Rabu, 25 April 2018

Habermas: sang pioner sosial


     
A.    PENDAHULUAN
Masalah yang mengemuka dalam filsafat sosial dan politik terkait dengan hakikat suatu kajian filsafat tercermin dalam pertanyaan-pertanyaan: Apa peran yang semestinya dilakukan oleh ‘rasio’ dalam refleksi-refleksi abstrak tentang masyarakat? Apakah suatu teoritisasi atas dasar suatu perspektif yang tidak memihak dan netral tentang masyarakat itu mungkin? Ataukah teoritisasi yang ada ini hanyalah sebuah permukaan dari suatu pemikiran yang sesungguhnya bias dan ditujukan hanya untuk kepuasan diri sendiri?
Persoalan ‘metodologis’ dalam pemahaman sosial ini sesungguhnya terkait dengan perkembangan yang terjadi pada kajian-kajian tentang realitas sosialpolitik,di samping tuntutan pragmatis untuk menjawab berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Dinamika masyarakat pada satu sisi menuntut adanya reorientasi dan restrukturisasi bangunan metodologis ilmu sosial, pada sisi lain kajian atas dasar sudut pandang baru menyajikan kekayaan analisis atas berbagai dimensi dan hubungan-hubungan sosial yang tak mampu diungkap melalui pendekatan sebelumnya.
Pergeseran pemahaman aspek ‘teoritis’ dan ‘praktis’ dari teori terjadi secara gradual. Akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut pada akhirnya membawa pada situasi ‘keberjarakan’ antara kajian politik klasik dengan realitas sosial dewasa ini. Pendekatan klasik terhadap politik menjadi sesuatu yang asing bagi kita. Politik dan perangkat teori sosial yang mendukungnya menjadi sesuatu yang ‘jauh’, karena kecenderungan yang kuat adanya penekanan pada aspek normatif, dan juga terjadi proses marginalisasi klaim-klaim pengetahuan yang mendasari putusan politik dengan menyatakannya sebagai jenis pengetahuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara epistemologis. Akibatnya, bila dicermati perkembangan yang terjadi dewasa ini pada dunia ‘politik’, jarak kajian ilmiah terhadap ‘dunia praksis’ nampak menjadi semakin lebar.
Jürgen Habermas yang lahir pada tahun 1929 adalah pemikir kontemporer yang mencurahkan usahanya untuk menjawab persoalan-persoalan dasar di atas melalui dan berpijak dari suatu tradisi yang disebut Teori Kritis. Teori Kritis yang dipahami sebagai ‘teori sosial yang dikonsepsikan dengan intensi praktis’, merupakan buah pikiran yang muncul dari refleksi yang luas tentang hakikat pengetahuan, struktur penelitian sosial, dasar normatif interaksi sosial, dan tendensi-tendensi politis, ekonomis, dan sosio-kultural dari jaman ini.

      B.     BIOGRAFI SANG TOKOH
Jurgen Habermas adalah filsuf kontemporer yang paling terkenal di Jerman dan juga menghiasi panggung filsafat internasional. Ia dilahirkan pada 18 Juni 1929 di daerah Dusseldorf Jerman. Habermas merupakan anak Ketua Kamar Dagang propinsi Rheinland – Westfalen di Jerman Barat. Ia dibesarkan di Gummersbach, sebuah kota menengah di Jerman dengan dinamika lingkungan Borjuis-Protestan.
Pada tahun 1953, ketika Habermas sedang sibuk menulis disertasi doktor, ia menerbitkan artikel yang berjudul “Berpikir Bersama Heidegger Melawan Heidegger”. Di lingkungan filsafat akademik Jerman pasca kehancuran akibat Perang Dunia II, Heidegger bagaikan tiang penunjang yang diandalkan, jembatan antara dunia yang berantakan sehabis Hitler dan tradisi luhur filsafat Jerman. Dengan sangat kritis, Habermas berujar “Ingatlah, bagaimana dulu Heidegger menuji Nazi” Bahkan filsafat Heideggerpun dicela Habermas, “bisa dipakai untuk apa-apa saja”.
Karya Habermas berfokus pada landasan-landasan teori sosial dan epistemologi, analisis masyarakat kapitalistik maju dan demokrasi, penegakan hukum (rule of law) dalam konteks sosial-evolusioner kritis, dan politik kontemporer—khususnya politik Jerman.
Sistem teoretis Habermas diabdikan untuk mengungkapkan kemungkinan nalar, emansipasi, dan komunikasi rasional-kritis --yang laten dalam institusi-institusi modern dan dalam kapasitas manusia-- untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh dan mengejar kepentingan-kepentingan rasional.
Sampai kelulusannya dari gimnasium, Habermas tinggal di Gummersbach, dekat Cologne. Ayahnya, Ernst Habermas, adalah Direktur Eksekutif Kamar Dagang dan Industri Cologne. Jurgen Habermas belajar di Universitas Gottingen (1949/50), Zurich (1950/51), dan Bonn (1951-54) dan meraih doktor filsafat dari Bonn pada 1954, dengan disertasi berjudul das Absolute und die Geschichte. Von der Zwiepaltigkeit in Schellings Denken (Yang Absolut dan Sejarah: Tentang Kontradiksi dalam Pemikiran Schelling).
Dari tahun 1956 dan seterusnya, ia belajar filsafat dan sosiologi di bawah pengusung teori kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno di Institut untuk Riset Sosial di Johann Wolfgang Goethe University, Frankfurt am Main. Namun, kemudian terjadi perselisihan antara dua tokoh itu tentang disertasi Habermas.
Adorno yang bangga pada Habermas, relatif lebih bisa menerima disertasi Habermas. Namun, Horkheimer, yang menganggap Habermas terlalu radikal, menuntut revisi-revisi yang tak bisa diterima oleh Habermas. Adanya perselisihan itu, serta keyakinan Habermas bahwa Sekolah Frankfurt sudah lumpuh oleh skeptisisme politik dan kemuakan pada budaya modern, membuat Habermas memilih menyelesaikan habilitasi (disertasi pasca-doktoral) dalam ilmu politik di Universitas Marburg, di bawah bimbingan tokoh Marxis, Wolfgang Abendroth.
Karya habilitasi Habermas berjudul Strukturwandel der Offentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Burgerlichen Gesellschaft (Transformasi Struktural Ranah Publik: Suatu Penyelidikan ke dalam Kategori Masyarakat Borjuis), yang terjemahan Inggrisnya terbit pada 1989.
Pada 1961, Habermas menjadi Privatdozent (dosen luar biasa) di Marburg, dan –dalam langkah yang amat tidak biasa bagi dunia akademis Jerman pada waktu itu—Habermas ditawari posisi “profesor luar biasa” ilmu filsafat di Universitas Heidelberg pada 1962. Tawaran itu ia terima. Pada 1964, Habermas dengan dukungan kuat dari Adorno, kembali ke Frankfurt untuk mengambil alih kursi Horkheimer dalam pengajaran filsafat dan sosiologi.
Habermas menerima posisi Direktur Institut Max Planck di Starnberg, dekat Munich, pada 1971, dan bekerja di sana sampai 1983, dua tahun setelah terbitnya karya utamanya, The Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif). Habermas lalu kembali ke kursinya di Frankfurt dan jabatan Direktur Institut Riset Sosial.
Sejak berhenti (pensiun) dari Frankfurt pada 1993, Habermas terus menerbitkan karyanya secara meluas. Pada 1986, ia menerima Penghargaan Gottfried Wilhelm Leibniz dari Deutsche Forschungsgemeinschaft, yang merupakan bentuk penghargaan tertinggi untuk riset di Jerman. Habermas juga memegang jabatan profesor “tamu permanen” di Northwestern University di Evanston, Illinois, dan “Profesor Theodor Heuss” di The New School, New York, Amerika.
Habermas mengunjungi Republik Rakyat Cina pada April 2001. Ia juga menjadi penerima Penghargaan Kyoto 2004 dalam bidang Seni dan Filsafat. Ia berkunjung ke San Diego, dan pada 5 Maret 2005 –sebagai bagian dari Simposium Kyoto yang diadakan oleh Universitas San Diego—memberikan ceramah berjudul “Peran Publik Agama dalam Konteks Sekuler.” Ceramah ini berkaitan dengan evolusi pemisahan Gereja dan Negara, dari netralitas ke sekularisme yang intens. Habermas menerima penghargaan Holberg International Memorial Prize pada 2005.

     C.    TEORI “LANGUAGE DAN COMMUNICATIVE ACTION” HABERMAS
c.1 Habermas versus Mazhab Frankfrut
Habermas bertolak dari Teori Kritis Masyarakat Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno yang masuk dalam jajaran ‘mazhab Franfurt’,sebuah nama yang semula digunakan untuk menyebut sekelompok sarjana yang bekerja pada institute fur Sozialforschung (lembaga penelitian sosial) di Frankfrut am Main, yang mencapai puncaknya ketika Max Horkheimer menjadi direkturnya dengan ditandai bergabungnya teman dekatnya, seperti T.W Adorno, H. Marcues, Walter Benjamin dan lain sebagainya.[1]
  Ia hendak mengembangkan gagasan teori masyarakat yang dicetuskan dengan maksud yang praksis. Habermas melihat apa yang disampaikan oleh kedua punggawa mazhab Teori Kritis awal itu tidaklah mencukupi untuk menganalisa keadaan masyarakat. Habermas melihat bahwa kebuntuan yang dialami Teori Kritis Frankfurt generasi pertama, yang dipelopori oleh Adorno, Horkheimer, dan Marcuse, tersebut sebenarnya berpijak pada kesalahan epistemologis didalam mengartikan rasionalitas. Bagi para pendahulunya tersebut, rasionalitas lebih dipandang sebagai rasionalitas instrumental, yakni bentuk rasionalitas yang mengutamakan kontrol, dominasi atas alam ataupun manusia untuk menghasilkan efektifitas dan efisiensi, dan prioritas pada hasil yang paling maksimal. Habermas melihat miskonsepsi atas rasionalitas tersebut, dan kemudian merumuskan potensi emansipatoris dari rasionalitas yang tidaklah instrumental, yakni rasionalitas komunikatif. Rasionalitas komunikatif ini sudah tertanam didalam akal budi manusia itu sendiri, dan didalam kemampuan mereka berkomunikasi satu sama lain, sehingga akan selalu ada dan tidak mungkin dihilangkan selama manusia itu masih ada.
Dalam hal ini, Habermas melahirkan gagasan pembagian ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok. Pertama, ilmu empiris-analitis. System kerjanya mencari hokum-hukum pasti, bukan mengamati melainkan mengorganisir kesan yang Nampak secara indrawi dalam naungan kepentingan teknis yang diobjektifkan. Kedua, ilmu histori-hermeneutis. Keinginan memahami, dalam medium bahasa dan interaksi yang bertujuan menangkap makna. Ketiga, ilmu tindakan. Berusaha membantu manusia dalam tindakan bersama. Namun demikian, pemikiran Habermas pada dasarnya terletak atas distingsi ilmu empiris-analitis disatu pihak, dan ilmu kominikasi dipihak lain. Maka, lahirlah gagasan tentang paradigma “kerja” dan paradigma “komunikasi”[2]
c.2 Pemikiran Habermas
Pemikiran Habermas berangkat dari penemuannya tentang distingsi “praksis” tindakan manusia. Tindakan dalam arti yang mempengaruhi proses hidup manusia sebagai makhluk “yang berjenis”, sekaligus yang mempunyai cirri-ciri mendasar yang dapat berobservasi secara empiris.
Penemuan Habermas tentang dua dimensi praksis, kedua dimensi ini tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, yaitu dimensi “kerja” dan “interaksi” atau “komunikasi” yang dikukuhkan dalam penelitiannya tentang struktur social dengan membedakan dua tindakan social. Pertama. “tindakan rasional-bertujuan”, yang meraup dimensi kerja dan; kedua, “tindakan komunikatif”, yang bekerja pada dimensi interaksi.
“Tindakan rasional-bertujuan” itu mengandung sifat yang instrumental, dalam artian bahwa suatu tindakan yang sebetulnya sudah diarahkan oleh aturan tertentu, berdasarkan pengetahuan empiris, dengan cara-cara yang tepat untuk mencapai suatu tujuan, hal ini berlaku pada manusia yang berhubungan dengan alam, dalam artian subyek-objek. Serta mengandung sifat “strategis”, dalam artian sebuah kehendak tindakan yang sudah ditentukan dan tergantung pada pola-pola teori yang sudah dianggap pasti dan penilaiannya sudah ada kaidah-kaidahnya.
“tindakan komunikatif” diarahkan kepada tindakan komunikasi antar subjek-subjek yang disepakati bersama pada hubungan timbale balik, dalam bentuk norma-norma. Symbol-simbol yang dipahami terjadi lewat medium bahasa pergaulan, atau bahasa sehari-hari, karena dalam bahasa struktur pemahaman subjek yang berinteraksi, berkembang bebas dari tekanan atau dominasi.
Dalam tindakan komunikasi, jika manusia mampu sepakat dalam dunia alamiah (berhubungan dengan alam) dan dunia objektif (berhubungan dengan masyarakat), maka tercapailah ‘klaim kebenaran’(truth). Kemudian, dalam pelaksanaan norma-norma pada konteks dunia social-masyarakat, manusia dapat sepakat , maka tergapailah ‘klaim ketetapan’ (rightness). Selanjutnya, kesuaian antar dunia batiniah dengan ekspresi manusia, dimana keduanya berjalan seimbang, maka akan lahir ‘klaim autentisitas atau kejujuran’ (sincerety). Akhirnya, proses perjalanan unutuk menegejawantahkan macam-macam klaim itu, dimana manusia mampu mencapai kesepakatan dalam prosesnya, maka terwujudlah apa yang dinamakan ‘klaim komprehensibitas’ (comprehensibility).[3]
Pada kondisi semacam ini, Habermas lalu menawarkan gagasan tentang model “non-selektif” untuk mencerna masyarakat yang rasional. Non-selektif dalam arti, kehendak untuk mengembangkan masyarakat rasional secara keseluruhan yang mungkin dengan menyebarkan struktur-struktur kesadaran modern, dimana masyarakatnya sudah semakin rasional. Habermas kemudian mengembangkan teorinya dengan menghubungkan jaring-jaring relasi “pragmatis-formal” manusia, dalam arti berhubungan dengan dunia praksis tindakan manusia. Realitas praksis manusia itu adalah dunia objektif(kenyataan alam), dunia social dan dunia subjektif (diri sendiri). Dengan hadirnya ketiga dunia itu, manusia bisa mengembangkan tiga sikap atasnya, yaitu; sikap mengobjektifkan, sikap konformatif-norma (mengambil jarak untuk bersikap kritis) dan sikap ekspresif (kehendak untuk merealisasikan kritik dengan realitas praksis).[4]

             Dunia
Sikap dasar

Objektif

Social

Subjektif
Mengobjektifkan
Hubungan kognitif-intrumental
Hubungan kognitif-strategis
Hubg objektivitas dengan diri
Konformatif-Norma
Hubg estetis-moral dengan lingkungan yang tidak diobjektifkan
Hubungan kewajiban
Hubungan sensor diri
Ekspresif
Hubg estetis-moral dengan lingkungan yang tidak diobjektifkan
Pernyataan diri
Hubg spontan indrawi dengan diri
Akan tetapi, Habermas kemudian memperingatkan bahwa ada tiga kenyataan yang tidak bisa dirasioanalkan, dimana akan sulit mendapatkan pengetahuan yang sahih. Pertama, sikap menobjektifkan dalam dunia batin (subjektif) sejauh dalam dimensi subjektifitas. Kedua, sikap konfortimatif-norma dalam dunia objektif (alam) karena merupakan wilayah ilmu-ilmu alam dan filsafat alam, yang berusaha untuk mengalih-pindahkan sifat-sifat manusia kepada tubuh alam, sehingga akan sulit Untuk mengejar ketertinggalannya guna menyamai rekor kesuksesan yang ditorehkan oleh ilmu-ilmu alam kepada perkembangan sejarah manusia. Ketiga, sikap ekspresif terhadap dunia social-masyarakat, sebab sikap ekspresif dalam dunia social akan melahirkan konsekuensi pada kesemerawutan terhadap interaksi social, sehingga tidak akan mungkin dapat dirasionalkan.[5]
Bagi Habermas, ketika seseorang berhubungan dengan dunia kehidupan, maka dia mengalami salah satu dari 3 relasi pragmatis. Pertama, dengan sesuatu di dunia objektif (sebagai totalitas entitas yang memungkinkan adanya pernyataan yang benar. Kedua, dengan sesuatu di dunia sosial (sebagai totalitas hubungan antar pribadi yang diatur secara legitim/sah). Ketiga, dengan sesuatu di dunia subjektif (sebagai totalitas pengalaman yang akses ke dalamnya hanya dimiliki si pembicara dan yang dapat dia ungkapkan di hadapan orang banyak).[6]
Ucapan komunikatif selalu melekat pada berbagai hubungan dengan dunia. Tindakan komunikatif bersandar pada proses kooperatif interpretasi tempat partisipan berhubungan bersamaan dengan sesuatu di dunia objektif, sosial, dan subjektif. Pembicara dan pendengar menggunakan sistem acuan ketiga dunia tersebut sebagai kerangka kerja interpretatif tempat mereka memahami definisi situasi bersama. Mereka tidak secara langsung mengaitkan diri dengan sesuatu di dunia namun merelatifkan ucapan mereka berdasarkan kesempatan aktor lain untuk menguji validitas ucapan tersebut. Kesepahaman terjadi ketika ada pengakuan intersubjektif atas klaim validitas yang dikemukan pembicara. Konsensus tidak akan tercipta manakal pendengar menerima kebenaran pernyataan namun pada saat yang sama juga meragukan kejujuran pembicara atau kesesuaian ucapannya dengan norma.
Proses yang terjadi dalam ucapan komunikasi adalah konfirmasi (pembuktian), pengubahan, penundaan sebagian, atau dipertanyakan secara keseluruhan. Proses defenisi dan redefinisi ini yang terus berlangsung ini meliputi korelasi isi dengan dunia (ditafsirkan secara konsensual dari dunia objektif, sebagai elemen privat dunia subjektif yang hanya bisa diakses oleh orang yang bersangkutan. Jadi komunikasi terbentuk dalam situasi intersubjektif, dimana “situasi” tidak didefinisikan secara kaku, tapi diselami konteks-konteks relevansinya,
Tindakan komunikatif memiliki 2 aspek, aspek teologis yang terdapat pada perealisasian tujuan seseorang (atau dalam proses penerapan rencana tindakannya) dan aspek komunikatif yang terdapat dalam interpretasi atas situasi dan tercapainya kesepakatan. Dalam tindakan komunikatif, partisipan menjalankan rencananya secara kooperatif berdasarkan definisi situasi bersama. Jika definisi situasi bersama tersebut harus dinegosiasikan terlebih dahulu atau jika upaya untuk sampai pada kesepakatan dalam kerangka kerja definisi situasi bersama gagal, maka pencapaian konsensus dapat menjadi tujuan tersendiri., karena konsensus adalah syarat bagi tercapainya tujuan. Namun keberhasilan yang dicapai oleh tindakan teologis dan konsensus yang lahir dari tercapainya pemahaman merupakan kriteria bagi apakah situasi tersebut telah dijalani dan ditanggulangi dengan baik atau belum. Oleh karena itu, syarat utama agar tindakan komunikatif bisa terbentuk adalah partisipan menjalankan rencana mereka secara kooperatif dalam situasi tindakan yang didefiniskan bersama. Sehingga mereka bisa menghindarkan diri dari dua resiko, resiko tidak tercapainya pemahaman (ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan) dan resiko pelaksanaan rencana tindakan secara salah (resiko kegagalan).
      D.    Penutup
Perkembangan masyarakat dari masa ke masa dengan di iringi oleh perkembangan keilmuan serta paradigma yang ada di tengah-tengah masyarakat sehingga membutuhkan pembaharuan ulang atas konsep-konsep ataupun teori-teori yang ada. Hal ini terlihat dari usaha Habermas dalam melahirkan teori komunikatif yang sudah berkembang dengan tawaran teori baru.
Habermas mencoba memberikan hal yang praksis dalam melihat masyarakat modern yang mana hal tersebut belum diakomodir oleh teori-teori yang ada, dalam hal ini teori-teori yang di kembangkan oleh mazhab Frankfrut dengan tokoh Adorno dan kawan-kawan.



[1] Sindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern Oleh Max Hokheimer dalam Rangka Sekolah Frankfrut (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm 20-25
[2] F.M Suseno, “kata Pengantar” dalam Habermas, Ilmu dan Teknologi  terj Hasan Basari, (Jakarta: LP3ES, 1990)  hlm. Xix-xx
[3] Fransico Budi hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Politik & Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. xxii
[4] Fransico Budi hardiman, Kritik Ideology:Pertautan Pengetahuan dan kepentingan. (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 93
[5] Ahmad Jauhari, Memahami Rasio Komunikatif Jurgen Habermas (Yogyakarta: UIN-Sunan Kalijaga,Fakultas Ushuluddin, 2004), hlm. 149.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar