Kamis, 24 November 2011

Korupsi Prespektif Islam



Pendahuluan
Korupsi[1] adalah penyakit akut yang mewabah di departemen pemerintahan Indonesia belakangan ini, sampai pada Tahun 2005 menurut data political economic and risk consultancy Indonesia menempati urutan pertama sebagai Negara terkorup di Asia. Masalah tersebut semakin menenggelamkan Islam sebagai agama yang di anut oleh sebagian besar penduduk Indonesia, itu di sebabkan sebagian para koruptor adalah muslim.
Kita tahu dalam Islam, ada ayat-ayat Al-Quran yang menerangkan hukuman bagi para pencuri, berbuat curang, penyogokan dan lain sebagainya. Dengan penduduk yang mayoritas muslim dan kitab suci yang mengatur kehidupan umat ini maka sepantasnya kita mengetahui keberadaan kitab Al-Quran dalam memerangi persoalan yang sedang menyelimuti masyarakat ini.

Pembahasan
1.     ayat-ayat Al-Qur’an
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui”. (Al-Baqarah:188)
                Asbab al Nuzul ayat di atas sebagaimana yang terdapat dalam kitab Tafsir Ibn Katsi1r adalah[2]:
قال علي ابن أبي طلحة، وعن ابن عباس: هذا في الرجل يكون عليه مال، وليس عليه فيه بَيِّنة، فيجحد المال ويخاصم إلى الحكام، وهو يعرف أن الحق عليه، وهو يعلم أنه آثم آكل حرامٍ.
            Melihat hal diatas, Surat Al-Baqarah: 188 merespon peristiwa yang terjadi dalam masyarakat arab(bisa di persempit dengan kejadian yang ada pada waktu itu). Yaitu seorang pemuda pemilik harta yang tidak mempunyai saksi untuk melegalkan kepemilikannya, kemudian sang pemuda membawa permasalahan tersebut kepada hakim guna melegalkannya namun dia mengetahui bahwa harta tersebut bukanlah miliknya dan perbuatannya adalah haram.
            Tafsiran Al-Baqarah : 188 menurut kitab Tafsir Al-Qaththan adalah:
يقصد الله تعالى ان لا يأكل بعضكم مال بعض بالباطل ، فجعل تعالى اكْل المرء مالَ أخيه بالباطل كأكل مال نفسه بالباطل ، وكثيرا ما يرد في القرآن هذا التعبير حتى يشعرنا الله بأن الناس كلهم اخوان..................... وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الحكام } : تلقوا بأموالكم الى الحكام ليُحكَم لكم بما حرام وتنتزعوا مال اخوانكم بشهادة باطلة أو بينة كاذبة ، أو رشوة خبيثة ، وأنتم تعلمون ان هذا ليس بمالكم ، وأنكم انما ترتكبون معصية بشعة .
ويدخل تحت قوله تعالى « بالباطل » كل كسب حرام[3] .

            Dalam Tafsir Al-Qaththan dijelaskan, tujuan ayat diatas adalah larangan bagi umat manusia makan harta orang lain dengan jalan batil, perbuatan tersebut disamakan dengan memakan hartanya sendiri dengan batil, semua cara yang di haramkan. Dalam kitab Tafsir Al-Maraghi bathil ditafsirkan dengan mengambil atau menguasai dengan cara tanpa imbalan sesuatu yang hakiki.[4]
            Sebuah contoh perbuatan bathil adalah melegalkan kepemilikan harta kepada hakim dengan sumpah palsu, saksi pembohong, dan suap. Yang menjadi titk tekan dalam surat Al-Baqarah diatas adalah penguasaan harta/pelegalan kepemilikan harta yang sejatinya ia  mengetahui harta tersebut bukanlah miliknya serta pelegalan dengan cara-cara yang kotor.   

 ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.(An-Nisa’:58)
Asbab al-Nuzul ayat diatas adalah permintaan Nabi akan kunci ka’bah yang berkeinginan ubuk masuk ka’bah, kunci tersebut dipegang oleh Usmant bin Thalhah. Peristiwa ini terjadi setelah perang tabuk.[5]
Dalam kitab Tafsir Al-Maraghi dijelaskan bahwa amanah terbagi dalam tiga bentuk, yakni amanah al-‘abdi ma’a rabbi, amanah al-abdi ma’a al-nas dan amanah al-insan ma’a nafsihi. Dalam kaitannya dengan tema korupsi, maka amanah yang menjadi pembahasan adalah amanah al-abdi ma’a al-nas, amanah yang diperoleh seorang hamba dari manusia lainnya. Amanah menjadi jaminan terpeliharanya keselamatan hubungan social kemasyarakatan dan kenegaraan.
Amanat  dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan  yang  dituntut  ini bukan  hanya  terhadap  kelompok,  golongan,  atau kaum Muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh  makhluk. Ayat-ayat  Al-Quran yang menyangkut hal ini amat banyak, salah satu di antaranya berupa teguran kepada Nabi Saw. yang  hampir saja   menyalahkan  seorang  Yahudi  karena  terpengaruh  oleh pembelaan keluarga seorang pencuri.
Dan janganlah kamu menjadi penentang orang-orang yang tidak bersalah karena (membela) orang-orang yang  khianat (QS Al-Nisa' [4]: 105).
2.      Gambaran Umum
Korupsi corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok), menurut transparency Internasional adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sbb:
  • penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
  • memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
  • merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
  • memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
  • penggelapan dalam jabatan;
  • pemerasan dalam jabatan;
  • ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
  • menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Korupsi menurut prespektif hukum komisi pemberantas korupsi(KPK)[6] adalah suatu perbuatan yang tercakup dalam 13 buah pasal dalam UU No 31 Tahun 1999 jo.UU No 20 Tahun 2001. 13 buah pasal tersebut merumuskan 30 bentuk /jenis tindak pidana korupsi yang bisa di kelompokkansebagai berikut:
1.      kerugian keuangan Negara
- pasal 2 dan 3
2.      suap-menyuap
- pasal 5, pasal 12 huruf a-b-c-d, pasal 6, pasal 11 dan pasal 13.
3.      penggelapan dalam jabatan
- pasal 8, 9 dan 10
4.      pemerasan
- pasal 12 e-g-f.
5.      perbuatan curang
- pasal 7 dan pasal 12 h.
6.      benturan kepentingan dalam pengadaan
- pasal 12 i.
7.      gratifikasi
- pasal 12B jo. Dan pasal 12 c.

Analisa
Korupsi dalam gambaran umum (secara empiris juga demikian, semisal para mahasiswa hukum ditanya tentang apa itu korupsi, mereka tidak sanggup mendefinisikan korupsi secara gamblang, mereka hanya bisa memberikan gambaran perbuatan yang tergolong korupsi) diatas sangatlah luas pengertiannya, tidak ada spesifikasi perbuatan itu sendiri, yang ada hanya sebuah perumpamaan atau gambaran dari sebuah peristiwa yang bisa dimasukkan pada ketegori korupsi. Jika kita melihat sejarah perundang-undangan tentang korupsi, perumusan tentang perbuatan mengalami perubahan dan perbaikan, undang-undang tentang korupsi pertama kali adalah No 24 Tahun 1960 kemudian berangsur mengalami perubahan: No 3 Tahun 1971,  No 31 Tahun 1999, No 20 Tahun2001 dan yang terakhir adalah Undang-Undang No 30 Tahun 2002.
Dengan demikian, korupsi memang penyakit masyarakat yang akut serta telah merasuki jiwa para pemimpin Bangsa ini, meluasnya kejahatan korupsi telah terjadi sejak orde lama sampai sekarang sehingga perubahan KUHP/ peraturan korupsi selalu dirubah guna menjunakkan penyakit tersebut. Salah satu perbuatan yang tergolong korupsi adalah suap.
Menurut Ibnu Abidin: Suap adalah sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainya supaya orang itu memutuskan sesuatu hal yang memihak kepadanya atau agar ia memperoleh keinginanya[7]. Sedangkan suap menurut perundang-undangan Negara adalah semua kegiatan atau peristiwa kejadian yang tercakup dalam pasal 5, pasal 12 huruf a-b-c-d, pasal 6, pasal 11 dan pasal 13. Salah satu rumusan suap tergolong korupsi pada pasal 12 huruf a UU No 20 Tahun 2001[8], untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut pasal ini adalah:
a)   pegawai negeri atau penyelenggara Negara
b)   menerima hadiah atau janji
c)                  diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
d)                 patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 12 huruf a UU No 20 Tahun 2001 juga mengatur hukuman bagi yang terjerat yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 tahun atau paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 miliyar.
Allah berfirman  dalam surat Al-Baqarah:
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
Suap tergolong perbuatan yang bathil, MUI dalam menyikapi suap atau korupsi hanya mengambil sikap pengharaman tidak dalam wilayah hukuman atau pidana, MUI menyerahkan hukuman bagi koruptor kepada pemerintahan dan mengajak pemerintahan dan masyarakat memberantasnya. Ini berdasarkan sebuah riwayat Abu Huriarah yang menceritakan bahwasannya Rasul pada masalah ini tidak menyebutkan hukuman pidana yang melakukan penggelapan, sogokan atau korupsi. Hanya menceritakan hukuman di akhirat belaka.
Oleh karena itu, MUI menyerahkan hukumannya kepada ulil amri (pemerintah), yaitu ta’zir yang berat dan tindaknya hukuman berdasarkan ijtihad, yaitu peraturan perundang-undangan. Di sini memerlukan ketetapan ijtihad para ulama yang lebih menukik pada penegakan keadilan, yaitu kekayaan apapun milik negara yang diperuntukkan untuk kepentingan rakyat harus dipelihara dengan prinsip hifzh mal harus ditegakkan, maka hukuman yang keras harus ditegakkan agar menjerakan[9].
Pendapat diatas senafas dengan pendapatnya Duski Ibrahim yang menyatakan bahwa qishash jelas tidak bisa diberlakukan begitu juga hudud sekalipun pencurian termasuk tindak pidana korupsi namun melihat tindak korupsi dalam pasal hukum Negara bukan hanya sekedar melakukan pencurian tetapi lebih dari itu, yakni tindak penyelewengan  dan menyalahgunakan dana, sehingga merugikan Negara dan orang banyak. Oleh karena itu, sanksi hukum yang dapat dikenakan adalah ta’zir, yang mana dalam pelaksanaannya bisa melebihi hudud dan qishash sesuai dengan pertimbangan hakim.[10]
Jadi apa yang dirumuskan oleh undang-undang Negara ini sudah senafas dengan Al-Quran dan Hadis Nabi yang mana memberikan hukuman bagi koruptor sebatas hukuman ukhrawi, pidana pada pasal Pasal 12 huruf a UU No 20 Tahun 2001 oleh pemakalah sudah dianggap cukup dalam menyikapi hukuman pidana bagi koruptor, yang menjadi masalah sekarang adalah penerapan pidana tersebut yang perlu kita cermati. Persoalan di Indonesia, tampaknya bukan pada tataran hukum, tetapi pada tataran implementasi hukum itu sendiri, sehingga korupsi tidak bisa dihilangkan atau minimal ditekan. Nilai-nilai universal Alquran dan sunnah memang memberikan perspektif preventif terhadap pelaku kejahatan yang intinya ialah sebagai upaya memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara harta, dan memelihara akal, Islam bersifat lebih preventif dalam menentukan hukuman-hukuman bagi pelaku kejahatan.
Namun ada factor yang tidak kalah penting dalam pemberantasan korupsi selain implementasi hokum yaitu moral dan hati nurani yang antikorupsi,  factor ini sangat penting, baik tatkala implementasi hokum berjalan dengan baik ataupun tidak. Nabi bersabda:

الا وانّ الجسد مضغة اذا صلحت صلح الجسد كلّه واذا فسدت فسد الجسد كلّه الا وهي القلب(رواه البخاري و مسلم)

Sebuah factor yang sangat penting dalam menghadapi korupsi yang sudah menjadi budaya baru bagi pemimpin bangsa ini, karena sebaik-baiknya peraturan perundang-undangan sebuah Negara jika mental, moral serta hati nurani para pemimpin Negara ini adalah koruptor bisa dipastikan masalah ini tidak akan bisa diselesaikan meskipun ada seribu komisi pemberantas korupsi.

Penutup
Dari apa yang dipaparkan, kami dapat menyimpulkan apa yang dirumuskan oleh Undang-undang Negara tidaklah bertentangan, perumusan senafas dan bisa dikatakan juga melengkapi Al-Quran dan As-Sunnah. Sekarang yang menjadi tugas kita adalah memberantasnya dengan jalan mengawasi praktek hokum yang ada di Negara ini dan tidak lupa untuk menjaga mental, moral dan hati nurani antikorupsi.
Apapun itu bentuk korupsi wajib diberantas, jika tidak dengan perbuatan maka dengan lisan jika tidak dengan hati namun perlu diingat bahwasannya memberantas perbuatan mungkar dengan hati adalah selemah-lemahnya iman.

Daftar Pustaka
Al-Maraghi,Mustafa. Tafsir Al Maraghi. Edc Terj. Semarang:Toha Putra.1986

M.Abdurrahman.”wabah korupsi dan problematika hokum di Indonesia: prespektif islam dan hokum nasional” dalam  http://persis.or.id/?p=38 diakses pada tanggal 14 Maret 2009

 Ibrahim,Duski. “perumusan fikih antikorupsi” dalam “korupsi, hukum dan moralitas Agama:mewacanakan fikih antikorupsi”. Edt Suyitno.Yogyakarta:Gama Media.2006

http://www.hudzaifah.org/Article432.phtml diakses tanggal 14 Maret 2009
------------”memahami untuk membasmi:buku saku untuk memahami tindak pidana korupsi.”. Jakarta:KPK.2006

Shaleh dkk. “asbab al nuzul” Bandung:Diponegoro.2007
Tafsir Al-Qathan Juz I hlm 103 dalam software Maktabah Syamilah
Tafsir Ibn Katsir. Juz 1 hlm 521 dalam software Maktabah Syamilah



[1] Disusun oleh M.Achwan Baharuddin, guna memenuhi tugas Tafsir Ahkam yang diampu oleh Dr. Ahmad Baidlawi.S,Ag.M,Si dipresentasikan  pada tanggal 16 maret 2009
[2] Tafsir Ibn Katsir. Juz 1 hlm 521 dalam software Maktabah Syamilah
[3] Tafsir Al-Qathan Juz I hlm 103 dalam software Maktabah Syamilah
[4] Mustafa Al-Maraghi. Tafsir Al Maraghi. Edc Terj. (Semarang:Toha Putra.1986) Juz II hlm 150
[5] Shaleh dkk. “asbab al nuzul” (Bandung:Diponegoro.2007) hlm 144
[6] ---------”memahami untuk membasmi:buku saku untuk memahami tindak pidana korupsi.”. ( Jakarta:KPK.2006) hlm 19
[7] http://www.hudzaifah.org/Article432.phtml
[8] Rumusan korupsi pada pasal 12 huruf a UU No 20 Tahun 2001 berasal dari pasal 419 angka 1 KUHP yang dirujuk dalam pasal 1 ayat (1) huruf c UU No 3 Tahun 1971 dan pasal 12 UU No 31 Tahun 1999.
[9] M.Abdurrahman.”wabah korupsi dan problematika hokum di Indonesia: prespektif islam dan hokum nasional” dalam  http://persis.or.id/?p=38
[10] Duski Ibrahim. “perumusan fikih antikorupsi” dalam “korupsi, hukum dan moralitas Agama:mewacanakan fikih antikorupsi”. Edt Suyitno.(Yogyakarta:Gama Media.2006) hlm 139

Rabu, 12 Oktober 2011

Epistemologi Irfani


EPISTEMOLOGI IRFANI
 Oleh: M. Achwan Baharuddin 

Landasan bagi Filsafat Ilmu telah diletakkan oleh Francis Bacon pada abad ke-16. Namun, perbincangan mengenai filsafat ilmu baru merebak pada abad ke 20. Perhatian yang besar terhadap filasafat ilmu mulai mengedepan tatkala ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan terlepas dari asumsi-asumsi dasar filosofisnya, seperti landasan antologis, epistemologis dan aksiologis. Filsafat ilmu hadir sebagai upaya untuk meletakkan kembali peran dan fungsi pengetahuan dan teknologi.
Epistemology, adalah salah satu landasan yang ditempuh untuk mengembalikan peran dan fungsi tersebut. Bagian-bagian dari epistemology adalah Empirisme, Rasionalisme, Positivisme dan Intuisionisme. Sedangkan dalam sudut pandang Islam, bagian-bagian epistemology adalah Burhani, Irfani dan Bayani.
    
A.    Pengertian

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lazim dikenal dengan epistemologis. Epistemologi secara kebahasaan berasal dari term Yunani [Greek], episteme yang sepadan dengan term knowledge: logos: dan account[1].
Epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistimologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan. Secara umum epistimologi dalam Islam memiliki tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani, dan burhani.
Secara garis besar, epistemology bayani adalah pengetahuan bersumberkan pada teks-teks keagamaan, sedangkan epistemology burhani adalah pengetahuan bersumberkan pada rasio(akal)[2].

Epistemology irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak [irodah]. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf dan syuhud.
Kasyf atau mukasyafah salah satu tangga menuju pengetahuan tentang Tuhan dan dalam Tuhan, suatu pengetahuan yang hakikiah. Mukayafah adalah upaya penyingkapan hijab-hijab diri.[3]
Epistemologi ini benar-benar sulit dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa diverifikasi dan didemonstrasikan. Epistemologi ini lebih mengandalkan pada rasa individual, daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang definite.

