Kamis, 24 Januari 2013

PETA STUDI ORIENTALIS PRESPEKTIF HERBERT BERG




      A.     PENDAHULUAN
Islam mempunyai dua sumber hukum yaitu al-Quran dan al-sunnah, keduanya merupakan refrensi tertinggi bagi setiap muslim dalam memahami hukum Islam. Dalam memahami kedua sumber itu, jika dibandingkan jauh lebih berat mengembangkan pemikiran terhadap Sunnah dari pada al-Quran, Karena dalam pemahaman dan penafsiran al-Quran tidak akan mengurangi otoritas al-Quran sebagai wahyu dan juga pegangan hidup dan sumber utama ajaran Islam dan hal tersebut berbeda dengan pemahman dan penafsiran terhadap al-sunnah. Salah satu indikasinya adalah berkurangnya otoritas al-sunnah dengan munculnya gerakan inkar al-sunnah. Kelompok tersebut dengan secara tegas menolak keberadaan al-sunnah, mereka mencukupkan dengan al-Quran.
Hal diatas wajar terjadi terhadap ­al-sunnah, karena al-sunnah sendiri bukan sebuah Firman suci Tuhan, melainkan hanya sesuatu yang dinisbatkan kepada seorang Nabi yang terkadang di lain waktu sebagai manusia biasa. Para sarjana, baik muslim atau non-muslim berlomba-lomba mempelajarinya untuk membuktikan asumsi awal bahwa al-sunnah atau hadis bersumber kepada Nabi Muhammad saw.
Dalam peta studi al-sunnah, para pemerhati tidak asing lagi dengan sarjana-sarjana Non-Muslim yang mengeluarkan pendapat atau konsep mengenai al-sunnah. Seperti Goldziher, dia secara tegas menolak keberadaan hadis dikarenakan tidak dapat dibuktikan keautentikannya. J. Schacht menolak karena menurut studinya hadis bersumber kepada abad II-III H. akan tetapi, banyak sarjana non-Muslim yang tidak sependapat dengan mereka, salah satunya adalah N. Abbott.    
Sekilas, memetakan sarjana non-muslim adalah sebuah kepentingan fundamental dalam studi orientalis, hal tersebut bertujuan agar terhindar dari sikap generalisasi pandangan terhadapnya. Oleh karena itu, penulis mengangkat tema peta studi hadis orientalis menurut prespektif orientalis itu sendiri, dalam hal ini Herbert Berg. Semuga bermanfaat.

      B.     NAPAK TILAS KEHIDUPAN HERBERT BERG
Herbert Berg lahir di Brasil tahun 1964. Pada tahun 1965, keluarga Berg pindah ke Kanada, tepatnya di kota Waterloo, Provinsi Ontario. Meskipun Berg lahir di Brasil dan di besarkan di Kanada, akan tetapi secara etnis, dia adalah keturunan Jerman.
Di kota Waterloo, Berg menyelesaikan sekolah menengah dan tingkat atas di Waterloo-Oxford District Secondary School pada tahun 1983. Kemudian melanjutkan studinya pada Universitas Waterloo dan mendapatkan BMat (Bachelor of Mathematic) pada tahun 1988. Di Universitas yang sama, Berg menyelesaikan program Religious Studies/ Middle East Studies pada tahun 1989. Pada tahun 1990 dia meraih gelar Master of Art di Pusat Studi Agama Universitas Toronto dan meraih gelar Doctor of Philosophy pada tahun 1996.
Berg dikenal sebagai seorang yang menekuni bidang Nation of Islam dan aktif meneliti sejarah awal keagamaan modern. Berg memberikan kontribusi berharga atas terbitnya buku The Development of Exegesis in Early Islam: The Debate over The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period (2000) dan method and Theory in the Study of Islamic Origin (2003). Di samping itu, Berg juga penulis article produktif, di antara karyanya adalah: “Context Muhammad” dalam Blackwell Companion to the Quran, ed. Andrew Rippin. “Ibn Abbas in Abbasid-Era:Tafsir” dalam Abbasid Studies:Occasional Papers of the School of Abbasid Studies. “Competing Paradigms in the Study of Islamic Origins: Quran 15:89-91 and Value of Isnads” dalam Methods and Theories in the Study of Islamic Origins.

     C.    GEOGRAFI IMAJINER ORIENTALIS
Membicarakan Orientalis sama halnya dengan membicarakan Muslim. Muslim tidak hanya satu warna, melainkan banyak warnanya.  Begitu halnya dengan Orientalis, mereka tidak satu warna, satu pemikiran dan satu tujuan. Seperti dalam bidang hadis, tidak sedikit yang meragukan keotentikan sumber hukum kedua dalam Agama Islam, namun tidak sedikit pula yang menerima Hadis sabagai sumber hukum kedua setelah al-Quran. Herbert Berg, seorang tokoh orientalis dalam karyanya The Development of Exegesis in Early Islam: The Debate over The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period membagi orientalis yang focus dengan kajian hadis kedalam beberapa kategori sebagai berikut.
            a.      Skepticism
Pada Tahun 1848, setelah memperhatikan Sahih Bukhari dan mempertimbangkan hanya 4000 hadis yang otentik dari 600.000 hadis yang ada, Gustav Weil kemudian mengusulkan agar orang-orang Eropa mengkritik tanpa ragu, setidaknya setengah dari 4000 hadis. Langkah tersebut di ikuti oleh Aloys Sprenger yang menyatakan bahwa banyak hadis yang sebenarnya tidak otentik.
Meski Weil dan Sprenger sudah menyatakan keraguan atas hadis-hadis Nabi. Akan tetapi bagi Berg, penggerak kelompok ini adalah Goldziher dan diteruskan oleh J. Schacht. Goldziher di dalam karyanya Muslim Studies, Vol II, secara tegas mengungkapkan keraguannya atau perbedaan pandangan yang cukup signifikan mengenai asal-usul dan perkembangan literatur hadis.[1]
“The Word Hadith means ‘tale’, ‘communication’. Not only are communications among those who have embraced the religious life called ‘hadith’, but also historical information, whether secular or religious, and whether of times long past or of more recent events”[2].   
Pada dasarnya, ungkapan Ignaz tersebut menolak hadis sebagai sumber ajaran agama, hadis hanya bersifat informasi historis, baik informasi masa lalu maupun kejadian-kejadian pada sekarang.
Penerus estafet Skeptisisme Goldziher, menurut Berg adalah Joseph Schacht. Dalam karyanya The origins of Muhammadan Jurisprudence, Schacht menyajikan suatu fondasi atau setidaknya titik tolak bagi keseluruhan studi hadis di Barat.[3] Fondasi tersebut adalah Projecting back, e-Silatio dan Common Link.[4]  Menurut Berg, meski Schacht menawarkan suatu argumen yang lebih baik dibanding Goldziher, tetapi dia tetap tidak bisa beranjak jauh dari pengaruh Goldziher.

“The idea we have gained of the formative periode is thoroughly different from the fiction which asserted itself from the early third century A.H onward. After work of Goldziher there remained no doubt that the conventional picture concealed rather than revealed the truth; and I trust that the sketch by which I have tried to replace it comes nearer reality”[5]
Namun harus di akui, metode yang dipakai oleh Schacht dalam menetapkan asal-usul hadis, secara spesifik unik. Keunikan tersebut terletak pada usulan alternatifnya untuk menolak metode sarjana Muslim yang dianggapnya tidak relevan.[6]
    
        b.      Non-Skepticism
Teori dan Metodologi yang ditawarkan oleh Goldziher dan Schacht  memicu banyak komentar, pujian, kritik dari berbagai kalangan dan sekaligus menempatkan arah perdebatan. Para pengkritik atau tidak sependapat dengan kedua tokoh diatas, menurut Berg, berargumen untuk mengkoreksi misunderstanding penulisan hadis Nabi dan penggunaan isnad dalam hadis.[7]
Seperti Nabia Abbot. Menurutnya, penulisan hadis sejak pertama kali sudah berlangsung terus-menerus dalam tradisi Islam. Pertama kali dalam arti bahwa para sahabat sejak dahulu sudah merekam hadis dalam bentuk tulisan. Sedangkan maksud dari “terus-menerus” adalah sebagian besar hadis sudah diriwayatkan dalam bentuk tulisan hingga pada masa terjadinya pengkoleksian hadis kanonik.[8]
“the tentative conclusion is that we have here a literary fragment that dates, most probably, from the third century of Islam. This tentative conclusion is based, first, on the quality and script of the papyrus, and, second, on the pecualirities of the text itself. The papyrus is fine in quality, unlike most of the generally coarse product met wiht in papyrus documents of the fourth century of the Hijrah.”[9]  
Senada dengan Abbot, Fuat Sezgin mengatakan bahwa tradisi tulis menulis sudah berlangsung semenjak Islam masa klasik. Sebagai penopang pendapatnya, Sezgin melihat shig^at tahammul wa al-ada’ (metode transmisi sanad) yang biasa digunakan dalam periwayatan hadis berhubungan dengan materi secara tertulis.[10]
          c.       Middle Ground
Perdebatan antara kelompok Skeptism dan non-Skeptism diatas melahirkan kelompok yang mecoba menemukan posisi tengah-tengah, antara percaya dan tidak percaya akan kesejarahan dan otentisitas literatur hadis.[11]
Juynboll, salah satu tokoh yang dimasukkan Berg dalam kelompok ini, mencoba untuk menjawab pertanyaan dimana, kapan dan siapa yang bertanggungjawab atas beredarnya sebuah hadis. Pemasukan Juynboll kedalam kelompok ini, menurut Berg, berdasarkan atas keyakinan laporan terdahulu, Juynboll tidak sepenuhnya percaya namun juga tidak seluruhnya salah ketika dilihat secara menyeluruh, menyatu dalam deskripsi yang secara historis akurat dan dapat dipercaya.[12] Menurut Juynboll, Hadis yang ada dalam kitab kanonik, seperti Bukhari dan Muslim, belum dapat dipastikan akan keotentikannya,[13] dalam artian bahwa ada sebagian hadis yang ada dalam dua kitab kanonik diatas, keotentikannya diragukan.
Fazlur Rahman adalah tokoh yang ada dalam kelompok Middle Ground versi Berg. Menurutnya, posisi Rahman sangat unik. Di satu sisi, dia menerima kesimpulan Goldziher bahwa sebagian besar hadis ahistoris. Namun sebagai muslim, dia ragu untuk menolak hadis yang terdapat dalam kitab kanonik dan menganggap sunnah Nabi adalah palsu.[14]
Selain tokoh diatas, Gregor Schoeler adalah tokoh Middle Ground versi Berg. Berg menganggapnya telah menawarkan konsep alternatif menganai mode transmisi pengetahuan dalam berbagai cabang keilmuan Islam. Dengan mencampur metode oral dan lisan, Schoeler berusaha mempertahankan keotentikan hadis sebagaimana yang ada sekarang, dan mempertimbangkan perbedaan dari hasil observasi.[15]
Selain ketiga tokoh diatas, Berg memasukkan nama-nama lain kedalam kelompok ini, semisal Harald Motzki, Horovitz, J. Robson, N.J Coulson dan U. Rubin.   
           d.      New-Skepticism
Paham yang dilahirkan oleh Goldziher dan Schacht tidak akan mati. Demikian kesimpulan penulis ketika membaca karya Berg, The Development of Exegesis in Early Islam: The Debate over The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period. Paham tersebut, bagi Berg, diwarisi oleh Michael Cook dan Norman Calder.
Michael Cook mencoba mengembangkan pandangan Schacht tentang penyebaran isnad yang terjadi akibat pembuatan otoritas tambahan matan yang sama. Menurut Cook, hal tersebut terjadi dengan cara melompati perawi yang sejaman atau menyandarkan suatu perkataan kepada guru yang berbeda.[16]
Sedangkan Calder berpendapat bahwa pendikotomian tradisional antara periwayatan oral dan tertulis tidak dapat ditarik secara tajam.[17] Dalam artian, bahwa teks-teks tertulis, sebagaimana keberadaannya sekarang, tidak hanya menggambarkan sedikit corpus tertulis pada saat itu, tetapi merupakan bagian kecil menyangkut aktivitas lisan. Dengan demikian, sesuatu yang tertulis adalah bentuk dari sesuatu yang dibicarakan. Hadis yang lahir pada masa common link menunjukkan isi hadis tersebut menjadi pembicaraan pada masa tersebut, bukan common link yang bertanggungjawab, akan tetapi lebih kepada skenario kelahiran hadis yang disengaja oleh orang pada masa tersebut.[18]    

      D.    KESIMPULAN
Melihat dari pemaparan diatas, maka sikap generalisasi terhadap orientalis jelas salah. Sikap tersebut semakin salah jika tidak melakukan kajian dahulu sebelum menyimpulkannya.
Pemaparan Berg tersebut, terlepas dari sikap subjektivitas, perlu diapresiasi untuk menimbulkan sikap terbuka dan sadar diri terhadap kajian yang ada meski apa yang sudah menjadi kesimpulannya masih bersifat pro-kontra, seperti memasukkan Juynboll kepada middle ground dan adanya kelompok tersebut.
Sebagai penutup, kajian-kajian selanjutnya memberikan peluang untuk lebih mengetahui atas pembagian yang sudah dilakukan oleh Berg, apakah hal tersebut dapat dibenarkan atau tidak.

     E.     Daftar Pustaka

Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam: The Debate over The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period
H. A. Juynboll, “Some Isnad-Analytical Methods Illustrated on The Basis of Several Women-Demeaning Saying from Hadith Literature,” dalam jurnal al-Qantara 10. 1989.
Nabia Abbot, “an Arabic Papyrus in The Oriental Institute Stories of The Prophets” dalam Journal of Near Eastern Studies, Vol. V, July, 1946,
Joseph Schacht, “The Origins Of Muhammadan Jurisprudence” (Oxford: The Clarendon Press. 1967.
Ignaz Goldziher, Musliem Studies, V2. (London:George Allen & Unwin LTD. 1971




[1] Herbert Berg, The Developmet…, hlm. 9.

[2] Ignaz Goldziher, Musliem Studies, V2. (London:George Allen & Unwin LTD. 1971), hlm. 3


[3] Herbert Berg, The Development…, hlm. 13

[4] Teori Common Link  adalah sebuah ide yang mengatakan bahwa periwayat tunggal dalam suatu rangkaian sanad, yang mana rangkaian kebawah dan keatasnya perawinya berkembang, maka dapat dipastikan hadis tersebut lahir di era perawi tunggal tersebut. teori projecting back, yaitu menyandarkan sanad kepada tokoh-tokoh dibelakang yang mempunyai otoritas yang lebih tinggi. Hal ini, menurut Schacth  terjadi pada abad kedua hijriah, dimana seorang Qadhi akan mengeluarakn sebuah keputusan-keputusan hokum, maka keputusan tersebut dinisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya,bukan pada dirinya sendiri. Lebih lanjut, Schacht mengatakan, cara yang tepat untuk mengetahui sebuah keberadaan hadis pada masa tertentu adalah dengan menunjukkan hadis tersebut tidak dijadikan sebuah argument tertentu dalam sebuah kepetusan hukum jika hadis itu ada dan hal tersebut dikenal dengan teori E-Silatio. M. Achwan Baharuddin, “Hadis Prespektif Pemikiran Prof. Dr. Joseph Schacht”, Makalah, tidak diterbitkan (Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: 2010), hlm. 6-7

[5] Joseph Schacht, “The Origins Of Muhammadan Jurisprudence” (Oxford: The Clarendon Press. 1967), hlm 329

[6] Herbert Berg, The Development…, hlm. 14

[7] Herbert Berg, The Development…, hlm. 18

[8] Herbert Berg, The Development…, hlm. 18

[9] Nabia Abbot, “an Arabic Papyrus in The Oriental Institute Stories of The Prophets” dalam Journal of Near Eastern Studies, Vol. V, July, 1946, hlm. 170

[10] Herbert Berg, The Development…, hlm. 62

[11] Herbert Berg, The Development…, hlm. 26

[12] Herbert Berg, The Development…, hlm. 27

[13] G. H. A. Juynboll, “Some Isnad-Analytical Methods Illustrated on The Basis of Several Women-Demeaning Saying from Hadith Literature,” dalam jurnal al-Qantara 10 (1989), hlm. 343

[14] Herbert Berg, The Development…, hlm. 32

[15] Herbert Berg, The Development…, hlm 35

[16] Herbert Berg, The Development…, hlm 44

[17] Herbert Berg, The Development…, hlm. 45

[18] Skenario tersebut adalah pembuatan isnad terhadap hadis yang di terima oleh suatu kelompok untuk mempresentasikan identitas kelompoknya atau dengan kritik isnad timbal balik antar kelompok. Herbert Berg, The Development…, hlm. 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar