Agama tidak hanya mengajarkan keseimbangan hidup di akherat belaka,
tetapi mengajarkan keseimbangan hidup di dunia. Terdapat beberapa teks-teks
keagamaan menganjurkan kehidupan yang berimbang; meski hal itu tidak secara
langsung terucapkan. Salah satu nilai fundamental agama yang berdasarkan atas
keseimbangan hidup adalah adanya perintah shadaqah atau infaq.
Tidak henti-hentinya para cendekiawan, mubaligh, dai dan sebagainya
menganjurkan kepada orang yang berlebihan hartanya untuk mengeluarkan sedikit
hartanya untuk kaum yang kekurangan harta melalui jalan shadaqah atau infak. Secara
aplikatif, penerapan ajaran ini mulai bergeser sehingga ketika ditemui seorang
pengemis, pengamen , anjal dan sebagainya, mereka (orang berlebih harta)
memberikan sedikit hartanya untuknya. Tetapi fenomena yang bertolak belakang
adalah mereka semua (pengemis dkk) tidak hanya orang yang benar-benar
kekurangan harta, melainkan orang yang menjadikannya sebagai profesi untuk
mencari harta tidak memenuhi kebutuhan hidup semata, bahkan terdapat beberapa
oknum yang digunakan untuk “menumpuk harta’’.
Sehingga, perlu diketahui pada dewasa ini, pengamen, pengemis,
anjal dan sebagainya bukanlah satu-satunya yang mewakili seseorang yang berhak
atas harta shadaqah itu. Meski begitu, pelarangan untuk memberikan sedikit
harta kepada mereka, tentunya, bersifat mengeneralisir “mata” atas pandangan
mengenainya. Hal itu dikarenakan berdampak negatif; meyakiti hati, bagi para
pengemis dkk yang benar-benar membutuhkan uluran tangan.
Beberapa waktu lalu, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Sumenep, Madura, Jawa Timur, mengeluarkan fatwa haram, bagi
para pengemis, karena tindakan yang dilakukan adalah menghinakan diri sendiri.
Fatwa haram tersebut juga didukung oleh MUI Pusat. Hal ini tidak lepas dari
pandangan mereka terhadap pengemis adalah penyakit sosial, pengemis merupakan
bukan pilihan hidup, hal ini di perparah adanya pengemis yang teroganisir dan pengemis musiman seperti
yang biasa dilihat pada bulan Ramadhan. Dari asumsi-asumsi inilah fatwa
pengharaman pemberian terhadap pengemis dan kegiatan pengemis yang dipelopori
MUI Sumenep yang kemudian disetujui oleh MUI pusat diketuk, namun apresiasi
terhadap fatwa tersebut beragam. Ada yang pro dan ada kontra.
MUI Sukabumi menganggap hal itu salah karena megeneralisir masalah
dan takutnya menyakiti orang yang benar-benar miskin, yang membutuhkan uluran
bantuan. Sedangkan menurut Said Agil Siraj, fatwa pengharaman itu lebih tepat
kepada kegiatan pengemis karena banyaknya orang yang memobilisasinya saat ini
namun tidak sepakat jika menegmis itu dilarang karena hal itu adalah
permasalahn yang berdomain dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Melihat fenomena diatas yang disertai pro kontra,
mungkin yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sikap kita saat ini dan
bagaimana pula kita bias menerapkan konsap al yad al ulya khair min yad al
suflah?. Pengemis, diakui tidak untuk saat ini telah menjadi penyakit sosial
masyarkat yang memnutuhkan sebuah solusi, tidak cukup hanya fatwa pengharaman.
Banyak solusi yang bermunculan, semisal MUI Padang
SumBar menawarkan untuk mendata para pengemis dan melkukan cek langsung
ketempat tinggalnya, meski sulit hal ini sudah berjalan. Di Jawa Timur, pemprov
menawarkan diskusi terbuka dengan para pengemis, memberikan keterampilan serta
modal usaha di antara 500rb-1juta, hal ini sesuai yang dikatakan oleh Agil
Siraj bahwa pengemis adalah malasah domain pemeintah, dari teratas sampai
kebawah.
Pengamen, permasalahan juga tidak berbeda dengan
pengemis, keberadaan mereka diakui tidak telah menjadi penyakit social serta
menambahkan setumpuk permasalahn kepada semua yang terkait, baik pemerintah
maupun lembaga-lembaga social.
Menurut Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin,
tidak hanya sebatas pemberdayaan yang demikian atau pemberdayaan
lembaga-lembaga social lainnya yang terkait, namun dari diri kita sendiri harus
pandai melihat dan memilah pengamen itu sendiri.
“Telah diketahui, bahwa banyak di
antara para pengamen itu yang sebenarnya bukan orang-orang yang membutuhkan
bantuan, bahkan mereka itu orang-orang kaya yang banyak harta, tapi mereka
menjadikan hal ini sebagai profesi (mata pencaharian) dan tidak bisa
meninggalkannya. Jika anda melihat pengamen itu laki-laki yang tampak masih
kuat dan segar, jangan anda beri, karena ia mampu bekerja seperti para pekerja
lainnya. Sedangkan anak-anak, yang bukan pengamen sebenarnya dapat diketahui
dari kerapian dan kemantapan penampilan, hal ini menunjukkan bahwa ia
menjadikan “meminta-minta” sebagai kebiasaan sehingga terbiasa, bahkan dengan
ucapan yang lancar serta hafal doa-doa lengkap dengan mimiknya. Adapun wanita,
dapat diketahui dari seringnya muncul dan banyaknya bolak-balik. Yang jelas,
jika diketahui bahwa orang yang melakukan itu memang sengaja berprofesi
demikian tanpa kebutuhan, maka tangkap dan bawa lalu serahkan ke lembaga yang
menangani masalah pengamen”.
Apa
yang dikatakan ada benarnya, jika kita melihat realita pengamen di jalan-jalan
trotoar atau dalam kendaraan umum, hampir semua pakaian yang dipakai oleh
pengamen dalam bahasa penulis, sudah keren dan gaul. Solusi yang ditawarkan Syaikh
Abdullah bias kita lakukan untuk memilah pengemis.
Oleh karena itu, kajian mendalam mengenai hal ini; mungkin kajian
teks keagamaan mengenai ajaran-ajaran shadaqah, member harta kepada orang lain,
dapat dilakukan dengan pendekatan literalur, tetapi kajian mengenai pengamen,
pengemis dan sebagainya; harus dilakukan dengan pendekatan fenomenologis,
sosiologis dan antropologis. Dengan begitu, kajian teks-teks agama, tentunya
semakin kuat tidak berdiri sendiri, perlu melakukan intgrasi-interkoneksi
dengan pendekatan lainnya sehingga persoalan itu tidak dilihat dari satu sudut
pandang belaka. Selain itu, dengan menggunakan berbagai pendekatan, solusi persoalan
akan lebih, harapannya, humanis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar