oleh : Amelia Sholikhah
A.
Latar
Belakang
Manusia merupakan kajian sentral bagi dalam Barat
dewasa ini. Kajian mengenai yang ada atau eksistensialisme di barat bercorak
antroporsentrisme di mana manusia sebagai pusat kajiannya. Berbeda halnya
dengan tradisi Islam yang memusatkan perhatian atau mengkaji Yang Ada berpusat
kepada Tuhan, teosentrisme. Perbedaan corak atau kajian mendalam mengenai yang
ada disebut dalam tradisi filsafat sebagai pembahasan eksistensialisme. filsuf
Perancis yang bernama Jean-Paul Sartre (1905—1980) adalah filsuf
eksistensialis-ateis modern yang paling terkenal dan berpengaruh di Perancis
ataupun di dunia. Pengaruhnya, manifes ataupun laten, tetap eksis sampai
sekarang. Maka dari itu dalam pembahasan makalah ini saya ingin memaparkan
beberapa pemikiran dari jean paul sarte tentang eksistensialisme.
B.
Biografi
Jean Paul Sarte.
Jean-Paul
Sartre dilahirkan di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Keluarganya tergolong
borjuasi menengah. Ayahnya seorang penganut Katolik dan ibunya penganut
Protestan. Sartre kecil merupakan anak
yang ringkih dan sangat sensitif. Masa
sekolahnya merupakan pengalaman yang pahit sebab ia selalu mendapat cemooh
dari teman-temannya yang lebih tegap dan
kuat (Fuad hasan:1992. 151). Pada usia dua tahun, ayah Sartre
meninggal dunia dan ia akhirnya ikut sang kakek yang menganut Protestan. Oleh
sang kakek, Sartre dibesarkan dalam agama Katolik. Sewaktu kecil, Sartre masih mengakui Tuhan.
Sartre kecil yang berusia 10 tahun taat beribadah. Ia rajin ke Gereja dan
membaca kitab suci. Ia mengikuti jalur ibunya, seorang protestan yang taat pada
ajaran. Sekitar usia 11 tahun, Sartre mulai memunculkan pikiran kritisnya
tentang agama. Dalam benaknya, ia berpikir bahwa ia ingin mengawinkan Katolik
dan Protestan. Baginya, Katolik mempunyai semangat kepasrahan dan Protestan
mempunyai semangat kekritisan. Jika ia bisa mengawinkan keduanya, ia akan mempunyai jiwa beragama yang kuat. Ketaatan dan keteguhan Sartre kecil akhirnya
ditumbangkan oleh dirinya sendiri.Sewaktu Sartre berusia 12 tahun, ia ingin
ikut pesta di rumah temannya dan ia berdoa pada Tuhan agar dibelikan baju yang
baru oleh orang tuanya. Namun, doanya
tak kunjung dikabulkan. Ia tidak dibelikan baju baru oleh orang tuanya.
Karena itu, ia marah besar pada Tuhan sebab keinginannya tidak terpenuhi.
Padahal, ia sangat berharap pada Tuhan agar mengabulkan permintaannya. Sejak
itulah, secara perlahan ia mulai meninggalkan Tuhan. Meskipun ia
melakukan ibadah ke Gereja, hal itu dilakukan karena ia takut terhadap orang
tuanya, terutama sang ibu. Dalam hatinya, Tuhan mulai dihilangkan
jauh-jauh. Ia tidak ingin mempunyai
Tuhan lagi dan ia memutuskan untuk tidak beragama. Dalam keteralineasiannya
tersebut, Sartre mengungkapkan bahwa
agama baginya adalah sastra (Sarte:2002. 75-76).
Agama dalam Kerangka Pikir Sartre Muda
Konsep Etre (Ada), Etre-En-Soi
(Ada-Untuk-Diri), dan Etre-Pour-Soi (Ada-Bagi-Diri) Pada tahun 1924
Sartre muda masuk ke perguruan tinggi
yang paling bergengsi dan terkemuka di Perancis, École Normale Supérieure. Sekitar
tahun 1929 ia berhasil memperoleh Agregation
de Philosophie
(gelar untuk mengajar) sebagai juara pertama Pada masa ini, Sastre memunculkan
konsep Etre (Ada), Etre-En-Soi (Ada-Untuk-Diri), dan Etre-Pour-Soi (Ada-Bagi-Diri) (Bertens:2006. 89-90). Konsep Etre-En-Soi (Ada-Untuk-Diri) pada hakikatnya
berkait dengan ada-nya manusia di bumi. Ada tersebut merupakan ada dalam wadag. Semua makhluk di bumi pasti Ada. Ada
di sini bersifat tidak aktif-tidak pasif, tidak positif-tidak negatif. Konsep
ini berkait dengan hal/ikhwal. Konsep yang kedua, Etre-Pour-Soi
(Ada-Bagi-Diri) yakni merupakan Ada yang aktif. Manusia merupakan makhluk yang Etre-Pour-Soi (Ada-Bagi-Diri) sebab ia mampu melakukan
apa saja dengan kehendaknya. Berpijak pada Etre-En-Soi
(Ada-Untuk-Diri) dan Etre-Pour-Soi
(Ada-Bagi-Diri),Sartre mengemukakan bahwa manusia adalah bentuk eksistensi
mendahului esensi bukan esensi mendahului eksistensi. Sekadar contoh, pensil yang diciptakan oleh sangpenciptanya
mempunyai satu kegunaan yaitu untuk menulis.
Sang pencipta pensil tersebut sudah memikirkan kegunaan pensil tersebut
tatkala masih dalam pikirannya. Dengan demikian, pensil tersebut esensi
mendahului eksistensi. Jadi, sebelum pensil tersebut dimunculkan ke dunia, ia
sudah diformat bahwa kegunaannya adalah untuk menulis. Hal itu menandakan bahwa pensil hanya
mempunyai Etre-En-Soi
(Ada-UntukDiri).Berbeda halnya dengan pensil, manusia sebelum dilahirkan masih belum terformat apa
kegunaannya di dunia. Ketika ia dilahirkan, barulah manusia tersebut bergerak dan berpikir bebas-sebebas-bebasnya
sebab semua bergantung pada dirinyasendiri. Dengan demikian, manusia yang pandai, cerdas, dan kaya hal
tersebut karena manusia tersebut ingin menjadi manusia yang pandai, cerdas, dan kaya. Sebaliknya, manusia
yang bodoh dan miskin hal tersebut
karena manusia tersebut menginginkan menjadi manusia yang bodoh dan miskin.
Pemikiran
Sartre yang menandaskan bahwa manusia adalah sosok eksistensi mendahului esensi
pada akhirnya memunculkan ungkapan yang ekstrim dan radikal bahwa dengan
mematikan Tuhan maka manusia bisa menjadi manusia yang bebas absolut. Jika
Tuhan masih ada, manusia tidak akan pernah bebas secara absolut sebab selalu di
bawah bayang-bayang eksistensi Tuhan. Manusia adalah pencipta bagi dirinya
sendiri (causa sui). Karena itu,
hidupnya selalu dalam kebebasan dalam mencari jati diri. Kebebasan tersebut
dalam pandangan Sartre merupakan kebebasan yang berkesadaran. Dengan demikian,
kebebasan dalam pikiran Sartre tersebut merupakan kebebasan yang bertanggung jawab.
Karena itu, manusia yang beragama mau tidak mau tidak pernah bisa bebas
sebab mereka dibelenggu oleh aturan-aturan yang ada dalam agama tersebut. Pemikiran Sartre yang meniadakan Tuhan dan
mematikan Tuhan sebenarnya agak
terpengaruh oleh pemikir pendahulunya, F. Nietzsche, --eksistensialis ateis
dari Jerman-- yang menyatakan bahwa
Tuhan telah mati. Jika Tuhan telah mati maka manusia akan menjadi manusia yang
bebas menentukan jalan hidupnya.
Pernyataan Sartre ataupun
Nietzsche tersebut sempat mengundang banyak kontroversi --terutama di
kalangan kaum Kristiani-- sebab keduanya
banyak memarginalkan/menghina agama Kristen, baik secara implisit
ataupun eksplisit. Dalam kaitannya dengan ateisme --yang semakin menguat--
yang muncul dalampikiran Sastre, terdapat
tiga alasan. Pertama, Sastre banyak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir
ateis pendahulunya, misal Marx. Dalam pandangan Sastre, pemikiran Marx merupakan
pemikiran yang radikal sebab berkait
dengan pembebasan manusia proletarian
dari kungkungan manusia borjuasi (Sarte:2003.33-34).
Dalam konteks agama, marxisme beranggapan bahwa manusia pada akhirnya berupa
materi saja. Karenaitu, mereka tidak mengakui adanya Tuhan. Pemikiran Nietzsche memengaruhi Sastre dalam kaitannya dengan pernyataan bahwa Tuhan telah mati. Pemikiran
Martin Heiddeger memengaruhi Sartre dalam kaitannya dengan pernyataan bahwa
manusia meninggalkan Tuhan demi ilmu pengetahuan (Anas Ahmad:2009.39).
Adapun pemikiran Sigmund Freud
–psikolog-psikoanalisis dari Jerman—memengaruhi Sartre dalam kaitannya dengan pernyataan
bahwa orang yang ber-Tuhan adalah orang yang neurosis/psikosis.
Pemikir-pemikir ateis tersebut, ternyata
memengaruhi pemikiran Sastre secara langsung/tidak langsung.
Kedua, Sartre hidup pada
zaman perang dunia ke II. Pada masa ini, Sartre banyak menyaksikan orang-orang yang tidak bersalah terbunuh.
Peperangan terjadi di mana-mana, pemerkosaan, penjarahan, dan perusakan
merajalela. Bertolak dari fenomena perang
dunia II tersebut, Sartre berpandangan bahwa Tuhan tidak ada (Sarte:2002.100). Jika Tuhan ada,
tidak mungkin Tuhan membiarkan umatnya
yang tidak bersalah terbunuh atau bahkan membiarkan umatnya berperang.
Jika Tuhan ada, Tuhan akanturun tangan
dan menolong umatnya yang ada di muka bumi. Namun, kenyataannya, sudah
berjuta-juta orang terbunuh tetapi Tuhan tidak muncul/memberikan pertolongan kepada
umatnya. Bertolak dari fenomena tersebut, Sartre memunculkan pemikiran filosofisnya
melalui karya sastra dalam kaitannya dengan masalah kemanusia dan politik. Perpaduan antara filsafat dan sastra
tersebut ternyata semakin memperindah esensi karya yang diciptakan oleh Sartre (Sarte:2002.401). Ketiga, eksistensi manusia harus bebas. Karena itu,
nilai etisnya kebebasan berarti menghilangkan apa yang membelenggu kebebasan
tersebut. Kebebasan tersebut ditinjau
dari konteks kebebasan vertikal ataupun kebebasan horizontal (Sarte:2001.300). Dengan begitu, Tuhan
harus ditiadakan agar manusia bisa menjadi manusia yang bergerak sesuai dengan
keinginannya sendiri tanpa harus dikungkung oleh Tuhan. Bertolak dari kehidupan
yang bebas dan tidak berketuhanan tersebut, Sartre benar-benar
memanifestasikannya dalam kehidupan.Ketika Sartre dekat dengan Simon de Beauvoir, ia tidak ingin menikah dengan perempuan
tersebut. Jika Sartre menikah dengan perempuan tersebut, ia akan menjadi
manusia yang tidak bebas. Ia juga tidak
ingin dicap orang lain sebagai A atau sebagai B. Bahkan, karena prinsip
kebebasan yang absolut tersebut dia menyatakan bahwa ”orang lain adalah neraka
(hell is other people)” (Dagun:1990.90). Pemikiran Sartre
tersebut sebenarnya mengutip kesejarahan Adam turun ke bumi. Dalam kisah
tersebut, Adam turun ke bumi gara-gara mengambil buah kuldi yang
diinginkan/diminta oleh Hawa. Alhasil, Adam pun diturunkan ke bumi oleh Tuhan
karena mengambil buah kuldi. Seandainya, tidak ada Hawa, Adam tidak akan turun
ke bumi. Dengan demikian, orang lain adalah neraka. Di usia yang menua, Sartre
mulai (kurang) menunjukkan gejala
ketidakajegannya dalam berprinsip. Kebebasan yang digadang-gadang dan diunggulkan
oleh Sartre ternyata dihadapkan pada faktisitas (Leahly, 2001:58). Faktisitas tersebut antara lainsebagai
berikut. Pertama, tempat, manusia tidak bisa menolak tempat/geografi.
Diakui atau tidak, manusia harus bertempat tinggal, baik secara temporal
ataupun permanen.