B.     Kedudukan 
Henri Bergson (1859), seorang tokoh epistemology Intuisionisme menganggap tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek-objek yang kita tangkap itu adalah objek yang selalu berubah, jadi pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal tersebut, Bergson mengembangkan satu kemampuan yang dimilki oleh manusia, yaitu intuisi[4].  Dengan intusi, Bergson mencoba untuk menemukan atau proses pengetahuan yang tidak bisa dilakukan oleh panca indera dan akal.
Penyingkapan-penyingkapan irfani memberikan ungkapan dan pandangan khusus kepada lisan dan mata seorang arif tentang keberadaan dan kosmos eksistensi. Ungkapan dan pandangan ini merupakan hasil dari pengalaman esoterik dan temuan-temuan irfani. Dan ketika terkait dalam batasan teori dan penalaran (reasoning) ia berada dalam ruang-lingkup irfan teoritis, dua hal yang harus tuntas dalam pembahasan epistemologi irfani.
Dalam Irfan praktis, amal dan olah-batin merupakan starting-point dan jalan thariqat menuju hakikat. Dengan meniti jalan sair suluk di penghujung seorang salik akan hinggap pada mukasyafah atas nama-nama atau dzati. Dengan demikian, kasyf (penyingkapan) dan syuhud (penyaksian) merupakan ujung jalan bagi seorang salik. Atas dasar ini, mukasyafah merupakan titik-henti (ending point) irfan praktis dan titik-mula (starting point) irfan teoritis.  Kasyf dan syuhud adalah media untuk mengakses alam meta-natural atau umumnya disebut sebagai meta-fisika.  
Ketiga kecenderungan epistemologis Islam di atas(bayani, irfani dan burhani), secara teologis mendapatkan justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal ini. Akan tetapi meski demikian tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkap tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi [ hati atau perasaan] terdalam.

"Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya".(Al-Baqarah: 242) 
"Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya".(Yusuf: 2)
"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya".(Asy-Syams:8)
"Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu".(Al-Ankabut:43)
Ayat-ayat Al-Quran diatas adalah sebagai bukti justifikasi ketiga epistemology yang cenderung ada, epistemology bayani, irfani serta burhani.
            Epistemology irfani dengan metode khasnya kasyf tidak bisa terlepas dengan pengetahuan yang bersumber pada intuisi terdalam, maka tidak heran jika kelompok yang mendalami epistemology irfani ini menjunjung tinggi intuisi, orang yang intuisinya tidak bersih atau terganggu maka dia dianggap sulit untuk memperoleh pengetahuan. Salah satu imam empat madzhab fiqh, Imam Syafii ketika mengalami “kebekuan pemikiran” yang menyebabkan dia tidak bisa menyerap ilmu yang diajarkan oleh gurunya: Syeh Waqi’,  salah satu saran gurunya adalah untuk meninggalkan maksiat, ilmu adalah cahaya ilahiyah, ilmu tidak akan bisa masuk kepada orang yang bermaksiat. Hal tersebut adalah salah contohnya permasalahan epistemology irfani.

C.    Metodologi
            Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani. Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan. Pada tahap persiapan, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, yaitu taubat, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang syubhat (wara’), tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia (zuhud), mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah SWT (faqir), sabar, tawakkal, dan ridla. Pada tahap penerimaan, jika telah mencapai tingkat tertentu, seseorang akan mendapat limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan. Sedangkan pada tahap pengungkapan, pengalaman mistik disampaikan kepada orang lain, baik lewat ucapan maupun tulisan. Masalahnya, karena pengetahuan yang didapat adalah sebuah pengalaman dimensi batin, terkadang sulit untuk menyampaikan pengetahuan itu. Epistemologi irfani yang lebih menekankan pada pengalaman langsung ini membuat otoritas akal tertepis karena lebih bersifat partisipatif[5].
Menurut Syahid Muthahhari, untuk sampai kepada tingkatan manusia sempurna para filosof berpegang pada argumen-argumen akal, akan tetapi para sufi memandang bahwa argumentasi akal berada pada tataran yang rendah, tidak mencukupi, dan bahkan terkadang melahirkan kesalahan, maka dari itu mereka begitu sangat menekankan unsur-unsur riyadah, mujahadah, pensucian jiwa, cinta, dan sair-suluk (menapaki jalan-jalan spiritual). Para urafa meletakkan akal dan indra-indra lahiriah sebagai alat untuk mengenal alam yang terendah (alam materi, alam mulk, alam kegelapan), sementara alam-alam lain yang bersifat metafisik (alam malakut dan alam cahaya) hanya dapat disingkap dengan cara intuisi, mukasyafah, musyahadah, dan pensucian hati. Walaupun pengetahuan rasional itu melahirkan bentuk-bentuk keyakinan tertentu akan tetapi sangatlah terbatas, sedangkan keyakinan dan makrifat yang dihadirkan oleh intuisi dan hati lebih sempurna, mendalam, dan bersifat abadi. Peran argumen-argumen akal dalam hal ini lebih pada penegasan terhadap dasar-dasar akidah dan asas-asas keagamaan bagi kalangan-kalangan awam[6]. 
Dalam mengakses alam meta-fisika, para sufi selain menjadikan intuisi sebagai sumber utama, mereka menjadikan Qur'an dan Hadis sebagai nara-sumber hayati.  Qur'an bagi para sufi tidak dipandang sebagai sekedar sebuah kitab biasa, namun ditilik sebagai firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Pamungkas Saw melalui Jibril. Qur'an bagi mereka adalah kehidupan itu sendiri dan mata-air cinta Ilahi yang tumpah-ruah dalam kehidupan para sufi. 
Tafsir irfani al-Qur'an, menurut Mulla Shadra, menjadi mungkin tatkala seorang mufassir (penafsir) telah melintasi tingkatan pencerapan indrawi menuju tingkatan yang lebih tinggi. Artinya dari tingkatan indrawi dan lahir al-Qur'an menuju tingkatan kedua mitsali dan aqli untuk mencapai hakikat. 
Mulla Shadra berpandangan bahwa dalam menafsirkan al-Qur'an terdapat dua tingkatan; tingkatan pertama yaitu tafsir lafzi dan kedua tafsir batin. Takwil lafzi berkutat dengan gramatika, sintaktis,  mungkin mirip dengan tafsir gramatikal dan sintaksisnya Schleirmacher. Tafsir lahir ini memberi stressing pada sisi elokuensi (balâghah) dan  bentuk sastranya[7]. 
Epistemology irfani menurut Festugiere adalah fisafat murni, filsafat yang hanya disibukkan dengan ma’rifatullah dalam bentuk yang lebih baik, dengan melakukan tafakkur, khusyu’ dan melakukan syariat-syariat suci. Filsafat murni, filsafat yang tidak memberi perhatian kecuali beragama dan beribadah, tidak layak terlibat dengan ilmu lain kecuali sekedar sebagai pengantar yang akan membawa kepada perenungan, penyucian dan mengambil berkah dari ciptaan Allah dan kekuasaanNya. Penyucian terhadap Allah dengan hati dan jiwa dengan melepaskan keduanya dari segala hal yang menyibukkan keduanya dan mengagungkan keindahan ciptaanNya dan senantiasa bersyukur dan memuji kehendakNya.[8]  
Disini, Festugiere juga menegaskan bahwa kunci dalam memahami epistemology irfani dengan metode kasyf dan syuhud adalah hati dan jiwa. Seperti halnya dalam masalah Imam syafii kunci dalam memeperoleh sebuah keilmuan dan pemecah kebuntuan pemikirannya adalah hati dan jiwa yang suci dengan cara meninggalkan kemaksiatan. 
Kecenderungan ini pertama kali muncul dalam wilayah filsafat itu sendiri, dengan adanya upaya membangkitkan dan memperbaharui Phytagoras. Filsafat neo-Phytagoras ini bukanlah filsafat dalam pengertian sekumpulan pemikiran yang serasi dan saling melengkapi di seputar persoalan Allah, alam dan manusia, tetapi sebuah system kependatan dengan kepatuhan buta terhadap apa yang ia katakan yang  menurutnya merupakan wahyu dan ilham, mengabaikan kepuasan dan kesenangan manusia dan hanya ingin tunduk kepadanya secara total.[9] 
Salah satu proses penyucian jiwa dan hati adalah mengabaikan kepuasan dan kesenangan dan tunduk kepadaNya secara total. Yang dimaksud adalah kepuasan dan kesenangan yang bersifat sementara, yaitu kesenangan dan kepuasan duniawi karena hal tersebut akan menghalangi manusia untuk tunduk kepadaNya. 
Sedangkan menurut litelatur Hermetik[10] tidak ada yang bisa menyelamatkan jiwa kecuali dengan ma’rifah. Ma’rifah bukan dalam artian  upaya memperoleh pengetahuan tetapi secara terus menerus bersungguh-sungguh berusaha menyucikan jiwa dan melepaskannya dari kungkungan materi dan selanjutnya menyatu dalam ketuhanan, bahkan melebur denganNya. 
Selanjutnya, Hermetik mengatakan segala sesuatu maujud yang abadi alam secara keseluruhan  dan segala wujud dalam dirinya mengandung unsure Allah dalam bentuk pemkiran dan makna. Jika tidak menjadikan diri setara dengan Allah maka tidak akan mengenalNya karena sesuatu tidak akan bias dikenal kecuali oleh yang serupa dengannya.[11] Dalam hal ini, Al-Hallaj serta Siti Jenar bisa dijadikan contoh. Dua tokoh yang terkenal dengan “tidak ada sesuatu di dalam diriq selain Allah” serta “manunggaling kawula gusti”. Mereka berhasil “menyetarakan” diri denganNya.
Oleh karena itu, epistemology irfani sangatlah rumit. Ketika ingin memperoleh pengetahuan maka metodenya adalah dengan kasyf dan syuhud. Kita tidak bisa langsung mengakses metode tersebut sebelum jiwa dan hati kita suci. Penyucian jiwa dan hati dilakukan dengan meninggalkan kepuasan dan kesenangan duniawi. Ini bisa dilakukan dengan latihan yang dalam dunia sufi dikenal dengan riyadlah.
  
Kesimpulan

Epistemology irfani adalah suatu proses pencarian kebenaran dengan berdasarkan intuisi serta hati. Akal serta teks-teks keagamaan hanyalah sebagai jembatan untuk memasukinya dan kebenaran yang diperoleh akal dan teks masih dibawah kedudukannya dengan kebenaran yang diperoleh dengan intusi serta hati. 
Epistemology irfani lebih mendalam pada umat islam berada pada dunia sufi atau Tasawwuf. Metode yang ada untuk memperoleh kebenaran irfani sangatlah kental dipraktekkan oleh kaum sufiSelanjutnya, bahwa dasar permasalahan epistemology irfani adalah intuisi dan hati maka secara  sadar intuisi dan hati penulis tidaklah sama dengan intuisi dan hati yang bisa memeperoleh kebenaran irfani.

[1] Hujair AH. Sanaky.”dinamika pemikran dalam islam” dalam   http://sanaky.staff.uii.ac.id/2009/02/05 /bahan-kuliah-dinamika-pemikiran-dalam-islam/
[2] Epistemology bayani dan burhani  dibahas pada kelompok lain.
[3] Ahmad Tafsir. “Filsafat Ilmu;mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi pengetahuan”. (Bandung:remajarosdakarya.2007) hlm 140
[4] Ahmad Tafsir. “filsafat umum;akal dan hati sejak thales sampai capra” (Bandung;Remaja Rosda karya.2001). hlm 26.
[5]Eka Mukti Arifah.” Penerapan Konsep Logika Sebagai Metode Berpikir Analitik Pada Epistemologi Burhani”
[7] A.Kamil. “Hermeneutik Irfani; Menembus Batas Eksoterik Teks” dalam http://telagahikmah.org/ina/index.php? option=com_content&task=view&id=52&Itemid=31
                               
[8] Muhammad Abed al-Jabiri. “formasi nalar arab;kritik tradisi menuju pembebasan dan pluralism wacana interreligious” terj Imam Khoiri. (Yogyakarta:IRCiSoD.2003) hlm 280
[9] Muhammad Abed al-Jabiri. “formasi nalar arab:…..”  hlm 281
[10] Istilah hermetic dalam pengertian filsafat keagamaan berarti mengacu kepada sejumlah buku dan risalah yang dinisbatkan kepada Hermes “al-mustallas bi al-hikmah” yang berbicara atas nama Tuhan  dan kadang dia sendiri sebagai Tuhan hingga risalah-risalah itu dipandang sebagai wahyu Tuhan. Selengkapnya lihat  M.Abed al-jabiri. “formasi nalar arab…..” hlm 290-307
[11] Muhammad Abed al-Jabiri. “formasi nalar arab….” Hlm 299

Rabu, 24 Agustus 2011

hadis-hadis analogi hari kebangkitan dengan musim semi



Islam adalah agama samawi terakhir yang lahir dimuka bumi ini, agama tersebut banyak membawa ajaran-ajaran untuk diimani oleh seluruh manusia sebagai objek dakwahnya. Salah satu ajarannya adalah hari kebangkitan. Namun banyak masyarakat yang menolak ajaran tersebut dikarenakan hal tersebut bersifat g}aib, tidak bisa diindrawi. Mereka menganggap hal itu adalah sebuah khayalan belaka.
Untuk membuktikan kebenaran hari kebangkitan dan menyanggah penolakan mereka, Islam memberikan bukti-bukti tersebut melaui  perantara lisan Nabi Muhammad Saw(Hadis), salah satunya adalah dengan menganalogikan hari kebangkitan dengan sesuatu yang kasat mata, yaitu kedatangan musim semi atau perubahan bumi subur dan indah menjadi gersang dan tandus. Seperti halnya hadis riwayat Imam Ahmad ibn Hanbal yang termuat dalam kitabnya, Musnad Ahmad ibn Hanbal.
Berangkat dari fakta tersebut, maka pokok penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: pertama, bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis yang membahas tentang analogi hari  kebangkitan dengan musim semi? kedua, Bagaimana makna yang terkandung dalam hadis tersebut dan implementasinya dalam kaitannya dengan realita kekinian?
Dalam penelitian ini, penulis melakukan studi ma’an al-h}adi>s yang coba dikembangkan oleh Musahadi Ham metodologinya kemudian di princi ke dalam ke dalam tiga tahap kerangka kerja, yaitu: kritik historis, kritik eidetis, dan kritik praksis dengan melewati tahap dokumentasi, klasifikasi dan restrukturasi data. Data yang ada selanjutnya di analisis dan dilakukan interpretasi sesuai dengan masing-masing sub-bab pembahasan.
Hasil kajian ini, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: pertama, dilihat dari sisi otentisitas hadis tersebut atau kualitas-kuantitas sanad maka hadis tersebut berstatus hadis sahih-ahad.
Kedua, secara tekstual, makna yang terkandung adalah menginformasikan hari kebangkitan, dimana makhluk telah mati semua akan di bangkitkan seperti kejadian tumbuhnya tumbuh-tumbuhan bersemi pada musim semi atau seperti halnya perubahan bumi yang gersang menjadi subur karena adanya kesamaan kandungan zat antara tubuh manusia dengan tumbuhan maupun bumi. Penyamaan tersebut wajar dilakukan oleh Nabi, mengingat kondisi tanah Arab berada di gurun gersang dan tandus sehingga penggambaran hari kebangkitan dengan peristiwa faktual pada musim semi lebih mempercepat Bangsa Arab untuk meyakini adanya hari kebangkitan. Secara historis, hadis tersebut adalah sebuah argumen Islam terhadap keingkaran manusia, terutama masyarakat Arab jahiliyyah terhadap hari kebangkitan. Secara universal, makna tersebut menunjukkan kebangkitan akan dialami oleh roh maupun raga dengan proses dan tahapan seperti peristiwa yang dialami oleh tumbuh-tumbuhan.    
  

Kamis, 26 Mei 2011

Studi kitab As-Sunnah mashdar li al-ma’rifah wa al-hadlarah Karya Dr. Yusuf Qardhawi



 oleh: M. Achwan Baharuddin
       A.     Pendahuluan
Al-Quran adalah sumber utama dan pertama dalam islam, sedangkan hadis-hadis Nabi adalah sumber kedua setelah al-Quran dalam islam. Melihat hal ini, hadis Nabi yang berasal dari tutur kata, prilaku maupun Nabi yang hidup pada beberapa abad lalu sudah bias dipastikan terpengaruh dengan situasi dan kondisi masa lalu sehingga membutuhakan sebuah pemahaman baru terhadap hadis-hadis Nabi, ini tidak terlepas dari al-Quran sebagai sumber pertama dan utama yang juga menuntut pemahaman yang sesuai dengan situasi dan kondisi jaman sekarang.
Banyak usaha-usaha yang dilakukan para sarjana muslim dalam menjaga keontetikan hadis-hadis Nabi, salah satu usaha tersebut seperti yang dilakukan oleh Yusuf Qardhawi. Dia berusaha memberikan metodologi pemahaman hadis-hadis Nabi melalui bukunya al-Madkhal ila sunnah. Sedangkan buku Sunnah mashdar li al-ma’rifah wa al-hadlarah adalah sebuah buku yang mengeksplorasi metode-metode tersebut sehingga menuntut pembaca untuk membacanya, terlebih bagi mahasiswa Tafsir-Hadis. Untuk lebih jauh mengenai isi dari Sunnah mashdar li al-ma’rifah wa al-hadlarah, lihat laman Studi Hadis.

STUDI KITAB IBANAH AL-AHKAM

Oleh: M. Achwan Baharuddin

A.     Pendahuluan
Sejarah telah membuktikan pada mata dunia bahwa kejayaan Islam itu dapat dilihat dari banyaknya karya-karya yang ditulis oleh ulama-ulama / intelektual-intelektual muslim. Mereka adalah pahlawan yang menegakkan sendi kejayaan Islam pada Abad Pertengahan.
Karya-karya tersebut masih banyak yang tetap langgeng sampai pada generasi sekarang. Dan diantara sekian dari karya-karya intelektual muslim itu adalah kitab Bulugh Al-Maram yang ditulis oleh ulama mutaakhkhirin Ibn Hajar Al-Asqolaniy (773 – 852 H). Karya tersebut mendapat banyak sambutan dari intelektual-intelektual sesudahnya. Diantara mereka juga banyak yang berusaha men-syarahi-nya. Salah satu ulama yang men-syarahi kitab tersebut adalah As-Sayyid ‘Alawiy Al-Malikiy (1328 – 1391 H) dengan kitabnya yang terkenal dengan nama Ibanah Al-Ahkam. Selanjutnya  
lihat laman Studi Hadis