PENDAHULUAN
Islam mempunyai dua sumber hukum yaitu al-Quran dan al-sunnah, keduanya merupakan refrensi tertinggi bagi setiap muslim dalam memahami hukum Islam. Dalam memahami keduanya, kita dituntut untuk menggali makna-makna yang terkandung di dalamnya secara menyeluruh, tanpa meninggalkan aspek-aspek penting di dalamnya, kendati setiap orang mempunyai kemampuan berbeda dalam menangkap dan memahami lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam al-Quran dan hadis, karena keduanya mengandung nilai-nilai yang bersifat zahir dan batin.
Memahami kedua sumber itu, jika dibandingkan jauh lebih berat mengembangkan pemikiran terhadap Sunnah dari pada al-Quran. Karena dalam pemahaman dan penafsiran al-Quran tidak mengurangi otoritas al-Quran sebagai wahyu dan juga pegangan hidup dan sumber utama ajaran Islam. Disamping itu Allah sendiri telah menjamin ketidakberubahan esensi misi al-Quran. Sedangkan hadis sendiri, bagi umat Islam menduduki peringkat kedua setelah al-Quran, dimana berfungsi sebagai penjelas ungkapan al-Quran yang mujmal, mutlaq, khas dan sebagainya. Disamping itu, periwayatan al-Quran termasuk periwayatan secara mutawatir, sedangkan hadis periwayatannya sebagian besar secara ahad, dan dalam kedudukannya al-Quran sebagai qat’i al-wurud sedangkan hadis kadangkala qat’i al-wurud.
Secara umum, setidaknya terdapat tiga fokus kajian dalam ilmu hadis, yakni kritik sanad, kritik matan dan pemaknaan hadis. Kritik sanad dan kritik matan menjadi kajian penting dalam ilmu hadis, sebab hadis sendiri pada mulanya tidak tertuliskan sebagaimana al-Qur’an. Selain itu juga, jarak kodifikasi hadis dengan masa kenabian sangatlah jauh sehingga studi sanad dan matan menjadi penting guna mengungkapkan orisinalitas sebuah hadis. Tidak jauh berbeda dengan studi sanad dan matan, pemaknaan hadis juga menjadi bagian penting kajian hadis. Meski sudah banyak terdapat syarah-syarah hadis yang ditulis oleh ulama klasik, problematika pemaknaan hadis tidak selesai disini. Ini dikarenakan syarah-syarah tersebut hanya sebatas atau sebagian besar tentang makna gramatika bahasa dan tidak banyak membahas pada substansi atau makna dan kandungan hadis itu sendiri. Oleh karena itu, problematika pemaknaan hadis untuk saat ini dan banyak ditawarkan solusinya oleh intelektual Muslim kontemporer adalah metodologi dan pendekatan dalam memaknai hadis.
Yusuf Qardhawi, semisalnya, memaknai hadis harus memperhatikan beberapa prinsip, antara lain; meneliti ke-sahihan sesuai dengan acuan ilmiah yang ditetapkan, pengertian bahasa, asbab al-wurud dan memastikan nas tersebut tidak bertentangan dengan nas lain yang lebih kuat kedudukannya. Berbeda dengan Qardhawi, Muhammad Syahrur berpendapat bahwa dalam memaknai hadis nabi, seseorang harus memperhatikan antara hadis yang bersifat risalah (berisi hukum-hukum dan ajaran) dan nubuwwah (berisi pengetahuan dan informasi). Bagi Syahrur, umat Islam tidak perlu menaati isi kandungan hadis-hadis yang bersifat nubuwaah. Selain kedua tokoh tersebut, terdapat beberapa tokoh lain juga yang menawarkan metodologi dan pendekatan dalam memaknai teks-teks hadis, semisal Shalahuddin al-Adlabi, Muhammad Ghazali, Fazlurrahman, Musahadi Ham dan lain sebagainya.
Selain persoalan metodologi dan pendekatan dalam studi ulum al-Hadis, pemaknaan terhadap matan hadis tidak hanya menempati posisi yang sangat signifikan dalam wacana pemikiran islam kontemporer, tetapi secara subtantif memberi spirit reevaluatif dan reinterpretatif terhadap berbagai pemahaman dan penafsiran yang selama ini menjadi taken for granted di kalangan umat Islam. Signifikansi ini menjadi lebih tampak jelas ketika normatifitas hadis di perhadapkan dengan realitas dan tuntutan perkembangan zaman. Pemaknaan, sebagai salah satu problematika penting dalam studi ulum al-hadis, memerlukan upaya upaya serius dan kehati-hatian dalam melaksanakannya. Sebab tingkat pemahaman dan penafsiran seseorang terhadap redaksi hadis dan kekuatan eksplorasi teks sangat menentukan corak dan karakter pemikirannya, apakah seorang tersebut sebagai tekstualis atau kontekstualis.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para tokoh Islam kontemporer sampai saat sangat serius menyerukan spirit reevaluatif dan reinterpretasi teks-teks hadis, baik itu melalui pendekatan keilmuan internal itu sendiri (baca: ulum al-hadis) maupun pendekatan keilmuan eksternal (baca: ilmu sosial-humanistik dan sains) dan salah satu keilmuan yang sering diterapkan adalah hermeneutika. Hermeneutika sebagai sebuah teori dan metode penafsiran sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam studi agama, dalam hal ini penerapan dalam studi hadis. Fazlur Rahman adalah salah satu contoh intelektual Muslim yang menerapkan hermeneutika dalam studi Agama. Oleh karena itu, penggunaan hermeneutika menjadi sebuah keniscayaan dalam memaknai teks agama, tidak terkecuali hadis. Hal itu tidak hanya karena persoalan jarak antara kelahiran teks hadis tersebut dengan masa sekarang yang begitu jauh, tetapi juga dikarenakan secara umum hadis mencakup semua teladan Nabi, baik itu ucapan, tingkah laku dan penetapan yang sudah terbakukan dalam bentuk teks. Teks hadis, di sinilah, objek dari ilmu hermeneutika sebagaimana teks-teks lainnya.
Secara umum, hermeneutika, dalam hal ini teori penafsiran yang ditawarkan oleh Gracia, mencoba untuk menjembatani kesenjangan situasi dan kondisi di mana teks-teks tersebut lahir dan masyarakat pada masa saat ini, sehingga persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat diluar pengarang tersebut dapat dipecahkan melalui teks, yaitu teks hadis dan menjadikan teks sebagai teks yang hidup dan bermakna, bukan teks ‘usang’ masa lalu.
Penafsiran menurut Gracia adalah sebuah proses atau aktivitas yang melebihi dari pemahaman, sehingga penafsiran terkait dengan sang pengarang, bahkan kepada pembaca dimana teks tersebut diciptakan juga terkait. Sedangkan pemahaman menurut istilah Gracia understand adalah aktifitas mental dimana seseorang memahami sesuatu, yaitu makna teks. Tetapi dalam proses pemahaman, seseorang tidak dapat direduksi dengan pemahaman sang pengarang ataupun sesuatu terkait tentang sang pengarang. Sehingga demikian, hanya melalui penafsiran teks maka kesenjangan antara teks, pengarang dan masyarakat sekarang dapat teratasi, bukan melalui pemahaman teks. Namun yang menjadi ketertarikan penulis dari teori penafsiran Gracia untuk di angkat adalah prinsipnya tentang interpretasi, yaitu interpretasi adalah teks.
Disini letak perbedaan Gracia dengan para tokoh hermeneuitka lainnya, karena sebagian besar bahwa interpretasi adalah aktifitas pemahaman atau proses pemahaman. Selain itu, interpretasi terkadang juga dipahamai sebagai akhir dari sebuah kegiatan (baca: produk penafsiran). Kajian dan penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan maksud dari interpretasi adalah teks dan bagaimana bangunan atas konsep tersebut diperlukan. Mengingat, bahwa kaitannya dengan persoalan studi agama, dalam hal ini studi teks-teks agama, terutama hadis, saat ini semua obyek penelitiannya adalah teks. Secara historis, hadis mengalami proses transformasi dari budaya ucapan atau hafalan kepada tulisan, sehingga sekarang akses untuk memahami dan menafsirkannya berkaitan langsung dengan teks atau tulisan, bukan lagi dengan ucapan atau hafalan.
Oleh karena itu, ekplorasi lebih jauh dan mendalam atas gagasan penafsiran yang ditawarkan oleh Gracia diperlukan dan untuk lebih mengarahkan dan memfokuskan penulisan selanjutnya, maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah maksud dan bangunan teori penafsiran yang ditawarkan oleh Gracia?
2. Bagaimana relevansi teori tersebut terhadap metodologi pemaknaan hadis kontemporer?
3. Bagaimana aplikasi teori penafsiran terhadap pemaknaan hadis?
C. Kerangka Teori
Paradigma baru telah lahir ketika IAIN menjadi UIN, tidak hanya sebatas perubahan nama. Ketika dimasa IAIN, ilmu keagamaan berdiri sendiri yang kemudian melahirkan beberapa dikotomi keilmuan, namun, dimasa UIN, ilmu keagamaan tidak menyendiri dan bebas intervensi ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dalam artian bahwa perkembangan keilmuan agama, sosial dan humaniora saling berhubungan satu sama lainnya sehingga perkembangan agama tidak hampa dengan permasalahan sosial dan humaniora atau sebaliknya. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Amin Abdullah dalam karyanya, Islamic Studies di Perguruan Tinggi:Pendekatan Integratif-Interkonektif, sebagai berikut.
Proyek besar reintegrasi epistemology keilmuan umum dan agama mengandung arti perlunya dialog dan kerjasama antar disiplin ilmu umum dan agama yang lebih erat dimasa yang akan datang. Pendekatan interdisiplinary dikedepankan, interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti. Interkoneksitas dan sensivitas antar berbagai disiplin ilmu-ilmu kealaman dengan disiplin ilmu-ilmu social dan disiplin humanities serta disiplin ilmu-ilmu agama perlu diupayakan secara terus menerus.
Paradigma tersebut tidak hanya menghubungkan antara ilmu keagamaan dengan sosial dan humaniora, akan tetapi menghubungkan kepada sains dan komunikasi. Sehingga melahirkan lingkaran baru sesuai dengan hubungan antara agama-sosial dan humaniora-sains dan komunikasi.
Gambar diatas menunjukkan bahwa semua keilmuan memiliki hubungan yang menyatu pada titik temu, tidak ada dikotomi keilmuan antara ilmu agama, umum dan lain sebagainya. Keilmuan tersebut berorientasi pada penekanan perpaduan antara ilmu-ilmu keagamaan (hadlarah al-nas), ilmu kealaman dan kemasyarakatan (hadharah al-ilm) dan ilmu etika filsafat (hadharah al-falsafah).
Paradigma diatas dikenal dengan integrasi-interkoneksi, yakni mengembangkan keilmuan tertentu dengan mengaitkan dan mengkombinasikannya dengan keilmuan lainnya. Paradigma tersebut mengharuskan keilmuan meleburkan dan menjadi satu dengan keilmuan lainnya, baik sisi normativitas-sakralitas kepada historis-profanitas, atau menghapuskan sisi historisitas keberagamaan kepada normativitas-sakralitas tanpa reserve. Keharusan tersebut secara otomatis membebaskan dikotomi keilmuan dengan saling berdiri bersama menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada.
Integrasi-interkoneksi keilmuan pada dunia kontemporer adalah sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditolak. Tidak terkecuali dengan keilmuan hadis dengan mengintgrasi-interkoneksikan dengan keilmuan lainnya, seperti linguistik, sosiologis, antropologis, hermeneutis dan lain sebagainya. Hal tersebut tidak lain untuk memperkaya varian temuan yang bermanfaat bagi keilmuan itu sendiri dan masyarakat secara pragmatis.
D. Metode dan Pendekatan Penelitian
1. Metode
Secara kategorikal, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena penelitian ini bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian secara holistik yang dideskripsikan melalui kata-kata dan bahasa dalam konteks tertentu.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka karena obyek penelitian bersandarkan pada data-data yang tersebar dalam bentuk buku, artikel, laporan penelitian, situs dan lain sebagainya. Kemudian data-data tersebut dibagi kedalam data primer dan sekunder.
Data primer berupa karya-karya Jorge J.E Gracia dalam bentuk buku dan artikel, terutama yang berkaitan dengan teori interpretasi. Buku yang menjadi data primer dalam penelitian ini adalah A Theory of Textuality:The Logic and Epistemology. Dipilihnya buku tersebut sejauh penelusuran dan pembacaan peneliti karena dalam buku tersebut Gracia memaparkan teori interpretasinya secara komprehensif. Sementara data sekunder adalah buku Text;Ontological Status, Identity, Author, Audience. Dalam buku ini, Gracia memaparkan tiga elemen penting dalam sebuah interpretasi, yaitu pengarang, teks dan audien atau pembaca. Selain itu, teks-teks lainnya yang secara langsung mengacu pada tema ini serta tulisan di buku-buku yang secara tidak langsung mengacu dengan tema.
Pada tahap selanjutnya, setelah data dikumpulkan, dilakukan analisis data. Analisis tersebut meliputi analisis deskriptif dan verikatif. Analisis deskriptif menggunakan teknik analisis domain (domain analysis) yang bertujuan untuk eksplorasi. Analisis ini digunakan untuk memetakan gambaran umum tentang objek penelitian pada tingkat permukaan namun relative utuh tentang objek penelitian tersebut. Sementara pada analisis verikatif, digunakan teknik analisis isi (content analysis) dangan tujuan konfirmasi. Model ini, disamping teknik yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif, teknik analisis isi dipandang sebagai teknik analisis data yang paling umum.
2. Pendekatan
Pendeketan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan sejarah, dimana salah satu variannya adalah sejarah pemikiran. Menurut Kuntowijoyo, sejarah pemikiran merupakan terjemahan dari history of thought, history of ideas, atau intellectual history. Sementara pemikiran dapat dipilah-pilah ke dalam pemikiran perorangan atau pemikiran seorang tokoh, isme tertentu, gerakan intelektual, periode tertentu dan pemikiran kolektif. Berdasarkan pemilahan tersebut, penelitian ini masuk dalam kategori yang pertama atau sejarah pemikiran tokoh, yakni pemikiran tokoh Jorge J.E Gracia dan pemaknaan hadis.
Sejarah pemikiran mempunyai tiga macam pendekatan, yaitu teks, konteks dan hubungan pemikiran dengan masyarakatnya. Penelitian ini hanya menggunakan pendekatan teks, hal-hal yang harus dilakukan adalah menelusuri genesis pemikiran, serta perkembangan dan perubahan pemikirannya. Kecuali itu, varian pemikiran, komunikasi pemikiran, dialektika internal, kesinambungan pemikiran dan intertekstualitas, juga harus dipertimbangkan dalam melakukan studi tokoh yang menggunakan pendekatan teks.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian penulis, serta dengan mengacu kepada
rumusan masalah yang diajukan dalam tulisan ini, yaitu; pertama, Bagaimanakah
maksud dan bangunan teori penafsiran yang ditawarkan oleh Gracia?, kedua, Bagaimana
relevansi teori tersebut terhadap metodologi pemaknaan hadis kontemporer? Dan ketiga,
Bagaimana aplikasi teori penafsiran terhadap pemaknaan hadis, maka penulis
dapat menarik beberapa kesimpulan.
1.
Interpretation atau interpretasi menurut Gracia adalah teks. Interpretasi sebagai
teks terdiri dari teks yang ditafsirkan ‘interpretandum’, keterangan-keterangan
tambahan ‘interpretans’ dan mufassir. Tetapi, perlu disadari bahwa
komentar-komentar tambahan dari mufassir bukanlah interpretasi, melainkan gabungan
antara teks yang ditafsirkan dan teks tambahan dinamakan interpretasi. Sedangkan
interaksi pembacaan oleh pembaca terhadap interpretasi yang melahirkan sebuah
pemahaman makna teks adalah understanding. Untuk menghindari
kesalahpahaman atas gagasan interpretasinya, Gracia memberikan rambu-rambu yang
harus dipahami. (a) komentar-komentar itu bukan untuk mendistorsi makna teks
atau menghalangi makna yang diharapkan oleh pengarangnya, melainkan sebagai
keharusan untuk proses pemahaman kepada makna teks. Pada prinsipnya, pendapat
Gracia ini berdasarkan hakikat dan tipologi teks yang dikembangkannya (b),
kesalahpahaman atas gagasan interpretasi sebagai teks lebih cenderung kepada
kesalahan memahami fungsi interpretasi, terutama fungsi historis, padahal
fungsi interpretasi tidak terbatas hanya historis, terdapat fungsi pemaknaan (meaning
function) dan fungsi implikatif (implicative function).
2. Gracia
memberikan penekanan-penekanan terhadap fungsi interpretasinya, terutama fungsi
historis dan pemaknaan. Fungsi historis, dia lebih menekankan dengan langkah seimbang
pemahaman atau principle of proportional understanding. Sedangkan fungsi
pemaknaan, dia lebih menekankan dalam fungsi kebudayaan yang dimiliki oleh teks
dari pada fungsi kebahasaan yang dimiliknya.
3.
Relevansi
gagasan interpretasinya dalam studi metodologi pemaknaan hadis adalah; pertama,
hakikat teks sebagai interpretandum memberikan penegasan bahwa
pemahaman hadis tidak harus melakukan penilaian sanad dengan mandiri, hal itu
bisa mengikuti para pakarnya; kedua; prinsip pemahaman proporsional yang
ditawarkannya juga dapat dipertimbangkan sebagai metodologi memahami makna teks
secara historis; ketiga, fungsi kebudayaan yang dimiliki teks pada
fungsi pemaknaan memberikan acuan baru dalam memaknai teks-teks hadis dimana
selama ini berpegang kepada fungsi kebahasaan semata.
bagus sx...
BalasHapusTerimakasih
Hapus