A. PENDAHULUAN
Dalam perbincangan masalah keagamaan kontemporer, wacana pluralisme agama merupakan salah satu tema yang paling hangat diperdebatkan saat ini, ia mendapatkan perhatian yang cukup besar dan dominan. Ia lahir di tengah keanekaragaman klaim kebenaran (truth-claims) antar agama yang berlainan. Potensi konflik dalam interaksi antaragama dapat disebabkan karena unsur internal dari agama. Setiap agama selalu memiliki klaim kebenaran (truth claim) yang berisi keyakinan bahwa agamanyalah yang paling benar. Konsekuensinya, agama yang lain pastilah dikategorikan salah atau sesat sehingga harus diluruskan. Oleh karena itu, upaya melakukan dakwah agama menjadi keniscayaan dalam rangka “meluruskan” masyarakat agar kembali “ke jalan yang benar”. Sikap ekslusivitas dan sensitivitas beragama menjadikan masyarakat gampang terpicu oleh propaganda yang menyebabkan terjadinya konflik antaragama. Jika keyakinan tersebut tidak dikontrol dan diatur, yang akan terjadi adalah perbenturan dan konflik antaragama atas nama truth claim tersebut. Kearifan masyarakat mengekspresikan klaim kebenaran itulah yang menjadi hal penting mengingat masyarakat kita terdiri dari berbagai penganut agama, dan terbelah dalam berbagai aliran keagamaan. Sikap saling menghormati dan bersikap santun terhadap the Other merupakan hal yang ditekankan agar agama membawa kedamaian, bukan kekerasan dan konflik.
Pluralisme, meski menduduki posisi fundamental dalam hubungan antar umat beragama saat ini, Namun para agamawan saling berbeda pendapat mengenai pluralisme itu sendiri. Kelompok satu mendukung atas lahirnya paham tersebut, di sisi lain, menolak. Merekapun berargumen dengan dalil-dalil yang relevan untuk melegimitasi anggapannya. Oleh karena, dengan gambaran di atasa, maka sebenarnya apa yang di maksud dengan pluralisme itu sendiri? Dan bagaimana pula al-Quran berbicara mengenai paham tersebut?.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Pluralisme dalam Wikipedia, terdiri dari dua kata, plural yang berarti beragam dan isme yang berarti paham. Sehingga pluralisme berarti beragam pemahan atau bermacam-macam paham.[1] Namun jika di kaitkan dengan agama, pluralisme menjadi sebuah term khusus yang tidak bisa di artikan dengan semena-mena. Hal tersebut tidak lain pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna sangat luas dan di pergunakan dalam cara-cara yang berbeda pula. Seperti:
· Pluralisme agama adalah sebuah pandangan dunia bahwa agama bukan satu-satunya sumber yang ekslusif bagi kebenaran
· Pluralisme sebagai penerimaan atas konsep klaim-klaim kebenaran agama secara eklusif adalah sama sahihnya
· Pluralisme sebagai sinonim untuk ekumenisme antar agama atau berbagai denominasi dalam suatu agama[2]
· Sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antar berbagai pemeluk agama.
John Hick, tokoh pluralis memberikan definisi pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi berbeda tentang Yang Real dalam pranata social yang bervariasi dan respon yang beragam terhadap Yang Maha Agung.[3] Oleh karena itu, agama satu dengan agama lainnya kedudukannya sama.
Sedangkan Pluralisme dalam pandangan MUI sebagaimana yant termuat di dalam surat keputusan fatwa MUI no. 7/MUNAS VII/MUI//II/2005 tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme adalah sebagai berikut.
“Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga”.[4]
Melihat definisi yang di keluarkan oleh MUI tersebut, Pluralisme di pandang sebagai pandangan bahwa agama bukan satu-satunya sumber kebenaran yang eklusif. Agama menurut MUI adalah satu-satunya sumber kebenaran yang eklusif, apa yang di yakini oleh penganut agama atau keyakinan adalah sebuah kebenaran yang harus di ikuti sedangkan apa yang berbeda dengan agama dan keyakinan oleh dirinya adalah salah.
Definisi yang berbeda di berikan oleh Anis Malik Thoha dalam bukunya, Tren Pluralisme Agama:Tinjauan Kritis, dia mengatakan bahwa pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama yang berbeda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan cirri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.[5] Dari definisi tersebut, Anis Thoha ingin mengatakan bahwa pluralisme agama tidak akan bisa berjalan tanpa adanya koeksistensi. Sebuah kondisi yang mana umat beragama yang ada saling hidup berdampingan dengan menghormati dan saling menjalankan ajaran agama masing-masing. Oleh karena itu, pluralisme agama bagi Adian Husaini adalah sebuah paham yang meletakkan kebenaran agama-agama sebagai kebenaran relative dan menempatkan agama-agama pada posisi setara.[6]
Dengan demikian, pluralisme agama bisa dikatakan sebuah paham yang menyamaratakan agama-agama yang ada,[7] dengan menghormati ajaran masing-masing untuk tercapai koeksistensi antar umat beragama. Hal tersebut dalam dunia modern ini sangat di perlukan untuk menghindari konflik agama yang sering muncul belakangan ini.
2. Wacana Pluralisme
Pluralisme dan kebebasan beragama bukanlah milik unik bangsa-bangsa barat, pluralisme adalah milik semua peradaban dunia meski fakta adanya yang dominan dalam kurun dan waktu tertentu. Paham kemajemukan adalah paham yang berorientasi kepada pengakuan kepada pihak lain, baik itu agama, suku, ras, warna kulit, hukum maupun etika. Al-Quran dengan tegas mengakui kemajemukan tersebut, manusia di ciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan meghargai (Q.S al-Hujurat:13), perbedaan bahasa dan warna kulit adalah sebuah realitas positif dan merupakan kebesaran Tuhan. Meski demikian, ketika kemajemukan tersebut di rangkai dengan agama, penerimaan berbeda-beda dari agamawan.
Adian Husaini, ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia dan meraih gelar Doktor bidang Peradaban Islam di Internasional Islamic University Malaysia mengatakan bahwa paham pluralisme agama adalah racun yang melemahkan keimanan dan keyakinan akan kebenaran Islam.[8] Seperti yang tertera di dalam surat keputusan MUI di atas, bagi Adian Pluralisme Agama adalah sebuah paham yang menyama ratakan semua keyakinan agama-agama sehingga dengan pluralisme maka tidak ada agama yang salah. Dengan demikian, paham pluralisme pasti akan berbenturan dengan ajaran Tauhid agama Islam yang mengakui bahwa Allah swt adalah Tuhan Maha Esa yang wajib di yakini, tiada Tuhan SelainNya sebagaimana yang termaktub dalam kalimat syahadat.
Nur Cholis Madjid mengatakan dalam bukunya “Islam Doktrin dan Peradaban” bahwa pluralisme adalah sebuah aturan Tuhan (Sunnah Allah) yang tidak akan berubah.[9] Islam sebagai agama terakhir dalam garis kontuinitas agama-agama besar, memuncaki agama tersebut dengan mengakui hak-hak agama lainnya. Berbeda dengan Adian Husain, bagi Madjid pluralism adalah sebuah nature manusia sehingga paham pluralisme adalah sebuah solusi bagi kehidupan masyarakat beragama untuk saling hidup berdampingan dengan rukun dan saling membangun sebuah peradaban. Pluralisme bukanlah sebuah paham yang meleburkan semua agama menjadi satu dan tunggal, namun pluralisme adalah sebuah paham yang saling menghormati para pemeluk agama lainnya untuk berjalan dan beribadah sesuai ajaran masing-masing. Dengan menghormati dan mengakui, mereka berlomba-lomba untuk membangun sebuah peradaban baru dan mewujudkan kerukunan dalam dunia antar umat beragama. Namun yang perlu di garis bawahi ketikan menerapkan pluralisme agama, yaitu sikap commited terhadap agama yang di anutnya di samping sikap terbuka dan menghormati dalam berinteraksi dengan aneka pemeluk agama.[10]
Melihat hal tersebut, pluralisme agama adalah sebuah permasalahan yang polemik. Dalam hal ini, para agamawan terbagi menjadi tiga bagian dalam memandang pluralisme agama.
a . Eksklusif.
Dalam prakteknya, sikap tersebut dapat di lihat dari pandangan MUI dan Adian Husaini. Kelompok ini berpandangan bahwa agama yang di peluknya adalah agama yang paling benar, agama lain sesat dan tidak mendapatkan petunjuknya. Mereka berusaha untuk meyankinkan pemeluk agama lainnya untuk memeluk agama yang di yakininya sebagai agama paling benar.[11] Sebagai contoh adalah pandangan kelompok eksklusfi Islam terhadap Kristen. Mereka menyoroti konsili vatikan II (1962-1965)yang menjadi muara agama Kristen sebagai agama yang salah dan tidak otentik sehingga baginya agama yang dipeluknya adalah agama yang paling benar dan otentik.[12] Pandangan eksklusf tidak hanya pada muslim, umat kristiani juga banyak memakai paham tersebut dalam menilai agama lainnya. Frans Rosenzweig, tokoh Yahudi mengatakan bahwa agama yang benar adalah Yahudi dan Kristen. Islam adalah suatu tiruan dari agama Kristen dan agama Yahudi.[13]
b . Inklusif.
Dalam kelompok ini, mereka mementingkan toleransi beragama dalam menciptakan kehidupan yang harmonis. Hal tersebut di rasa penting, karena “Islam” dalam kaitannya kehidupan beragama tidak hanya menunjukkan makna atribut kepada agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad saw, namun menunjukkan arti subtantif terhadap para pemeluk agama yang menyerahkan diri atau pasrah terhadap Tuhan. Dengan demikian, semua pemeluk agama tak terkecuali mempunyai kedudukan yang sama selama mereka memiliki ketundukan dan ketulusan kepada Tuhan.[14] Nilai toleransi beragama untuk menjalankan agama masing juga di jumpai dalam piagam madinah pasal 25 ayat 2-3.
“2. Kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagaimana kaum muslimim bebas memeluk agama mereka. 3, kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut atau sekutu-sekutu mereka dan diri mereka sendiri”[15]
c . Pluralis
Kelompok ini bagaikan mengamalkan sebuah pepatah banyak jalan menuju Roma, mereka beranggapan bahwa banyak jalan menuju Tuhan, jalan yang beragam dan tak tunggal.[16] Muhammad saw dengan membawa agama Islam merupakan Nabi terkahir dalam garis kontinuitas kewahyuan dengan Nabi sebelumnya yang juga menyabrkan agama samawai, dengan demikian maka tidak heran jika di muka bumi ini terdapat banyak jalan untuk menuju kepada Tuhan. Jargon pemerhati Quran dan Hadis “s{a>lih li kulli zama>n wa maka>n” mungkin tepat untuk melihat fenomena tersebut. Sebelum adanya nabi terakhir, Tuhan mengutus pelbagai Nabi pada ruang dan waktu yang berbeda adalah sebuah solusi untuk mengatasi permasalahan yang di alami manusia. Dengan demikian-terlepas dari klaim adanya agama otentik dan tidak-adanya beragam agama atau jalan menuju Tuhan adalah sebuah fitrah bagi manusia. Muhammad saw dengan ajaran-ajarannya meski sudah berumur berabad-abad juga memiliki umat dan pengikutnya sampai sekarang dan hal tersebut juga tidak menutup kemungkinan terhadap Nabi dan ajaran-ajarannya sebelum Muhammad saw. Di samping hal itu, agama-agama tersebut mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana hak tumbuh dan berkembang agama Islam.
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah di wasiatkan-Nya kepadaNuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada Agama itu orang yang di kehendakiNya dan member petunjuk kepada (agama)Nya orang yang kembali (kepadaNya). (Q.S al-Syura:13)
3. Pluralisme dan Pluralitas
Keragaman budaya, suku bangsa, ideologi politik, dan terutama agama merupakan fenomena yang khas di Indonesia. Keragaman ini positif jika saja ia tercipta dalam satu realitas yang harmonis dan toleran. Namun, justru dengan keragaman ini manusia senantiasa bertikai di ladang-ladang konflik dan kekerasan. Ini terjadi ketika agama –lewat campur tangan sejarah-- mengklaim atas satu kebenaran yang absolut, mutlak, dan tak tergugat melalui perantara interpretasi yang monolitik dan tidak peka atas realitas yang tidak tunggal.
Kondisi atau fakta akan adanya keanekaragaman dalam realitas inilah yang kemudian didefinisikan dengan pluralitas. Pluralitas sebagai sebuah realitas antropologis harus dipahami oleh manusia untuk kemudian dapat bersanding tanpa membedakan warna kulit, “baju”, agama, budaya, bahasa, latar belakang pendidikan, ras, suku dan aspek-aspek lain yang berpotensi menimbulkan adanya diskriminasi ataupun fanatisme berlebihan.
Pluralitas atau keragaman berbagai hal itu sebetulnya memang sebuah hal yang alami tanpa melalui rekayasa atau kehendak manusia. Maksudnya, itu kehendak Tuhan sebagai pencipta manusia dan seluruh kehidupan yang ada di muka bumi. Tentunya, dengan tujuan agar perbedaan itu diambil aspek positifnya sebagai jalan pemandu untuk bekerja sama, intropeksi diri, dan tolong-menolong.[17] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat: 13:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.“
Dalam perkembangannya, pluralitas melahirkan sebuah paham yang bersedia untuk menerima, menjaga, dan menghormati akan adanya perbedaan di dalam realitas yang kemudian diistilahkan dengan kata “pluralisme”.[18] Pluralisme,~meminjam istilah Cak Nur~ merupakan paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan, yakni keragaman, hiteroginitas, dan kemajemukan itu sendiri.[19] Pluralisme merupakan sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin dengan kenyataan itu.[20] Oleh karena itu ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara.
Pluralisme dengan penegasan yang demikian mengharuskan adanya prinsip-prinsip pokok. Yaitu: pertama, pluralisme harus menghapus segala bentuk absolutisme, truth claim dan pembenaran terhadap diri sendiri dengan menafikan orang lain. Setiap absolutisme bukanlah pluralisme, sebab setiap absolutisme tidak pernah mengakui terhadap kebenaran orang lain, kelompok dan entitas lain. Setiap truth claim juga bukan pluralisme, karena ia hanya mengakui kebenaran ada pada pada diri, kelompok dan entitasnya sendiri.
Kedua, pluralisme mensyaratkan adanya relativisme dalam pemahaman, penafsiran, artikulasi dan segala bentuk derivasi nalar kelompok. Setiap pluralisme harus menegaskan bahwa setiap masalah, persoalan, kasus dan solusinya bahkan terhadap “kebenaran” itu sendiri ditentukan oleh kondisi masyarkat, konteks dan budaya sebuah kelompok. Dengan begitu setiap kebenaran dalam pemahaman manusia harus dianggap relatif.
Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa pluralisme bukan berarti relativisme absolute dan singkritisme. [21] Tidak berarti yang dikaitkan dengan ide relativisme ini (sebagai syarat pluralisme) adalah tidak adanya “kebenaran” sama sekali, tetapi justru ide itu menegaskan adanya “kebenaran” yang begitu banyak sebagai bagian dari konteks. Dalam hal ini Cak Nur mengatakan:
“ Tidak berarti bahwa kita dibenarkan membiarkan relativisme tak terkendali, sehingga tidak ada keberanian dan tidak ada pendirian untuk berbuat. Tetapi, setiap bentuk penyelesaian masalah yang kita temukan dan kita yakini kebenarannya untuk saat dan tempat itu, harus dilaksanakan dengan tulus dan sungguh-sungguh, kita harus pula tetap terbuka untuk setiap perbaikan dan kemajuan…bahwa kaum beriman adalah mereka yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan mereka yang hari esok adalah mereka yang lebih baik daripada hari ini.”[22]
Pandangan pluralisme yang dimaksudkan di sini bukan berarti mencampuradukkan atau membuat “gado-gado” unsur-unsur tertentu saja yang menguntungkan dan mengarah pada pengkaburan, tapi lebih dari itu~meminjam kata pak Waryono~ adalah bagaimana perbedaan itu memperkaya pengalamannya.[23]
Ketiga, pluralisme mensyaratkan adanya bentuk toleransi dalam bersikap. Persoalan toleransi merupakan prinsip yang paten dan harus ada dalam pluralisme. Setiap pluralis harus menghargai adanya kemajemukan terhadap yang lain, sebagaimana setiap orang juga ingin dihargai. [24]Dari sikap toleransi inilah yang akan melahirkan sikap saling menghormati baik antar individu, kelompok, entitas dan sebagainya.
4. Pluralisme dalam al-Quran
Bagaimana dengan respon al-Qur’an sendiri terhadap realitas kebhinekaan agama-agama; enklusif, inklusif ataukah pararel? Jika mendasarkan pada argumen-argumen para pemerhati pluralitas agama, baik itu yang pro maupun kontra, ada beberapa konsep yang di jadikan landasan untuk menjustifikasinya.
a. Islam
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”(Q.S Ali Imran: 19)
Berawal dari kata al-isla>m seperti pada ayat di atas dan pada tempat lainnya serta derivasinya, agama yang benar adalah agama yang mempunyai sifat pasrah terhadap Tuhan. Al-isla>m tersebut tidak menunjukkan pada sebuah nama agama tertentu, namun lebih menekankan pada subtansi makna dalam beragama, yaitu pasrah dan tunduk. Hal tersebut sebagaimana yang di lontarkan Cak Nur.
“karean sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa itu merupakan tuntutan alami manusia, maka agama (al-di>n, secara harfiah antara lain berarti “ketundukan”, “kepatuhan” atau “ketaatan”) yang sah tidak bisa lain dari sikap pasrah kepada Tuhan(al-isla>m). Maka tidak ada agama tanpa sikap itu, yakni keagamaan tanpa kepasrahan kepada Tuhan adalah tidak sejati”[25]
Gagasan al-isla>m adalah sebuah aktivitas keagamaan yang pasrah dan tunduk kepada Tuhan, bukan sebatas nama agama tertentu sudah ada sejak lama. Menurut Adian Husaini, gagasan tersebut pertama kali di keluarkan oleh W. C Smith (1964-1973). Smith mengatakan bahwasannya
”Islam adalah kata kerja, mucul sekitar sepertiga kali jumlah kemunculan lata kerja asalnya ‘aslama’ (tunduk, berserah diri secara keseluruhan, memberikan diri kepada komitmen total). Ia merupakan kata kerja; nama sebuah bentuk tindakan, bukan sebuah institusi; sebuah keputusan pribadi; bukan sebuah system social”[26]
Namun, jika menilik khazanah tafsir al-Quran yang ada, mufassir juga menyadari akan hal tersebut, bahwa arti dari al-isla>m yang menunjukkan terhadap sebuah nama agama bukan satu-satunya makna yang terkandung, namun sikap pasrah, selamat, tunduk dan derivasinya juga memungkinkan makna yang terkandung dalam arti al-isla>m.[27] Dengan adanya penegasan dari mufassir, maka nilai-nilai pluralitas yang di kembangkan berdasarkan pada arti al-isla>m tidak sepenuhnya bisa di salahkan. Para mufassir telah memberikan lampu hijau akan adanya kemajemukan agama-agama, meski begitu, mereka(umat beragama) harus tetap menegakkan nilai dasar agama yang sejati, pasrah, tunduk dan taat kepada Tuhan. Memang harus di akui, agamawan sejati adalah agamawan yang memiliki kepasrahan dan ketaatan kepada Tuhan, tanpa nilai tersebut, agamawan belum bisa di katakana sempurna beragamanya. Umat muslim harus pasrah dan taat kepada Allah, umat kristiani harus pasrah dan taat kepada kristus, begitu juga dengan umat Buddha dan Yahudi harus memiliki kepasrahan dan ketaatan kepada Tuhannya masing-masing.[28] Karna umat muslim menyatakan dirinya Islam dan agama tersebut adalah agama yang paling benar dan menyelamatkannya tanpa di sertai sikap pasrah dan taat kepada Tuhannya, Allah, maka hal tersebut sia-sia belaka.
Namun bagaimana dengan hadis-hadis Nabi yang berbunyi sebagaimana berikut ini.
حدثنا عبيد الله بن موسى قال اخبرنا حنظلة بن أبي سفيان عن عكرمة بن خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان )[29]
Dalam hadis di atas dengan jelas di katakana bahwasannya al-isla>m memiliki pondasi lima (yang lebih terkenal dengan sebutan rukun iman). Apa yang di namakan al-isla>m atau al-isla>m tidak bisa berdiri tanpa adanya sikap-sikap yang harus di penuhi oleh umat islam di atas, meyakini tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw sebagai utusannya dan seterusnya. Menurut penulis, al-islam dalam hadis tersebut adalah sebuah attribute atau nama sebuah agama, bukanlah sebuah makna subtansi seperti yang penulis jelaskan di atas.
b. Ahl al-Kita>b
Berbicara mengenai pluralisme agama dalam al-Quran, menilik konsep ahl al-kita>b dalam al-Quran juga menduduki posisi penting.[30] Dengan melihat konsep ini, maka secara tidak langsung akan membawa kepada kontuinitas agama-agama samawai, yang lebih terkenal dengan bahasa abrahamic religious. Al-Quran sendiri menyebut term ahli kitab sebanyak 31 kali dalam 7 surat madaniyyah dan 2 surat makiyyah.[31] Secara historis, pertemuan Muhammad saw dengan agama-agama lain, Yahudi-Nasrani, lebih banyak terjadi di Madinah.[32] Kesadaran atas keberagaman mereka sebagi pemeluk agama yang harus di akui dan di hormati juga terjadi pada periode Madinah. Sebelumnya, Yahudi dan Nasrani di istilahkan oleh al-Quran sebagai ahzab atau syiya’ (sekte-sekte atau partisan), sedangkan dalam periode Madinah, mereka di istilahkan sebagai ahl al-kita>b.[33] Meski datangnya perintah untuk mengakui keberagaman agama muncul di madinah, namun hal tersebut sudah cukup menjadi bukti atas pengakuan Islam terhadap eksistensi agama-agama tersebut.
قُولُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (Q.S al-Baqarah:136)
Dalam teks di atas, Musa dan Isa sebagai Nabi Kaum Yahudi dan Nasrani adalah nabi dalam kontuinitas kewahyuan agama Ibrahim, sehingga tidak mengherankan jika bagi umat muslim di perintahkan untuk tidak saling berselisih dengan mereka. Sikap kesadaran akan eksistensi agama-agama lain tersebut penting dalam sejarah perkembangan agama Islam itu sendiri sebagai agama terakhir dari agama Ibrahim yang di turunkan oleh Allah swt. Dengan sikap tersebut, umat muslim lebih di terima kehadirannya oleh penduduk madinah.
Dalam tempat lain, al-Quran memerintahkan kepada umat muslim untuk berdialog dengan ahli kitab untuk mencari titik temu.
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (Q.S ali imran: 64)
Dalam tafsir Ibn Katsir di jelaskan, bahwasannya kalimah sawa>’ adalah kalimat adil, umat muslim dan ahli kitab ada di dalam semuanya.[34] Sebuah solusi cerdas di berikan oleh al-Quran-jika melihat pengertian kalimah sawa>’ ibn Katsir-bahwa kunci kerukunan umat beragama adalah adil, dengan adil maka secara tidak langsung memandang semua umat beragama adalah sama, egaliter. Sikap tersebutlah-egaliter antar umat beragama-yang dalam pandangan Moqsith perlu di kembangkan terus menerus dalam masyarakat yang pluralistic sekarang.[35] Dengan demikian, umat beragama dapat mengambil sisi positif dari keanekaragaman agama, yaitu berlomba-lomba dalam kebaikan,[36] dalam bahasa Cak Nur, membangun peradaban gemilang antar umat beragama.
C. PENUTUP
Melihat pemaparan di atas, penulis dalam penutup ini mencoba menyimpulkan beberapa poin sebagai berikut.
1 . Pluralisme Agama adalah sebuah paham yang mengajarkan atas hak dan kewajiban umat beragama dalam kehidupan, tanpa ada diskriminatif dan tidak menyatukan agama atau meleburkan semua agama menjadi satu agama dan Tuhan.
2 . Pluralisme agama bukanlah sebuah paham yang membenarkan agama atau menyalahkan agama lainnya, pluralisme agama bukan membenarkan atau menyalahkan keyakinan antar agama, tetapi pluralisme agama adalah sebuah paham yang mengajarkan kerukunan umat beragama dengan menghormati agama dan keyakinan masing-masing.
3 . Dalam al-Quran, nilai-nilai pluralitas tercermin dari konsep al-isla>m dan ahl al-kita>b.
Demikian yang dapat di jelaskan untuk di pahami dan tetntunya, saran dan kritik di harapkan untuk memperbaiki tulisan ini.
“Memahami keyakinan orang lain tidak hanya membutuhkan pengetahuan mengenai sumber-sumber agama itu (kitab suci, dogma dan hukum), tetapi juga pengetahuan mengenai apa yang betul-betul di percayai dan di lakukan orang tersebut”.
(John L Esposito.2010:22)
D. DAFTAR PUSTAKA
Abd Baqi’, Fuad. Al-Mu’jam al-Mufarras li al-Fadz al-Quran Kairo: Dar al-Hadis.tt
Abd Moqsith, Prespektif al-Quran Tentang Pluralitas Umat Beragama , Jakarta: PPs UIN Syarif Hidayatullah. 2007.
Ahmad, Zainal Abidin. Piagam Nabi Muhammad saw:Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang. 1973
Fanani, Ahmad Fuad Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagaman Liberatif, Jakarta: KOMPAS, 2004
Ghafur, Waryono Abdul. Tafsir Sosial, Yogyakarta: eLSAQ, 2005
Husaini, Adian Wajah Peradaban Barat:Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, Jakarta:Gema Insani Press. 2005
-----------, Pluralisme Agama Musuh Agama-Agama:Pandangan Katolik, Protestan dan Islam Terhadap Pluralisme Agama, tk:Bidang Ghazwul Fikri Dewan Da’wah Islamiyyah. 2010
Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin & Peradaban, Jakarta:Paramadina. 2008
Rahman, Fazlur. Tema Pokok al-Quran, Bandung:Pustaka. 1996
Ridwan, Nur Khalik. Pluralisme Borjuis; Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur, Yogyakarta: Galang Press, 2002
Shihab, Alwi. Islam Inklusif:Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung:Mizan. 1999
Setiawan, Nur Kholis Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an, Yogyakarta: ElSaQ, 2008
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama:Tinjauan Kritis, Jakarta:Prespektif. Cet III 2007
[1] Id.m.wikipedia.org/wiki/Pluralisme
[2] Ekumenisme berasal dari bahasa Yunani, oikos (rumah) dan menein (tinggal). Dalam pengertian lebih luas, ekumenisme berarti inisiatif keagamaan menuju keesaan di seluruh dunia. Denominasi adalah suatu kelompok keagamaan yang dapat diidentifikasikan di bawah satu nama, struktur dan atau doktrin. Kedua istilah tersebut sering di gunakan dalam kaitannya dengan kekristenan. Ekumanisme di gunakan oleh agama Kristen dalam kaitannya dengan gerakan menuju persatuan yang terpecah karena doktrin, sejarah dan praktik. Sedangkan denominasi merujuk pada pelbagai variasi kelompok yang ada dalam agama Kristen.
[3] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama:Tinjauan Kritis (Jakarta:Prespektif. Cet III 2007), hlm. 15
[4] …”fatwa MUI Tentang Pluralisme Agama” dalam http://m.voa-islam.com/news/liberalism/2010 /01/18/2686/ fatwa-mui-tentang-pluralisme-agama/
[5] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme…, hlm. 14
[6] Adian Husain, Pluarisme Agama Musuh Agama-Agama:Pandangan Katolik, Protestan, Hindu dan Islam Terhadap Paham Pluralisme Agama (tk:Bidang Ghazwul Fikri Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia. 2010), hlm. 3
[7] Menyamaratakan agama-agama bukan berarti menyatukan agama dan Tuhan masing-masing agama, menyaratakan agama adalah melihat agama mempunyai hak serta kewajiban yang sama, mempunyai kebebasan dan berkembang, tanpa ada diskriminatif antar umat beragama.
[8] Adian Husaini, “Pluralisme Agama…, hlm. 22
[9] Nurcholis Madjid, “Islam Doktrin & Peradaban” (Jakarta: Paramadina, cet. VI 2008), hlm. Lxxxi
[10] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Bandung. Mizan. 1999), hlm. 43
[11] Abd. Moqsith, Prespektif al-Quran Terhadap Pluralitas Umat Beragama (Jakarta:PPs UIN Syarif Hidayatullah. 2007), hlm. 42
[12] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat:Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta:Gema Insani Press. 2005), hlm. 339
[13] Adian Husaini, Pluralisme Agama…, hlm. 3
[14]Abd. Moqsith, Prespektif al-Quran…, hlm. 46
[15] Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad saw:Konstuti Negara Tertulis Pertama di Dunia (Jakarta:Bulan Bintang, 1973), hlm. 26
[16] Abd Moqsith, Prespektif al-Quran…, hlm. 47
[17] Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagaman Liberatif, (Jakarta: KOMPAS, 2004), hal. 6.
[18] Dalam The Oxford English Dictionary, pluralism berarti sebuah watak untuk menjadi plural. Lihat: Nur Kholis setiawan, Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an, (Yogyakarta: ElSaQ, 2008), hlm. 24.
[20] Nurcholis Madjid, Islam; Doktrin…, hlm. xxv.
[21] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, (Yogyakarta: eLSAQ, 2005), hlm. 14.
[22] Nurcholis Madjid, Islam;Doktrin…hlm. xxi.
[25] Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin…, hlm. 421
[26] Adian Husaini, Wajah Peradaban…, hlm. 359
[27] Lih. Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi(516 H), Ma’a>lim al-Tanzi>l, Juz 2, hlm. 18. Lih. Juga Abu Ja’far al-Thabari, Jami al-Baya>n fi Ta’wi>l al-Qura>n, Juz 6, hlm 273-275. dalam softwere al-Maktabah al-Sya>milah al-Is{da>r al-S^ani.
[28] Dengan nilai-nilai pluralitas tersebut, tidak menjadikan umat muslim menyembah apa yang di sembah oleh umat lainnya sebagaimana yang tertuang di dalam Q.S al-Kaafiruun : 2-6. Hal tersebut di sadari oleh Cak Nur, bahwa pluralisme umat Beragama bukanlah sebuah penyatuan, dari berbagai agama dan Tuhan menjadi satu, namun kerukunan beragama adalah sebuah kondisi(koeksistensi) umat beragama saling menghormati, hidup berdampingan. Lih Nurcholis Madjid, Islam…, hlm. Ixxx.
[30] Ahl al-Kita>b sampai sekarang, pengertian yang di berikan oleh ulama berbeda-beda. Namun secara garis besar, mereka terbagi menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang memaknai secara literal bahwa ahl al-kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Kedua, golongan yang memaknai ahl al-kitab tidak hanya sebatas kaum Yahudi dan Nasrani, Kaum Buddha, Hindu, Majusi, Shabi’un dan sebagainya adalah ahl al-kita>b dalam konteks sekarang. Selengkapnya Lih. Abd. Moqsith,…, hlm. 212-220
[31] Muhammad Fuad Abd Baqi, Mu’jam Mufarras li al-Faz{ al-Qura>n (Mesir: Dar al-Hadis, tt), hlm. 95
[32] Abd Moqsith, …, hlm 213-214
[33] Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Quran terj. Anas Mahyudin (Bandung:Pustaka, 1996),hlm. 210
[34] Ibn Katsir, Tafsi>r al-Qura>n al-A’z{im, juz 2, hlm 55, dalam Al-Maktabah al-Sya>milah al-Is{da>r al-S^ani.
[35] Abd Moqsith, Prespektif al-Quran…, hlm. 222
[36] Q.S al-Maidah: 38.