A.
PENDAHULUAN
Al-Quran adalah kitab pegangan utama umat islam, oleh karena itu
al-Quran adalah kitab suci yang paling banyak di ucapkan dan diperdengarkan
dari waktu ke waktu. Menarik perhatian dalam hal ini bahwa umat islam ketika
berinteraksi beranekaragam dalam mengaplikasikan dan mengamalkannya. Salah satu
variasi tersebut adalah sebagian mereka melihat al-Quran sebagai bentuk estetik
ilahi yang harus di apresiasi dengan estetik pula, seperti melagukan dalam
pembacaan, menulis dengan berbagai bentuk tulisan yang indah serta lain
sebagainya.
Dalam tataran masyarakat muslim di Indonesia, keanekaragaman
tersebut juga banyak dijumpai, seperti tilawah, kaligrafi, bahkan sebagai
oranamen-ornamen dinding masjid adalah suatu hal yang wajar di jumpai. Kaligrafi
sebagai salah bentuk kesenian menulis telah menunjukkan bahwa al-Quran di
terima oleh umatnya tidak hanya dalam tataran etika maupun norma kehidupan,
melainkan sebagai ekspresi estetika. Namun yang menjadi sebuah pertanyaan
mendasar, apa tujuan mereka mengapresiasi al-Quran dari sisi estetik dan apa
yang terejawantahkan dalam kesenian kaligrafi adalah benar-benar ejawantah dari
spirit islam. Beberapa pertanyaan tersebut coba penulis ungkap dalam tulisan
sederhana ini dan semoga bermanfaat.
B.
PEMBAHASAN
1.
Definisi
Kaligrafi dalam Ensikolpedia bebas Wikipedia maupun Kamus Besar
Indonesia diartikan sebagai seni
menulis indah dengan pena sebagai hiasan.[1] Ungkapan
kaligrafi sendiri berasal dari bahasa Latin “kalios” yang berarti indah dan
“graph” yang berarti tulisan. Dalam bahasa Inggris, kaligrafi adalah bentuk
sederhana dari calligraphy, dalam bahasa Arab biasa disebut dengan khat.
Secara terminologi, kaligrafi di artikan oleh Syamsuddin al-Akfani
sebagai berikut.
“Kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk
huruf tunggal, letak-letaknya, dan cara merangkainya menjadi sebuah tulisan
yang tersusun. Atau apa-apa yang ditulis di atas garis-garis, bagaimana cara
menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis; menggubah ejaan yang
perlu digubah dan menentukan cara bagaimana untuk menggubahnya.”[2]
Pemaparan definisi
di atas menunjukkan bahwasannya kaligrafi adalah sebuah “aturan maen” perihal
tulis menulis. Adapun kaligrafi menurut Situmorang adalah suatu corak atau
bentuk seni menulis indah dan merupakan suatu bentuk keterampilan tangan serta
dipadukan dengan rasa seni yang terkandung dalam hati setiap penciptanya.[3]
Sedangkan Yaqut Musta’shim memahami kaligrafi sebagai sebuah pengalaman rohani
kaligrafer yang terwujudkan dalam keindahan tulisan.[4]
2.
Sejarah
Al-Quran adalah kitab suci orang Islam yang menjadikan setiap lini
kehidupan kaum muslimin menjadi indah, tidak terkecuali gaya budaya dan seni
juga terpengaruhi bahkan terlahir dari al-Quran itu sendiri seperti pengaruhnya
terhadap seni kaligrafi, al-Quran menduduki posisi penting.[5]
Merujuk kepada Q.S al-Baqarah: 31, banyak kalangan Arab meyakini
bahwasannya kaligrafi pertama kali di cetuskan oleh Adam, makhluk pertama yang
diajari Allah nama-nama seluruh benda yang ada.
Meskipun kaligrafi telah ada sejak manusia pertama, namun dikalangan
umat Islam sendiri memulai memikirkan kaligrafi(tulis-menulis) pada era kodifikasi
al-Quran. Sejarah mencatat bahwa kodifikasi al-Quran adalah sebuah peristiwa
penting yang merubah al-Quran sebelumnya bersifat hafalan atau oral, berubah
menjadi tulisan. Seperti disiplin ilmu lainnya, kaligrafi menemukan
keanekaragaman ketika Islam melakukan invasi ke beberapa negara untuk
menyebarluaskan ajarannya, misalnya salah satu tulisan awal yang dianggap
dikembangkan di Irak pada paruh kedua abad kedelapan Masehi, menjadikan
al-Quran dalam penyalinannya menggunakan tulisan tersebut.[6]
Selanjutnya, perkembangan tulisan pun tidak dapat di hindari, hal tersebut di
tandai dengan beranekaragamnya tulisan, seperti Naskhi, Tsuluts, Riq’ah,
Diwani, Diwani Jali, Farisi dan Kufi.[7]
Habibullah Fadzoili, sebagaiamana dikutip oleh Nurul Huda,
menjelaskan bahwasannya periodesasi kaligrafi islam terbagi menjadi enam
periode sebagai berikut.
Pertama, kemunculan
gaya kufi. Dalam hal ini, baik kemunculan dalam bentuk tanpa tanda baca
kemudian berlanjut sedemikian rupa indahnya.[8]
Kedua, munculnya
beberapa gaya penulisan selaian gaya kufi yang sudah ada, seperti tsulust,
riq’i, naskhi, muhaqqaq, raihan, dan tauqi’.
Ketiga, periode
penyempurnaan dan perumusan kaidah penulisan oleh Abu Ali Muhammad bin Muqlah
(940 M) dan Abu Abdullah Hasan bin Muqlah dengan metode al-khat al-mansub(ukuran
standar bentuk kaligrafi).
Keempat, periode Abu
Hasan Ali bin Hilal (1022 M). Pada periode ini, kaidah sebelumnya dikembangkan
melalui kaidah yang di istilahkan dengan al-khat al-faiq.
Kelima, periode
Jamaluddin Yaqut al-Musta’shim (1298 M). Jamaluddin mencoba mengembangkan
hiasan kaligrafi dengan penyesuaian pena, yaitu potongan miring.
Keenam¸munculnya tiga
gaya baru penulisan, yaitu gaya ta’liq dikembangkan oleh Abdul Hayy, gaya
nasta’liq oleh Mir Ali dan gaya Shikatseh oleh Darwisi Abdul Majid.[9]
Dalam perkembangannya, jika pada periode klasik pencampuran tulisan
tidak dibolehkan dan lebih menonjolkan keelokan tulisan pada garis-garis, dalam
periode kontemporer lebih menunjukkan kebebasab apresiasi jiwa seni kaligrafer,
sehingga kaligrafi kontemporer tidak lagi sebatas pada garis-garis maupun satu
tulisan saja. Meski menuai kontroversi, kaligrafi kontemporer mulai mendapatkan
perhatian serius, terutama sejak diadakannya pameran seni kaligrafi Islam pada
MTQ XI di Semarang (1979) dan pameran pada Muktamar Media Massa Islam se-Dunia
I di Balai Sidang Senayan Jakarta (1-3 September 1980).[10]
Sirajuddin mencatat bahwa pelopor kaligrafi kontemporer di Indonesia adalah
Ahmad Sadali dan A.D Pirous (Bandung), Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman
(Surabaya). Di Yogyakarta sendiri, setelah generasi mereka lahir kaligrafer
kontemporer seperti Syaiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra Buana, Yetmon Amier
dan lain sebagainya.[11]
3.
Kaligrafi
Dalam Tradisi Seni Masyarakat
Kesenian tulis indah atau lebih dikenal dengan kaligrafi untuk masa
sekarang ini, sudah begitu akrab di kehidupan orang Islam di manapun berada.
Bagi mereka, kaligrafi memiliki berbagai fungsi serta nilai yang terkandung di
dalamnya. Diantara fungsi dan nilai tersebut adalah sebagai berikut
a.
Nilai
Agama
Kaligrafi adalah sebuah karya manusia yang mencoba menuangkan
ide-ide Ilahi melalui tulisan-tulisan indah, sehingga kaligrafi bertautan
dengan nilai-nilai Ilahi dalam ruang lingkup spiritual, karena bagaimanapun
kaligrafi adalah karya nyata yang bernilai seni dan pengalaman spirit dari
kaligrafer.
Kaligrafi Islam adalah pengejawentahan visual dari kristalisasi
realitas-realitas spiritual yang terkandung dalam wahyu Islam, kaligrafi
tersebut merupakan sebuah pakaian luar untuk Firman Allah di alam nyata
meskipun seni ini tetap berhubungan
dengan alam spirit.[12]
Menurut Purwanto, seorang perajin perak di Kotagede, kaligrafi
adalah kesenian yang bercirikan islami dan bernafaskan Islam.[13]
Secara umum, kaligrafi berbicara mengenai tulisan indah, namun realiatas
tersebut yang berkembang sampai sekarang adalah kaligrafi islam, yaitu gaya
menulis indah Firman Ilahi, sehingga wajar jika dalam masyarakat menganggap
bahwasannya kaligrafi bercirikan Islam dan bernafaskan Islam. Oleh karena itu,
sebagian orang mengatakan bahwa kalgrafi adala visualisasi dari ayat-ayat
Quran, karena dalam kaligrafi yang berkembang pesat adalah kaligrafi Qurani,
tulisan indah tentang ayat-ayat Qurani.
Sedangkan menurut Pirous, kaligrafi adalah salah satu jalan
penafsiran dan pemahaman ayat-ayat al-Quran melalui mediasi visual dan
pengalaman serta sebagai animasi dan hiasan pesan Ilahi.[14]
Semua Muslim mengetahui tentang doktrin “Allah indah menyukai keindahan”,
melalui seni kaligrafi tersebut, kaligrafer mencoba memvisualisasikan melalui
keindahan tulisan untuk menagkap pesan-pesan yang ada. Oleh karena itu, pemakaian warna dan lekukan
tulisan kaligrafi dalam prespektif Pirous termasuk sebagai aktualisasi
penafsiran kaligrafer terhadap ayat-ayat al-Quran. Hal tersebut semakin rumit
bagi orang awam untuk memahami penafsiran tersebut, karena tidak semua orang
dapat memahami nilai seni dari kesenian, apalagi hal tersebut adalah ejawantah
dari penafsiran al-Quran. Disamping dituntut memahami dunia tafsir, persoalan
tersebut juga menuntut orang untuk memiliki jiwa seni.
Seperti halnya kasus-kasus living quran lain, kaligrafi
lebih kepada memahami keindahan ayat-ayat Qurani secara nyata dalam realitas
kehidupan, tidak sebatas menguraiakan ayat demi ayat pada karya tafsir. Mereka
menerima cahaya ayat-ayat Quran sesuai dimensi pengalaman dan keahliannya. Bagi
mereka, huruf-huruf, kata-kata dan ayat al-Quran bukanlah sekadar unsur-unsur
dari suatu bahasa tulis, tetapi makluk atau personalitas. Melalui penulisan dan
pembacaan unsur tersebut, manusia memasuki hubungan dengan makhluk-makhluk dan
mukjizat yang berasal dari dunia seberang.
b.
Budaya
dan Seni
Kaligrafi merupakan produk budaya. Ia lahir dari rahim budaya
karena sesungguhnya ia merupakan kebudayaan. Kesenian Islam yang berada di
Indonesia pertama kali muncul dalam bentuk batu nisan yang dinamakan dengan tombe.
Nisan, sebagai pelambang nama seseorang yang termakamkan dalam periode awal di
datangkan langsung dari Gujarat. Nisan
seperti ini bisa di jumpai di seluruh pelosok Nusantara yang memiliki makam
wali Agung, seperti di Gresik terdapat makam Maulana Malik Ibrahim.
Nilai budaya menunjukkan bahwa kaligrafi turut andil dalam
membangun sebuah kebudayaan. Secara historis, kodifikasi al-Quran adalah salah
satu tonggak awal peradaban Islam. Dalam peristiwa tersebut, dunia tulis
menulis jelasnya tidak dapat di lupakan oleh semua orang sampai saat ini. Bagaimana
al-Quran pertama di tulis, bagaimana perkembangannya dan kontroversi yang ada,
bahkan salah satu syarat diterimanya sebuah qiraah adalah adanya kesesuaiannya
dengan tulisan, yaitu rasm ustmani.
Kaligrafi di Kotagede telah
memberikan sebuah warna tersendiri bagi seni ukir logam. Kaligrafi adalah
sebuah ukiran unik dan khas sehingga kaligrafi tersebut di rupakan dalam bentuk
seni ukir logam adalah seni ukir logam yang menjadikan Kotagede sebagai tempat
khas seni ukir logam. Kaligarfi dengan bahan logam serta perak dan kuningan
telah memberikan dampak yang sangat besar pada kehidupan kerajinan di Kotagede[15]
c.
Ekonomi
Ketika membicarakan aspek ini, awalnya para perajin menjadi “galau”
karena dalam al-Quran telah dijelaskan
adanya larangan menjual ayat-ayat al-Quran, namun demikian fenomena
tersebut tidak dapat di hindari. Untuk menghindari dari ancaman tersebut,
mereka lebih melihat kepada realitas ekonomi, dalam artian bahwasannya
tingginya permintaan menunjukkan adanya kelangkaan barang tersebut, baik itu
kelangkaan penjual atau pemiliknya.
Pada awalnya, para perajin hanya memenuhi permintaan dari pihak
Keraton, namun dengan perjalanan waktu, kaligrafi tersebut bukan hanya di
minati oleh pihak Kraton, hal tersebut di tandai dengan kaligrafi sebagai primadona
penjualan seni ukir dalam kurun waktu 2002-2004. Di sini, para perajin menurut
Muharuddin lebih menginginkan syiar Islam. Dengan grafik penjualan yang
meningkat mereka telah ikut berpartisipasi dalam menyebarluaskan ayat-ayat
Quran.[16]
Pemasaran kaligrafi tergolong sangat mudah dan bahkan untuk mematok
harga tinggipun juga teramat mudah, hal tersebut di samping nilai seni yang
terkandung, nilai pesan-pesan ayat-ayat Quran terkandung di dalamnya. Namun
demikian, para perajin sering kesulitan untuk meninggikan harga, bukan karena
pembeli atau penjual, tetapi kepada pesan ayat yang ada.[17]
C.
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas, penulis menyimpulkan sebagai berikut
1.
Kaligrafi
adalah seni tulis indah, namun perkembangan pesat lebih terjadi seni tulis
indah ayat-ayat Qurani.
2.
Kaligrafi
adalah sebuah bentuk respon umat manusia dalam menerima FirmanNya yang di
ejawantahkan dalam bentuk tulisan. Sehingga, untuk memahami kaligrafi bukan
hanya melihat ayat yang tertuang namun nilai spiritual yang ada.
3.
Seni
kaligrafi dalam masyarakat seni Kotagede, memiliki fungsi dan nilai prespektif
Agama;visualisasi ayat-ayat Qurani, seni-budaya;motivasi dan semangat serta
ekonomi;salah satu produk unggulan.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmadi. Apri, Kerajinan
Kaligrafi di Kotagede. Yogyakarta: Fak. Adab UIN Sunan Kalijaga. 2010
al-Faruqi.
Isma’il R, dan al-Faruqi. Lois Lamya, Atlas Budaya Islam;Menjelaskan
Khazanah Peradaban Gemilang. Bandung: Mizan. 2003
George. Kenneth
M, Picturing Islam: Art and Ethic In
a Muslim Lifeword. Singapura: Toppan Best-set Primedia Limited: 2010
Huda. Nurul, Melukis
Ayat Tuhan:Pengantar Praktis Berkaligrafi Arab. Yogyakarta:Gama Media. 2003
Nasr. Sayyed
Hossen, Spiritualitas dan Seni Islam,
terj. Sutejo. Bandung: Mizan. 1993
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edc.III.
Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
http// Id.m.wikipedia.org/wiki/kaligrafi.
Sirajuddin, Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas.
1985
Situmorang, Oloan,
Seni Rupa Islam;Pertumbuhan dan Perkembangannya. Bandung: Angkasa. 1993
E.
Contoh Kaligrafi Kotagede
Gb
1. Kaligrafi piring oval gb 2. Kaligrafi semar bahan tembaga
Gb 3. Kaligrafi tembaga
gb 4. Kaligrafi ayat kursi bahan tembaga
[1] Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edc.III (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005), hlm. 380. Lih. juga http//
Id.m.wikipedia.org/wiki/kaligrafi.
[2] Sebagaimana
yang dikutip oleh Sirajuddin, Seni Kaligrafi Islam (Jakarta: Pustaka
Panjimas. 1985), hlm. 2
[3] Oloan
Situmorang, Seni Rupa Islam;Pertumbuhan dan Perkembangannya (Bandung:
Angkasa. 1993), hlm. 67
[4] Sebagaimana
dikutip oleh Nurul Huda, Melukis Ayat Tuhan:Pengantar Praktis Berkaligrafi
Arab (Yogyakarta:Gama Media. 2003), hlm 3
[5] Isma’il R.
al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi. Atlas Budaya Islam;Menjelaskan Khazanah
Peradaban Gemilang (Bandung: Mizan. 2003), hlm 390
[6] Tulisan yang
berkembang di Irak adalah Kuffi, meski tulisan tersebut juga mengalami
periode perkembangan;kuffi awwal, kuffi timur dan kuffi bengkok.
Isma’il R. al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya…, hlm 390
[7] Naskhi. Khat
tersebut sering dipakai dalam penulisan mushaf dan naskah-naskah kitab
berbahasa Arab, majalah atau Koran.
Tsulust, yang berarti
sepertiga kertas. Ada yang mengatakan sepertiga kertas yang sering dipakai di kedutaan
Mesir, ada yang mengatakan sepertiga tulisan
Umar yang besar atau tulisan Thumar kuno. Tulisan ini lebih jelas dan
gagah dibandingkan dengan naskhi meskipun keduanya memiliki kemiripan.
Riq’ah, khat yang
penamaannya sesuai dengan gaya penulisannya yang kecil-kecil serta terdapat
sudut siku-siku yang unik dan indah.
Diwani, khat yang
sering dipakai untuk keperluan kantor(diwan), memiliki bentuk lembut, gemulai
penuh gaya melingkar serta tersusun di atas garis seperti riq’ah.
Diwani jail, sama dengan
khat diwani, namun memiliki perbedaan dengan adanya syakal, hiasan dan titik
rata pada lekukan hurufnya.
Kufi, khat yang
berafiliasi kepada tempat ditemukannya, Kufah. Penulisan dengan cara
pembentukan yang geometris atau balok garis lurus, sejajar kemudian diolah
untuk motif dekorasi sehingga keindahannya terlihat jika dibubuhi
ornament-ornamen.
Farisi, gaya penulisan
yang cenderung miring ke kanan dan ditulis tanpa harakat ataupun hiasan.
Selengkapnya lih. Nurul Huda, Melukis Ayat…, hlm. 7-10
[8] Menurut hemat
penulis, Periodesasi ini mengacu pada kodifikasi al-Quran yang mana diketahui
bahwasannya penulisan al-Quran dalam peristiwa tersebut mengalama beberapa alur
sehingga berwujud seperti sekarang ini.
[9] Nurul Huda, Melukis
Ayat.., hlm. 4-6
[10] Siarjuddin, Seni
Kaligrafi…, hlm 11
[11] Ibid, hlm.
178
[12] Sayyed Hossen
Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo (Bandung: Mizan. 1993),
hlm. 28
[13] Apri Akhmadi, Kerajinan
Kaligrafi di Kotagede (Yogyakarta: Fak. Adab UIN Sunan Kalijaga. 2010) hlm.
80
[14] Kenneth M.
George, Picturing Islam: Art and
Ethic In a Muslim Lifeword (Singapura: Toppan Best-set Primedia Limited:
2010), hlm. 45
[15] Apri Akhmadi, Kerajinan
Kaligraf…, hlm. 81
[16] Ibid, hlm.
83
[17] Ibid, hlm.
93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar