Sabtu, 19 Maret 2011

Mushaf Utsmani pasca Kodifikasi

oleh: M. Achwan Baharuddin

    A.     Pendahuluan
Mushaf al-Quran yang ada sampai sekarang adalah hasil usaha kodifikasi yang dilakukan pada masa khalifah Utsman. Mushaf yang di yakini sebagai usaha untuk menyeragamkan mushaf-mushaf yang beredar pada masa tersebut.  Untuk mengantisipasi kesalahan dan kerusakan serta untuk memudahkan membaca Al-Qur`an bagi orang-orang awam, maka Utsman bin Affan membentuk panitia yang terdiri dari 12 orang untuk menyusun penulisan dan memperbanyak naskah Al-Qur`an. Mereka itu adalah: 1. Sa`id bin Al-As bin Sa`id bin Al-As, 2. Nafi bin Zubair bin Amr bin Naufal, 3. Zaid bin Tsabit, 4.Ubay bin ka`b, 5.Abdullah bin az-Zubair, 6.Abrur-Rahman bin Hisham, 7.Khatir bin Aflah, 8. Anas bin Malik, 9.Abdullah bin Abbas, 10. Malik bin Abi Amir, 11. Abdullah bin Umar, 12. Abdullah bin Amr bin al-As. Mereka inilah yang menyusun mushaf Al-Qur`an yang kemudian di kenal dengan mushaf Utsmani, ada juga yang mengatakan bahwa panitia yang di bentuk oleh Utsman ada empat orang mereka itu adalah Zaid bin Tsabit, abdulalh bin Zubair, Sa’id bin Al-As dan Abdurrahman bin Al-Harits, karena di tetapkan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Mushaf itu ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu, sebuah rambu-rambu atau pola-pola yang digunakan dalam menulis mushaf Utsmani, yang ditulis sejumlah 4-7 Mushaf. Kesemua mushaf tersebut disinyalir telah disebarkan kebeberapa daerah, yaitu Madinah, Kufah, Basrah, Suriah, Mekkah, Yaman dan Bahrain.
Namun dalam perkembangannya, umat muslim mengalami kesulitan dalam membaca mushaf tersebut, mushaf yang di tulis tanpa titik, tanpa harakat, tanpa tanda berhenti. Sehingga memunculkan ide-ide cemerlang dan kreatif untuk mengatasi masalah umat tersebut dengan membuat alat baca(meminjam istilah M.M A’zami) dalam mushaf ustmani.
Adapaun alat baca tersebut, variannya dan historisnya dalam makalah sederhana ini berusaha untuk menjelaskannya dan semoga bermanfaat.
   B.     Pembahasan
   1.      Mushaf al-Quran Pasca Kodifikasi
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan  dari penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
Hal itu tidak mengherankan, karena ditanah Arab hanya tulisan tersebut yang baru berkembang pada waktu itu. Meskipun demikian, tulisan tanpa titik dan tanda baca ini tidaklah menjadi problem bagi orang-orang Arab. Sebab, mereka memiliki kemampuan berbahasa yang sudah tertanam dalam jiwa mereka sebelum mereka berhubungan dengan bangsa lain.[1]  
Seperti diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf Al Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang, dilengkapi tanda-tanda baca. Belum ada tanda titik, sehingga sulit membedakan antara huruf ya’ (ي)  dan ba’ (ب). Demikian pula antara sin (س)dan syin (ش), antara tha’ (ط) dan zha’ (ظ), dan seterusnya.
Ortografi lama (scripto defectiva), yang digunakan dalam salinan-salinan lama al-Quran memiliki makna penting untuk sejarah teks kitab suci tersebut, meskipun sebagian besarnya hanya merupakan hal-hal yang bersifat teknis.  Dari bentuk ortografi inilah simpulan-simpulan tentang bahasa al-Quran dan munculnya ortografi baru (scripto plena) bisa ditarik.[2]
Bentuk scripto defectiva yang digunakan untuk menyalin al-Quran ketika itu masih membuka peluang bagi seseorang untuk membaca teks kitab suci secara beragam. Selain non-eksistensi tanda-tanda vocal, sejumlah konsonan yang berbeda dalam aksara ini dilambangkan dengan symbol-simbol yang sama.[3]
Sebagai contoh, kerangka consonantal atau bentuk grafis             dalam 2:259 telah dibaca dalam qiraah Ashim yang diriwayatkan Hafs sebagai ننشزها  , sementara dalam qiraah Nafi’ yang diriwayatkan  Warsy dibaca ننشرها. Kerangka vokalisasi seperti dalam 2:125, kata واتخذوا , dalam qiraah Hafs dibaca kasrah huruf kha’nya, sedangkan dalam riwayat Warsy dibaca fathah huruf kha’nya.
Kekeliruan pembacaan terhadap ortografi lama atau scriptio defective sebagaimana contoh diatas, sangat memungkinkan bahwa mengasumsikan penyebab keragaman qiraat adalah karena penggunaan ortografi lama dalam mushaf Utsmani, aksara primitive yang belum memiliki tanda-tanda vocal dan titik-titik diakritis pembeda konsosnan bersimbol sama. Malasah tersebut, yang kemudian membuka peluang bagi orientalis untuk megkritiki asal usul qiraat, seeperti Ignaz Goldziher dan Noldeke.
“lahirnya sebagian besar perbedaan qiraat tersebut dikembalikan pada karakteristik tulisan Arab itu sendiri yang bentuk huruf tulisnya dapat menghadirkan suara pembacaan yang berbeda…… Perbedaan karena tidak adanya titik pada huruf resmi dan perbedaan karena harakat yang dihasilkan, disatukan, dan dibentuk dari huruf-huruf yang diam, merupakan faktor utama lahirnya perbedaan qiraat dalam teks yang tidak punya titik sama sekali atau yang titiknya kurang jelas”[4]  
Ignaz Goldziher dalam bukunya “Madzhab Tafsir”  tersebut yang mengutip dari pendapatnya Noldeke tidak lain atas studinya terhadap scriptio defective mushaf al-Quran. Kemungkinan terjadinya salah baca terhadap teks al-Quran yang disalin dengan scriptio defective sangat terbuka.   
Kembali pada mushaf Utsmani yang kemudian dikirimkan ke beberapa dearah, kesulitan mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke wilayah-wilayah non Arab, seperti Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah non Arab disebelah barat. Masalah ini mulai disadari para pemimpin Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan (661-680 M) – riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib – ia memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duali membuatkan tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al Qur’an bagi generasi yang tidak hafal Al Qur’an.
Al-Duali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan suatu kasus salah pembacaan yang fatal, yaitu : ان الله برئ من المشركين ورسولُه (التوبة ٩:۳)
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”.
Pada suatu ketika seorang membaca ayat tersebut dengan :
ان الله برئ من المشركين ورسولِه (التوبة ٩:۳)
“Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”.
Al-Dawali memberikan tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf (ﹿ), sebuah titik di bawah huruf (        ) sebagai tanda kasrah, satu titik disebelah kiri huruf sebagai tanda dhammah, dan dua titik untuk tanda sukun.
Selanjutnya rasm mengalami perkembangan. Khalifah Abdul ibn Marwan (685-705), memerintahkan Al-Hajjaj ibn Yusuf Al-Saqafi untuk menyempurnakan tanda-tanda huruf Al-Qur’an (nuqth al-Qur’an). Mendelegasikan tugas itu kepada Nashr ibn Ashim dan Yahya ibu Ma’mur, keduanya adalah murid al-Duwali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya, misalnya penambahan titik diatas huruf dal  ( د ) maka menjadi huruf dzal ( ذ ). Dari pola penulisan tersebut akhirnya berkembanglah berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola kufi, maghribi, naqsh,dll.[5]
Namun, ada sebuah tuduhan yang dialamatkan kepada al-Hajjaj oleh Auf bin Abi Jamilah, ia dituduh telah melakukan beberapa perubahan dalam mushaf utsmani dalam 11 tempat, yaitu:
No
Surat
Mushaf Utsmani
Tuduhan terhadap al-Hajjaj
1
2:259
لم يتسن وانظر
لم يتسنه وانظر
2
5:48
شريعة و منهاجا
شرعة و منهاجا
3
10:22
هو الذى ينشركم
هو الذى يسيركم
4
12:45
انا اتيكم بتأويله
 انا انبئكم بتأويله
5
23:87 & 89
سيقولون لله
سيقولون الله
6
26:116
من المخرجين
من المرجومين
7
26:167
من المرجومين
من المخرجين
8
43:32
نحن قسمن بينهم معيشهم
نحن قسمن بينهم معيشتهم
9
47:15
من ماء غير يسن
من ماء غير اسن
10
57:7
منكم واتقوا
منكم وانفقوا
11
81:24
بظنين
بضنين
Jauh sebelum ‘Auf bin Abi Jamila menuduh al-Hajjaj, ilmuwan-ilmuwan telah berdebat tentang naskah Mushaf ‘Uthmani yang resmi dan dengan teliti membandingkannya huruf demi huruf; perbedaan yang disebutkan oleh ilmuwan-ilmuwan terdahulu tidak sesuai dengan perbedaan yang disebutkan oleh `Auf. Mushaf yang dibuat oleh ‘Uthman tidak terdapat titik, dan hingga pada zaman al-Hajjaj, titik tidak digunakan di mana-mana. Ada beberapa kata di tabel atas tadi, yang jika titiknya dibuang, tetap sama identiknya. Kemudian jika tidak ada titik dan kerangka huruf sama, bagaimana dia bisa memodifikasi kata-kata ini? Tidak ada satu pun yang diklaim ada perubahan mengandung makna lain ayat tersebut, dan tuduhan itu sendiri (berdasarkan kepada yang di atas) kelihatannya tidak berdasar. Kasus di bawah ini, disebutkan oleh Ibn Qutaib, mungkin memberikan clue (indikasi) kepada interpretasi lain.[6]
    2.      Varian Pembaruan (inovasi) al-Quran Pasca Utsman
Perbaikan bentuk penulisan tidak terjadi sekaligus, tapi secara berangsur-angsur dari generasi ke generasi hingga mencapai puncak keindahannya pada akhir abad ke-3. Dalam masalah ini, tiga tokoh yang selalu disebutkan, yaitu: Abul Aswad ad-Duali, selalu disebutkan, yaitu: Abul Aswad ad-Duali, Yahya bin Ya’mar dan Nashr bin Ashim al-Laitsi.[7]
Varian pertama, tanda titik, yang ada dalam mushaf pasca kodifikasi diberikan oleh ad-Duali dengan menambahkan tanda fathah berupa titik diatas huruf, kasrah berupa titik dibawah huruf, dhammah berupa titik diantara bagian yang memisahkan  huruf dan sukun berupa dua titik.[8]  Namun dalam bukunya M.M A’zami, dijelaskan masalah tanda titik untuk membedakan karakter sebuah huruf ada sejak 54 hijriah, sebuah system penulisan yang disebut dengan istilah (نقط الاعجمى),[9] jadi penambahan tersebut bukanlah sesuatu yang baru bagi bangsa arab namun baru bagi sejarah penulisan mushaf al-Quran. Seperti penambahan tanda titik untuk membedakan huruf kha’, jim dan ha’.
Pemberian titik mengalami perubahan dan penyempurnaan pada masa Al-Khalil bin Ahmad al-Faraahidi, perubahan tersebut ialah  1) huruf alif kecil yang terletak miring diatas huruf sebagai tanda fathah; 2) huruf ya kecil yang terletak dibawah huruf sebagai tanda kasrah; 3) huruf wawu kecil diatas huruf sebagai tanda dhammah; 4) kepala huruf sin diatas huruf sebagai tanda tasydid; 5) kepala huruf ha diatas huruf sebagai tanda sukun; 6) kepala huruf ain diatas atau diabawah huruf sebagai tanda hamzah; 7) huruf alif, ya dan wawu dibelakang huruf sebagai tanda mad; 8) titik sebagai tanda huruf-huruf yang sama bentuknya.[10]
Varian kedua, tanda wakaf, tanda wakaf dalam sejarahnya terbagi menjadi dua fase, fase pertama adalah fase kemunculan tanda wakaf  pada akhir abad pertama atau awal abad kedua hijriah. Kemunculannya disebabkan oleh kebutuhan adanya symbol-simbol tertentu untuk menunjukkan tempat-tempat waqaf dalam al-Quran. Tokoh pertama yang meletakkan tanda-tanda wakaf adalah Al-Sajawandi(w. 165 H). Pada fase pertama, tidak ada kesepakatan umat muslim mengenai tanda wakaf, hal ini terbukti dengan adanya wakaf yang tidak berlaku pada Imam Qurra’ atau tempat lain, semisal  tanda wakaf  بت  sebagai akhir ayat menurut qurra’ Kufah, namun qurra’ Madinah memberlakukan tanda wakaf  تد.
Fase kedua, pada akhir abad XX, Lajnah Mesir memtuskan untuk membakukan tanda-tanda wakaf tersebut. Yaitu:
a.       Mim (م)      ما يلزم الوقف عليه
b.      Jim الوقف الجائز المستوى الطرفين (ج) 
c.       Sala وصل القراءة اولى (صلى)
d.      Qala الوقف اولى ( قلى)
e.       Saktah  علامة السكتة لطيفة (ستة\س)
f.        La الوقف ممنوع (لا)
g.       Al-Mu’anaqah تعانق الوقف اذا وقف على احدهما لايقف على الخر [11]
Namun wakaf sendiri bukanlah hasil kreatif dari ulama terdahulu, hal ini karena ada sebuah hadis yang menerangkan bahwasannya Nabi pernah berhenti dalam bacaannya, Nabi kemudian memulainya membaca dengan lafal basmalah.[12]
Varian ketiga, tanda pemisah ayat, surat, dan karekter al-Quran. Peranan al-Hajjaj terhadap Al-Qur'an bukan saja meneruskan pengiriman Mushaf. dia meminta para huffadz untuk menghitung jumlah tanda (karakter) di dalam Al-Qur' an. Ketika sudah selesai, mereka sepakat pada jumlah yang sampai sekitar 340,750 karakter. Keinginannya untuk mengetahui jauh lebih dalam, dia kemudian menemukan karakter apa yang ada di tengah ­tengah Al-Qur'an, dan jawabannya adalah dalam surah 18 ayat 19, karakter, فdaiam وليتلطف. Kemudian dia menanyakan di mana satu pertujuhnya Al-Qur' an, dan jawabannya; satu pertujuh pertama dalam surah 4 ayat 55 karakter  دdalam صد; kedua dalam surah 7 ayat 147 karakter طdalam هبطت; ketiga dalam surah 13 ayat 35; keempat dalam surah 22 ayat 35; kelima dalam surah 33 ayat 36; keenam dalam surah 48 ayat 6 dan ketujuh terakhir dalam bagian seterusnya.
Varian keempat, percetakan al-Quran. Setelah mesin cetak ditemukan di Eropa pada abad ke – 16, Al-Qur’an pertama kali dicetak di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M. Adanya mesin cetak ini mempermudah ummat Islam memperbanyak mushaf Al-Qur’an. Selanjutnya Al-Qur’an di cetak di St. Petersburg, Rusia, pada tahun 1787 M, di Kazan pada tahun 1828 M. Mulai abad ke 20 percetakan Al-Qur’an dilakukan di dunia Islam, dan cetakan yang banyak dipergunakan dunia Islam dewasa ini adalah cetakan edisi Mesir tahun 1925 M yang juga dikenal dengan edisi Raja Fu’ad karena dialah yang memprakarsainya. Selanjutnya pada tahun 1947 M untuk pertama kalinya Al-Qur’an dicetak dengan teknik cetak offset yang canggih dan dengan menggunakan hurf-huruf yang indah, perdetakan tersebut dilakukan di Turki atas prakarsai seorang ahli kaligrafi Turki terkemuka, Sa’id Nursi. Lalu tahun 1976 M Al-Qur’an dicetak dengan berbagai ukuran dan jumlah oleh percetakan yang dikelola pengikut Sa’id Nursi di Berlin Jerman.[13]

   C.     Kesimpulan
Kodifikasi al-Quran, dalam hal ini penulisannya juga, mengalami tahapan-tahapan secara historis, tidak langsung seperti al-Quran yang ada dan sampai pada kita sekarang. Dimulai dengan penulisan tanpa titik dan harakat, pemberian harakat dan titik sebagai tanda baca maupun pembeda antar huruf, pemberian pemisah ayat serta surat, tanda wakaf, percetakan al-Quran dan lain sebagainya merupakan salah satu bentuk usaha kaum muslim untuk menjaga al-Quran. Usaha mereka juga mendapat dukungan dari Allah, yang juga berjanji akan menjaga al-Quran.
Meski demikian, usaha umat muslim juga mempunyai beberapa kelemahan sehingga membuka jalan bagi kaum non-muslim untuk mempertanyakan keotentisan al-Quran, seperti yang dilakukan oleh Ignaz Goldziher dan kawan-kawannya yang mengkritisi tentang asal-usul keragaman qiraat al-Quran.


[1] A. Athaillah, Sejarah al-Quran: Verifikasi Tentang Otensitas al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 321-322
[2]  Tufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah al-Quran (Yogyakarta: FKBA, 2001), hlm 265
[3] Tufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah al-Quran…. Hlm. 273.
[4] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir terj. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006), hlm.7-8
[5] Muhammad Quraish Shihab, dkk, Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus. 2000, hal 94-98
[6] M,M A’zami, Sejarah Teks al-Quran dari wahyu sampai kompilasi (Jakarta: Gema Insani, 2005) hlm. 115-116
[7] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 106-107
[8] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 108
[9] M,M A’zami, Sejarah Teks al-Quran dari wahyu sampai kompilasi...... hlm. 150-151
[10] A. Athaillah, Sejarah al-Quran: Verifikasi Tentang Otensitas al-Quran…..hlm. 328.
[11] Annas Zaenal Muttaqin, Sejarah dan Rasm Mushaf al-Quran Pojok Menara Kudus (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Ushuluddin, 2010), hlm 28-34
[12]  Abd al-Qayyum bin Abd al-Ghafur as-Sindy, Shafahat Fi Ulum al-Qiraat (Mekkah: Al-Maktabah al-Imdadiah,2001), hlm 171

2 komentar: