oleh : Choirul Azka
A.Pendahuluan
Ada berbagai macam definisi tentang relativisme, tetapi
disini pemakalah akan menguraikan tentang arti relativisme khususnya akan
dibahas mengenai tokoh George Bernard Shaw tentang relativisme nilai.
B. Pembahasan
1. Biografi George Bernard Shaw
George
Bernard Shaw lahir pada 26 Juli 1856 di Dublin, sebagai anak dari George Carr
Shaw, yang dalam perdagangan gandum grosir dan Lucinda Elisabeth Shaw, putri
seorang pemilik tanah miskin. Masa
kanak-kanak Shaw merasa terganggu. Ayahnya adalah seorang pemabuk.
Shaw
pergi ke Wesleyan Connexional Sekolah, kemudian pindah ke sebuah sekolah swasta
dekat Dalkey dan kemudian ke Dublin's Central Model Sekolah, mengakhiri
pendidikan formal di Dublin Inggris Ilmiah dan Umum Hari Sekolah. Pada usia 15
ia mulai bekerja sebagai pegawai junior. Pada tahun 1876 ia pergi ke London,
bergabung dengan kakak dan ibunya. Shaw tidak kembali ke Irlandia selama hampir tiga puluh tahun.
Shaw memulai karir sastra dengan menulis
kritik musik, teater dan novel.
Pada tahun 1884 bergabung dengan Shaw Fabian Society, sebuah kelompok sosialis
kelas menengah dan bertugas di komite eksekutif 1885-1911.
Shaw adalah orang yang berpaham rasional
radikal, ia sama sekali mengabaikan konvensi, minat dialektika dan kecerdasan
verbal sering mengubah panggung menjadi sebuah forum ide-ide dan tempat lebih
terbuka, yang ketiga tindakan dari dramatisasi mengejar cinta wanita manusia,
Man dan Superman (1903).
George Bernard Shaw meninggal dunia di
Ayot St Lawrence, Hertfordshire, pada tanggal 2 November 1950. Selama karirnya
yang panjang, Shaw menulis lebih dari 50 naskah drama. Dia adalah seorang
novelis, kritikus, esaias, politikus dan orator Irlandia yang menetap di
Inggris.[1]
2. Pengertian
Relativisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Relativisme adalah pandangan bahwa pengetahuan itu dibatasi, baik oleh akal
budi yang serba terbatas maupun oleh cara mengetahui yang serba terbatas.
Sebelum melangkah ke pembahasan yang lebih
mendalam, ada baiknya mengetahui dahulu arti relativisme secara bahasa dan
istilah. Secara etimologis, relativisme yang dalam bahasa Inggrisnya
relativism, relative berasal dari bahasa latin relativus (berhubungan dengan).
Dalam penerapan epistemologisnya, ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran
adalah relatif. Penggagas utama paham ini adalah Protagoras, Pyrrho.
Sedangkan secara terminologis, makna
relativisme seperti yang tertera dalam Ensiklopedi Britannica adalah doktrin
bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan budaya,
masyarakat maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat
mutlak. Lebih lanjut ensiklopedi ini menjelaskan bahwa dalam paham relativisme
apa yang dikatakan benar atau salah,
baik atau buruk itu tidak
bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relatif tergantung
pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial.
3. Sejarah munculnya
pham Relativisme dan perkembangannya
Doktrin relativisme mulanya berasal dari Protagoras
(490SM - 420SM),
tokoh Sophis Yunani terkemuka abad 5 SM. Ia termasuk salah seorang sofis
pertama dan juga yang paling terkenal. Selain
sebagai filsuf, ia juga dikenal sebagai orator dan pendebat ulung. Ia
berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of
all things). Manusia yang dimaksud di sini adalah manusia sebagai individu.
Dengan demikian, pengenalan terhadap sesuatu bergantung pada individu yang
merasakan sesuatu itu dengan panca indranya. Contohnya bagi orang sakit, angin
terasa dingin. Sedangkan bagi orang sehat, angin itu terasa panas. Di sini
kedua orang tersebut benar, sebab pengenalan terhadap angin berdasarkan keadaan
fisik dan psikis orang-orang tersebut.
Di zaman Barat postmodern doktrin ini
dicetuskan oleh F. Nietzsche dengan doktrin yang disebut nihilisme yang intinya
adalah relativisme. Kemudian relativisme berkembang pada peradaban modern yang
didasarkan atas dasar rasionalisme, materialisme, positivisme, evolusionisme dan hedonisme. Paham ini selalu terkait
dengan masalah etika, agama dan kebudayaan. Pada abad ke-20 paham ini mendapat
dukungan dari ahli-ahli antropologi dan pengajian kemanusiaan seperti Ruth
Benedict, Edward Westermarck, Hans Reihenbach dan lain-lain.
Dalam bukunya Ethical Judgment, Edel
memperinci beberapa faktor suburnya relativisme pada abad ke-20. Pertama, pandangan bahwa peradaban dan
kebudayaan, begitu pula agama, sebenarnya hanya buatan manusia. Dan manusia,
menurut Darwin, adalah bagian daripada dunia hewan. Kebenaran tidak pernah
diperoleh manusia dari Tuhan, kerana Tuhan itu tidak dikenali serta nun jauh di
sana dan tidak pernah ada hubungannya dengan manusia.
Kedua, dalam kehidupan politik, manusia modern
mengukur baik dan buruknya tindakan politik hanya berdasarkan ukuran
dimilikinya kekuasaan. Cara pandang ini dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
politik itu sendiri. Sejak Machiavelli sampai Marx dan Lenin, terus hingga masa
kini, yang dijadikan perhatian ialah bagaimana merebut dan meraih kekuasaan.
Kekuasaan dijadikan tujuan dan dipergunakan sebagai sarana dalam upaya memahami
perjuangan manusia di lapangan sosial.
Ketiga, Teori ekonomi dan pandangan psikologi
modern juga tidak kurang pentingnya dalam ikut menyuburkan relativisme, seperti
misalnya teori Pavlov, Karen Horney dan Abram Kardiner.
Keempat, Relativisme juga muncul kerana manusia
tidak lagi mengetahui jalan yang bisa menghubungkan dirinya dengan
sumber-sumber kebenaran, sedangkan citra dirinya dan hubungannya dengan
sumber-sumber kebenaran telah dikaburkan oleh pandangan yang menempatkan
dirinya tidak lebih tinggi dari hewan bahkan benda.
4. Aliran-Aliran
Relativisme
a. Relativisme
Etika
Relativisme
etika merupakan paham atau aliran pemikiran filsafat yang secara tegas menolak
pendapat yang mengatakan bahwa norma etika berlaku untuk semua orang di mana
saja.
Pengertian lain, Shomali telah memberikan
definisi yang cukup mudah dipahami yaitu relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip etika yang
benar secara universal,
kebenaran semua prinsip etika bersifat relatif terhadap budaya atau individu
tertentu. Sebagai contoh, membunuh itu bisa benar dan juga bisa salah
tergantung apa tujuan orang melakukan pembunuhan.
Tidak sedikit filsuf yang menganut aliran ini.
Protagoras, misalnya, mengatakan bahwa benar-salahnya sesuatu tergantung pada
individu yang memberi penilaian. Engels menyatakan bahwa ‘penilaian moral’
(moral judgment) tergantung pada kelas sosial tertentu, sementara Hegel menegaskan bahwa negaralah
yang menentukan penilaian mana yang benar dan yang salah.
Kesimpulan dari paham ini yaitu tindakan yang dianggap tidak beretika di satu
tempat, tidak bisa ditetapkan sebagai etika di tempat lain. Karena beda suku,
budaya dan bahasa, maka beda pula standarisasi etikanya. Maka kebenaran atas
etika suatu kaum adalah relatif.
b. Relativisme
Budaya
Relativisme budaya berbeda dengan relativisme
etika. Relativisme etika berbicara tentang pengabaian prinsip dan tidak adanya
rasa tangggung jawab dalam pengalaman hidup seseorang. Sebaliknya, relativisme
budaya berbicara mengenai pegangan yang teguh pada prinsip, pengembangan prinsip
tersebut dan tanggung jawab penuh dalam kehidupan dan pengalaman seseorang.
Jika perkembangan budaya antara satu wilayah
budaya dengan wilayah budaya lainnya berbeda, maka standar kebenaran dan
kebaikan yang ada tiap kelompok budaya akan berbeda satu dengan yang lainnya.
Dari sinilah terbentuk nilai-nilai budaya yang sifatnya relatif. Meskipun
demikian, adanya relativitas budaya secara konseptual dan sistematis
dipopulerkan oleh Frans Boaz, seorang antropolog budaya berkebangsaan Amerika.
Relativisme budaya memandang bahwa tidak ada
budaya yang lebih baik dari budaya lainya. Karenanya tidak ada kebenaran atau
kesalahan yang bersifat internasional. Ia menolak pandangan bahwa terdapat
kebenaran yang bersifat universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas
budaya adalah suatu prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus
difahami berdasarkan kebudayaannya.
Sisi positif dari paham relativisme budaya ini
adalah dapat menyesuaikan dirinya dengan budaya sekitarnya, dan tidak pernah
menganggap bahwa budayanya adalah budaya yang terbaik. Sedangkan dampak
negatifnya bisa dirasakan oleh suatu negara, misalkan jika Indonesia sudah memiliki paham
relativisme yang sangat kuat, namun ada imigran yang baru datang, maka secara
otomatis pemerintah sangat sulit untuk memberi pengarahan kepada imigran
tersebut.
c. Relativisme
Agama
Lain halnya dengan relativisme etika dan
budaya, inilah ujung dari paham relativisme yang sangat mengkhawatirkan, yaitu
relativisme agama. Paham ini mengajarkan ketidakyakinan atau keraguan umat
beragama terhadap kebenaran agamanya sendiri. Inilah akar dari pemikiran
Pluralisme Agama yang mengakui kebenaran relatif dari semua agama.
Doktrin ini mengajarkan bahwa agama tidak lagi
berhak mengklaim mempunyai kebenaran absolut, ia dipahami sama dengan persepsi
manusia sendiri yang relatif itu. Manusia dikatakan tidak dapat mengetahui
kebenaran absolut. Pemilik kebenaran hakiki hanya Tuhan. Implikasinya, penganut
paham ini membedakan agama dari pemikiran keberagamaan. Frameworknya masih
berkutat dikotomi absolut relatif. Agama itu absolut dan pemikiran keagamaan
itu relatif. Akibat dari doktrin ini, tafsir yang merupakan pemahaman para
ulama itu menjadi relatif, demikian pula pemahaman hukum para ulama juga
relatif. Karena sifatnya relatif dan tidak absolut maka ilmu para ulama tidak
dapat dijadikan rujukan, sehingga para ulama itu dianggap tidak memiliki
otoritas dan tidak boleh memberi fatwa. Maka dari itu tidak heran jika para
pelajar Muslim penganut paham liberalisme dan relativisme itu sangat anti
kepada fatwa Majelis Ulama atau sejenisnya.[2]
5.
Norma moral
bersifat objektif dan universal
Jika kita setuju bahwa norma moral pada dasarnya Absolute
maka sudah dapat diterima juga bahwa norma itu bersifat objektif dan universal
dengan mempelajari objektivitas dan universalitas norma moral kita hanya
memandang aspek lain dari kenyataan yang sama dalam tata urutan norma moral
secara implisit sudah tercantum objektivitas dan universalitasnya. Karena itu
disini kita sebenarnya tidak membahas sesuatu yang baru, akan menjadi jelas
juga bahwa sama seperti keabsolutan norma mural objektivitas dan
universalitasnya pun harus dimengerti dengan nuansa yang semestinya.
a.
Objektivitas norma
moral
Ketika kita mempelajari nilai pada umumnya kita lihat
bahwa suatu nilai selalu berkaitan dengan subjek. Dalam arti itu suatu nilai
bersifat subjektif hal itu bisa dikatakan tentang semua nilai, termasuk juga
nilai moral. Nilai selalu merupakan nilai untuk seseorang. Mustahil Allah suatu
nilai pada dirinya, terlepas dari penilaian oleh subjek apapun. Ciri subjektif
itu telah kita pelajari dengan membandingkan nilai dengan fakta. Perbedaannya
adalah bahwa Fakta pada dirinya tanpa kehadiran saksi mata memang mungkin
sedangkan nilai selalu merupakan nilai bagi seseorang. Bahwa buah durian jatuh
dari pohon merupakan suatu fakta walaupun tidak ada orang yang menyaksikan
kejadian itu tapi bahwa buah durian enak untuk dimakan atau laris kalau dijual
di Pasar, adalah nilai yang berkaitan dengan penilaian seseorang atau
sekelompok orang karena nilai moral menyatakan suatu norma moral maka dalam
norma moral pun ada unsur subjektif.
b.
Universalitas norma moral
Kalau norma moral moral bersifat Absolut maka tidak boleh
tidak norma itu harus juga universal artinya harus berlaku selalu dan di mana-mana.
Mustahil Allah norma moral yang berlaku di suatu tempat tapi tidak berlaku di
tempat lain. Hal itu memang dapat terjadi dengan norma hukum atau yang
didasarkan pada undang-undang yang berbeda tapi tidak mungkin terjadi dengan
norma moral bisa saja bahwa satu negara mengenal undang-undang yang melindungi
rahasia bank sedangkan negara lain tidak punya, tapi sulit untuk dibayangkan
bahwa norma kejujuran berlaku di tempat tertentu saja tapi
tidak berlaku di tempat lain.[3]
6. Pemikiran George Bernard Shaw
Pemikiran
Shaw tentang relativisme budaya salah satunya dapat terlacak dalam bentuk novel
dan kumpulan-kumpulan surat pribadinya. Novel Shaw tersebut berjudul Saint,
Major Barbara, Anndrocles
and the Lion. Novel itu banyak membahas dogma kristen dan pribadi Yesus. Di
antara sub bahasan novel Shaw ini yang ada kaitannya dengan pembahasan makalah
ini adalah masalah relativitas agama. Jika setuju dengan pendapat E.B. Tylor
dan pernyataan Clifford Geertz bahwa agama (kepercayaan) bagian dari budaya,
maka konsep relativitasme budaya juga
terjadi pada agama. Artinya, bahwa kebenaran yang diusung oleh agama juga
bersifat relatif. Relativitasme agama banyak mempengaruhi pengikut aliran ini
dalam membangun teologi inklusif dalam agama. Agama berpenampilan ramah terhadap
agama lain. Wujud suatu agama bukan ancaman bagi agama lain. Dalam konteks
inilah, agama akan mewujud menjadi doktrin yang toleran. Pluralitas agama
dipandang sesuatu yang niscaya bahwa setiap agama mempunyai hak yang sama untuk
eksis.
Nalar
ini akan menjadi rujukan bagi pengikut relativisme agama termasuk Shaw. Maka
wajar jika kemudian Shaw dikenal sebagai tokoh yang toleran. Toleransi Shaw
dapat diperhatikan dari pernyataannya. Menurut Shaw
(1956, 333) bahwa agama yang toleran terhadap minoritas agama pada hakekatnya
sama dengan mentoleransi agama itu sendiri.
Memang perubahan nama agama dan format agama yang terbentuk telah
menimbulkan sedikit perbedaan, tapi perbedaan itu jangan sampai menghambat
sikap terpuji tersebut.
Di
samping menimbulkan sikap toleran, Hal ini juga diperlihatkan oleh Shaw.
Misalnya, dia tidak segan-segan mengakui keistimewaan Nabi Muhammad sebagai
penyelamat manusia. Katanya, "Saya telah mempelajari dia (Muhammad
Shallallahu Alaihi wa Sallam) laki-laki yang luar biasa dan menurut saya,
terlepas dari pemikiran anti kristen, dia adalah penyelamat umat manusia.
C. Kesimpulan
Jadi
nilai dari filsafat nilai yang diajarkan oleh Shaw adalah mengedepankan
toleransi agar tidak menimbulkan konflik, karena perubahan nama dan format
agama yang terbentuk telah menimbulkan perbedaan, tapi perbedaan itu jangan
sampai menghambat sikap tersebut. Dengan demikian pemikiran relativisme nilai
tokoh Shaw berarti bahwa nilai itu adalah obyektif.
D.
Daftar Pustaka
http://wisatateater.blogspot.co.id/2011/03/bernard-shaw-biografi.html?m=. Diakses pada hari selasa pukul 16.07 wib
ta[1]
www.kaliakbar.com/2014/12/paham-relativisme-pengertian
-aliran-dan.html?m=. Diakses pada hari selala pukul 16.00 tanggal 24 Aprel 2018
nggal 24
Aprel 2018.
K. Bertens.
Etika.
[1] http://wisatateater.blogspot.co.id/2011/03/bernard-shaw-biografi.html?m=. Diakses pada hari selasa pukul 16.07 wib
tanggal 24 Aprel 2018.
[2] www.kaliakbar.com/2014/12/paham-relativisme-pengertian
-aliran-dan.html?m=. Diakses pada hari selala pukul 16.00 tanggal 24 Aprel
2018.
[3] K, Bertens. Etika. Hal : 157 & 159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar