Selasa, 26 Juni 2018

Seni Kaligrafi Dalam Pandangan Kenneth M. George


oleh : Ahmad Fatawi 
Pembahasan

A.    Biografi Kenneth M george
Kenneth M George adalah seorang spesialis dalam politik budaya agama, seni, dan bahasa di Asia Tenggara. Dia merupakan seorang Profesor Antropologi di College of Asia dan Pasifik di Universitas Nasional Australia, setelah sebelumnya bertugas di UW-Madison (1999-2013), Universitas Harvard (1990-1996), dan sebagai Editor Jurnal Studi Asia (2005-2008). Dia juga pernah memegang posisi mengajar di University of Oregon, Tulane, dan University of South Carolina. Penelitian etnografi dan sejarah seni di Asia Tenggara telah didukung oleh beasiswa dari Dewan Penelitian Ilmu Sosial, Aga Khan Trust for Culture, Yayasan John Simon Guggenheim, National Endowment for the Humanities, Wenner-Gren Foundation, dan Institut untuk Studi Lanjutan, Princeton. Buku-bukunya termasuk Menampilkan Tanda-tanda Kekerasan: The Cultural Politics of a Twentieth Century Headhunting Ritual (1996); Politik Berjiwa: Agama dan Kehidupan Publik di Asia Tenggara Kontemporer (2005, disunting bersama Andrew Willford); dan Picturing Islam: Seni dan Etika dalam Muslim Lifeworld (2010).[1]
B.     Pemikiran Kenneth M george
Pemikiran Kenneth M George dilatar belakangi oleh banyaknya penelitian  keragaman budaya yang ada di kawasan Asia Tenggara. Hal itu terwujud saat dia mendapat kesempatan penelitian di pegunungan Mambi di Sulawesi Selatan, Dia mengkaji sastra tutur dalam upacara keagamaan dan kepercayaan masyarakat setempat. Selama 26 tahun Kenneth M George sering mengujungi Indonesia singgah di kota Bandung dan jakarta untuk mengkaji perkembangan seni rupa modern Gaya-gaya kaligrafi Kontemporer Tradisional, Kontemporer Figural, Kontemporer Simbolik, Kontemporer Ekspresionis, dan Kontemporer Abstrak hasil karya sejumlah seniman Muslim.[2] Ia melihat fenomena estetika terhadap Al-Qur’an yang dilakukan oleh sahabatnya  asal Indonesia yaitu AD pirous.
            Abdul Djalil Pirous  dilahirkan di  Meulaboh, Aceh pada tanggal 11 Maret 1932. Menyelesaikan pendidikannya di Departemen Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung (ITB), 1964. Melanjutkan studi tentang printmaking dan desain grafis di Rochester Institute of Technology, Rochester New York, Amerika Serikat (1969), dan sekembalinya ke tanah air, merintis pendidikan desain grafis di Seni Rupa ITB, dan mendirikan studio seni dan desain bernama Decenta (1973). Selanjutnya, menjabat sebagai Dekan pertama Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1984-1990), dan dikukuhkan sebagai guru besar ITB sejak 1994.[3] A.D. Pirous mengungkapkan cara-cara di mana perjuangan seniman membuat lukisan yang bagus terhubung untuk menjalani kehidupan yang baik. Dilema yang dihadapi oleh Pirous sering menjadikan kontradiksi dalam proses pembuatan seni menghubungkan karya seni dengan pengaruh bahasa, dan budaya publik serta etika.[4] Sehingga melihat gaya Pirous "Qur’anic lukisan, memberikan  interpretasi bahwa Islam tidak hanya diwakili oleh gambaran klasik, seperti orang yang pergi ke masjid untuk shalat. Ada banyak ekspresi yang mencerminkan Islam, salah satunya seni rupa modern yang dibuat oleh seniman Muslim. Kenneth menemukan dalam proses objek penelitian  kreatif AD Pirous, memperlihatkan usaha untuk mewujudkan spirit keislaman dalam bentuk kesenian. Bagaimana seniman menekan subjektivitas seninya sendiri lebih sempurna “berserah kepada Tuhan dan pesan ilahi”. Kenneth menggambarkan dengan jelas untuk mengistimewakan firman Tuhan dan tujuan artistiknya adalah membuat pengalaman tersedia bagi orang lain.[5]

           C.    Pendekatan dan Metodologi Kenneth. M. George
Pendekatan penelitian Kenneth M george menggunakan pendekatan antropologi dengan metode etnografi, penelitiannya  berdasarkan potret beragama yang ada dalam kenyataan. Dengan kata lain, Islam diteliti dari perilaku sehari-hari kaum Muslim Indonesia. Kenneth M george berusaha bersahabat dengan lingkungan atau orang yang diteliti sehingga menjadi akrab. Dari kedekatan itu, lantas Ia mengamati, menggali, mencatat, dan akhirnya mendapatkan data-data. Pada bulan November 2009 terdapat Antropologi Budaya, melihat kegelisahan dan kemarahan dunia seni Indonesia atas penggunaan skrip Al-Qur'an dalam mode dan lukisan.  Kenneth M. George memeriksa apa kesulitan dan krisis yang ditimbulkan, yang kepentingannya dilayani, dan wacana yang maju ketika seniman menggunakan Al-Quran untuk proyek-proyek estetika. Kenneth M George menyinari beberapa energi etis dan ideologis yang telah menggerakkan komunitas seni muslim masa kini. George berpendapat bahwa saat-saat panik atau kemarahan dapat menawarkan sekilas khusus klaim etika secara Islam di bidang visual budaya. Ia memberikan perspektif baru tentang beberapa hubungan kekuasaan yang membentuk publik seni Muslim nasional dan global yang terletak di persimpangan antropologi seni dan antropologi Islam. Dalam lukisan kaligrafi, misalnya, penampilan visualnya menjadi menarik pada dimensi keindahan, berkaitan dengan keterampilan untuk mengolah unsur-unsur estetika seni rupa. Secara tekstual, lukisan juga bermakna karena mengutip teks kaligrafi yang bersumber dari ayat Al Quran atau hadist. Bagi orang yang mengerti Bahasa Arab, itu menjadi pesan yang sangat bernilai. Lebih dari itu, dalam Kaligrafi terdapat unsur mengingatkan orang lain tentang etika. Meski tidak dilakukan secara massal, lukisan seperti itu bisa merangsang orang lain yang melihatnya untuk merenungkan teks dalam lukisan . Jadi, karya seni itu hanya tidak dibuat untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain bahkan mereka yang tidak mengerti bahasa Arab secara potensial dapat merasakan kekaguman religiusitas manusia, menunjukkan bagaimana etika kustodian untuk menangani bahasa Arab Al-Quran telah bermain di tangan kaum konservatif religius Muslim saat mereka memperluas otoritas mereka ke dunia seni nasional dan transnasional, dan lebih umum bagaimana seni Al-Quran telah menjadi ruang perjuangan atas ruang lingkup sekularisme, agama, dan budaya. George mengungkapkan untuk mengembangkan "etnoaesthetics nasionalis" mampu melakukan melalui eksplorasi estetika Islam yang produk budaya dari "pergeseran visi moral dan kewarganegaraan yang membawanya untuk mengklaim warisan Islam untuk bangsa pada umumnya, sebuah langkah yang secara politis dan estetis mengikat transendental wacana tentang bangsa dan agama.[6] Membayangkan Islam menunjukkan komitmen kedua  pertama terhadap seni dan keyakinan, dan terhadap seni dan antropologi. Ini masih merupakan wawasan langka dalam wacana populer dan media yang dipengaruhi Barat yang menjadi Muslim tidak bergantung pada ketidaksepahaman tentang Al-Qur'an, hadits, syariah hukum, dan otoritas keagamaan.[7]

     D.    Contoh Kajian
Seni adalah produk aktivitas yang dilakukan secara sadar, bertujuan untuk mendapatkan atau mencapai estetika, dan sekaligus berfungsi sebagai salah satu jalan atau cara untuk menerjemahkan simbol-simbol. Kualitas simbol-simbol dan estetika tersebut dipengaruhi oleh sublimasi antara harmoni, kontras, frekuensi, ritme serta intensitas dalam proses kelahiran seni. Karena itu, seni seringkali berkonotasi estetika atau keindahan[8] kaligrafi merupakan seni arsitektur rohani, yang dalam proses penciptaannya melalui alat jasmani. Kaligrafi Islam yang muncul di dunia Arab merupakan perkembangan seni menulis indah dalam huruf Arab yang di sebut Khat. Khat dilukiskan sebagai kecantikan rasa, penasehat pikiran, senjata pengetahuan, penyimpan rahasia dan berbagai masalah kehidupan. Oleh sebagian ulama disebutkan “khat itu ibarat ruh di dalam tubuh manusia”. Akan tetapi yang lebih mengagumkan adalah, bahwa membaca dan “menulis” merupakan perintah Allah SWT yang pertama diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.[9]
Sebagaimana Firman Allah surat Al-‘Alaq ayat 1-5  
Artinya:. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq: 1-5)
Ayat tersebut dapat di pastikan bahwa kalam atau pena mempunyai kaitan yang erat dengan seni kaligrafi. Bahwa kalam sebagai penunjang ilmu pengetahuan sekaligus  merupakan sarana Tuhan dalam rangka memberi petunjuk kepada manusia untuk membaca dan menulis.
Pada masa awal Islam, yakni zaman Rasulullah SAW dan al Khulafaar Rasyidun (Khalifah Abu Bakar as Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib; 632-661), corak kaligrafi masih kuno dan mengambil nama yang dinisbahkan kepada tempat tulisan dipakai, seperti Makki (tulisan Mekkah), Madani (tulisan Madinah), Hejazi (Hijaz), Anbari (Anbar), Hiri (Hirah), dan Kufi (kufah). Kufi merupakan yang paling dominan dan satu-satunya kaligrafi yang "dirajakan" untuk menulis mushaf (kodifikasi) Al-Quran sampai akhir kekuasaan al Khulafaur Rasyidun.
Memasuki zaman kekhalifahan Bani Umayyah (661-750), mulai timbul ketidakpuasan terhadap khatt Kufi yang dianggap terlalu kaku dan sulit digoreskan. Lalu mulailah pencarian bentuk lain yang dikembangkan dari gaya tulisan lembut (soft writing) non-Kufi, sehingga lahirlah banyak gaya. Jenis khat yang terpopuler diantaranya adalah Tumar, Jalil, Nisf, Sulus dan Sulusain. Di pelopori oleh kaligrafer handal bernama Qutbah al Muharrir.
Perkembangan seni kaligrafi telah mencapai masa keemasan pada masa daulah abasiyah disebabkan motivasi para khalifah dan pedana menteri Abbasiyah, sehingga bermunculan kelompok para kaligrafer yang jenius. Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al Ahwal al Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi pengembangan tulisan kursif karena penemuannya yang spektakuler tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu: titik, huruf alif, dan lingkaran. Beberapa gaya yang paling fungsional di dunia Islam, yaitu Naskhi, Sulus, Raihani, Diwani, Jali, Farisi, Riq'ah dan Kufi.[10]
Sedangkan perkembangan kaligrafi di Indonesia tidak melahirkan corak, gaya atau aliran kaligrafi yang khas, seperti yang terjadi pada arus perkembangannya di Dunia Islam. Pertumbuhan yang ada hanyalah “pertumbuhan pemakaian kaligrafi” untuk kebutuhan- kebutuhan primer yang bersifat fungsional seperti untuk menyalin AlQur’an atau teks-teks keagamaan yang berkembang ke aneka lukisan.
Sebagaimana dikutip dari Sirojudin A.R. [11] Perkembangan seni kaligrafi di Indonesia mengklasifikasikan melalui beberapa periode panjang yaitu Angkatan Perintis, Angkatan Orang-orang Pesantren, Angkatan Pelukis dan Pendobrak, dan Angkatan Kader MTQ. Tetapi, perkembangannya yang menyolok muncul dari kegiatan lomba yang diselenggarakan di pelbagai event, yang paling populer di antaranya adalah event Musabaqah Kaligrafi  dimulai dari tingkat Desa hingga tingkat Dunia.
      a.       Angkatan Perintis (abad 13-19 M)
Seni menulis halus Arab yang populer dengan khat atau kaligrafi sudah dikenal semenjak kedatangan Islam di Indonesia. Bukti kaligrafi paling tua terdapat pada nisan-nisan kuno yang sebahagiannya dibawa dari luar Indonesia. Sedangkan bukti yang lebih mutakhir diperoleh dari sumber-sumber media seperti kitab, mushaf Al-Qur’an tua atau naskah perjanjian.
    b.      Angkatan Orang-orang Pesantren (1900-2000 M)
 Kaligrafi mengalami pertumbuhan seiring pertumbuhan pesantren yang dirintis oleh para wali. Pesantren perintis kaligrafi dikenal antara lain Giri Kedaton, Pesantren Ampel Denta di Geresik, dan Pesantren Syekh Quro di Karawang. Pelajaran kaligrafi diberikan mengiringi pelajaran Al-Qur’an, fikih, tauhid, tasawuf, dan lain-lain. Tulisan yang diajarkan mula-mula sangat sederhana dan belum bernilai estetis, namun masih mempertimbangkan gaya-gaya Kufi, Naskhi, dan Farisi yang asal condong ke kanan. Namun pada periode ini  pesantren juga memunculkan para khattat yang sering mengkhususkan diri pada penulisan mushaf, buku agama, dan dekorasi mesjid dengan mengkombinasi gaya-gaya Tsuluts, Naskhi, Farisi, Diwani, Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah. Di antara pelopor dalam bidang ini adalah H. Azhari Noor (dekorator pertama Masjid Agung Al-Azhar Jakarta) dari Padang, H. Amir Hamzah Zaman dari Madura, dan H. Basyiroen Hasan dari Jakarta. Gerakan membangkitkan seni mushaf yang melibatkan para santri juga muncul sejak Festival Istiqlal I tahun 1991 dengan ditulisnya Mushaf Istiqlal (1991-1995), disusul kemudian oleh Mushaf Sundawi (1997), Mushaf Ibu Tien Soeharto, Mushaf Jakarta, Mushaf Kalimantan Barat, Mushaf Sukabumi, dan Mushaf Al-Bantani. Mushaf-mushaf berukuran raksasa ini tampil dengan gaya lebih estetis dibandingkan mushafmushaf kuno yang ditulis sepanjang akhir abad ke-16 hingga abad ke-19.
    c.       Angkatan Pelukis dan Pendobrak (1970-1980an M)
Pembawa gerakan ini adalah para seniman kampus seni rupa yang dipelopori oleh Prof. Drs. H. Ahmad Sadali (ITB Bandung asal Garut), diiringi kemudian oleh Prof. Drs. A.D. Pirous (ITB Bandung asal Aceh), Prof. Dr. H. Amri Yahya (ASRI Yogyakart asal Palembang). Para tokoh seni rupa ini memanfaatkan keluwesan aksara Arab di mana sosok kaligrafi sangat tegas ditonjolkan dengan penyerasian unsur-unsur rupa lainnya yang telah lebur dalam gaya pribadi masing-masing seniman dengan memandang “kaligrafi sebagai bagian integral” dari ide dasar lukisan yang bermakna religius. Para seniman rupa ini memandang kaligrafi benar-benar mengandung unsur-unsur ideoplastis yang tidak hanya selesai pada huruf. Popularitas angkatan ini dalam Pameran Lukisan Kaligrafi Islam Nasional saat MTQ Nasional ke-11 di Semarang (1979) dan pameran pada Muktamar Pertama Media Massa Islam se-Dunia di Balai Sidang Jakarta (1980) yang diikuti oleh pameran-pameran selanjutnya.
   d.      Angkatan Kader MTQ (1981- sekarang)
Perkembangan kaligrafi semakin semarak sejak dijadikan salah satu cabang yang dilombakan dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) dari tingkat nasional sampai tingkat daerah di seluruh Indonesia. Cabang yang diberi nama Musabaqah Khat Al-Qur’an (MKQ) ini selain menarik peminat, juga berhasil membibitkan kader-kader penulis dan pelukis kaligrafi dari sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi. Dari sejumlah peserta MKQ yang menyebar di pelbagai daerah, muncul para ahli bidang penulisan Naskah, Hiasan Mushaf, Dekorasi, dan Kaligrafi Kontemporer yang dikompetisikan.




[2] Sirojuddin A. R, Peta Perkembangan Kaligrafi Islam di Indonesia Jurnal Al-Turāṡ Vol. XX No.1, Januari 2014. Hlm 226

[3] Pirous, A.D. Melukis itu Menulis. (Bandung: ITB 2013) hlm 1

[4] Kenneth m george,  ANU College of Asia and the Pacific https://researchers.anu.edu.au/researchers/george-k di akses kamis 3 mei 2018  pukul 20:52

[5] Karin Zitzewitz, Picturing Islam: Art and Ethics in a Muslim Lifeworld. Kenneth M. George. (Malden: Museum Anthropology 2010)  hlm.22 
[6] Kenneth M. George. Picturing Islam: Art and Ethics in a Muslim Lifeworld. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2010). Hlm 46

[7] David G Marr, Picturing Islam :Arts and ethics in a Muslim liveworld  by kenneth M george jurnal asian of studies  hlm 285

[8] Laily Fitriani Seni Kaligrafi: Peran  dan Kontribusinya Terhadap Peradaban Islam  Fakultas Humaniora dan Budaya (Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang) hlm 3.

[9] M. Abdul Jabbar Beg, Seni di dalam Peradaban Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988), hlm. 1
[10] Laiyli fitiriyah, Ibid,  hlm 5-7
[11]  Sirojudin A.R, Op, Cit, hlm 223-224

Tidak ada komentar:

Posting Komentar