Simone
de Beauvoir adalah pencetus Feminis -Eksistensialis. Ia memunculkan -isme
tersebut dalam kaitannya dengan reaksi terhadap
eksistensialisme –yang memandang bahwa wanita adalah kelas kedua/subordinat—yang berada di Perancis . Keduanya, yakni Sartre
dan Simone de Beauvoir memang sepakat tidak mau
menikah sebab keduanya tidak ingin dibelenggu oleh ikatan perkawinan (Anas ahmad:2009.40). Karena itu, mereka
tidak bisa melupakan dan/atau menghilangkan tempat tinggal sebab tempat itu ada
sebelum manusia itu ada.Kedua, masa lalu, manusia pasti mempunyai masa lalu
dalam kaitannya dengan pelahiran dan kisah hidupnya, baik yang putih, hitam, ataupun abu-abu. Dalam hal ini, manusia
tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu. Ia tidak bisa mengatakan bahwa ia
dilahirkan tanpa ayah tanpa ibu. Semua orang dilahirkan oleh sang ibu. Dengan
demikian, mereka tidak bisa lepas dari yang namanya orang tua. Ketika seseorang mempunyai kisah masa lalu
yang buruk/buram ataupun masa lalu yang
baik dan menyenangkan, semua bisa direkayasa. Sekadar contoh, kehidupan masa
lalu yang buruk/buram bisa direkayasa menjadi kehidupan masa lalu yang bagus
dan menyenangkan atau sebaliknya. Namun,
manusia tidak bisa lepas dari apa yang disebut dengan masa lalu,
meskipun masa lalu tersebut telah direkayasa.
Ketiga,
relasi antar manusia, diakui atau tidak,
manusia menurut adalah sosok homo socius (makhluk sosial) dan homo comparativus (makhluk pembanding) (Darma,2005).
Dengan demikian, sebagai merupakan makhluk sosial yang tidak lepas
hubungannya dengan manusia yang lain.
Kita pun akan melakukan perbandingan antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain. Dalam hal ini, manusia terlahir dengan ras yang berbeda, ada
yang kulit putih, kulit hitam, dan kulit sawo matang. Perbedaan kulit tersebut
bisa jadi menimbulkan diskriminasi. Pemunculan diskriminisi tersebut disebabkan
oleh adanya ras yang berbeda dan juga karena adanya orang lain yang
membandingkan. Jika tidak ada orang lain
dan tidak ada ras yang berbeda,
bisa diskriminasi ras tidak akan
pernah muncul di muka bumi ini. Sartre berpandangan bahwa adanya manusia lain
dalam kehidupan pasti akan menimbulkan
masalah, baik masalah sosial, politik, ekonomi, budaya, dan yang
rentan/sensistif adalah masalah agama. Sartre mengungkapkan bahwa manusia
sebagai makhluk individual yang bebas
ternyata tidak bisa lepas dari jerat manusia yang lain dalam konteks relasi
antarmanusia untuk menjalankan kehidupan. Pemikiran Sartre yang menyatakan
bahwa manusia adalah sosok makhluk individual yang bebas ternyata tidak
sepenuhnya benar. Hal itu disebabkan
pemikiran bahwa manusia individual jika tidak lepas dari manusia
sosial. Melalui fenomena ini, Sartre
memang tidak bisa berkelit bahwa manusia tidak lepas dari relasi
antarmanusia. Keempat, kematian, faktisitas ini merupakan sesatu yang pasti
dalam ketidakpastian. Karena itu, Sartre mengungkapkan bahwa manusia pasti
mati. Namun, ia tidak tahu kapan kematian itu akan terjadi dan menimpa diri.
Ketika kematian tiba, eksistensi manusia akan berakhir.
Dalam kaitannya dengan kebebasan yang absolut,
Sartre tampaknya gagal untuk lepas dari kematian. Sejauh-jauhnya manusia lari
dari kematian, mereka pasti akan bertemu dengan kematian. Karena itu, Martin Heiddeger mengungkapkan bahwa
manusia adalah Sein Und Seit, Ada untuk Mati. Hal itu merepresentasikan bahwa kaum ateis
tidak mampu mengelak dari apa yang disebut kematian. Mulai dari zaman dahulu
sampai sekarang telah banyak filsuf ateis yang berusaha
memecahkan/mendefinisikan apa itu kematian. Namun, semuanya menemukan jalan buntu (Setiawan:2006.56).
C. Pengertian Eksistensialisme
“Eksistensialisme” yang berasal dari kata “eksistensi” dalam bahasa Indonesia
dapat ditelaah dan didefinisikan melalui dua cara. Pertama, secara
harfiah yakni sesuai dengan kaidah-kaidah tata bahasa yang berlaku, dan kedua,
mengacu pada salah satu bentuk gerakan pemikiran yang ada dalam filsafat.
Secara harfiah, kata “eksistensi” yang mana dalam bahasa Inggris adalah “existence”
ialah sebentuk kata benda yang berarti “state of existing…” dan dengan
kata kerja intrasitif “exist” dengan pengertian “be real…”(Oxford
University:2005.149), berasal dari bahasa Latin “existo” dan “exister”.
Dalam bahasa Prancis, “existo” terdiri dari “ex” dan “sisto”
yang berarti to stand. Kesemuanya dalam bahasa Indonesia secara harfiah
berarti “ada”, “adanya”, “hidup”, “kehidupan”, “keadaan hidup”, “berdiri”,
“keadaan berdiri”, “keadaan mengada” atau “berada” (John M. Echols & Hassan
Shadily:1996.224). Sedangkan imbuhan –isme di belakang kata tersebut
mengacu pada sebentuk aliran, ajaran atau pemahaman sehingga apabila
keseluruhan kata tersebut secara telanjang diterjemahkan, Eksistensialisme akan
berarti: suatu aliran, ajaran atau pemahaman mengenai “ada”, “hidup”,
“kehidupan” atau “berada”.
Tak dapat dipungkiri bahwa terdapat cukup banyak tokoh besar dalam filsafat
eksistensialisme, sebut saja Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Martin
Heidegger, Karl Jasper, Franz Kafka, Gabriel Marcel, Fyodor Dostoyevsky, Albert
Camus dan Jean Paul Sartre. Disadari atau tidak, hal tersebut bukannya tanpa
dampak sama sekali, melainkan kian mempersulit upaya pencarian arti dan makna
atas eksistensialisme secara pasti. Pada tataran ini, harus diakui memang, akan
lebih mudah menjelaskan satu demi satu berbagai ide tokoh eksistensialisme yang
ada pada zamannya ketimbang menjelaskan istilah eksistensialisme dengan cara
mengambil bagian-bagian ide utama dari para tokoh eksistensialisme tersebut.
Namun, bilamana pengkajian secara seksama pada tiap-tiap tokoh besar
eksistensialisme yang ada pada masanya dilakukan maka ditemui kata-kata seperti
“eksistensi”, “individu”, “kebebasan”, “keputusan”, “pilihan”, “gairah” serta
perhatian yang mengacu pada “subyektivitas individu” atau “manusia” kerap
mereka gunakan (Vincent Martin:2003.1-2). Dengan demikian, istilah
eksistensialisme yang mengacu pada salah satu bentuk gerakan pemikiran yang ada
dalam filsafat dapat diartikan secara umum sebagai suatu pemahaman yang
menempatkan keber-Ada-an individu atau entitas manusia di dunia sebagai yang
utama.
Lebih jauh, sebagaimana telah dijelaskan dan ditegaskan
sebelumnya bahwa pengkajian berikut pembahasan yang dilakukan lebih difokuskan pada
eksistensialisme Jean Paul Sartre atau tepatnya konsep interaksi sosial yang
termuat dalam arus pemikiran tersebut melalui segenap pertimbangan seksama
mengingat kedudukan Sartre sebagai tokoh yang “mempopulerkan” berikut
“mengukuhkan” eksistensialisme, maka menjadi syarat dilakukan kiranya pemaparan
definisi berikut “maksud” eksistensialisme dalam pandangan Jean Paul Sartre.
Dalam Existentialism and Humanism (1946), Sartre
mendefinisikan eksistensialisme sebagai aliran, ajaran atau pemahaman yang meyakini
bahwa “eksistensi mendahului esensi” (existence precedes essence).
Secara singkat, apa yang dimaksudkan Sartre adalah, sesuatu barulah dapat
dimaknai ketika sesuatu tersebut “ada” terlebih dahulu. Sebagai misal, Sartre
mengatakan, “…pertama-tama manusia ada, berhadapan dengan dirinya sendiri,
terjun ke dalam dunia—dan barulah setelah itu ia mendefinisikan dirinya … Ia
tidak akan menjadi ‘apa-apa’ sampai ia menjadikan hidupnya ‘apa-apa’ … manusia
adalah bukan apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri, itulah
prinsip pertama Eksistensialisme” (Sartre:2002.40-45). Dalil atau pemahaman
di ataslah yang kemudian memunculkan istilah absurd, le neant, nausea,
mauvaise foi, etre-en-soi, etre-pour-soi, facticity,
humanism .
D. Eksistensialisme jean paul sarte
Jean paul sarte adalah tokoh yang menciptakan
istilah “eksistensialisme” melalui eksemplar Being and Nothingness serta
Existentialism and Humanism. Melalui eksistensialisme, Sartre merajai
kehidupan intelektual Perancis selama dua dekade lamanya. Eksistensialisme
Sartre memberikan pengaruh besar terhadap para filsuf, politisi dan seniman
Perancis kala itu. Meskipun individualisme dan muatan “antisosial” dalam
eksistensialisme menyebabkannya dicap sebagai “filsafat kaum borjuis”
oleh banyak pihak, namun faktual para pengangguran dan gelandangan di pinggir
jalan pun menyebut diri mereka sebagai “eksistensialis” (Suseno:tth.73 dan Palmer:2003.2).
Disadari dan diakui atau tidak, hal tersebut membuktikan betapa kuat dan
luasnya pengaruh filsafat eksistensialisme.
Terdapat beberapa tema pokok yang diusung
eksistensialisme Jean Paul Sartre, antara lain “eksistensi”, “kebebasan dan
pilihan”, “kesadaran”, “otentitas” serta “keterasingan” di mana kesemua hal
tersebut menghantarkan eksistensialisme sebagai filsafat yang berbicara
mengenai kebebasan manusia berikut etika (Suseno:tth.74). manusia yang
“mengada” di dunia. Terkait aspek etika dalam eksistensialisme, sebagaimana
ditegaskan Franz Magnis Suseno bahwa etika merupakan “ilmu mengenai bagaimana
seharusnya manusia berperilaku” (Suseno:tth.14), maka etika eksistensialisme
berupaya memberikan petunjuk atas bagaimana seharusnya manusia berperilaku
dalam merespon dirinya sebagai makhluk yang pada hakekatnya bebas
“sebebas-bebasnya”. Terkait hal tersebut Sartre menegaskan, “Human reality
is free, basically and completely free” (realitas manusia adalah bebas,
pada dasarnya dan sepenuhnya bebas) (Sartre:1956.479). Melalui serangkaian
pemikiran eksistensialisme di atas, kiranya tak berlebihan menempatkan
eksistensialisme sebagai puncak pemikiran Barat atas “kebebasan” dan semangat
“anti-Tuhan”. Terkait hal tersebut, Fuad Hassan menegaskan bahwa ikhtiar Sartre
merupakan puncak pemikiran dan pemahaman atas manusia (Fuad Hasan:1976.2).
Pandangan
ontologi Sartre, pandangannya mengenai Ada juga tidak jauh dari apa yang
dipahami Heidegger. Ada dalam pandangan Sarte berbeda dengan mengada. Peleburan
antara Ada dengan mengada merupakan akibat dari proyek modernitas yang
menekankan Cogito atau rasio, bagi
kebanyakan aliran penganut postmo. Namun bukan hal tersebut yang ingin penulis
uraikan, namun pandangan Ada dari Sartre yang menjadi pisau analisis
eksistensialis manusia.
Dalam
teori eksistensialismenya,Sarte membagi tiga modus cara berada.
Pertama, Ada pada dirinya Being in it self.
Untuk
yang pertama, modus Adanya hanya terdapat pada mengada-mengada lainnya yang
tidak mampu menanyakan Adanya. Misalnya batu, emas, pohon jambu, pohon mangga
yang ada dalam diri mereka sendiri. Pada batu, memiliki kodrat yang keras. Emas
kodratnya jenis batuan yang berharga. Pada cara modus berada ada dalam dirinya,
batu tidak bisa tidak mmemiliki kodrat atau sifat alamiah keras. Hal yang sama
juga dengan emas, tidak bias tidak memiliki kodrat sebagai jenis batu-batuan
yang memiliki nilai jual. Pohon jambu juga demikian akan menghasilkan buah-buah
jambu sebagai kodratnya begitu juga dengan pohon mangga yang memiliki kodrat
berbah mangga. Dengan kata lain, batu, pohon dan benda-benda alam lainnya,
tidak dapat tidak identik dengan kodrat yang sudah ada di dalam dirinya. Ketika
batu tidak lagi keras, emas tidak lagi bernilai, pohon jambu tidak agi berbuah
jambu dan pohon mangga juga tidak berbuah mangga, dalam pandangan
eksistensialisme
Sartre perlu disangsikan apakah itu benar-benar yang dimaksud. Hal tersebut
yang dimaksud dari ada di dalam dirinya being in it self yakni cara modus berada di mana ia sudah
dikodratkan atau ditentukan seperti itu.
Kedua, Ada untuk dirinya Being for it self.
Modus
cara berada yang kedua yaitu ada untuk dirinya being for it self. Cara mengada yang demikian memiliki kekkhasan cara
berada di mana ada sifat negativitas. Maksud dari sifat negativitas ialah ada
“pengingkaran” atau penolakan terhadap pengkodratan atau pengidentikkan sesuatu
yang dilekatkan kepada dirinya. Hanya manusia menurut Sarte yang memiliki cara
berada yang khas. Manusia bisa menolak pengidentikan pengkodratkan yang
disematkan terhadap dirinya dari orang lain. Hanya manusia yang bisa mengatakan
tidak terhadap pengkodratan yang tidak sesuai dengan dirinya, asal dirinya
sadar atas pengkodatan yang diberikan oleh orang lain terhadap dirinya.
Misalnya, saat manusia dikodratkan oleh suatu pengkodratan tertentu dari luar
dirinya, manusia dapat menolak atau menegasikan pengkodratan yang dilekatkannya
itu dengan cara mengingkari lewat pemikiran maupun perbuatan sehingga apa yang
dikodratkan terhadap dirinya dapat ternegasikan. Pengkodratan atau
pengidentikan diri yang datang dari luar dirinya juga bisa dikatakan persepsi
yang dibangun dari luar diri terhadap diri yang dikenakan persepsitersebut.
pada cara berada yang kedua, cara berada yang khas pada manusia dengan hidup
dari persepsinya sendiri. Manusia tidak mesti hidup dari persepsi orang lain
yang mencederai nilai-nilai yang khas yang ada di dalam diri manusia. Dalam
pandangan eksistensialisme, hanya manusia yang berkah menguasai dirinya
sendiri.
Ketiga, Ada untuk yang lain Being for others.
Adapun
cara berada yang ketiga, yaitu ada bagi orang lain being for other. Cara berada yang demikian merupakan cara berada
dimana seseorang hidup berdasarkan
pengkodratan yang
diberikan oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya, si A menganggap dirinya
adlah pribadi yang bodoh atau
berpengetahuan rendah karena demikianlah orang lain melebelkan pengkodratan itu
kepada dirinya. Jadi bukan atas pemaknaan dirinya yang dilakukan oleh dan untuk
dirinya sendiri. Ketika seseorang hidup berdasarkan kodrat yang dilebelkan
terhadap diri yang menerimanya, hal itulah yang dimaksud dengan cara modus
berada untuk yang lain being for others. Namun ketika
seseorang tadi menegasikan kodrat 27 yang disematkan terhadap dirinya dari
orang lain, artinya ia hidup atas dasar modus eksistensi dirinya sendiri, maka
ia berada pada cara berada ada untuk dirinya being for it self.
Dalam pandangan
eksistensialisme yang merasuk dalam sastra berpijak dari landasan bahwa Tuhan
telah mati, dan melihat dunia maupun sejarah sebagai ketakjelasan dan absurd.
Oleh karena itu melalui kecemasan para manusia, memainkan kebebasan mereka
serta menolak kepalsuan yang ditawarkan olehpara rasionalis optimis, dibangun suatu
humanism baru dengan mencari gairah balik keputusasaan yang jelas dihadapi oleh
para manusia. Di sisi lain, Sartre juga mengalami situasi zamannya,merasakan
masa pendudukan dan peperangan. Ia turut pula menjadi saksi bahkan melibatkan
diri dengan zamannya. Hal ini men-jadikan sebagian besar karyanya lantas
menyentuh, baik langsung maupun tidak, pada persoalan-persoalan manusia modern
dalam segala kondisinya (Birul:tth.47) .
E.
Kesimpulan
Pandangan
ontologi Sartre, pandangannya mengenai Ada juga tidak jauh dari apa yang
dipahami Heidegger. Dalam teori eksistensialismenya, Sarte
membagi tiga modus cara berada. Pertama, Ada pada dirinya Being in it self. Kedua, Ada untuk dirinya Being for it self. Ketiga, Ada untuk yang lain Being for others.
Jean paul sarte adalah tokoh yang menciptakan
istilah “eksistensialisme” Melalui eksistensialisme, Sartre merajai kehidupan
intelektual Perancis selama dua dekade lamanya. Eksistensialisme Sartre
memberikan pengaruh besar terhadap para filsuf, politisi dan seniman Perancis
kala itu. Meskipun individualisme dan muatan “antisosial” dalam
eksistensialisme menyebabkannya dicap sebagai “filsafat kaum borjuis”
oleh banyak pihak, namun faktual para pengangguran dan gelandangan di pinggir
jalan pun menyebut diri mereka sebagai “eksistensialis”. Disadari dan diakui
atau tidak, hal tersebut membuktikan betapa kuat dan luasnya pengaruh filsafat
eksistensialisme.
Eksistensialisme berupaya memberikan petunjuk atas bagaimana
seharusnya manusia berperilaku dalam merespon dirinya sebagai makhluk yang pada
hakekatnya bebas “sebebas-bebasnya”. Terkait hal tersebut Sartre menegaskan, “Human
reality is free, basically and completely free” (realitas manusia adalah
bebas, pada dasarnya dan sepenuhnya bebas). Melalui serangkaian pemikiran
eksistensialisme di atas, kiranya tak berlebihan menempatkan eksistensialisme
sebagai puncak pemikiran Barat atas “kebebasan” dan semangat “anti-Tuhan”.
Terkait hal tersebut, Fuad Hassan menegaskan bahwa ikhtiar Sartre merupakan
puncak pemikiran dan pemahaman atas manusia
DAFTAR PUSTAKA
.
Ahmad,Anas. Agama dalam kerangka pikir ateisme
jean-paul sartre Parafrase Vol. 09.
No. 02 September 2009.Diakses pada tanggal 30/04/2018, pukul 13.20.
Birul Sinari Adi, Absurditas dalam drama les
mouches karya jean-paul sartre Sebuah Pendekatan Semiotik.
Bertens, K. 2006. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis.
Jakarta: Gramedia.
Dagun, S.M. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Yogyakarta:
Rhineka Cipta
Hasan, Fuad.1976. Berkenalan dengan Eksistensialisme, Jakarta: Pustaka Jaya
Martin, Vincent ,2003. Filsafat Eksistensialisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Oxford University, 2005. Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New York: Oxford University
Press
Saefuddin,Fahmi,
Gender dan Eksistensialisme Sartre.Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Jurnal Studi Al-Qur’an; Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani.Vol. 13
, No. I , Tahun. 2017 doi.org/10.21009/JSQ.013.1.07 diakses pada tanggal 30/04/2018. Pukul 13.00
wib
Suseno,Franz Magnis,2000, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20,
Yogyakarta: Kanisius.
Suseno,Franz Magnis,1993, Etika Dasar, Yogyakarta:
Kanisius
Sartre, Jean Paul, Eksistensialisme dan Humanisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sartre, Jean Paul , 1956 . Being and
Nothingness, New York : Philosophical Library. .
Sartre, J.P. 2001. Kata-kata. Terjemahan. Jakarta: Gramedia.
__________. 2001. Kematian yang Tertunda. Terjemahan. Yogyakarta: Jendela.
__________. 2002.
Eksistensialisme dan Humanisme.
Terjemahan.Pustaka Pelajar:
Pustaka Pelajar.
__________. 2002. Seks dan Revolusi. Terjemahan. Yogyakarta: Bentang.
__________. 2002. The Age of Reason. Terjemahan. Yogyakarta: Jendela.
__________. 2003. Pengantar Teori Emosi. Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
__________. 2004. Dogmatik Kritik. Terjemahan. Yogyakarta:
Celepuk.
Setiawan. 2006. “Skema Manusia Biofili dan Nikrofili”. Jurnal Prasasti Vol. 17. No. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar