Minggu, 04 Maret 2012

SEJARAH PERADABAN KHULAFA' AL-RASYIDIN



A.    PENDAHULUAN

Menjadi sebuah pertanyaan sejarah adalah kapan Islam mengalami puncak peradabannya?. Sebagian  merujuk kepada masa Muhammad saw ketika hidup.  Sebagian lainnya merujuk kepada masa khulafa’ al-rasyidin, hal tersebut wajar karna masa khulafah al-rasyidin adalah masa di mana umat Islam untuk pertama kalinya berdiri tanpa Muhammad saw, seperti  pengangkatan khalifah, sistem kekhalifahan, interaksi umat Islam serta hal lainnya adalah sekelumit peristiwa tanpa adanya sosok Nabi Muhammad saw. Hal tersebut juga di pertegas oleh Nabi bahwasannya “generasi terbaik adalah generasi setelah Nabi”.  Dengan demikian, maka wajar pada masa sekarang ada sebagian kelompok yang menyatakan bahwa untuk memuncaki peradaban umat muslim harus menerapkan apa yang telah di contohkan pada masa khalifah tersebut.
      Meski masa tersebut di sinyalir sebagai puncak peradaban namun tidak sedikit oleh kalangan di pertentangkan jika hal tersebut di terapkan pada masa sekarang. Salah satunya adalah system pemerintahan, banyak yang menentang akan tersebut karena system pemerintahan yang sesuai pada masa sekarang jika merujuk kepada Islam adalah Syura, yang mana hal tersebut mempunyai persamaan dengan sistem pemerintahan saat ini, yaitu demokrasi, parlemen, republic dan lain sebagainya.
      Oleh karena itu, upaya rekontruksi pemahaman di perlukan untuk menjawab berbagai persoalan tersebut. Di samping untuk meluruskan pemahaman atas sejarah tersebut, hal tersebut berguna untuk membangun sebuah peradaban yang tidak ahistoris, sehingga apa yang di kerjakan oleh umat muslim sekarang adalah sebuah proyek yang belum terselesaikan di masa lampau.
     




B.     KERANGKA TEORI

Sejarah secara harfiah berasal dari kata syajarah (Arab), Istoria (Yunani), Histore (Prancis), Geschicte (Jerman), Histoire atau Geschiedenis (Belanda) dan History (Inggris). Sedangkan arti sejarah yang populer adalah pengetahuan tentang gejala alam, khususnya manusia yang bersifat kronologis.[1]
Peradaban meski mengalami sedikit kesalahan pengertiannya dalam bahasa Indonesia, namun yang di maksud dengan peradaban secara luas adalah suatu kondisi masyarakat yang sudah berkembang dan maju dengan melihat gejala-gejala lahir yang nampak.[2]
Khalifah, secara umum di artikan sebagai pengganti dan penerus tugas-tugas Muhammad saw dalam keagamaan dan pemerintahan. Akan tetapi, makna khalifah mengalami pergeseran, baik dari sisi historis, teologis maupun sosiologis politis.[3]
     
C.    PEMBAHASAN
1.      Kepercayaan

Nabi Muhammad saw yang di utus kepada Bangsa Arab Jahiliyyah tidak lain untuk meluruskan kepercayaan atau keyakinannya, sehingga tak dapat di sangsikan lagi ketika Muhammad saw wafat, problem yang di hadapi oleh penerusnya (khalifah) adalah kemunculan orang-orang murtad dan Nabi palsu. Problem tersebut, meski tidak menafikan permasalahan-permasalahan lainnya, sekilas menunjukkan ketidakberhasilan dakwah Muhammad saw dalam meluruskan keyakinan dan kepercayaan Bangsa Arab. Oleh karena itu, Abu Bakar al-Shiddiq, Khalifah pertama melihat permasalahan tersebut adalah permasalahan fundamental yang harus segera di selesaikan secepat mungkin.
“seraya bersumpah dengan tegas ia menyatakan akan memerangi semua golongan yang menyimpang dari kebenaran (orang-orang murtad, tidak mau membayar zakat dan mengaku diri sebagai nabi), sehingga semuanya kembali ke jalan yang benar atau harus gugur sebagai syahid dalam memperjuangkan kemuliaan agama Allah”[4]   

            Tidak di ragukan lagi, sikap tegas Abu Bakar tersebut adalah sebuah cerminan atas krusialnya permasalahan yang di hadapinya,[5] akan tetapi, sikap tegas tersebut bukanlah senjata utama Abu Bakar untuk menghadapi kelompok-kelompok pembangkang. Sebelum terlaksanya perintah memerangi kelompok pemberontak, jalan pertama yang di lakukan oleh Abu Bakar adalah bersifat diplomatis, yaitu mengirim surat kepada kelompok-kelompok pemberontak untuk di ajak kembali ke jalan yang benar, namun mereka mengindahkan seruan tersebut.
            Al-Suyuthi mengatakan bahwasannya ada persyaratan yang di tetapkan oleh Abu Bakar kepada kelompok atau orang berhak di perangi, yaitu mereka tidak mengucapkan syahadat, meninggalkan shalat, tidak membayar zakat, meninggalkan puasa dan tidak menunaikan haji.[6]
             Ketika seruan tidak di hiraukan, memerangi kaum murtad pun tidak terhindarkan. Tercatat dalam sejarah, sepanjang kepemimpinannya yang singkat, Abu Bakar berhasil meredakan kaum murtad Bahrain, Nabi palsu Musailmah, Nabi palsu Laqit ibn Malik al-Azadi di Oman, kelompok murtad keluarga Kindah dan Nabi palsu Kais ibn Abdi Yagust di Yaman. Kelompok-kelompok tersebut meyakini bahwasannya apa yang di lakukannya(kecuali mengaku nabi) adalah perbuatan wajar karena selama ini, perjanjian atau baiat hanya berlaku personal antara mereka dengan Muhammad saw.[7] 
            Selain sikap keagamaan tersebut yang menjadi penyebab adanya pembangkangan, keadaan politis juga mendukung adanya penyelewengan oleh umat muslim di luar arab, yaitu umat muslim menguasai jazirah arab masih sekitar tiga tahun terakhir sehingga apa yang gariskan oleh islam belum begitu mengakar dengan mereka. Oleh karena itu, memerangi mereka selain meluruskan kembali keyakinan mereka, eksistensi kekuasaan islam terhadap Arabia yang baru berdiri beberapa tahun terkahir juga menjadi permasalahan tersendiri untuk segera di selesaikan. Bagaimanapun, Muhammad saw di samping sebagai utusan dan Nabi Allah, beliau adalah seorang kepala Negara, sehingga kepolitikan yang telah di bangunnya harus tetap di tegakkan agar eksistensinya tetap di akui oleh khalayak umum.  
            Meskipun adanya kaum-kaum pembelot tersebut, namun sebagian umat muslim tidak di ragukan lagi kepercayaan dan keimanannya meski Muhammad saw telah tiada. Sebenarnya, ada gelombang pemudaran kepercayaan dan keyakinan tatkala berita wafatnya Muhammad saw tersebar ke seluruh pelosok, namun hal tersebut dapat di tangkap oleh Abu Bakar dan di padamkannya sekita itu juga dengan pidatonya sebagai berikut.

“hai kaum muslimin. Barang siapa menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa beliau telah wafat. Tetapi barang siapa menyembah Allah, Dia Maha Hidup dan tidak pernah mati” Abu bakar juga menyitir sebuah ayat al-Quran: “Muhammad itu tidak lain adalah seorang Rasul, telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh, kalian akan berbalik?”[8]

            Pidato Abu bakar tersebut memperlihatkan bahwasannya sebagian muslim telah terjerembab pada kesalahan seperti yang di lakukan oleh umat kristiani kepada Nabi Isa a.s, yaitu menuhankan Muhammad saw. Maka apresiasi tinggi seharusnya di berikan kepada Abu Bakar karena dengan kecerdasannya yang berhasil menangkap gejala-gejala tersebut dan berhasil memadamkannya. Di sisi lain, pidato tersebut menunjukkan atas kualitas keimanan personal Abu Bakar yang tidak bisa di ragukan lagi.
             Selanjutnya, permasalahan teologi dalam masa khulafa’ al-rasyidin yang masih mengakar sampai sekarang adalah konsep khalifah tersebut. Pertentangan tersebut tidak lain adalah khilafah adalah sebuah pemimpin spiritual atau tidak. Untuk menjawab permasalahan tersebut, pemahaman atas sejarah khulafa’ al-rasyidin adalah suatu hal yang urgen. Dengan memahami historisasinya maka akan mengetahui sebenarnya cakupan konsep tersebut.
Pandangan Abu Bakar sendiri ketika di baiat menjadi khalifah pertama menyatakan bahwasannya pengangkatannya hanya sebatas kenegaraan, sedangkan permasalahan keagamaan hanya sebatas pada ajaran-ajaran Muhammad saw, dalam artian tidak bersifat spiritual kepemimpinannya.  Abu Bakar dengan tegas menyatakan bahwasannya dengan wafatnya Muhammad saw maka berakhir pula kerisalahan Allah dan dia tidak mungkin menjadi penerus Nabi dalam hal religiusitas umat muslim. Bagaimana dengan memerangi kelompok penyeleweng yang di bawah kekuasaan Abu Bakar?. Tindakan Abu Bakar tersebut tidak lain adalah menghindarkan perpecahan dalam umat muslim itu sendiri, bukan adanya legalitas religious terhadap Abu Bakar.[9] Begitu pula dengan penunjukan Umar ibn Khattab sebagai pengganti Abu Bakar lebih kepada kewenangan sebagai kepala Negara.

“rupanya masa dua tahun bagi khalifah Abu Bakar  belumlah cukup untuk menjamin stabilitas keamanan terkendali, maka penunjukan ini di maskudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam”[10]
            Pengangkatan khalifah Utsman ibn Affan meski memiliki mekanisme baru dengan adanya tim formatur yang di bentuk oleh Umar;Ali, Ustman, Sa’ad ibn Waqash, Abd al-Rahman ibn Auf, Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah, namun hal tersebut menunjukkan bahwasannya kekhalifahan bukanlah sebuah pimpinan religiousitas umat muslim, kekhalifahan di sini di pertegas hanya sebuah hubungan pemimpin negara dan rakyat.[11]  Utsman setelah di angkat menjadi khalifah berjanji akan mengikuti apa yang telah di lakukan pendahulunya dan mengikuti al-Quran dan Sunnah. Di samping itu, dalam pidatonya Utsman juga mengakui dirinya adalah bukan orang sempurna, banyak kekurangan.[12] Tidak jauh berbeda dengan khalifah sebelum-sebelumnya, Ali ibn Thalib ketika di angkat menjadi khalifah keemapat tetap berpedoman kepada Allah dan kemaslahatan umat Islam berdasarkan ajaran sunnah.[13]
            Konsep khalifah yang dikonsepkan oleh khulafa’ al-rasyidin di atas adalah konsep khilafah antar manusia, hal tersebut berbeda ketika khilafah antara manusia dengan Allah. Konsep khilafah yang di tetapkan oleh manusia terdapat adanya hak memilih dan berdasarkan pilihan, sedangkan konsepsi khilafah rasul terjadi melalui kehendak Allah.[14] Oleh karena itu, secara historisasi khulafa’ al-rasyidin, konsep khalifah sesungguhnya adalah sebuah gelar bagi penerus atau pengganti nabi untuk menstabilkan keadaan umat Islam, meneruskan perjuangan Muhammad saw dalam sisi kenegaraan karena apapun yang di lakukan oleh keempat khalifah tersebut berdasarkan ajaran-ajaran atau sunnah Muhammad saw.

“pewarisan misi Muhammad (khilafah) berarti pewarisan kedaulatan negara. Sedangkan peran Muhammad sebagai nabi, sebagai penerima wahyu, sebagai rasul Allah tidak tergantikan. Dari sisi keagamaan, seseorang khalifah hanyalah seorang pemelihara iman yang bertugas mempertahankan keimanan. Peran itu serupa dengan peran yang di klaim raja-raja Eropa. Seorang khalifah berkewajiban untuk menghilangkan bidah, memerangi orang-orang kafir dan memperluas wilayah. Semua kewajiban itu dilaksanakan dalam kapasitasnya sebagai penguasa dunia”[15]
           

2.      Pengetahuan

Pada jaman Jahiliyyah, kaum Qurays baru memiliki 7 orang pandai baca tulis dan penduduk Yastrib memiliki 17 orang pandai baca tulis. Oleh karena, tidak mengherankan pada masa tersebut bangsa arab jahiliyyah sangat miskin pengetahuan.[16] Islam hadir mengubah keadaan tersebut. Firman Allah pertama turun kepada Muhammad saw, bacalah, menjadi titik tolak perubahan dan perkembangan Qurays dan penduduk Yastrib selanjutnya. Di masa Rasulullah saw hidup, lahir beberapa orang genius, seperti Umar ibn Khattab, Ali ibn Abi Thalib, Zaid ibn Tsabit, Ibn Mas’ud, Ibn Umar, Ibn Abbas dan Aisyah. Terlahirnya orang pandai pada masa Muhammad saw membantu perkembangan peradaban pada masa khulafa’ al-rasyidin, karena bagaimanapun, kemajuan yang di capai oleh khulafa’ al-rasyidin tidak terlepas dari ikut andilnya peran mereka.
Langkah gemilang dan tidak terlupakan oleh semua orang yang di tempuh oleh khulafa’ al-rasyidin adalah pembukuan al-Quran. Peperangan untuk membasmi para pemurtad agama yang di canangkan oleh Abu Bakar harus di bayar mahal umat muslim dengan syahidnya beberapa qurra dan penghafal quran. Terlepas dari historisasi kodifikasi al-Quran dan kontroversi yang menyertainya, ide yang di cetuskan oleh Umar ibn Khattab melalui khalifah Abu Bakar adalah sebuah ide cemerlang, karena sebelumnya al-Quran hanya di hafal oleh para sahabat, jikapun ada sahabat yang menulis dapat di pastikan itu terbatas pada selembaran dan tidak mencakup semua al-Quran. Beberapa kemajuan seputar kodifikasi al-Quran tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut.
a.       Menjaga keutuhan al-Quran dan mengumpulkannya dalam bentuk mushaf
b.      Pemberlakuan mushaf standar pada masa Utsman ibn Affan
c.       Keseriusan mencari serta menyebarkan keilmuan, terutama penyebaran mushaf beserta para qari
d.      Adanya ketertarikan umat lain untuk mempelajari Islam[17]
 Selain kodifikasi al-Quran sebagai kemajuan peradaban yang tercapai pada masa khulafa’ al-rasyidin, di berlakukannya ijtihad oleh khalifah Umar adalah sebuah sisi lain dari kemajuan peradaban. Sebenarnya, kodifikasi  al-Quran adalah manifestasi dari di bukanya pintu ijtihad karean sebelumnya Muhammad saw sendiri tidak melakukannya. Namun, yang di maksud dari peradaban dari sisi di bukanya ijtihad di atas adalah beberapa keputusan yang di ambil oleh Umar ibn Affan. Di antaranya adalah
a.  Tidak melaksanakan hukum potong tangan terhadap pencuri yang terpaksa mencuri demi membebaskan dirinya dari kelaparan
b.      Menghapuskan bagian zakat bagi para muallaf
c.       Menghapuskan hukum mut’ah[18]
d.      Mengawini ahli kitab
e.       Cerai tiga kali yang di ucapkan sekaligus.[19]
Selain masalah-masalah di atas, shalat tarawih berjamaah juga mulai di berlakukan. Terlepas dari kontroversi yang muncul dari sikap Umar tersebut, namun tindakan Umar adalah sebuah tindakan yang menunjukkan Islam bukanlah agama kaku dan stagnan. Sikap terbuka seperti itu sehingga Islam dapat di terima di seluruh pelosok negeri yang di taklukan, karena dalam periode khulafa’ al-rasyidin, perluasan wilayah sangat gencar-gencarnya dan terbilang sangat sukses.

3.      Kelembagaan

Sebagaimana yang telah di jelaskan di atas, konsep khilafah pada masa khulafa’ al-rasyidin lebih ke dalam kenegaraan, maka sejalan dengan konsepsi tersebut, terbentuklah beberapa lembaga kenegaraan di masa khulafa’ al-rasyidin. Adapun lembaga-lembaga tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Organisasi politik
Dalam aspek ini, beberapa lembaga telah di bentuk, antara lain al-wizaraat dan al-kitabaat. Istilah pertama di tunjukkan untuk orang-orang yang terlibat mengurusi negara, dalam konteks sekarang adalah menteri. Istilah kedua adalah orang-orang yang membantu dalam bidang menjelaskan urusan-urusan penting negara, dalam konteks sekarang adalah sekretaris negara
b.      Administrasi negara
Organisasi bidang ini terbilang masih cukup sederhana, karena bertugas membentuk propinsi-propinsi beserta gubernurnya, mengurusi masalah pos dengan kuda sebagai kendaraan dan membentuk kepolisian sebagai pengamanan negara
c.       Peradilan
Khalifah mengangkat hakim-hakim di tiap wilayah untuk mengatasi problematik hukum yang muncul, baik masalah pengadilan, banding atau damai. Dalam mengangkat hakim, beliau menetapkan beberapa peraturan atau asas-asas hukum sebagai berikut.
1.      Kedudukan lembaga peradilan adalah sebuah kewajiban masyarakat negara
2.      Memahami kasus persoalan, baru memutuskannya
3.      Samakan pandangan kepada kedua belah pihak dan berlaku adil
4.      Kewajiban pembuktian bagi penggugat dan tergugat
5.      Lembaga damai, dalam artian jalan damai di benarkan jika tidak mengharamkan perkara halal atau sebaliknya
6.      Penundaan persidangan bagi orang yang memberitahukan alasan penundaannya, jika tidak maka keputusan sesuai dengan hak tergugat dan penggugat
7.      Kebenaran dan keadilan adalah masalah universal
8.      Kewajiban menggali hukum yang hidup dan melakukan penalaran logis
9.      Orang islam harus berlaku adil
10.  Larangan bersidang ketika sedang emosi[20]
d.      Bendahara negara
Manifestasi dari konsep adalah terbentuknya bait al-ma>llembaga ini bertugas untuk permasalahan keuangan negara, baik itu pengeluaran maupun pemasukan.   

e.       Pertahanan Keamanan
Lembaga yang berkonsentrasi mengatasi permasalahn tentara; susunan tentara, gaji tentara, persenjataan, pengadaan asrama, benteng-benteng pertahanan dan latihan militer.[21]


4.      Arsitektur

Beberapa kemajuan dalam bidang arsitektur adalah sebagai berikut.
a.       Perbaikan masjid-masjid.
Masjid al-haram di perluas pada masa Utsman ibn Affan, Masjid nabawi. Pada era Umar di perluas 35x30M, dan kemudian di perluas bagian selatan 5 m, barat 5 m dan utara 15 m. di samping perluasan, Umar juga membuat mihrab dan menambah pintu masuk menjadi 6 buah.  Di era Utsman masjid tersebut di perluas dan dinding di hiasi dengan berbagai ukiran.
b.      Pembangun kota-kota.
Selain memperbaiki masjid-masjid, pada era khulafa’ al-rasyidin, tepatnya Umar ibn Khattab, di lakukan gerakan membangun kota sebagai pusat pemerintahan. Di Irak, Basrah di bangun dengan arsitek Utbah ibn Gazwah dan Kufah di bangun dengan arsitek Salman al-Farisi. Di Mesir, Fusthath di bangun sebagai ibu kota propinsi.[22]

Di samping memperbaiki masjid-masjid dan membangun kota-kota, pembangunan daerah-daerah pemukiman, jembatan, jalan, wisma tamu, tempat persediaan air di Madinah, padang pasir dan ladang-ladang peternakan.[23] Dengan adanya kemajuan arsitektur tersebut, para khalifah tidak hanya memperhatikan masalah keagamaan, politik ataupun kekuasaan. Kemaslahatan public juga menjadi perhatian karena kemaslahatan public merupakan bentuk dari manifestasi kebudayaan sebuah masyarakat.





D.    KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas, penulis menyimpulkan beberapa beberapa poin sebagai berikut.
1.    Secara historis, konsep khilafah sebagaimana yang di terapkan oleh khulafa’ al-rasyidin adalan khalifah rasul, pengganti rasul, bukan khalifah Allah.
2.      Khalifah rasul berdimensi manusia, sehingga cakupannya adalah sebatas kenegaraan atau politik, tidak masuk ranah ketuhanan atau kenabian
3.      Khalifah di angkat atas dasar pilihan manusia dengan asas musyawarah
4.   Meski terdapat pembelotan oleh sebagian kelompok pasca wafatnya Muhammad saw, namun hal tersebut tidak menjadi sebuah indikasi kemunduran teologis bangsa Arab
5.     Beberapa kemajuan peradaban dapat di jumpai pada era tersebut. Seperti pembentukan departemen pemerintahan, pembangunan masjid dan kota-kota, serta kodifikasi al-Quran.
















[1] Dudung Abdurrahman, “Makna Sejarah dan Peradaban Islam” dalam Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam:Dari Klasik Hingga Modern (Yogyakarta:LESFI. 2004), hlm. 4

[2] Ibid, 8

[3] Pergeseran Historis, Abu Bakar, Usman dan Ali  yang menghendaki dengan gelar khalifah Rasul. Umar lebih memilih gelar khalifah khalifati rasulillah atau amirul mukminin. Secara teologis, Sunni melihat khilafah adalah pemimpin politik dari bentuk pemerintahan Islam dan menurut  Syia’ah adalah sebuah lembaga ketuhanan yang mengganti lembaga kenabian. Secara sosiologis politis, hal tersebut dapat di lacak ketika di bubarkannya system kekhalifahan oleh Musthafa Kemal Attatruk namun setelah peristiwa itu, banyak kelompok muslim yang berusaha untuk menghidupkan kembali namun hingga sampai sekarang belum ada yang berhasil.  Inayah Rochmaniyyah, “Imamah-Khilafah” dalam Nur Khalis Setiawan dan Djaka Soetapa,ed. Meniti Kalam Kerukunan:Beberapa Istilah Kunci Dalam Islam dan Kristen (Jakarta:BPK Gunung Mulia. 2010), hlm.111-124
[4] Ummi Kulstum, “Peradaban Islam Masa Khulafa’al-Rasyidin” dalam Siti Maryam, dkk, Sejarah…, hlm. 47

[5] Sikap tersebut juga di tunjukkan dalam perkataannya untuk memerangi kaum murtad kepada umar, “seandainya mereka menahan tali-kekang yang dulu biasa mereka bayarkan kepada Nabi, aku akan memeranginya demi tali itu”. Lih Barnaby Rogerson, Para Pewaris Muhammad, Ahmad Asnawi, terj. (Yogyakarta: Diglossia Media. 2006), hlm. 132

[6] Al-Syuyuthi, Tarikh Khulafa’, Samson Rahman, terj (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2005), hlm. 82

[7] Barnaby Rogerson, Para Pewaris…, hlm. 130

[8]Ibid, hlm. 116
[9] Ketegasan atas wilayah kepemimpinan seorang khalifah dapat di simpulkan dari pidatonya Abu Bakar ketika di angkat menjadi khalifah. “wahai manusia! Sesungguhnya saya telah dipilih untuk memimpin kalian dan bukanlah saya terbaik di antara kalian. Maka, jika saya melakukan hal yang baik, bantulah saya. Dan jika saya melakukan tindakan yang menyeleweng luruskanlah saya…..taatlah kalian kepadaku selama saya taat kepada Allah dan RasulNya dan jika saya melakukan maksiat kepada Allah dan RasuNya maka tidak ada kewajiban taat kalian kepadaku” lih. Al-Syuyuthi, Tarikh Khulafa’…, hlm. 75 

[10] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 98. lih juga Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin (Jakarta:Bulan Bintang. 1979), hlm. 138-139

[11] Adapun mekanisme pemilihan khalifah ketiga adalah sebagai berikut. Pertama, yang berhak menjadi khalifah adalah yang dipilih oleh anggota formatur dengan suara terbanyak. Kedua, apabila suara berimbang, Abdullah ibn Umar berhak menentukannya. Ketiga, apabila keputusan Abdullah ibn Umar  tidak di terima, maka orang yang di pilih Abd al-Rahman bin Auf menjadi khalifah. Keempat, bagi yang menentang keputusan Abd al-Rahman maka di bunuh. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia. 2008), hlm. 87

[12] Barnaby Rogerson, Para Pewaris…, hlm. 224

[13] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara:Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:UI Press. 1990), hlm. 29

[14] Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam I (Yogyakarta: LKiS. 2007), hlm 132

[15] Philip K. Hitti, History of Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2002), hlm. 230-231

[16] Musyarifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011), hlm. 13
[17] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban…, hlm. 114-115

[18] Ummi Kultsum, Peradaban Islam…, hlm. 50-51

[19] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam…, hlm. 26
[20] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban…, hlm. 83-84

[21] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam…, hlm. 26-29. Lih Ummi Kultsum, Peradaban Islam…, hlm. 49-50. Lih juga Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban…, hlm. 73, 82 
[22] Ummi Kultsum, Sejarah Peradaban…, hlm. 62-63

[23] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban…, hlm. 92-93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar