Selasa, 26 Juni 2018

Relativisme Moral George Bernard Shaw


oleh : Choirul Azka
   A.Pendahuluan
Ada berbagai macam definisi tentang relativisme, tetapi disini pemakalah akan menguraikan tentang arti relativisme khususnya akan dibahas mengenai tokoh George Bernard Shaw tentang relativisme nilai.
B. Pembahasan
1. Biografi George Bernard Shaw        
George Bernard Shaw lahir pada 26 Juli 1856 di Dublin, sebagai anak dari George Carr Shaw, yang dalam perdagangan gandum grosir dan Lucinda Elisabeth Shaw, putri seorang pemilik tanah miskin. Masa kanak-kanak Shaw merasa terganggu. Ayahnya adalah seorang pemabuk.
Shaw pergi ke Wesleyan Connexional Sekolah, kemudian pindah ke sebuah sekolah swasta dekat Dalkey dan kemudian ke Dublin's Central Model Sekolah, mengakhiri pendidikan formal di Dublin Inggris Ilmiah dan Umum Hari Sekolah. Pada usia 15 ia mulai bekerja sebagai pegawai junior. Pada tahun 1876 ia pergi ke London, bergabung dengan kakak dan ibunya. Shaw tidak kembali ke Irlandia selama hampir tiga puluh tahun.
      Shaw memulai karir sastra dengan menulis kritik musik, teater dan novel. Pada tahun 1884 bergabung dengan Shaw Fabian Society, sebuah kelompok sosialis kelas menengah dan bertugas di komite eksekutif 1885-1911.
      Shaw adalah orang yang berpaham rasional radikal, ia sama sekali mengabaikan konvensi, minat dialektika dan kecerdasan verbal sering mengubah panggung menjadi sebuah forum ide-ide dan tempat lebih terbuka, yang ketiga tindakan dari dramatisasi mengejar cinta wanita manusia, Man dan Superman (1903).
       George Bernard Shaw meninggal dunia di Ayot St Lawrence, Hertfordshire, pada tanggal 2 November 1950. Selama karirnya yang panjang, Shaw menulis lebih dari 50 naskah drama. Dia adalah seorang novelis, kritikus, esaias, politikus dan orator Irlandia yang menetap di Inggris.[1]
2. Pengertian Relativisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Relativisme adalah pandangan bahwa pengetahuan itu dibatasi, baik oleh akal budi yang serba terbatas maupun oleh cara mengetahui yang serba terbatas.
Sebelum melangkah ke pembahasan yang lebih mendalam, ada baiknya mengetahui dahulu arti relativisme secara bahasa dan istilah. Secara etimologis, relativisme yang dalam bahasa Inggrisnya relativism, relative berasal dari bahasa latin relativus (berhubungan dengan). Dalam penerapan epistemologisnya, ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran adalah relatif. Penggagas utama paham ini adalah Protagoras, Pyrrho.
Sedangkan secara terminologis, makna relativisme seperti yang tertera dalam Ensiklopedi Britannica adalah doktrin bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan budaya, masyarakat maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat mutlak. Lebih lanjut ensiklopedi ini menjelaskan bahwa dalam paham relativisme apa yang dikatakan benar atau salah, baik atau buruk itu tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relatif tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial.
3. Sejarah munculnya pham Relativisme dan perkembangannya
Doktrin relativisme mulanya berasal dari Protagoras (490SM - 420SM), tokoh Sophis Yunani terkemuka abad 5 SM. Ia termasuk salah seorang sofis pertama dan juga yang paling terkenal. Selain sebagai filsuf, ia juga dikenal sebagai orator dan pendebat ulung. Ia berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things). Manusia yang dimaksud di sini adalah manusia sebagai individu. Dengan demikian, pengenalan terhadap sesuatu bergantung pada individu yang merasakan sesuatu itu dengan panca indranya. Contohnya bagi orang sakit, angin terasa dingin. Sedangkan bagi orang sehat, angin itu terasa panas. Di sini kedua orang tersebut benar, sebab pengenalan terhadap angin berdasarkan keadaan fisik dan psikis orang-orang tersebut.
Di zaman Barat postmodern doktrin ini dicetuskan oleh F. Nietzsche dengan doktrin yang disebut nihilisme yang intinya adalah relativisme. Kemudian relativisme berkembang pada peradaban modern yang didasarkan atas dasar rasionalisme, materialisme, positivisme, evolusionisme dan hedonisme. Paham ini selalu terkait dengan masalah etika, agama dan kebudayaan. Pada abad ke-20 paham ini mendapat dukungan dari ahli-ahli antropologi dan pengajian kemanusiaan seperti Ruth Benedict, Edward Westermarck, Hans Reihenbach dan lain-lain.
Dalam bukunya Ethical Judgment, Edel memperinci beberapa faktor suburnya relativisme pada abad ke-20. Pertama, pandangan bahwa peradaban dan kebudayaan, begitu pula agama, sebenarnya hanya buatan manusia. Dan manusia, menurut Darwin, adalah bagian daripada dunia hewan. Kebenaran tidak pernah diperoleh manusia dari Tuhan, kerana Tuhan itu tidak dikenali serta nun jauh di sana dan tidak pernah ada hubungannya dengan manusia.
Kedua, dalam kehidupan politik, manusia modern mengukur baik dan buruknya tindakan politik hanya berdasarkan ukuran dimilikinya kekuasaan. Cara pandang ini dipengaruhi oleh perkembangan ilmu politik itu sendiri. Sejak Machiavelli sampai Marx dan Lenin, terus hingga masa kini, yang dijadikan perhatian ialah bagaimana merebut dan meraih kekuasaan. Kekuasaan dijadikan tujuan dan dipergunakan sebagai sarana dalam upaya memahami perjuangan manusia di lapangan sosial.
Ketiga, Teori ekonomi dan pandangan psikologi modern juga tidak kurang pentingnya dalam ikut menyuburkan relativisme, seperti misalnya teori Pavlov, Karen Horney dan Abram Kardiner.
Keempat, Relativisme juga muncul kerana manusia tidak lagi mengetahui jalan yang bisa menghubungkan dirinya dengan sumber-sumber kebenaran, sedangkan citra dirinya dan hubungannya dengan sumber-sumber kebenaran telah dikaburkan oleh pandangan yang menempatkan dirinya tidak lebih tinggi dari hewan bahkan benda.
4. Aliran-Aliran Relativisme
a. Relativisme Etika
Relativisme etika merupakan paham atau aliran pemikiran filsafat yang secara tegas menolak pendapat yang mengatakan bahwa norma etika berlaku untuk semua orang di mana saja.
Pengertian lain, Shomali telah memberikan definisi yang cukup mudah dipahami yaitu relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip etika yang benar secara universal, kebenaran semua prinsip etika bersifat relatif terhadap budaya atau individu tertentu. Sebagai contoh, membunuh itu bisa benar dan juga bisa salah tergantung apa tujuan orang melakukan pembunuhan.
Tidak sedikit filsuf yang menganut aliran ini. Protagoras, misalnya, mengatakan bahwa benar-salahnya sesuatu tergantung pada individu yang memberi penilaian. Engels menyatakan bahwa ‘penilaian moral’ (moral judgment) tergantung pada kelas sosial tertentu, sementara Hegel menegaskan bahwa negaralah yang menentukan penilaian mana yang benar dan yang salah.
Kesimpulan dari paham ini yaitu tindakan yang dianggap tidak beretika di satu tempat, tidak bisa ditetapkan sebagai etika di tempat lain. Karena beda suku, budaya dan bahasa, maka beda pula standarisasi etikanya. Maka kebenaran atas etika suatu kaum adalah relatif.
b. Relativisme Budaya
Relativisme budaya berbeda dengan relativisme etika. Relativisme etika berbicara tentang pengabaian prinsip dan tidak adanya rasa tangggung jawab dalam pengalaman hidup seseorang. Sebaliknya, relativisme budaya berbicara mengenai pegangan yang teguh pada prinsip, pengembangan prinsip tersebut dan tanggung jawab penuh dalam kehidupan dan pengalaman seseorang.
Jika perkembangan budaya antara satu wilayah budaya dengan wilayah budaya lainnya berbeda, maka standar kebenaran dan kebaikan yang ada tiap kelompok budaya akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah terbentuk nilai-nilai budaya yang sifatnya relatif. Meskipun demikian, adanya relativitas budaya secara konseptual dan sistematis dipopulerkan oleh Frans Boaz, seorang antropolog budaya berkebangsaan Amerika.
Relativisme budaya memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik dari budaya lainya. Karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat internasional. Ia menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran yang bersifat universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas budaya adalah suatu prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan kebudayaannya.
Sisi positif dari paham relativisme budaya ini adalah dapat menyesuaikan dirinya dengan budaya sekitarnya, dan tidak pernah menganggap bahwa budayanya adalah budaya yang terbaik. Sedangkan dampak negatifnya bisa dirasakan oleh suatu negara, misalkan jika Indonesia sudah memiliki paham relativisme yang sangat kuat, namun ada imigran yang baru datang, maka secara otomatis pemerintah sangat sulit untuk memberi pengarahan kepada imigran tersebut.
c. Relativisme Agama
Lain halnya dengan relativisme etika dan budaya, inilah ujung dari paham relativisme yang sangat mengkhawatirkan, yaitu relativisme agama. Paham ini mengajarkan ketidakyakinan atau keraguan umat beragama terhadap kebenaran agamanya sendiri. Inilah akar dari pemikiran Pluralisme Agama yang mengakui kebenaran relatif dari semua agama.
Doktrin ini mengajarkan bahwa agama tidak lagi berhak mengklaim mempunyai kebenaran absolut, ia dipahami sama dengan persepsi manusia sendiri yang relatif itu. Manusia dikatakan tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Pemilik kebenaran hakiki hanya Tuhan. Implikasinya, penganut paham ini membedakan agama dari pemikiran keberagamaan. Frameworknya masih berkutat dikotomi absolut relatif. Agama itu absolut dan pemikiran keagamaan itu relatif. Akibat dari doktrin ini, tafsir yang merupakan pemahaman para ulama itu menjadi relatif, demikian pula pemahaman hukum para ulama juga relatif. Karena sifatnya relatif dan tidak absolut maka ilmu para ulama tidak dapat dijadikan rujukan, sehingga para ulama itu dianggap tidak memiliki otoritas dan tidak boleh memberi fatwa. Maka dari itu tidak heran jika para pelajar Muslim penganut paham liberalisme dan relativisme itu sangat anti kepada fatwa Majelis Ulama atau sejenisnya.[2]
5. Norma moral bersifat objektif dan universal
Jika kita setuju bahwa norma moral pada dasarnya Absolute maka sudah dapat diterima juga bahwa norma itu bersifat objektif dan universal dengan mempelajari objektivitas dan universalitas norma moral kita hanya memandang aspek lain dari kenyataan yang sama dalam tata urutan norma moral secara implisit sudah tercantum objektivitas dan universalitasnya. Karena itu disini kita sebenarnya tidak membahas sesuatu yang baru, akan menjadi jelas juga bahwa sama seperti keabsolutan norma mural objektivitas dan universalitasnya pun harus dimengerti dengan nuansa yang semestinya.
a.    Objektivitas  norma moral
Ketika kita mempelajari nilai pada umumnya kita lihat bahwa suatu nilai selalu berkaitan dengan subjek. Dalam arti itu suatu nilai bersifat subjektif hal itu bisa dikatakan tentang semua nilai, termasuk juga nilai moral. Nilai selalu merupakan nilai untuk seseorang. Mustahil Allah suatu nilai pada dirinya, terlepas dari penilaian oleh subjek apapun. Ciri subjektif itu telah kita pelajari dengan membandingkan nilai dengan fakta. Perbedaannya adalah bahwa Fakta pada dirinya tanpa kehadiran saksi mata memang mungkin sedangkan nilai selalu merupakan nilai bagi seseorang. Bahwa buah durian jatuh dari pohon merupakan suatu fakta walaupun tidak ada orang yang menyaksikan kejadian itu tapi bahwa buah durian enak untuk dimakan atau laris kalau dijual di Pasar, adalah nilai yang berkaitan dengan penilaian seseorang atau sekelompok orang karena nilai moral menyatakan suatu norma moral maka dalam norma moral pun ada unsur subjektif.
b.    Universalitas norma moral
Kalau norma moral moral bersifat Absolut maka tidak boleh tidak norma itu harus juga universal artinya harus berlaku selalu dan di mana-mana. Mustahil Allah norma moral yang berlaku di suatu tempat tapi tidak berlaku di tempat lain. Hal itu memang dapat terjadi dengan norma hukum atau yang didasarkan pada undang-undang yang berbeda tapi tidak mungkin terjadi dengan norma moral bisa saja bahwa satu negara mengenal undang-undang yang melindungi rahasia bank sedangkan negara lain tidak punya, tapi sulit untuk dibayangkan bahwa norma kejujuran berlaku di tempat tertentu saja tapi tidak berlaku di tempat lain.[3]

6. Pemikiran George Bernard Shaw
Pemikiran Shaw tentang relativisme budaya salah satunya dapat terlacak dalam bentuk novel dan kumpulan-kumpulan surat pribadinya. Novel Shaw tersebut berjudul Saint, Major Barbara, Anndrocles and the Lion. Novel itu banyak membahas dogma kristen dan pribadi Yesus. Di antara sub bahasan novel Shaw ini yang ada kaitannya dengan pembahasan makalah ini adalah masalah relativitas agama. Jika setuju dengan pendapat E.B. Tylor dan pernyataan Clifford Geertz bahwa agama (kepercayaan) bagian dari budaya, maka  konsep relativitasme budaya juga terjadi pada agama. Artinya, bahwa kebenaran yang diusung oleh agama juga bersifat relatif. Relativitasme agama banyak mempengaruhi pengikut aliran ini dalam membangun teologi inklusif dalam agama. Agama berpenampilan ramah terhadap agama lain. Wujud suatu agama bukan ancaman bagi agama lain. Dalam konteks inilah, agama akan mewujud menjadi doktrin yang toleran. Pluralitas agama dipandang sesuatu yang niscaya bahwa setiap agama mempunyai hak yang sama untuk eksis.
Nalar ini akan menjadi rujukan bagi pengikut relativisme agama termasuk Shaw. Maka wajar jika kemudian Shaw dikenal sebagai tokoh yang toleran. Toleransi Shaw dapat diperhatikan dari pernyataannya. Menurut Shaw (1956, 333) bahwa agama yang toleran terhadap minoritas agama pada hakekatnya sama dengan mentoleransi agama itu sendiri.  Memang perubahan nama agama dan format agama yang terbentuk telah menimbulkan sedikit perbedaan, tapi perbedaan itu jangan sampai menghambat sikap terpuji tersebut.
Di samping menimbulkan sikap toleran, Hal ini juga diperlihatkan oleh Shaw. Misalnya, dia tidak segan-segan mengakui keistimewaan Nabi Muhammad sebagai penyelamat manusia. Katanya, "Saya telah mempelajari dia (Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) laki-laki yang luar biasa dan menurut saya, terlepas dari pemikiran anti kristen, dia adalah penyelamat umat manusia.
C. Kesimpulan
Jadi nilai dari filsafat nilai yang diajarkan oleh Shaw adalah mengedepankan toleransi agar tidak menimbulkan konflik, karena perubahan nama dan format agama yang terbentuk telah menimbulkan perbedaan, tapi perbedaan itu jangan sampai menghambat sikap tersebut. Dengan demikian pemikiran relativisme nilai tokoh Shaw berarti bahwa nilai itu adalah obyektif.
D.     Daftar Pustaka

http://wisatateater.blogspot.co.id/2011/03/bernard-shaw-biografi.html?m=. Diakses pada hari selasa pukul 16.07 wib ta[1]
www.kaliakbar.com/2014/12/paham-relativisme-pengertian -aliran-dan.html?m=. Diakses pada hari selala pukul 16.00 tanggal 24 Aprel 2018
nggal 24 Aprel 2018.
K. Bertens. Etika.



[1] http://wisatateater.blogspot.co.id/2011/03/bernard-shaw-biografi.html?m=. Diakses pada hari selasa pukul 16.07 wib tanggal 24 Aprel 2018.
[2] www.kaliakbar.com/2014/12/paham-relativisme-pengertian -aliran-dan.html?m=. Diakses pada hari selala pukul 16.00 tanggal 24 Aprel 2018.
[3] K, Bertens. Etika. Hal : 157 & 159

Tidak ada komentar:

Posting Komentar