, Pluralisme Agama Musuh Agama-Agama:Pandangan Katolik, Protestan dan Islam Terhadap Pluralisme Agama, tk:Bidang Ghazwul Fikri Dewan Da’wah Islamiyyah. 2010
Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin & Peradaban, Jakarta:Paramadina. 2008
Rahman, Fazlur. Tema Pokok al-Quran, Bandung:Pustaka. 1996
Ridwan, Nur Khalik. Pluralisme Borjuis; Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur, Yogyakarta: Galang Press, 2002
Shihab, Alwi. Islam Inklusif:Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung:Mizan. 1999
Setiawan, Nur Kholis Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an, Yogyakarta: ElSaQ, 2008
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama:Tinjauan Kritis, Jakarta:Prespektif. Cet III 2007



[1] Id.m.wikipedia.org/wiki/Pluralisme
[2] Ekumenisme berasal dari bahasa Yunani, oikos (rumah) dan menein (tinggal). Dalam pengertian lebih luas, ekumenisme berarti inisiatif keagamaan menuju keesaan di seluruh dunia.  Denominasi adalah suatu kelompok keagamaan yang dapat diidentifikasikan di bawah satu nama, struktur dan atau doktrin.  Kedua istilah tersebut sering di gunakan dalam kaitannya dengan kekristenan.  Ekumanisme di gunakan oleh agama Kristen dalam kaitannya dengan gerakan menuju persatuan yang terpecah karena doktrin, sejarah dan praktik.  Sedangkan denominasi merujuk pada pelbagai variasi kelompok yang ada dalam agama Kristen.

[3] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama:Tinjauan Kritis (Jakarta:Prespektif. Cet III 2007), hlm. 15
[5] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme…, hlm. 14
[6] Adian Husain, Pluarisme Agama Musuh Agama-Agama:Pandangan Katolik, Protestan, Hindu dan Islam Terhadap Paham Pluralisme Agama (tk:Bidang Ghazwul Fikri Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia. 2010), hlm. 3
[7] Menyamaratakan agama-agama bukan berarti menyatukan agama dan Tuhan masing-masing agama, menyaratakan agama adalah melihat agama mempunyai hak serta kewajiban yang sama, mempunyai kebebasan dan berkembang, tanpa ada diskriminatif antar umat beragama.

[8] Adian Husaini, “Pluralisme Agama…, hlm. 22
[9] Nurcholis Madjid, “Islam Doktrin & Peradaban” (Jakarta: Paramadina, cet. VI 2008), hlm. Lxxxi

[10] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Bandung. Mizan. 1999), hlm. 43
[11] Abd. Moqsith, Prespektif al-Quran Terhadap Pluralitas Umat Beragama (Jakarta:PPs UIN Syarif Hidayatullah. 2007), hlm. 42

[12] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat:Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta:Gema Insani Press. 2005), hlm. 339
[13] Adian Husaini, Pluralisme Agama…, hlm. 3
[14]Abd. Moqsith, Prespektif al-Quran…, hlm. 46

[15] Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad saw:Konstuti Negara Tertulis Pertama di Dunia (Jakarta:Bulan Bintang, 1973), hlm. 26
[16] Abd Moqsith, Prespektif al-Quran…, hlm. 47
[17] Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagaman Liberatif,  (Jakarta: KOMPAS, 2004), hal. 6.
[18] Dalam The Oxford English Dictionary, pluralism berarti sebuah watak untuk menjadi plural. Lihat: Nur Kholis setiawan, Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an, (Yogyakarta: ElSaQ, 2008), hlm. 24.
             [19] Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis; Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), hlm. 77.

[20] Nurcholis Madjid, Islam; Doktrin…, hlm. xxv.
             [21] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, (Yogyakarta: eLSAQ, 2005), hlm. 14.

[22] Nurcholis Madjid, Islam;Doktrin…hlm. xxi.
             [23] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir…hlm. 15.

[25] Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin…, hlm. 421

[26] Adian Husaini, Wajah Peradaban…, hlm. 359
[27] Lih. Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi(516 H), Ma’a>lim al-Tanzi>l, Juz 2, hlm. 18. Lih. Juga Abu Ja’far al-Thabari, Jami al-Baya>n fi Ta’wi>l al-Qura>n, Juz 6, hlm 273-275.  dalam softwere al-Maktabah al-Sya>milah al-Is{da>r al-S^ani.

[28] Dengan nilai-nilai pluralitas tersebut, tidak menjadikan umat muslim menyembah apa yang di sembah oleh umat lainnya sebagaimana yang tertuang di dalam Q.S al-Kaafiruun : 2-6. Hal tersebut di sadari oleh Cak Nur, bahwa pluralisme umat Beragama bukanlah sebuah penyatuan, dari berbagai agama dan Tuhan menjadi satu, namun kerukunan beragama adalah sebuah kondisi(koeksistensi) umat beragama saling menghormati, hidup berdampingan. Lih Nurcholis Madjid, Islam…, hlm. Ixxx.
[29] H. R Bukhari, Juz 1, hlm. 12 dalam al-Maktabah al-Syamilah al-Is{da>r al-S^ani.

[30] Ahl al-Kita>b sampai sekarang, pengertian yang di berikan oleh ulama berbeda-beda. Namun secara garis besar, mereka terbagi menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang memaknai secara literal bahwa ahl al-kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Kedua, golongan yang memaknai ahl al-kitab tidak hanya sebatas kaum Yahudi dan Nasrani, Kaum Buddha, Hindu, Majusi, Shabi’un dan sebagainya adalah ahl al-kita>b dalam konteks sekarang. Selengkapnya Lih. Abd. Moqsith,…, hlm. 212-220
[31] Muhammad Fuad Abd Baqi, Mu’jam Mufarras li al-Faz{ al-Qura>n (Mesir: Dar al-Hadis, tt), hlm. 95
[32] Abd Moqsith, …, hlm 213-214
[33] Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Quran terj. Anas Mahyudin (Bandung:Pustaka, 1996),hlm. 210

[34] Ibn Katsir, Tafsi>r al-Qura>n al-A’z{im, juz 2, hlm 55, dalam Al-Maktabah al-Sya>milah al-Is{da>r al-S^ani.  
[35] Abd Moqsith, Prespektif al-Quran…, hlm. 222
[36] Q.S al-Maidah: 38.

SEJARAH PERADABAN KHULAFA' AL-RASYIDIN



A.    PENDAHULUAN

Menjadi sebuah pertanyaan sejarah adalah kapan Islam mengalami puncak peradabannya?. Sebagian  merujuk kepada masa Muhammad saw ketika hidup.  Sebagian lainnya merujuk kepada masa khulafa’ al-rasyidin, hal tersebut wajar karna masa khulafah al-rasyidin adalah masa di mana umat Islam untuk pertama kalinya berdiri tanpa Muhammad saw, seperti  pengangkatan khalifah, sistem kekhalifahan, interaksi umat Islam serta hal lainnya adalah sekelumit peristiwa tanpa adanya sosok Nabi Muhammad saw. Hal tersebut juga di pertegas oleh Nabi bahwasannya “generasi terbaik adalah generasi setelah Nabi”.  Dengan demikian, maka wajar pada masa sekarang ada sebagian kelompok yang menyatakan bahwa untuk memuncaki peradaban umat muslim harus menerapkan apa yang telah di contohkan pada masa khalifah tersebut.
      Meski masa tersebut di sinyalir sebagai puncak peradaban namun tidak sedikit oleh kalangan di pertentangkan jika hal tersebut di terapkan pada masa sekarang. Salah satunya adalah system pemerintahan, banyak yang menentang akan tersebut karena system pemerintahan yang sesuai pada masa sekarang jika merujuk kepada Islam adalah Syura, yang mana hal tersebut mempunyai persamaan dengan sistem pemerintahan saat ini, yaitu demokrasi, parlemen, republic dan lain sebagainya.
      Oleh karena itu, upaya rekontruksi pemahaman di perlukan untuk menjawab berbagai persoalan tersebut. Di samping untuk meluruskan pemahaman atas sejarah tersebut, hal tersebut berguna untuk membangun sebuah peradaban yang tidak ahistoris, sehingga apa yang di kerjakan oleh umat muslim sekarang adalah sebuah proyek yang belum terselesaikan di masa lampau.
     




B.     KERANGKA TEORI

Sejarah secara harfiah berasal dari kata syajarah (Arab), Istoria (Yunani), Histore (Prancis), Geschicte (Jerman), Histoire atau Geschiedenis (Belanda) dan History (Inggris). Sedangkan arti sejarah yang populer adalah pengetahuan tentang gejala alam, khususnya manusia yang bersifat kronologis.[1]
Peradaban meski mengalami sedikit kesalahan pengertiannya dalam bahasa Indonesia, namun yang di maksud dengan peradaban secara luas adalah suatu kondisi masyarakat yang sudah berkembang dan maju dengan melihat gejala-gejala lahir yang nampak.[2]
Khalifah, secara umum di artikan sebagai pengganti dan penerus tugas-tugas Muhammad saw dalam keagamaan dan pemerintahan. Akan tetapi, makna khalifah mengalami pergeseran, baik dari sisi historis, teologis maupun sosiologis politis.[3]
     
C.    PEMBAHASAN
1.      Kepercayaan

Nabi Muhammad saw yang di utus kepada Bangsa Arab Jahiliyyah tidak lain untuk meluruskan kepercayaan atau keyakinannya, sehingga tak dapat di sangsikan lagi ketika Muhammad saw wafat, problem yang di hadapi oleh penerusnya (khalifah) adalah kemunculan orang-orang murtad dan Nabi palsu. Problem tersebut, meski tidak menafikan permasalahan-permasalahan lainnya, sekilas menunjukkan ketidakberhasilan dakwah Muhammad saw dalam meluruskan keyakinan dan kepercayaan Bangsa Arab. Oleh karena itu, Abu Bakar al-Shiddiq, Khalifah pertama melihat permasalahan tersebut adalah permasalahan fundamental yang harus segera di selesaikan secepat mungkin.
“seraya bersumpah dengan tegas ia menyatakan akan memerangi semua golongan yang menyimpang dari kebenaran (orang-orang murtad, tidak mau membayar zakat dan mengaku diri sebagai nabi), sehingga semuanya kembali ke jalan yang benar atau harus gugur sebagai syahid dalam memperjuangkan kemuliaan agama Allah”[4]   

            Tidak di ragukan lagi, sikap tegas Abu Bakar tersebut adalah sebuah cerminan atas krusialnya permasalahan yang di hadapinya,[5] akan tetapi, sikap tegas tersebut bukanlah senjata utama Abu Bakar untuk menghadapi kelompok-kelompok pembangkang. Sebelum terlaksanya perintah memerangi kelompok pemberontak, jalan pertama yang di lakukan oleh Abu Bakar adalah bersifat diplomatis, yaitu mengirim surat kepada kelompok-kelompok pemberontak untuk di ajak kembali ke jalan yang benar, namun mereka mengindahkan seruan tersebut.
            Al-Suyuthi mengatakan bahwasannya ada persyaratan yang di tetapkan oleh Abu Bakar kepada kelompok atau orang berhak di perangi, yaitu mereka tidak mengucapkan syahadat, meninggalkan shalat, tidak membayar zakat, meninggalkan puasa dan tidak menunaikan haji.[6]
             Ketika seruan tidak di hiraukan, memerangi kaum murtad pun tidak terhindarkan. Tercatat dalam sejarah, sepanjang kepemimpinannya yang singkat, Abu Bakar berhasil meredakan kaum murtad Bahrain, Nabi palsu Musailmah, Nabi palsu Laqit ibn Malik al-Azadi di Oman, kelompok murtad keluarga Kindah dan Nabi palsu Kais ibn Abdi Yagust di Yaman. Kelompok-kelompok tersebut meyakini bahwasannya apa yang di lakukannya(kecuali mengaku nabi) adalah perbuatan wajar karena selama ini, perjanjian atau baiat hanya berlaku personal antara mereka dengan Muhammad saw.[7] 
            Selain sikap keagamaan tersebut yang menjadi penyebab adanya pembangkangan, keadaan politis juga mendukung adanya penyelewengan oleh umat muslim di luar arab, yaitu umat muslim menguasai jazirah arab masih sekitar tiga tahun terakhir sehingga apa yang gariskan oleh islam belum begitu mengakar dengan mereka. Oleh karena itu, memerangi mereka selain meluruskan kembali keyakinan mereka, eksistensi kekuasaan islam terhadap Arabia yang baru berdiri beberapa tahun terkahir juga menjadi permasalahan tersendiri untuk segera di selesaikan. Bagaimanapun, Muhammad saw di samping sebagai utusan dan Nabi Allah, beliau adalah seorang kepala Negara, sehingga kepolitikan yang telah di bangunnya harus tetap di tegakkan agar eksistensinya tetap di akui oleh khalayak umum.  
            Meskipun adanya kaum-kaum pembelot tersebut, namun sebagian umat muslim tidak di ragukan lagi kepercayaan dan keimanannya meski Muhammad saw telah tiada. Sebenarnya, ada gelombang pemudaran kepercayaan dan keyakinan tatkala berita wafatnya Muhammad saw tersebar ke seluruh pelosok, namun hal tersebut dapat di tangkap oleh Abu Bakar dan di padamkannya sekita itu juga dengan pidatonya sebagai berikut.

“hai kaum muslimin. Barang siapa menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa beliau telah wafat. Tetapi barang siapa menyembah Allah, Dia Maha Hidup dan tidak pernah mati” Abu bakar juga menyitir sebuah ayat al-Quran: “Muhammad itu tidak lain adalah seorang Rasul, telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh, kalian akan berbalik?”[8]

            Pidato Abu bakar tersebut memperlihatkan bahwasannya sebagian muslim telah terjerembab pada kesalahan seperti yang di lakukan oleh umat kristiani kepada Nabi Isa a.s, yaitu menuhankan Muhammad saw. Maka apresiasi tinggi seharusnya di berikan kepada Abu Bakar karena dengan kecerdasannya yang berhasil menangkap gejala-gejala tersebut dan berhasil memadamkannya. Di sisi lain, pidato tersebut menunjukkan atas kualitas keimanan personal Abu Bakar yang tidak bisa di ragukan lagi.
             Selanjutnya, permasalahan teologi dalam masa khulafa’ al-rasyidin yang masih mengakar sampai sekarang adalah konsep khalifah tersebut. Pertentangan tersebut tidak lain adalah khilafah adalah sebuah pemimpin spiritual atau tidak. Untuk menjawab permasalahan tersebut, pemahaman atas sejarah khulafa’ al-rasyidin adalah suatu hal yang urgen. Dengan memahami historisasinya maka akan mengetahui sebenarnya cakupan konsep tersebut.
Pandangan Abu Bakar sendiri ketika di baiat menjadi khalifah pertama menyatakan bahwasannya pengangkatannya hanya sebatas kenegaraan, sedangkan permasalahan keagamaan hanya sebatas pada ajaran-ajaran Muhammad saw, dalam artian tidak bersifat spiritual kepemimpinannya.  Abu Bakar dengan tegas menyatakan bahwasannya dengan wafatnya Muhammad saw maka berakhir pula kerisalahan Allah dan dia tidak mungkin menjadi penerus Nabi dalam hal religiusitas umat muslim. Bagaimana dengan memerangi kelompok penyeleweng yang di bawah kekuasaan Abu Bakar?. Tindakan Abu Bakar tersebut tidak lain adalah menghindarkan perpecahan dalam umat muslim itu sendiri, bukan adanya legalitas religious terhadap Abu Bakar.[9] Begitu pula dengan penunjukan Umar ibn Khattab sebagai pengganti Abu Bakar lebih kepada kewenangan sebagai kepala Negara.

“rupanya masa dua tahun bagi khalifah Abu Bakar  belumlah cukup untuk menjamin stabilitas keamanan terkendali, maka penunjukan ini di maskudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam”[10]
            Pengangkatan khalifah Utsman ibn Affan meski memiliki mekanisme baru dengan adanya tim formatur yang di bentuk oleh Umar;Ali, Ustman, Sa’ad ibn Waqash, Abd al-Rahman ibn Auf, Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah, namun hal tersebut menunjukkan bahwasannya kekhalifahan bukanlah sebuah pimpinan religiousitas umat muslim, kekhalifahan di sini di pertegas hanya sebuah hubungan pemimpin negara dan rakyat.[11]  Utsman setelah di angkat menjadi khalifah berjanji akan mengikuti apa yang telah di lakukan pendahulunya dan mengikuti al-Quran dan Sunnah. Di samping itu, dalam pidatonya Utsman juga mengakui dirinya adalah bukan orang sempurna, banyak kekurangan.[12] Tidak jauh berbeda dengan khalifah sebelum-sebelumnya, Ali ibn Thalib ketika di angkat menjadi khalifah keemapat tetap berpedoman kepada Allah dan kemaslahatan umat Islam berdasarkan ajaran sunnah.[13]
            Konsep khalifah yang dikonsepkan oleh khulafa’ al-rasyidin di atas adalah konsep khilafah antar manusia, hal tersebut berbeda ketika khilafah antara manusia dengan Allah. Konsep khilafah yang di tetapkan oleh manusia terdapat adanya hak memilih dan berdasarkan pilihan, sedangkan konsepsi khilafah rasul terjadi melalui kehendak Allah.[14] Oleh karena itu, secara historisasi khulafa’ al-rasyidin, konsep khalifah sesungguhnya adalah sebuah gelar bagi penerus atau pengganti nabi untuk menstabilkan keadaan umat Islam, meneruskan perjuangan Muhammad saw dalam sisi kenegaraan karena apapun yang di lakukan oleh keempat khalifah tersebut berdasarkan ajaran-ajaran atau sunnah Muhammad saw.

“pewarisan misi Muhammad (khilafah) berarti pewarisan kedaulatan negara. Sedangkan peran Muhammad sebagai nabi, sebagai penerima wahyu, sebagai rasul Allah tidak tergantikan. Dari sisi keagamaan, seseorang khalifah hanyalah seorang pemelihara iman yang bertugas mempertahankan keimanan. Peran itu serupa dengan peran yang di klaim raja-raja Eropa. Seorang khalifah berkewajiban untuk menghilangkan bidah, memerangi orang-orang kafir dan memperluas wilayah. Semua kewajiban itu dilaksanakan dalam kapasitasnya sebagai penguasa dunia”[15]
           

2.      Pengetahuan

Pada jaman Jahiliyyah, kaum Qurays baru memiliki 7 orang pandai baca tulis dan penduduk Yastrib memiliki 17 orang pandai baca tulis. Oleh karena, tidak mengherankan pada masa tersebut bangsa arab jahiliyyah sangat miskin pengetahuan.[16] Islam hadir mengubah keadaan tersebut. Firman Allah pertama turun kepada Muhammad saw, bacalah, menjadi titik tolak perubahan dan perkembangan Qurays dan penduduk Yastrib selanjutnya. Di masa Rasulullah saw hidup, lahir beberapa orang genius, seperti Umar ibn Khattab, Ali ibn Abi Thalib, Zaid ibn Tsabit, Ibn Mas’ud, Ibn Umar, Ibn Abbas dan Aisyah. Terlahirnya orang pandai pada masa Muhammad saw membantu perkembangan peradaban pada masa khulafa’ al-rasyidin, karena bagaimanapun, kemajuan yang di capai oleh khulafa’ al-rasyidin tidak terlepas dari ikut andilnya peran mereka.
Langkah gemilang dan tidak terlupakan oleh semua orang yang di tempuh oleh khulafa’ al-rasyidin adalah pembukuan al-Quran. Peperangan untuk membasmi para pemurtad agama yang di canangkan oleh Abu Bakar harus di bayar mahal umat muslim dengan syahidnya beberapa qurra dan penghafal quran. Terlepas dari historisasi kodifikasi al-Quran dan kontroversi yang menyertainya, ide yang di cetuskan oleh Umar ibn Khattab melalui khalifah Abu Bakar adalah sebuah ide cemerlang, karena sebelumnya al-Quran hanya di hafal oleh para sahabat, jikapun ada sahabat yang menulis dapat di pastikan itu terbatas pada selembaran dan tidak mencakup semua al-Quran. Beberapa kemajuan seputar kodifikasi al-Quran tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut.
a.       Menjaga keutuhan al-Quran dan mengumpulkannya dalam bentuk mushaf
b.      Pemberlakuan mushaf standar pada masa Utsman ibn Affan
c.       Keseriusan mencari serta menyebarkan keilmuan, terutama penyebaran mushaf beserta para qari
d.      Adanya ketertarikan umat lain untuk mempelajari Islam[17]
 Selain kodifikasi al-Quran sebagai kemajuan peradaban yang tercapai pada masa khulafa’ al-rasyidin, di berlakukannya ijtihad oleh khalifah Umar adalah sebuah sisi lain dari kemajuan peradaban. Sebenarnya, kodifikasi  al-Quran adalah manifestasi dari di bukanya pintu ijtihad karean sebelumnya Muhammad saw sendiri tidak melakukannya. Namun, yang di maksud dari peradaban dari sisi di bukanya ijtihad di atas adalah beberapa keputusan yang di ambil oleh Umar ibn Affan. Di antaranya adalah
a.  Tidak melaksanakan hukum potong tangan terhadap pencuri yang terpaksa mencuri demi membebaskan dirinya dari kelaparan
b.      Menghapuskan bagian zakat bagi para muallaf
c.       Menghapuskan hukum mut’ah[18]
d.      Mengawini ahli kitab
e.       Cerai tiga kali yang di ucapkan sekaligus.[19]
Selain masalah-masalah di atas, shalat tarawih berjamaah juga mulai di berlakukan. Terlepas dari kontroversi yang muncul dari sikap Umar tersebut, namun tindakan Umar adalah sebuah tindakan yang menunjukkan Islam bukanlah agama kaku dan stagnan. Sikap terbuka seperti itu sehingga Islam dapat di terima di seluruh pelosok negeri yang di taklukan, karena dalam periode khulafa’ al-rasyidin, perluasan wilayah sangat gencar-gencarnya dan terbilang sangat sukses.

3.      Kelembagaan

Sebagaimana yang telah di jelaskan di atas, konsep khilafah pada masa khulafa’ al-rasyidin lebih ke dalam kenegaraan, maka sejalan dengan konsepsi tersebut, terbentuklah beberapa lembaga kenegaraan di masa khulafa’ al-rasyidin. Adapun lembaga-lembaga tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Organisasi politik
Dalam aspek ini, beberapa lembaga telah di bentuk, antara lain al-wizaraat dan al-kitabaat. Istilah pertama di tunjukkan untuk orang-orang yang terlibat mengurusi negara, dalam konteks sekarang adalah menteri. Istilah kedua adalah orang-orang yang membantu dalam bidang menjelaskan urusan-urusan penting negara, dalam konteks sekarang adalah sekretaris negara
b.      Administrasi negara
Organisasi bidang ini terbilang masih cukup sederhana, karena bertugas membentuk propinsi-propinsi beserta gubernurnya, mengurusi masalah pos dengan kuda sebagai kendaraan dan membentuk kepolisian sebagai pengamanan negara
c.       Peradilan
Khalifah mengangkat hakim-hakim di tiap wilayah untuk mengatasi problematik hukum yang muncul, baik masalah pengadilan, banding atau damai. Dalam mengangkat hakim, beliau menetapkan beberapa peraturan atau asas-asas hukum sebagai berikut.
1.      Kedudukan lembaga peradilan adalah sebuah kewajiban masyarakat negara
2.      Memahami kasus persoalan, baru memutuskannya
3.      Samakan pandangan kepada kedua belah pihak dan berlaku adil
4.      Kewajiban pembuktian bagi penggugat dan tergugat
5.      Lembaga damai, dalam artian jalan damai di benarkan jika tidak mengharamkan perkara halal atau sebaliknya
6.      Penundaan persidangan bagi orang yang memberitahukan alasan penundaannya, jika tidak maka keputusan sesuai dengan hak tergugat dan penggugat
7.      Kebenaran dan keadilan adalah masalah universal
8.      Kewajiban menggali hukum yang hidup dan melakukan penalaran logis
9.      Orang islam harus berlaku adil
10.  Larangan bersidang ketika sedang emosi[20]
d.      Bendahara negara
Manifestasi dari konsep adalah terbentuknya bait al-ma>llembaga ini bertugas untuk permasalahan keuangan negara, baik itu pengeluaran maupun pemasukan.   

e.       Pertahanan Keamanan
Lembaga yang berkonsentrasi mengatasi permasalahn tentara; susunan tentara, gaji tentara, persenjataan, pengadaan asrama, benteng-benteng pertahanan dan latihan militer.[21]


4.      Arsitektur

Beberapa kemajuan dalam bidang arsitektur adalah sebagai berikut.
a.       Perbaikan masjid-masjid.
Masjid al-haram di perluas pada masa Utsman ibn Affan, Masjid nabawi. Pada era Umar di perluas 35x30M, dan kemudian di perluas bagian selatan 5 m, barat 5 m dan utara 15 m. di samping perluasan, Umar juga membuat mihrab dan menambah pintu masuk menjadi 6 buah.  Di era Utsman masjid tersebut di perluas dan dinding di hiasi dengan berbagai ukiran.
b.      Pembangun kota-kota.
Selain memperbaiki masjid-masjid, pada era khulafa’ al-rasyidin, tepatnya Umar ibn Khattab, di lakukan gerakan membangun kota sebagai pusat pemerintahan. Di Irak, Basrah di bangun dengan arsitek Utbah ibn Gazwah dan Kufah di bangun dengan arsitek Salman al-Farisi. Di Mesir, Fusthath di bangun sebagai ibu kota propinsi.[22]

Di samping memperbaiki masjid-masjid dan membangun kota-kota, pembangunan daerah-daerah pemukiman, jembatan, jalan, wisma tamu, tempat persediaan air di Madinah, padang pasir dan ladang-ladang peternakan.[23] Dengan adanya kemajuan arsitektur tersebut, para khalifah tidak hanya memperhatikan masalah keagamaan, politik ataupun kekuasaan. Kemaslahatan public juga menjadi perhatian karena kemaslahatan public merupakan bentuk dari manifestasi kebudayaan sebuah masyarakat.





D.    KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas, penulis menyimpulkan beberapa beberapa poin sebagai berikut.
1.    Secara historis, konsep khilafah sebagaimana yang di terapkan oleh khulafa’ al-rasyidin adalan khalifah rasul, pengganti rasul, bukan khalifah Allah.
2.      Khalifah rasul berdimensi manusia, sehingga cakupannya adalah sebatas kenegaraan atau politik, tidak masuk ranah ketuhanan atau kenabian
3.      Khalifah di angkat atas dasar pilihan manusia dengan asas musyawarah
4.   Meski terdapat pembelotan oleh sebagian kelompok pasca wafatnya Muhammad saw, namun hal tersebut tidak menjadi sebuah indikasi kemunduran teologis bangsa Arab
5.     Beberapa kemajuan peradaban dapat di jumpai pada era tersebut. Seperti pembentukan departemen pemerintahan, pembangunan masjid dan kota-kota, serta kodifikasi al-Quran.
















[1] Dudung Abdurrahman, “Makna Sejarah dan Peradaban Islam” dalam Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam:Dari Klasik Hingga Modern (Yogyakarta:LESFI. 2004), hlm. 4

[2] Ibid, 8

[3] Pergeseran Historis, Abu Bakar, Usman dan Ali  yang menghendaki dengan gelar khalifah Rasul. Umar lebih memilih gelar khalifah khalifati rasulillah atau amirul mukminin. Secara teologis, Sunni melihat khilafah adalah pemimpin politik dari bentuk pemerintahan Islam dan menurut  Syia’ah adalah sebuah lembaga ketuhanan yang mengganti lembaga kenabian. Secara sosiologis politis, hal tersebut dapat di lacak ketika di bubarkannya system kekhalifahan oleh Musthafa Kemal Attatruk namun setelah peristiwa itu, banyak kelompok muslim yang berusaha untuk menghidupkan kembali namun hingga sampai sekarang belum ada yang berhasil.  Inayah Rochmaniyyah, “Imamah-Khilafah” dalam Nur Khalis Setiawan dan Djaka Soetapa,ed. Meniti Kalam Kerukunan:Beberapa Istilah Kunci Dalam Islam dan Kristen (Jakarta:BPK Gunung Mulia. 2010), hlm.111-124
[4] Ummi Kulstum, “Peradaban Islam Masa Khulafa’al-Rasyidin” dalam Siti Maryam, dkk, Sejarah…, hlm. 47

[5] Sikap tersebut juga di tunjukkan dalam perkataannya untuk memerangi kaum murtad kepada umar, “seandainya mereka menahan tali-kekang yang dulu biasa mereka bayarkan kepada Nabi, aku akan memeranginya demi tali itu”. Lih Barnaby Rogerson, Para Pewaris Muhammad, Ahmad Asnawi, terj. (Yogyakarta: Diglossia Media. 2006), hlm. 132

[6] Al-Syuyuthi, Tarikh Khulafa’, Samson Rahman, terj (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2005), hlm. 82

[7] Barnaby Rogerson, Para Pewaris…, hlm. 130

[8]Ibid, hlm. 116
[9] Ketegasan atas wilayah kepemimpinan seorang khalifah dapat di simpulkan dari pidatonya Abu Bakar ketika di angkat menjadi khalifah. “wahai manusia! Sesungguhnya saya telah dipilih untuk memimpin kalian dan bukanlah saya terbaik di antara kalian. Maka, jika saya melakukan hal yang baik, bantulah saya. Dan jika saya melakukan tindakan yang menyeleweng luruskanlah saya…..taatlah kalian kepadaku selama saya taat kepada Allah dan RasulNya dan jika saya melakukan maksiat kepada Allah dan RasuNya maka tidak ada kewajiban taat kalian kepadaku” lih. Al-Syuyuthi, Tarikh Khulafa’…, hlm. 75 

[10] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 98. lih juga Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin (Jakarta:Bulan Bintang. 1979), hlm. 138-139

[11] Adapun mekanisme pemilihan khalifah ketiga adalah sebagai berikut. Pertama, yang berhak menjadi khalifah adalah yang dipilih oleh anggota formatur dengan suara terbanyak. Kedua, apabila suara berimbang, Abdullah ibn Umar berhak menentukannya. Ketiga, apabila keputusan Abdullah ibn Umar  tidak di terima, maka orang yang di pilih Abd al-Rahman bin Auf menjadi khalifah. Keempat, bagi yang menentang keputusan Abd al-Rahman maka di bunuh. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia. 2008), hlm. 87

[12] Barnaby Rogerson, Para Pewaris…, hlm. 224

[13] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara:Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:UI Press. 1990), hlm. 29

[14] Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam I (Yogyakarta: LKiS. 2007), hlm 132

[15] Philip K. Hitti, History of Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2002), hlm. 230-231

[16] Musyarifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011), hlm. 13
[17] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban…, hlm. 114-115

[18] Ummi Kultsum, Peradaban Islam…, hlm. 50-51

[19] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam…, hlm. 26
[20] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban…, hlm. 83-84

[21] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam…, hlm. 26-29. Lih Ummi Kultsum, Peradaban Islam…, hlm. 49-50. Lih juga Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban…, hlm. 73, 82 
[22] Ummi Kultsum, Sejarah Peradaban…, hlm. 62-63

[23] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban…, hlm. 92-93