Selain sebagai pemimpin umat islam, nabi juga menjadi seorang suami dari para istri-istrinya. Tentu kita sebagai umat islam tidak hanya mencontoh nabi dalam urusan ibadah saja, melainkan juga dalam hal berinteraksi sosial kita juga harus bisa meniru nabi, termasuk juga dalam berhubungan dengan istri. Dalam hubungan berkeluarga khususnya hubungan antara suami dan istri, nabi tentunya sudah memberikan banyak sekali suri tauladan yang sangat baik untuk ditiru atau diikuti. Selain memang untuk menghargai seorang wanita juga untuk memberi contoh kepada umatnya agar tidak sewenang-wenangnya terhadap seorang istri. Berikut adalah beberapa sikap atau akhlak nabi terhadap istri-istrinya:
A. Menghibur disaat istri sedang sedih
Nabi Muhammad merupakan suami yang sangat mengerti akan keadaan istrinya. Jika nabi menemui seorang istrinya sedang dalam keadaan bersedih, maka cepat-cepat nabi mengusap air mata yang menetes di pipinya serta menghiburnya sampai kesedihan itu diganti dengan senyuman.
Pernah suatu ketika nabi mendatangi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mendapati Shafiyyah dalam keadaan sedang menangis. Lalu beliau bertanya kepadanya, “apa yang membuatmu menangis?” Shafiyyah menjawab, “Hafshah (istri nabi yang lain) berkata bahwa aku anak orang yahudi.” Lalu beliau berkata, “katakanlah padanya suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa!”. Disitu terlihat bahwa nabi menyelesaikan masalah dan menghibur istri yang sedang bersedih lewat kata-kata sederhana namun sangat mengandung makna yang dalam.
B. Penuh kasih dan sayang
Sikap romantis terhadap istri merupakan suatu upaya untuk bisa menjaga keharmonisan agar cinta tetap terjaga dan tumbuh didalam hati. Nabi adalah seorang suami yang sangat meninggikan kedudukan atau derajat para istrinya dan sangat menghormati mereka.
Diceritakan nabi pernah menggendong mesra sayidah A’isyah ketika melihat orang-orang habsyi bermain-main di pelataran masjid. Nabi juga pernah mengajak A’isyah berlomba lari dan A’isyah mencuri kemenangan atas nabi. Nabi pun menyematkan panggilan kesayangan kepada A’isyah: “yaa humaira” duhai istriku yang pipinya kemerah-merahan.
C. Tidak membebani istri
Nabi senantiasa mengerjakan pekerjaannya sendiri. Nabi tidak pernah membebani istrinya dengan sesuatu yang bisa nabi kerjakan sendiri. Bahkan nabi menyulam sendiri pakaiannya yang robek. A’isyah pernah ditanya tentang apa yang dilakukan nabi di rumahnya? Ia menjawab, “beliau selalu melayani istrinya.”
Melibatkan istri dalam mengambil suatu putusan
Nabi kerapkali mencurahkan kepada istrinya terkait persoalan yang tengah dihadapinya, dengan bercerita kepada istrinya, nabi berharap akan mendapatkan solusi. Hal ini terlihat ketika nabi meminta pendapat Ummu Salamah saat perjanjian Hudaybiyah.
D. Tidak pernah menyakiti istri
Suatu ketika sayidah A’isyah berbicara dengan nada tinggi kepada nabi, sayyidina Abu Bakar yang saat itu sedang berada di kediaman nabi mendengar dan tidak rela kalua nabi diperlakukan seperti itu, meski oleh anaknya sendiri. Bahkan, sayyidina Abu Bakar berusaha untuk memukul A’isyah,. Tapi nabi buru-buru mencegahnya. Nabi tidak ingin istrinya tersakiti, meski oleh orang tuanya sendiri atau bahkan nabi sendiri.
Dari sikap-sikap tersebut, sebagai pengkaji hadis, adanya hadis-hadis yang menceritakannya, memandang kedudukan Nabi dalam hadis tsb sebagai Nabi, Rasul, Suami, Manusia biasa or manusia super?