Rabu, 13 Februari 2013

Al-Quran dalam kesenian Masyarakat Indonesia



       A.    PENDAHULUAN
Al-Quran adalah kitab pegangan utama umat islam, oleh karena itu al-Quran adalah kitab suci yang paling banyak di ucapkan dan diperdengarkan dari waktu ke waktu. Menarik perhatian dalam hal ini bahwa umat islam ketika berinteraksi beranekaragam dalam mengaplikasikan dan mengamalkannya. Salah satu variasi tersebut adalah sebagian mereka melihat al-Quran sebagai bentuk estetik ilahi yang harus di apresiasi dengan estetik pula, seperti melagukan dalam pembacaan, menulis dengan berbagai bentuk tulisan yang indah serta lain sebagainya.
Dalam tataran masyarakat muslim di Indonesia, keanekaragaman tersebut juga banyak dijumpai, seperti tilawah, kaligrafi, bahkan sebagai oranamen-ornamen dinding masjid adalah suatu hal yang wajar di jumpai. Kaligrafi sebagai salah bentuk kesenian menulis telah menunjukkan bahwa al-Quran di terima oleh umatnya tidak hanya dalam tataran etika maupun norma kehidupan, melainkan sebagai ekspresi estetika. Namun yang menjadi sebuah pertanyaan mendasar, apa tujuan mereka mengapresiasi al-Quran dari sisi estetik dan apa yang terejawantahkan dalam kesenian kaligrafi adalah benar-benar ejawantah dari spirit islam. Beberapa pertanyaan tersebut coba penulis ungkap dalam tulisan sederhana ini dan semoga bermanfaat.
  
      B.     PEMBAHASAN
1.      Definisi
Kaligrafi dalam Ensikolpedia bebas Wikipedia maupun Kamus Besar Indonesia  diartikan sebagai seni menulis indah dengan pena sebagai hiasan.[1] Ungkapan kaligrafi sendiri berasal dari bahasa Latin “kalios” yang berarti indah dan “graph” yang berarti tulisan. Dalam bahasa Inggris, kaligrafi adalah bentuk sederhana dari calligraphy, dalam bahasa Arab biasa disebut dengan khat.
Secara terminologi, kaligrafi di artikan oleh Syamsuddin al-Akfani sebagai berikut.
“Kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya, dan cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Atau apa-apa yang ditulis di atas garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis; menggubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana untuk menggubahnya.”[2]
            Pemaparan definisi di atas menunjukkan bahwasannya kaligrafi adalah sebuah “aturan maen” perihal tulis menulis. Adapun kaligrafi menurut Situmorang adalah suatu corak atau bentuk seni menulis indah dan merupakan suatu bentuk keterampilan tangan serta dipadukan dengan rasa seni yang terkandung dalam hati setiap penciptanya.[3] Sedangkan Yaqut Musta’shim memahami kaligrafi sebagai sebuah pengalaman rohani kaligrafer yang terwujudkan dalam keindahan tulisan.[4]
2.      Sejarah
Al-Quran adalah kitab suci orang Islam yang menjadikan setiap lini kehidupan kaum muslimin menjadi indah, tidak terkecuali gaya budaya dan seni juga terpengaruhi bahkan terlahir dari al-Quran itu sendiri seperti pengaruhnya terhadap seni kaligrafi, al-Quran menduduki posisi penting.[5]
Merujuk kepada Q.S al-Baqarah: 31, banyak kalangan Arab meyakini bahwasannya kaligrafi pertama kali di cetuskan oleh Adam, makhluk pertama yang diajari Allah nama-nama seluruh benda yang ada.  Meskipun kaligrafi telah ada sejak manusia pertama, namun dikalangan umat Islam sendiri memulai memikirkan kaligrafi(tulis-menulis) pada era kodifikasi al-Quran. Sejarah mencatat bahwa kodifikasi al-Quran adalah sebuah peristiwa penting yang merubah al-Quran sebelumnya bersifat hafalan atau oral, berubah menjadi tulisan. Seperti disiplin ilmu lainnya, kaligrafi menemukan keanekaragaman ketika Islam melakukan invasi ke beberapa negara untuk menyebarluaskan ajarannya, misalnya salah satu tulisan awal yang dianggap dikembangkan di Irak pada paruh kedua abad kedelapan Masehi, menjadikan al-Quran dalam penyalinannya menggunakan tulisan tersebut.[6] Selanjutnya, perkembangan tulisan pun tidak dapat di hindari, hal tersebut di tandai dengan beranekaragamnya tulisan, seperti Naskhi, Tsuluts, Riq’ah, Diwani, Diwani Jali, Farisi dan Kufi.[7]
Habibullah Fadzoili, sebagaiamana dikutip oleh Nurul Huda, menjelaskan bahwasannya periodesasi kaligrafi islam terbagi menjadi enam periode sebagai berikut.
Pertama, kemunculan gaya kufi. Dalam hal ini, baik kemunculan dalam bentuk tanpa tanda baca kemudian berlanjut sedemikian rupa indahnya.[8]
Kedua, munculnya beberapa gaya penulisan selaian gaya kufi yang sudah ada, seperti tsulust, riq’i, naskhi, muhaqqaq, raihan, dan tauqi’.
Ketiga, periode penyempurnaan dan perumusan kaidah penulisan oleh Abu Ali Muhammad bin Muqlah (940 M) dan Abu Abdullah Hasan bin Muqlah dengan metode al-khat al-mansub(ukuran standar bentuk kaligrafi).
Keempat, periode Abu Hasan Ali bin Hilal (1022 M). Pada periode ini, kaidah sebelumnya dikembangkan melalui kaidah yang di istilahkan dengan al-khat al-faiq.
Kelima, periode Jamaluddin Yaqut al-Musta’shim (1298 M). Jamaluddin mencoba mengembangkan hiasan kaligrafi dengan penyesuaian pena, yaitu potongan miring.
Keenam¸munculnya tiga gaya baru penulisan, yaitu gaya ta’liq dikembangkan oleh Abdul Hayy, gaya nasta’liq oleh Mir Ali dan gaya Shikatseh oleh Darwisi Abdul Majid.[9]   
Dalam perkembangannya, jika pada periode klasik pencampuran tulisan tidak dibolehkan dan lebih menonjolkan keelokan tulisan pada garis-garis, dalam periode kontemporer lebih menunjukkan kebebasab apresiasi jiwa seni kaligrafer, sehingga kaligrafi kontemporer tidak lagi sebatas pada garis-garis maupun satu tulisan saja. Meski menuai kontroversi, kaligrafi kontemporer mulai mendapatkan perhatian serius, terutama sejak diadakannya pameran seni kaligrafi Islam pada MTQ XI di Semarang (1979) dan pameran pada Muktamar Media Massa Islam se-Dunia I di Balai Sidang Senayan Jakarta (1-3 September 1980).[10] Sirajuddin mencatat bahwa pelopor kaligrafi kontemporer di Indonesia adalah Ahmad Sadali dan A.D Pirous (Bandung), Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya). Di Yogyakarta sendiri, setelah generasi mereka lahir kaligrafer kontemporer seperti Syaiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra Buana, Yetmon Amier dan lain sebagainya.[11]
3.      Kaligrafi Dalam Tradisi Seni Masyarakat
Kesenian tulis indah atau lebih dikenal dengan kaligrafi untuk masa sekarang ini, sudah begitu akrab di kehidupan orang Islam di manapun berada. Bagi mereka, kaligrafi memiliki berbagai fungsi serta nilai yang terkandung di dalamnya. Diantara fungsi dan nilai tersebut adalah sebagai berikut
a.       Nilai Agama
Kaligrafi adalah sebuah karya manusia yang mencoba menuangkan ide-ide Ilahi melalui tulisan-tulisan indah, sehingga kaligrafi bertautan dengan nilai-nilai Ilahi dalam ruang lingkup spiritual, karena bagaimanapun kaligrafi adalah karya nyata yang bernilai seni dan pengalaman spirit dari kaligrafer.
Kaligrafi Islam adalah pengejawentahan visual dari kristalisasi realitas-realitas spiritual yang terkandung dalam wahyu Islam, kaligrafi tersebut merupakan sebuah pakaian luar untuk Firman Allah di alam nyata meskipun  seni ini tetap berhubungan dengan alam spirit.[12]
Menurut Purwanto, seorang perajin perak di Kotagede, kaligrafi adalah kesenian yang bercirikan islami dan bernafaskan Islam.[13] Secara umum, kaligrafi berbicara mengenai tulisan indah, namun realiatas tersebut yang berkembang sampai sekarang adalah kaligrafi islam, yaitu gaya menulis indah Firman Ilahi, sehingga wajar jika dalam masyarakat menganggap bahwasannya kaligrafi bercirikan Islam dan bernafaskan Islam. Oleh karena itu, sebagian orang mengatakan bahwa kalgrafi adala visualisasi dari ayat-ayat Quran, karena dalam kaligrafi yang berkembang pesat adalah kaligrafi Qurani, tulisan indah tentang ayat-ayat Qurani.  
Sedangkan menurut Pirous, kaligrafi adalah salah satu jalan penafsiran dan pemahaman ayat-ayat al-Quran melalui mediasi visual dan pengalaman serta sebagai animasi dan hiasan pesan Ilahi.[14] Semua Muslim mengetahui tentang doktrin “Allah indah menyukai keindahan”, melalui seni kaligrafi tersebut, kaligrafer mencoba memvisualisasikan melalui keindahan tulisan untuk menagkap pesan-pesan yang ada.  Oleh karena itu, pemakaian warna dan lekukan tulisan kaligrafi dalam prespektif Pirous termasuk sebagai aktualisasi penafsiran kaligrafer terhadap ayat-ayat al-Quran. Hal tersebut semakin rumit bagi orang awam untuk memahami penafsiran tersebut, karena tidak semua orang dapat memahami nilai seni dari kesenian, apalagi hal tersebut adalah ejawantah dari penafsiran al-Quran. Disamping dituntut memahami dunia tafsir, persoalan tersebut juga menuntut orang untuk memiliki jiwa seni.
Seperti halnya kasus-kasus living quran lain, kaligrafi lebih kepada memahami keindahan ayat-ayat Qurani secara nyata dalam realitas kehidupan, tidak sebatas menguraiakan ayat demi ayat pada karya tafsir. Mereka menerima cahaya ayat-ayat Quran sesuai dimensi pengalaman dan keahliannya. Bagi mereka, huruf-huruf, kata-kata dan ayat al-Quran bukanlah sekadar unsur-unsur dari suatu bahasa tulis, tetapi makluk atau personalitas. Melalui penulisan dan pembacaan unsur tersebut, manusia memasuki hubungan dengan makhluk-makhluk dan mukjizat yang berasal dari dunia seberang.  
b.      Budaya dan Seni
Kaligrafi merupakan produk budaya. Ia lahir dari rahim budaya karena sesungguhnya ia merupakan kebudayaan. Kesenian Islam yang berada di Indonesia pertama kali muncul dalam bentuk batu nisan yang dinamakan dengan tombe. Nisan, sebagai pelambang nama seseorang yang termakamkan dalam periode awal di datangkan langsung dari Gujarat.  Nisan seperti ini bisa di jumpai di seluruh pelosok Nusantara yang memiliki makam wali Agung, seperti di Gresik terdapat makam Maulana Malik Ibrahim.
Nilai budaya menunjukkan bahwa kaligrafi turut andil dalam membangun sebuah kebudayaan. Secara historis, kodifikasi al-Quran adalah salah satu tonggak awal peradaban Islam. Dalam peristiwa tersebut, dunia tulis menulis jelasnya tidak dapat di lupakan oleh semua orang sampai saat ini. Bagaimana al-Quran pertama di tulis, bagaimana perkembangannya dan kontroversi yang ada, bahkan salah satu syarat diterimanya sebuah qiraah adalah adanya kesesuaiannya dengan tulisan, yaitu rasm ustmani.
  Kaligrafi di Kotagede telah memberikan sebuah warna tersendiri bagi seni ukir logam. Kaligrafi adalah sebuah ukiran unik dan khas sehingga kaligrafi tersebut di rupakan dalam bentuk seni ukir logam adalah seni ukir logam yang menjadikan Kotagede sebagai tempat khas seni ukir logam. Kaligarfi dengan bahan logam serta perak dan kuningan telah memberikan dampak yang sangat besar pada kehidupan kerajinan di Kotagede[15]

c.       Ekonomi
Ketika membicarakan aspek ini, awalnya para perajin menjadi “galau” karena dalam al-Quran telah dijelaskan  adanya larangan menjual ayat-ayat al-Quran, namun demikian fenomena tersebut tidak dapat di hindari. Untuk menghindari dari ancaman tersebut, mereka lebih melihat kepada realitas ekonomi, dalam artian bahwasannya tingginya permintaan menunjukkan adanya kelangkaan barang tersebut, baik itu kelangkaan penjual atau pemiliknya.
Pada awalnya, para perajin hanya memenuhi permintaan dari pihak Keraton, namun dengan perjalanan waktu, kaligrafi tersebut bukan hanya di minati oleh pihak Kraton, hal tersebut di tandai dengan kaligrafi sebagai primadona penjualan seni ukir dalam kurun waktu 2002-2004. Di sini, para perajin menurut Muharuddin lebih menginginkan syiar Islam. Dengan grafik penjualan yang meningkat mereka telah ikut berpartisipasi dalam menyebarluaskan ayat-ayat Quran.[16]   
Pemasaran kaligrafi tergolong sangat mudah dan bahkan untuk mematok harga tinggipun juga teramat mudah, hal tersebut di samping nilai seni yang terkandung, nilai pesan-pesan ayat-ayat Quran terkandung di dalamnya. Namun demikian, para perajin sering kesulitan untuk meninggikan harga, bukan karena pembeli atau penjual, tetapi kepada pesan ayat yang ada.[17]
  
      C.    KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas, penulis menyimpulkan sebagai berikut
1.      Kaligrafi adalah seni tulis indah, namun perkembangan pesat lebih terjadi seni tulis indah ayat-ayat Qurani.
2.      Kaligrafi adalah sebuah bentuk respon umat manusia dalam menerima FirmanNya yang di ejawantahkan dalam bentuk tulisan. Sehingga, untuk memahami kaligrafi bukan hanya melihat ayat yang tertuang namun nilai spiritual yang ada.
3.      Seni kaligrafi dalam masyarakat seni Kotagede, memiliki fungsi dan nilai prespektif Agama;visualisasi ayat-ayat Qurani, seni-budaya;motivasi dan semangat serta ekonomi;salah satu produk unggulan.
  
    D.    DAFTAR PUSTAKA
Akhmadi. Apri, Kerajinan Kaligrafi di Kotagede. Yogyakarta: Fak. Adab UIN Sunan Kalijaga. 2010
al-Faruqi. Isma’il R, dan al-Faruqi. Lois Lamya, Atlas Budaya Islam;Menjelaskan Khazanah Peradaban Gemilang. Bandung: Mizan. 2003
George. Kenneth M,  Picturing Islam: Art and Ethic In a Muslim Lifeword. Singapura: Toppan Best-set Primedia Limited: 2010
Huda. Nurul, Melukis Ayat Tuhan:Pengantar Praktis Berkaligrafi Arab. Yogyakarta:Gama Media. 2003
Nasr. Sayyed Hossen,  Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo. Bandung: Mizan. 1993
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edc.III. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

http// Id.m.wikipedia.org/wiki/kaligrafi.

Sirajuddin, Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1985

Situmorang, Oloan, Seni Rupa Islam;Pertumbuhan dan Perkembangannya. Bandung: Angkasa. 1993


E.     Contoh Kaligrafi Kotagede
 







            Gb 1. Kaligrafi piring oval        gb 2. Kaligrafi semar bahan tembaga

 













     Gb 3. Kaligrafi tembaga         gb 4. Kaligrafi ayat kursi bahan tembaga



[1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edc.III (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 380. Lih. juga http// Id.m.wikipedia.org/wiki/kaligrafi.

[2] Sebagaimana yang dikutip oleh Sirajuddin, Seni Kaligrafi Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1985), hlm. 2

[3] Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam;Pertumbuhan dan Perkembangannya (Bandung: Angkasa. 1993), hlm. 67

[4] Sebagaimana dikutip oleh Nurul Huda, Melukis Ayat Tuhan:Pengantar Praktis Berkaligrafi Arab (Yogyakarta:Gama Media. 2003), hlm 3
[5] Isma’il R. al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi. Atlas Budaya Islam;Menjelaskan Khazanah Peradaban Gemilang (Bandung: Mizan. 2003), hlm 390

[6] Tulisan yang berkembang di Irak adalah Kuffi, meski tulisan tersebut juga mengalami periode perkembangan;kuffi awwal, kuffi timur dan kuffi bengkok. Isma’il R. al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya…, hlm 390

[7] Naskhi. Khat tersebut sering dipakai dalam penulisan mushaf dan naskah-naskah kitab berbahasa Arab, majalah atau Koran.
Tsulust, yang berarti sepertiga kertas. Ada yang mengatakan sepertiga kertas yang sering dipakai di kedutaan Mesir, ada yang mengatakan sepertiga tulisan  Umar yang besar atau tulisan Thumar kuno. Tulisan ini lebih jelas dan gagah dibandingkan dengan naskhi meskipun keduanya memiliki kemiripan. 
Riq’ah, khat yang penamaannya sesuai dengan gaya penulisannya yang kecil-kecil serta terdapat sudut siku-siku yang unik dan indah.
Diwani, khat yang sering dipakai untuk keperluan kantor(diwan), memiliki bentuk lembut, gemulai penuh gaya melingkar serta tersusun di atas garis seperti riq’ah.
Diwani jail, sama dengan khat diwani, namun memiliki perbedaan dengan adanya syakal, hiasan dan titik rata pada lekukan hurufnya.
Kufi, khat yang berafiliasi kepada tempat ditemukannya, Kufah. Penulisan dengan cara pembentukan yang geometris atau balok garis lurus, sejajar kemudian diolah untuk motif dekorasi sehingga keindahannya terlihat jika dibubuhi ornament-ornamen.
Farisi, gaya penulisan yang cenderung miring ke kanan dan ditulis tanpa harakat ataupun hiasan. Selengkapnya lih. Nurul Huda, Melukis Ayat…, hlm. 7-10

[8] Menurut hemat penulis, Periodesasi ini mengacu pada kodifikasi al-Quran yang mana diketahui bahwasannya penulisan al-Quran dalam peristiwa tersebut mengalama beberapa alur sehingga berwujud seperti sekarang ini.

[9] Nurul Huda, Melukis Ayat.., hlm. 4-6

[10] Siarjuddin, Seni Kaligrafi…, hlm 11

[11] Ibid, hlm. 178
[12] Sayyed Hossen Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo (Bandung: Mizan. 1993), hlm. 28

[13] Apri Akhmadi, Kerajinan Kaligrafi di Kotagede (Yogyakarta: Fak. Adab UIN Sunan Kalijaga. 2010) hlm. 80

[14] Kenneth M. George,  Picturing Islam: Art and Ethic In a Muslim Lifeword (Singapura: Toppan Best-set Primedia Limited: 2010), hlm. 45
[15] Apri Akhmadi, Kerajinan Kaligraf…, hlm. 81

[16] Ibid, hlm. 83

[17] Ibid, hlm. 93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar