Jumat, 24 Januari 2014

Qua Status Shadaqah era kontemporer

Agama tidak hanya mengajarkan keseimbangan hidup di akherat belaka, tetapi mengajarkan keseimbangan hidup di dunia. Terdapat beberapa teks-teks keagamaan menganjurkan kehidupan yang berimbang; meski hal itu tidak secara langsung terucapkan. Salah satu nilai fundamental agama yang berdasarkan atas keseimbangan hidup adalah adanya perintah shadaqah atau infaq.
Tidak henti-hentinya para cendekiawan, mubaligh, dai dan sebagainya menganjurkan kepada orang yang berlebihan hartanya untuk mengeluarkan sedikit hartanya untuk kaum yang kekurangan harta melalui jalan shadaqah atau infak. Secara aplikatif, penerapan ajaran ini mulai bergeser sehingga ketika ditemui seorang pengemis, pengamen , anjal dan sebagainya, mereka (orang berlebih harta) memberikan sedikit hartanya untuknya. Tetapi fenomena yang bertolak belakang adalah mereka semua (pengemis dkk) tidak hanya orang yang benar-benar kekurangan harta, melainkan orang yang menjadikannya sebagai profesi untuk mencari harta tidak memenuhi kebutuhan hidup semata, bahkan terdapat beberapa oknum yang digunakan untuk “menumpuk harta’’.
Sehingga, perlu diketahui pada dewasa ini, pengamen, pengemis, anjal dan sebagainya bukanlah satu-satunya yang mewakili seseorang yang berhak atas harta shadaqah itu. Meski begitu, pelarangan untuk memberikan sedikit harta kepada mereka, tentunya, bersifat mengeneralisir “mata” atas pandangan mengenainya. Hal itu dikarenakan berdampak negatif; meyakiti hati, bagi para pengemis dkk yang benar-benar membutuhkan uluran tangan.
Beberapa waktu lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumenep, Madura, Jawa Timur, mengeluarkan fatwa haram, bagi para pengemis, karena tindakan yang dilakukan adalah menghinakan diri sendiri. Fatwa haram tersebut juga didukung oleh MUI Pusat. Hal ini tidak lepas dari pandangan mereka terhadap pengemis adalah penyakit sosial, pengemis merupakan bukan pilihan hidup, hal ini di perparah adanya pengemis  yang teroganisir dan pengemis musiman seperti yang biasa dilihat pada bulan Ramadhan. Dari asumsi-asumsi inilah fatwa pengharaman pemberian terhadap pengemis dan kegiatan pengemis yang dipelopori MUI Sumenep yang kemudian disetujui oleh MUI pusat diketuk, namun apresiasi terhadap fatwa tersebut beragam. Ada yang pro dan ada kontra.
MUI Sukabumi menganggap hal itu salah karena megeneralisir masalah dan takutnya menyakiti orang yang benar-benar miskin, yang membutuhkan uluran bantuan. Sedangkan menurut Said Agil Siraj, fatwa pengharaman itu lebih tepat kepada kegiatan pengemis karena banyaknya orang yang memobilisasinya saat ini namun tidak sepakat jika menegmis itu dilarang karena hal itu adalah permasalahn yang berdomain dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Melihat fenomena diatas yang disertai pro kontra, mungkin yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sikap kita saat ini dan bagaimana pula kita bias menerapkan konsap al yad al ulya khair min yad al suflah?. Pengemis, diakui tidak untuk saat ini telah menjadi penyakit sosial masyarkat yang memnutuhkan sebuah solusi, tidak cukup hanya fatwa pengharaman.
Banyak solusi yang bermunculan, semisal MUI Padang SumBar menawarkan untuk mendata para pengemis dan melkukan cek langsung ketempat tinggalnya, meski sulit hal ini sudah berjalan. Di Jawa Timur, pemprov menawarkan diskusi terbuka dengan para pengemis, memberikan keterampilan serta modal usaha di antara 500rb-1juta, hal ini sesuai yang dikatakan oleh Agil Siraj bahwa pengemis adalah malasah domain pemeintah, dari teratas sampai kebawah.
Pengamen, permasalahan juga tidak berbeda dengan pengemis, keberadaan mereka diakui tidak telah menjadi penyakit social serta menambahkan setumpuk permasalahn kepada semua yang terkait, baik pemerintah maupun lembaga-lembaga social.
Menurut Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, tidak hanya sebatas pemberdayaan yang demikian atau pemberdayaan lembaga-lembaga social lainnya yang terkait, namun dari diri kita sendiri harus pandai melihat dan memilah pengamen itu sendiri.
Telah diketahui, bahwa banyak di antara para pengamen itu yang sebenarnya bukan orang-orang yang membutuhkan bantuan, bahkan mereka itu orang-orang kaya yang banyak harta, tapi mereka menjadikan hal ini sebagai profesi (mata pencaharian) dan tidak bisa meninggalkannya. Jika anda melihat pengamen itu laki-laki yang tampak masih kuat dan segar, jangan anda beri, karena ia mampu bekerja seperti para pekerja lainnya. Sedangkan anak-anak, yang bukan pengamen sebenarnya dapat diketahui dari kerapian dan kemantapan penampilan, hal ini menunjukkan bahwa ia menjadikan “meminta-minta” sebagai kebiasaan sehingga terbiasa, bahkan dengan ucapan yang lancar serta hafal doa-doa lengkap dengan mimiknya. Adapun wanita, dapat diketahui dari seringnya muncul dan banyaknya bolak-balik. Yang jelas, jika diketahui bahwa orang yang melakukan itu memang sengaja berprofesi demikian tanpa kebutuhan, maka tangkap dan bawa lalu serahkan ke lembaga yang menangani masalah pengamen”.
Apa yang dikatakan ada benarnya, jika kita melihat realita pengamen di jalan-jalan trotoar atau dalam kendaraan umum, hampir semua pakaian yang dipakai oleh pengamen dalam bahasa penulis, sudah keren dan gaul. Solusi yang ditawarkan Syaikh Abdullah bias kita lakukan untuk memilah pengemis.
Oleh karena itu, kajian mendalam mengenai hal ini; mungkin kajian teks keagamaan mengenai ajaran-ajaran shadaqah, member harta kepada orang lain, dapat dilakukan dengan pendekatan literalur, tetapi kajian mengenai pengamen, pengemis dan sebagainya; harus dilakukan dengan pendekatan fenomenologis, sosiologis dan antropologis. Dengan begitu, kajian teks-teks agama, tentunya semakin kuat tidak berdiri sendiri, perlu melakukan intgrasi-interkoneksi dengan pendekatan lainnya sehingga persoalan itu tidak dilihat dari satu sudut pandang belaka. Selain itu, dengan menggunakan berbagai pendekatan, solusi persoalan akan lebih, harapannya, humanis.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar