Pembahasan
A.
Biografi Kenneth M george
Kenneth M George adalah seorang spesialis dalam politik budaya
agama, seni, dan bahasa di Asia Tenggara. Dia merupakan seorang Profesor
Antropologi di College of Asia dan Pasifik di Universitas Nasional Australia, setelah
sebelumnya bertugas di UW-Madison (1999-2013), Universitas Harvard (1990-1996),
dan sebagai Editor Jurnal Studi Asia (2005-2008). Dia juga pernah memegang
posisi mengajar di University of Oregon, Tulane, dan University of South
Carolina. Penelitian etnografi dan sejarah seni di Asia Tenggara telah didukung
oleh beasiswa dari Dewan Penelitian Ilmu Sosial, Aga Khan Trust for Culture,
Yayasan John Simon Guggenheim, National Endowment for the Humanities,
Wenner-Gren Foundation, dan Institut untuk Studi Lanjutan, Princeton.
Buku-bukunya termasuk Menampilkan Tanda-tanda Kekerasan: The Cultural Politics
of a Twentieth Century Headhunting Ritual (1996); Politik Berjiwa: Agama dan
Kehidupan Publik di Asia Tenggara Kontemporer (2005, disunting bersama Andrew Willford);
dan Picturing Islam: Seni dan Etika dalam Muslim Lifeworld (2010).[1]
B.
Pemikiran Kenneth M george
Pemikiran Kenneth M George dilatar belakangi oleh banyaknya penelitian keragaman budaya yang ada di kawasan Asia
Tenggara. Hal itu terwujud saat dia mendapat kesempatan penelitian di
pegunungan Mambi di Sulawesi Selatan, Dia mengkaji sastra tutur dalam upacara
keagamaan dan kepercayaan masyarakat setempat. Selama 26 tahun Kenneth M George
sering mengujungi Indonesia singgah di kota Bandung dan jakarta untuk mengkaji
perkembangan seni rupa modern Gaya-gaya
kaligrafi Kontemporer Tradisional, Kontemporer Figural, Kontemporer Simbolik,
Kontemporer Ekspresionis, dan Kontemporer Abstrak hasil karya sejumlah seniman Muslim.[2] Ia melihat fenomena estetika terhadap Al-Qur’an yang dilakukan oleh
sahabatnya asal Indonesia yaitu AD
pirous.
Abdul
Djalil Pirous dilahirkan di Meulaboh, Aceh pada tanggal 11 Maret 1932. Menyelesaikan
pendidikannya di Departemen Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung (ITB),
1964. Melanjutkan studi tentang printmaking dan desain grafis di Rochester
Institute of Technology, Rochester New York, Amerika Serikat (1969), dan sekembalinya ke tanah air, merintis
pendidikan desain grafis di Seni Rupa ITB, dan mendirikan studio seni dan
desain bernama Decenta (1973). Selanjutnya, menjabat sebagai Dekan pertama
Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1984-1990), dan dikukuhkan sebagai guru
besar ITB sejak 1994.[3]
A.D. Pirous mengungkapkan
cara-cara di mana perjuangan seniman membuat lukisan yang bagus terhubung untuk
menjalani kehidupan yang baik. Dilema yang dihadapi oleh Pirous sering menjadikan
kontradiksi dalam proses pembuatan seni menghubungkan karya seni dengan pengaruh
bahasa, dan budaya publik serta etika.[4] Sehingga
melihat gaya Pirous "Qur’anic lukisan, memberikan interpretasi bahwa Islam tidak hanya diwakili oleh gambaran klasik, seperti orang yang pergi
ke masjid untuk shalat. Ada banyak ekspresi yang mencerminkan Islam, salah
satunya seni rupa modern yang dibuat oleh seniman Muslim. Kenneth menemukan
dalam proses objek penelitian kreatif AD
Pirous, memperlihatkan usaha untuk mewujudkan spirit keislaman dalam bentuk
kesenian. Bagaimana seniman
menekan subjektivitas seninya sendiri lebih sempurna “berserah kepada Tuhan dan
pesan ilahi”. Kenneth menggambarkan dengan jelas untuk mengistimewakan firman
Tuhan dan tujuan artistiknya adalah membuat pengalaman tersedia bagi orang lain.[5]
C.
Pendekatan dan Metodologi Kenneth. M. George
Pendekatan penelitian Kenneth M george menggunakan pendekatan
antropologi dengan metode etnografi, penelitiannya berdasarkan potret
beragama yang ada dalam kenyataan. Dengan kata lain, Islam diteliti dari
perilaku sehari-hari kaum Muslim Indonesia. Kenneth M george berusaha
bersahabat dengan lingkungan atau orang yang diteliti sehingga menjadi akrab.
Dari kedekatan itu, lantas Ia mengamati, menggali, mencatat, dan akhirnya
mendapatkan data-data. Pada bulan
November 2009 terdapat Antropologi Budaya, melihat kegelisahan dan kemarahan
dunia seni Indonesia atas penggunaan skrip Al-Qur'an dalam mode dan lukisan. Kenneth M. George memeriksa apa kesulitan dan
krisis yang ditimbulkan, yang kepentingannya dilayani, dan wacana yang maju
ketika seniman menggunakan Al-Quran untuk proyek-proyek estetika. Kenneth M George
menyinari beberapa energi etis dan ideologis yang telah menggerakkan komunitas
seni muslim masa kini. George berpendapat bahwa saat-saat panik atau kemarahan
dapat menawarkan sekilas khusus klaim etika secara Islam di bidang visual
budaya. Ia memberikan perspektif baru tentang beberapa hubungan kekuasaan yang
membentuk publik seni Muslim nasional dan global yang terletak di persimpangan
antropologi seni dan antropologi Islam. Dalam lukisan
kaligrafi, misalnya, penampilan visualnya menjadi menarik pada dimensi
keindahan, berkaitan dengan keterampilan untuk mengolah unsur-unsur estetika
seni rupa. Secara tekstual, lukisan juga bermakna karena mengutip teks
kaligrafi yang bersumber dari ayat Al Quran atau hadist. Bagi orang yang
mengerti Bahasa Arab, itu menjadi pesan yang sangat bernilai. Lebih dari itu, dalam Kaligrafi terdapat unsur
mengingatkan orang lain tentang etika. Meski tidak dilakukan secara massal,
lukisan seperti itu bisa merangsang orang lain yang melihatnya untuk merenungkan
teks dalam lukisan . Jadi, karya seni itu hanya tidak dibuat untuk diri
sendiri, tetapi juga untuk orang lain bahkan mereka yang tidak mengerti bahasa Arab secara potensial
dapat merasakan kekaguman religiusitas manusia, menunjukkan bagaimana etika
kustodian untuk menangani bahasa Arab Al-Quran telah bermain di tangan kaum
konservatif religius Muslim saat mereka memperluas otoritas mereka ke dunia seni
nasional dan transnasional, dan lebih umum bagaimana seni Al-Quran telah
menjadi ruang perjuangan atas ruang lingkup sekularisme, agama, dan budaya. George
mengungkapkan untuk mengembangkan "etnoaesthetics nasionalis" mampu
melakukan melalui eksplorasi estetika Islam yang produk budaya dari
"pergeseran visi moral dan kewarganegaraan yang membawanya untuk mengklaim
warisan Islam untuk bangsa pada umumnya, sebuah langkah yang secara politis dan
estetis mengikat transendental wacana tentang bangsa dan agama.[6] Membayangkan
Islam menunjukkan komitmen kedua pertama
terhadap seni dan keyakinan, dan terhadap seni dan antropologi. Ini masih
merupakan wawasan langka dalam wacana populer dan media yang dipengaruhi Barat
yang menjadi Muslim tidak bergantung pada ketidaksepahaman tentang Al-Qur'an,
hadits, syariah hukum, dan otoritas keagamaan.[7]
D.
Contoh Kajian
Seni adalah produk aktivitas yang dilakukan secara sadar, bertujuan
untuk mendapatkan atau mencapai estetika, dan sekaligus berfungsi sebagai salah
satu jalan atau cara untuk menerjemahkan simbol-simbol. Kualitas simbol-simbol
dan estetika tersebut dipengaruhi oleh sublimasi antara harmoni, kontras,
frekuensi, ritme serta intensitas dalam proses kelahiran seni. Karena itu, seni
seringkali berkonotasi estetika atau keindahan[8]
kaligrafi merupakan seni arsitektur rohani, yang dalam proses penciptaannya
melalui alat jasmani. Kaligrafi Islam yang muncul di dunia Arab merupakan
perkembangan seni menulis indah dalam huruf Arab yang di sebut Khat. Khat dilukiskan
sebagai kecantikan rasa, penasehat pikiran, senjata pengetahuan, penyimpan
rahasia dan berbagai masalah kehidupan. Oleh sebagian ulama disebutkan “khat
itu ibarat ruh di dalam tubuh manusia”. Akan tetapi yang lebih mengagumkan
adalah, bahwa membaca dan “menulis” merupakan perintah Allah SWT yang pertama
diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.[9]
Sebagaimana
Firman Allah surat Al-‘Alaq ayat 1-5
Artinya:. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq:
1-5)
Ayat
tersebut dapat di pastikan bahwa kalam atau pena mempunyai kaitan yang erat
dengan seni kaligrafi. Bahwa kalam sebagai penunjang ilmu pengetahuan
sekaligus merupakan sarana Tuhan dalam
rangka memberi petunjuk kepada manusia untuk membaca dan menulis.
Pada masa awal Islam, yakni zaman Rasulullah SAW dan al Khulafaar
Rasyidun (Khalifah Abu Bakar as Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan
Ali bin Abi Thalib; 632-661), corak kaligrafi masih kuno dan mengambil nama
yang dinisbahkan kepada tempat tulisan dipakai, seperti Makki (tulisan
Mekkah), Madani (tulisan Madinah), Hejazi (Hijaz), Anbari
(Anbar), Hiri (Hirah), dan Kufi (kufah). Kufi merupakan yang
paling dominan dan satu-satunya kaligrafi yang "dirajakan" untuk
menulis mushaf (kodifikasi) Al-Quran sampai akhir kekuasaan al Khulafaur
Rasyidun.
Memasuki zaman kekhalifahan Bani Umayyah (661-750), mulai timbul
ketidakpuasan terhadap khatt Kufi yang dianggap terlalu kaku dan sulit
digoreskan. Lalu mulailah pencarian bentuk lain yang dikembangkan dari gaya
tulisan lembut (soft writing) non-Kufi,
sehingga lahirlah banyak gaya. Jenis khat yang terpopuler diantaranya adalah Tumar,
Jalil, Nisf, Sulus dan Sulusain. Di pelopori oleh kaligrafer handal
bernama Qutbah al Muharrir.
Perkembangan seni kaligrafi telah mencapai masa keemasan pada masa daulah
abasiyah disebabkan motivasi para khalifah dan pedana menteri Abbasiyah,
sehingga bermunculan kelompok para kaligrafer yang jenius. Adapun kaligrafer
periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar adalah Ibnu Muqlah yang
pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al Ahwal al Muharrir. Ibnu Muqlah
berjasa besar bagi pengembangan tulisan kursif karena penemuannya yang
spektakuler tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari
tiga unsur kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu: titik,
huruf alif, dan lingkaran. Beberapa gaya yang paling fungsional di dunia Islam,
yaitu Naskhi, Sulus, Raihani, Diwani, Jali, Farisi, Riq'ah dan Kufi.[10]
Sedangkan perkembangan kaligrafi di Indonesia tidak melahirkan
corak, gaya atau aliran kaligrafi yang khas, seperti yang terjadi pada arus
perkembangannya di Dunia Islam. Pertumbuhan yang ada hanyalah “pertumbuhan
pemakaian kaligrafi” untuk kebutuhan- kebutuhan primer yang bersifat fungsional
seperti untuk menyalin AlQur’an atau teks-teks keagamaan yang berkembang ke
aneka lukisan.
Sebagaimana dikutip dari Sirojudin A.R. [11] Perkembangan
seni kaligrafi di Indonesia mengklasifikasikan melalui beberapa periode panjang
yaitu Angkatan Perintis, Angkatan Orang-orang Pesantren, Angkatan Pelukis dan
Pendobrak, dan Angkatan Kader MTQ. Tetapi, perkembangannya yang menyolok muncul
dari kegiatan lomba yang diselenggarakan di pelbagai event, yang paling populer
di antaranya adalah event Musabaqah Kaligrafi dimulai dari tingkat Desa hingga tingkat
Dunia.
a.
Angkatan Perintis (abad 13-19 M)
Seni menulis halus Arab yang populer dengan khat atau kaligrafi
sudah dikenal semenjak kedatangan Islam di Indonesia. Bukti kaligrafi paling
tua terdapat pada nisan-nisan kuno yang sebahagiannya dibawa dari luar
Indonesia. Sedangkan bukti yang lebih mutakhir diperoleh dari sumber-sumber
media seperti kitab, mushaf Al-Qur’an tua atau naskah perjanjian.
b.
Angkatan Orang-orang Pesantren (1900-2000 M)
Kaligrafi mengalami
pertumbuhan seiring pertumbuhan pesantren yang dirintis oleh para wali.
Pesantren perintis kaligrafi dikenal antara lain Giri Kedaton, Pesantren Ampel
Denta di Geresik, dan Pesantren Syekh Quro di Karawang. Pelajaran kaligrafi
diberikan mengiringi pelajaran Al-Qur’an, fikih, tauhid, tasawuf, dan
lain-lain. Tulisan yang diajarkan mula-mula sangat sederhana dan belum bernilai
estetis, namun masih mempertimbangkan gaya-gaya Kufi, Naskhi, dan Farisi yang
asal condong ke kanan. Namun pada periode ini pesantren juga memunculkan para khattat yang
sering mengkhususkan diri pada penulisan mushaf, buku agama, dan dekorasi
mesjid dengan mengkombinasi gaya-gaya Tsuluts, Naskhi, Farisi, Diwani, Diwani
Jali, Kufi, dan Riq’ah. Di antara pelopor dalam bidang ini adalah H. Azhari
Noor (dekorator pertama Masjid Agung Al-Azhar Jakarta) dari Padang, H. Amir
Hamzah Zaman dari Madura, dan H. Basyiroen Hasan dari Jakarta. Gerakan
membangkitkan seni mushaf yang melibatkan para santri juga muncul sejak
Festival Istiqlal I tahun 1991 dengan ditulisnya Mushaf Istiqlal (1991-1995),
disusul kemudian oleh Mushaf Sundawi (1997), Mushaf Ibu Tien Soeharto, Mushaf
Jakarta, Mushaf Kalimantan Barat, Mushaf Sukabumi, dan Mushaf Al-Bantani.
Mushaf-mushaf berukuran raksasa ini tampil dengan gaya lebih estetis
dibandingkan mushafmushaf kuno yang ditulis sepanjang akhir abad ke-16 hingga
abad ke-19.
c.
Angkatan Pelukis dan Pendobrak (1970-1980an M)
Pembawa gerakan ini adalah para seniman kampus seni rupa yang
dipelopori oleh Prof. Drs. H. Ahmad Sadali (ITB Bandung asal Garut), diiringi
kemudian oleh Prof. Drs. A.D. Pirous (ITB Bandung asal Aceh), Prof. Dr. H. Amri
Yahya (ASRI Yogyakart asal Palembang). Para tokoh seni rupa ini memanfaatkan
keluwesan aksara Arab di mana sosok kaligrafi sangat tegas ditonjolkan dengan
penyerasian unsur-unsur rupa lainnya yang telah lebur dalam gaya pribadi
masing-masing seniman dengan memandang “kaligrafi sebagai bagian integral” dari
ide dasar lukisan yang bermakna religius. Para seniman rupa ini memandang
kaligrafi benar-benar mengandung unsur-unsur ideoplastis yang tidak hanya
selesai pada huruf. Popularitas angkatan ini dalam Pameran Lukisan Kaligrafi
Islam Nasional saat MTQ Nasional ke-11 di Semarang (1979) dan pameran pada
Muktamar Pertama Media Massa Islam se-Dunia di Balai Sidang Jakarta (1980) yang
diikuti oleh pameran-pameran selanjutnya.
d.
Angkatan Kader MTQ (1981- sekarang)
Perkembangan
kaligrafi semakin semarak sejak dijadikan salah satu cabang yang dilombakan
dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) dari tingkat nasional sampai tingkat
daerah di seluruh Indonesia. Cabang yang diberi nama Musabaqah Khat Al-Qur’an
(MKQ) ini selain menarik peminat, juga berhasil membibitkan kader-kader penulis
dan pelukis kaligrafi dari sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi. Dari
sejumlah peserta MKQ yang menyebar di pelbagai daerah, muncul para ahli bidang
penulisan Naskah, Hiasan Mushaf, Dekorasi, dan Kaligrafi Kontemporer yang
dikompetisikan.
[1] Kenneth
M. George, Curriculum Vitae: https://www.anthropology.wisc.edu/staff/george-kenneth-m/ di akses pada 5 mei 2018 pukul 18:59.
[2] Sirojuddin A. R, Peta Perkembangan Kaligrafi Islam di Indonesia
Jurnal Al-Turāṡ Vol. XX No.1, Januari 2014. Hlm 226
[3] Pirous, A.D. Melukis itu Menulis.
(Bandung: ITB 2013) hlm 1
[4] Kenneth m
george, ANU College of Asia and the Pacific https://researchers.anu.edu.au/researchers/george-k
di akses kamis 3 mei
2018 pukul 20:52
[5] Karin
Zitzewitz, Picturing Islam: Art and Ethics in a Muslim Lifeworld. Kenneth M.
George. (Malden: Museum Anthropology 2010) hlm.22
[6] Kenneth M. George. Picturing
Islam: Art and Ethics in a Muslim Lifeworld. (Oxford:
Wiley-Blackwell, 2010). Hlm 46
[7] David G Marr,
Picturing Islam :Arts and ethics in a Muslim liveworld by kenneth M george jurnal asian of
studies hlm 285
[8] Laily Fitriani
Seni Kaligrafi: Peran dan
Kontribusinya Terhadap Peradaban Islam Fakultas
Humaniora dan Budaya (Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang)
hlm 3.
[10] Laiyli
fitiriyah, Ibid, hlm 5-7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar