A. PENDAHULUAN
Islam mempunyai dua sumber hukum
yaitu al-Quran dan al-sunnah, keduanya merupakan refrensi tertinggi bagi
setiap muslim dalam memahami hukum Islam. Dalam memahami kedua sumber itu,
jika dibandingkan jauh lebih berat mengembangkan pemikiran terhadap Sunnah dari pada al-Quran, Karena dalam pemahaman dan penafsiran al-Quran
tidak akan mengurangi otoritas al-Quran sebagai wahyu dan juga pegangan hidup
dan sumber utama ajaran Islam dan hal
tersebut berbeda dengan pemahman dan penafsiran terhadap al-sunnah.
Salah satu indikasinya adalah berkurangnya otoritas al-sunnah dengan
munculnya gerakan inkar al-sunnah. Kelompok tersebut dengan secara tegas
menolak keberadaan al-sunnah, mereka mencukupkan dengan al-Quran.
Hal diatas wajar terjadi terhadap al-sunnah, karena al-sunnah
sendiri bukan sebuah Firman suci Tuhan, melainkan hanya sesuatu yang
dinisbatkan kepada seorang Nabi yang terkadang di lain waktu sebagai manusia
biasa. Para sarjana, baik muslim atau non-muslim berlomba-lomba mempelajarinya
untuk membuktikan asumsi awal bahwa al-sunnah atau hadis bersumber
kepada Nabi Muhammad saw.
Dalam peta studi al-sunnah, para pemerhati tidak asing lagi
dengan sarjana-sarjana Non-Muslim yang mengeluarkan pendapat atau konsep
mengenai al-sunnah. Seperti Goldziher, dia secara tegas menolak
keberadaan hadis dikarenakan tidak dapat dibuktikan keautentikannya. J. Schacht
menolak karena menurut studinya hadis bersumber kepada abad II-III H. akan
tetapi, banyak sarjana non-Muslim yang tidak sependapat dengan mereka, salah
satunya adalah N. Abbott.
Sekilas, memetakan sarjana non-muslim adalah sebuah kepentingan
fundamental dalam studi orientalis, hal tersebut bertujuan agar terhindar dari
sikap generalisasi pandangan terhadapnya. Oleh karena itu, penulis mengangkat
tema peta studi hadis orientalis menurut prespektif orientalis itu sendiri,
dalam hal ini Herbert Berg. Semuga bermanfaat.
B.
NAPAK TILAS KEHIDUPAN HERBERT BERG
Herbert Berg lahir di Brasil tahun 1964. Pada tahun 1965, keluarga
Berg pindah ke Kanada, tepatnya di kota Waterloo, Provinsi Ontario. Meskipun
Berg lahir di Brasil dan di besarkan di Kanada, akan tetapi secara etnis, dia
adalah keturunan Jerman.
Di kota Waterloo, Berg menyelesaikan sekolah menengah dan tingkat
atas di Waterloo-Oxford District Secondary School pada tahun 1983. Kemudian
melanjutkan studinya pada Universitas Waterloo dan mendapatkan BMat (Bachelor
of Mathematic) pada tahun 1988. Di Universitas yang sama, Berg menyelesaikan
program Religious Studies/ Middle East Studies pada tahun 1989. Pada tahun 1990
dia meraih gelar Master of Art di Pusat Studi Agama Universitas Toronto dan
meraih gelar Doctor of Philosophy pada tahun 1996.
Berg dikenal sebagai seorang yang menekuni bidang Nation of
Islam dan aktif meneliti sejarah awal keagamaan modern. Berg memberikan
kontribusi berharga atas terbitnya buku The Development of Exegesis in Early
Islam: The Debate over The Authenticity of Muslim Literature from the Formative
Period (2000) dan method and Theory in the Study of Islamic Origin (2003).
Di samping itu, Berg juga penulis article produktif, di antara karyanya adalah:
“Context Muhammad” dalam Blackwell Companion to the Quran, ed. Andrew
Rippin. “Ibn Abbas in Abbasid-Era:Tafsir” dalam Abbasid Studies:Occasional
Papers of the School of Abbasid Studies. “Competing Paradigms in the Study
of Islamic Origins: Quran 15:89-91 and Value of Isnads” dalam Methods
and Theories in the Study of Islamic Origins.
C.
GEOGRAFI IMAJINER ORIENTALIS
Membicarakan Orientalis sama halnya dengan membicarakan Muslim.
Muslim tidak hanya satu warna, melainkan banyak warnanya. Begitu halnya dengan Orientalis, mereka tidak
satu warna, satu pemikiran dan satu tujuan. Seperti dalam bidang hadis, tidak
sedikit yang meragukan keotentikan sumber hukum kedua dalam Agama Islam, namun
tidak sedikit pula yang menerima Hadis sabagai sumber hukum kedua setelah
al-Quran. Herbert Berg, seorang tokoh orientalis dalam karyanya The
Development of Exegesis in Early Islam: The Debate over The Authenticity of
Muslim Literature from the Formative Period membagi orientalis yang focus
dengan kajian hadis kedalam beberapa kategori sebagai berikut.
a.
Skepticism
Pada Tahun 1848, setelah memperhatikan Sahih Bukhari dan
mempertimbangkan hanya 4000 hadis yang otentik dari 600.000 hadis yang ada,
Gustav Weil kemudian mengusulkan agar orang-orang Eropa mengkritik tanpa ragu,
setidaknya setengah dari 4000 hadis. Langkah tersebut di ikuti oleh Aloys
Sprenger yang menyatakan bahwa banyak hadis yang sebenarnya tidak otentik.
Meski Weil dan Sprenger sudah menyatakan keraguan atas hadis-hadis
Nabi. Akan tetapi bagi Berg, penggerak kelompok ini adalah Goldziher dan
diteruskan oleh J. Schacht. Goldziher di dalam karyanya Muslim Studies, Vol
II, secara tegas mengungkapkan keraguannya atau perbedaan pandangan yang cukup
signifikan mengenai asal-usul dan perkembangan literatur hadis.[1]
“The
Word Hadith means ‘tale’, ‘communication’. Not only are communications among
those who have embraced the religious life called ‘hadith’, but also historical
information, whether secular or religious, and whether of times long past or of
more recent events”[2].
Pada dasarnya, ungkapan Ignaz tersebut menolak hadis sebagai sumber
ajaran agama, hadis hanya bersifat informasi historis, baik informasi masa lalu
maupun kejadian-kejadian pada sekarang.
Penerus estafet Skeptisisme Goldziher, menurut Berg adalah
Joseph Schacht. Dalam karyanya The origins of Muhammadan Jurisprudence, Schacht
menyajikan suatu fondasi atau setidaknya titik tolak bagi keseluruhan studi
hadis di Barat.[3]
Fondasi tersebut adalah Projecting back, e-Silatio dan Common Link.[4] Menurut Berg, meski Schacht menawarkan suatu
argumen yang lebih baik dibanding Goldziher, tetapi dia tetap tidak bisa
beranjak jauh dari pengaruh Goldziher.
“The idea we have gained of the formative periode is thoroughly
different from the fiction which asserted itself from the early third century
A.H onward. After work of Goldziher there remained no doubt that the
conventional picture concealed rather than revealed the truth; and I trust that
the sketch by which I have tried to replace it comes nearer reality”[5]
Namun harus di akui, metode yang dipakai oleh Schacht dalam
menetapkan asal-usul hadis, secara spesifik unik. Keunikan tersebut terletak
pada usulan alternatifnya untuk menolak metode sarjana Muslim yang dianggapnya
tidak relevan.[6]
b.
Non-Skepticism
Teori dan Metodologi yang ditawarkan oleh Goldziher dan
Schacht memicu banyak komentar, pujian,
kritik dari berbagai kalangan dan sekaligus menempatkan arah perdebatan. Para
pengkritik atau tidak sependapat dengan kedua tokoh diatas, menurut Berg,
berargumen untuk mengkoreksi misunderstanding penulisan hadis Nabi dan
penggunaan isnad dalam hadis.[7]
Seperti Nabia Abbot. Menurutnya, penulisan hadis sejak pertama kali
sudah berlangsung terus-menerus dalam tradisi Islam. Pertama kali dalam arti
bahwa para sahabat sejak dahulu sudah merekam hadis dalam bentuk tulisan.
Sedangkan maksud dari “terus-menerus” adalah sebagian besar hadis sudah
diriwayatkan dalam bentuk tulisan hingga pada masa terjadinya pengkoleksian
hadis kanonik.[8]
“the tentative conclusion is that we have here a literary fragment
that dates, most probably, from the third century of Islam. This tentative
conclusion is based, first, on the quality and script of the papyrus, and,
second, on the pecualirities of the text itself. The papyrus is fine in
quality, unlike most of the generally coarse product met wiht in papyrus
documents of the fourth century of the Hijrah.”[9]
Senada dengan Abbot, Fuat Sezgin mengatakan bahwa tradisi tulis
menulis sudah berlangsung semenjak Islam masa klasik. Sebagai penopang
pendapatnya, Sezgin melihat shig^at tahammul wa al-ada’ (metode
transmisi sanad) yang biasa digunakan dalam periwayatan hadis berhubungan
dengan materi secara tertulis.[10]
c.
Middle Ground
Perdebatan antara kelompok Skeptism dan non-Skeptism diatas
melahirkan kelompok yang mecoba menemukan posisi tengah-tengah, antara percaya
dan tidak percaya akan kesejarahan dan otentisitas literatur hadis.[11]
Juynboll, salah satu tokoh yang dimasukkan Berg dalam kelompok ini,
mencoba untuk menjawab pertanyaan dimana, kapan dan siapa yang bertanggungjawab
atas beredarnya sebuah hadis. Pemasukan Juynboll kedalam kelompok ini, menurut
Berg, berdasarkan atas keyakinan laporan terdahulu, Juynboll tidak sepenuhnya
percaya namun juga tidak seluruhnya salah ketika dilihat secara menyeluruh,
menyatu dalam deskripsi yang secara historis akurat dan dapat dipercaya.[12]
Menurut Juynboll, Hadis yang ada dalam kitab kanonik, seperti Bukhari dan
Muslim, belum dapat dipastikan akan keotentikannya,[13] dalam artian bahwa ada sebagian hadis yang ada dalam dua kitab
kanonik diatas, keotentikannya diragukan.
Fazlur Rahman adalah tokoh yang ada dalam kelompok Middle Ground
versi Berg. Menurutnya, posisi Rahman sangat unik. Di satu sisi, dia
menerima kesimpulan Goldziher bahwa sebagian besar hadis ahistoris. Namun
sebagai muslim, dia ragu untuk menolak hadis yang terdapat dalam kitab kanonik
dan menganggap sunnah Nabi adalah palsu.[14]
Selain tokoh diatas, Gregor Schoeler adalah tokoh Middle Ground versi
Berg. Berg menganggapnya telah menawarkan konsep alternatif menganai mode
transmisi pengetahuan dalam berbagai cabang keilmuan Islam. Dengan mencampur
metode oral dan lisan, Schoeler berusaha mempertahankan keotentikan hadis
sebagaimana yang ada sekarang, dan mempertimbangkan perbedaan dari hasil
observasi.[15]
Selain ketiga tokoh diatas, Berg memasukkan nama-nama lain kedalam
kelompok ini, semisal Harald Motzki, Horovitz, J. Robson, N.J Coulson dan U.
Rubin.
d.
New-Skepticism
Paham yang dilahirkan oleh Goldziher dan Schacht tidak akan mati.
Demikian kesimpulan penulis ketika membaca karya Berg, The Development of
Exegesis in Early Islam: The Debate over The Authenticity of Muslim Literature
from the Formative Period. Paham tersebut, bagi Berg, diwarisi oleh Michael
Cook dan Norman Calder.
Michael Cook mencoba mengembangkan pandangan Schacht tentang
penyebaran isnad yang terjadi akibat pembuatan otoritas tambahan matan
yang sama. Menurut Cook, hal tersebut terjadi dengan cara melompati perawi yang
sejaman atau menyandarkan suatu perkataan kepada guru yang berbeda.[16]
Sedangkan Calder berpendapat bahwa pendikotomian tradisional antara
periwayatan oral dan tertulis tidak dapat ditarik secara tajam.[17]
Dalam artian, bahwa teks-teks tertulis, sebagaimana keberadaannya sekarang,
tidak hanya menggambarkan sedikit corpus tertulis pada saat itu, tetapi
merupakan bagian kecil menyangkut aktivitas lisan. Dengan demikian, sesuatu
yang tertulis adalah bentuk dari sesuatu yang dibicarakan. Hadis yang lahir
pada masa common link menunjukkan isi hadis tersebut menjadi pembicaraan
pada masa tersebut, bukan common link yang bertanggungjawab, akan tetapi
lebih kepada skenario kelahiran hadis yang disengaja oleh orang pada masa
tersebut.[18]
D.
KESIMPULAN
Melihat dari pemaparan diatas, maka sikap generalisasi terhadap
orientalis jelas salah. Sikap tersebut semakin salah jika tidak melakukan
kajian dahulu sebelum menyimpulkannya.
Pemaparan Berg tersebut, terlepas dari sikap subjektivitas, perlu
diapresiasi untuk menimbulkan sikap terbuka dan sadar diri terhadap kajian yang
ada meski apa yang sudah menjadi kesimpulannya masih bersifat pro-kontra,
seperti memasukkan Juynboll kepada middle ground dan adanya kelompok
tersebut.
Sebagai penutup, kajian-kajian selanjutnya memberikan peluang untuk
lebih mengetahui atas pembagian yang sudah dilakukan oleh Berg, apakah hal
tersebut dapat dibenarkan atau tidak.
E.
Daftar Pustaka
Herbert Berg, The
Development of Exegesis in Early Islam: The Debate over The Authenticity of
Muslim Literature from the Formative Period
H. A. Juynboll, “Some Isnad-Analytical Methods Illustrated on
The Basis of Several Women-Demeaning Saying from Hadith Literature,” dalam
jurnal al-Qantara 10. 1989.
Nabia Abbot, “an Arabic Papyrus in The Oriental Institute Stories
of The Prophets” dalam Journal of Near Eastern Studies, Vol. V, July, 1946,
Joseph Schacht, “The Origins Of Muhammadan Jurisprudence” (Oxford:
The Clarendon Press. 1967.
Ignaz Goldziher, Musliem Studies, V2. (London:George Allen
& Unwin LTD. 1971
[1] Herbert Berg, The
Developmet…, hlm. 9.
[2]
Ignaz
Goldziher, Musliem Studies, V2. (London:George Allen & Unwin LTD.
1971), hlm. 3
[3] Herbert Berg, The
Development…, hlm. 13
[4] Teori Common
Link adalah sebuah ide yang
mengatakan bahwa periwayat tunggal dalam suatu rangkaian sanad, yang mana
rangkaian kebawah dan keatasnya perawinya berkembang, maka dapat dipastikan
hadis tersebut lahir di era perawi tunggal tersebut. teori projecting back, yaitu
menyandarkan sanad kepada tokoh-tokoh dibelakang yang mempunyai otoritas yang
lebih tinggi. Hal ini, menurut Schacth
terjadi pada abad kedua hijriah, dimana seorang Qadhi akan mengeluarakn
sebuah keputusan-keputusan hokum, maka keputusan tersebut dinisbahkan kepada
tokoh-tokoh sebelumnya,bukan pada dirinya sendiri. Lebih lanjut, Schacht
mengatakan, cara yang tepat untuk mengetahui sebuah keberadaan hadis pada masa
tertentu adalah dengan menunjukkan hadis tersebut tidak dijadikan sebuah
argument tertentu dalam sebuah kepetusan hukum jika hadis itu ada dan hal
tersebut dikenal dengan teori E-Silatio. M. Achwan Baharuddin, “Hadis
Prespektif Pemikiran Prof. Dr. Joseph Schacht”, Makalah, tidak diterbitkan (Fak.
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: 2010), hlm. 6-7
[5] Joseph
Schacht, “The Origins Of Muhammadan Jurisprudence” (Oxford: The
Clarendon Press. 1967), hlm 329
[6] Herbert Berg, The
Development…, hlm. 14
[7] Herbert Berg, The
Development…, hlm. 18
[8] Herbert Berg, The
Development…, hlm. 18
[9] Nabia Abbot,
“an Arabic Papyrus in The Oriental Institute Stories of The Prophets” dalam Journal
of Near Eastern Studies, Vol. V, July, 1946, hlm. 170
[10] Herbert Berg, The
Development…, hlm. 62
[11] Herbert Berg, The
Development…, hlm. 26
[12] Herbert Berg, The
Development…, hlm. 27
[13]
G. H. A.
Juynboll, “Some Isnad-Analytical Methods Illustrated on The Basis of Several
Women-Demeaning Saying from Hadith Literature,” dalam jurnal al-Qantara
10 (1989), hlm. 343
[14] Herbert Berg, The
Development…, hlm. 32
[15] Herbert Berg, The
Development…, hlm 35
[16] Herbert Berg, The
Development…, hlm 44
[17] Herbert Berg, The
Development…, hlm. 45
[18] Skenario
tersebut adalah pembuatan isnad terhadap hadis yang di terima oleh suatu
kelompok untuk mempresentasikan identitas kelompoknya atau dengan kritik isnad
timbal balik antar kelompok. Herbert Berg, The Development…, hlm. 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar