Rabu, 06 Desember 2023

Film Pendek Moderasi Beragama 2023

Berikut adalah Film Pendek karya Mahasiswa dalam mengikuti Mata Kuliah Moderasi Beragama


1. Kelompok 1_toleransi 

2. Kelompok 2_akomondatif budaya lokal

3. Kelompok 3_https://youtu.be/hLKih-6o6yI

4. Kelompok 4_Cinta Tanah Air_https://youtu.be/ZQQ8u8aNbuY


kelas KPI C

Selasa, 15 Agustus 2023

Referensi Perkuliahan Gasal 2023/2024

 Berikut Beberapa Referensi Mata Kuliah untuk Kalender Akademik Gasal 2023/2024

1. Harmonisasi Sains dan Agama

2. Moderasi Beragama

3. Hermeneutika

Jumat, 11 Agustus 2023

Part III (Catatan Mbolang di Tana Toraja)

Kunjungan ke tana toraja begitu spesial ketika rombongan bisa ikut menyaksikan acara adat rambu solo. 


Rambu Solo' adalah sebuah upacara Pemakaman dalam agama Aluk To Dolo yang mewajibkan keluarga almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.

Upacara Rambu Solo yang kami lihat ada di wilayah Rante Tayo. Kec. Madandan. Semua peziarah, atau istilah di jawa pelayat orang yang baru saja meninggal, tidak hanya umat seagama, umat berbagai agama yang ada ikut melayat.

Yang menarik, upacara tersebut baru bisa dilaksanakan pasca wafatnya sang kakek 3 minggu yang lalu. Ini waktu relatif singkat bagi mereka, karena ada beberapa kasus baru bisa menyelenggarakan upacara adat berpuluh tahun. Bahkan, tetangga supir yang mengantarkan kami keliling, meninggal dari tahun 2001 sampai sekarang belum bisa melaksanakan upacara ini dikarenakan berbagai persoalan.

Bagaimana dengan jenazahnya? Semua jenazah akan dikasih “pengawet” supaya tidak berbau. Karena mayat akan disimpan di peti dan ditaruh d dalam kamar. Tidak mengheran dan bahkan sering terjadi, upacara ini diselenggarakan ketika jenazah tinggal tulang saja.

Upacara ini termasuk mahal karena apa yang dihidangkan dan bentuknya dihitung sesuai dengan kasta keluarga. Upacara yang kami hadiri, keluarga telah memotong 1 kerbau dan akan memotong 6 kerbau lagi pada puncak perayaan yang jatuh pada esok hari. 1 kerbau harga disekitar 40jt, kalau 7 ya mereka mengeluarkan dana minimal 280jt. 

Tradisi memang mahal, tapi lebih mahal lagi tradisi itu bisa bertahan, terjaga dan lestari. Di sini, apa yang dilakukan acara tahlil kematian bagi umat Islam begitu murah. Masih banyak yang memprotes serta enggan untuk menyelenggarakannya, belum lagi dengan tuduhan bid’ah.

Apakah umat islam disini juga mengenal hal ini? Iya, untuk sebagian umat islam yang masih memegang teguh adat istiadat. Menurut warga, beberapa minggu yang lalu, salah satu umat Islam disini dan mereka termasuk kasta bangsawan, telah melakukan upacara adat rambu solo dengan sesembelihan kerbau hingga 20 ekor lebih. Itulah, masyarakat toraja memiliki semboyan: bekerjalah untuk kematian.

Meskipun umat islam, semua warga sekitar lintas agama juga menghadiri upacaranya dan semua mendapatkan bagian daging kerbau. Tentunya, kerbau yang disembelih sesuai dengan syariat Islam.

Bagaimana kalau yang mengadakan umat non islam? Maka salah satu kerbau yang akan disembelih ditandai, disembelih secara islami dan dibagikan kepada umat islam.

Kembali ke acara adat rambu solo. Pemandangan yang menarik bahwa acara ini bisa diselenggarakan jika seluruh keluarga (anak, cucu, mantu, dll) bisa berkumpul. Ini juga termasuk salah satu faktor, selain biaya, upacara rambu solo bisa lama penyelenggaraannya.

Semua keluarga akan disebar untuk temu tamu semua warga yang datang, ngajak ngobrol, menyajikan hidangan, meski dibatasi waktu. Ini tentu pemandangan berbeda bukan?

Begitulah masyarakat adat menjaga dan melestarikan adatnya. Mereka puas dan bangga ketika bisa menyelenggarakan upacara adat rambu solo, bentuk terakhir untuk menghormati jenazah.


Tana Toraja, 10 Agustus 2023

Part II (Catatan Bolang di Tana Toraja)

 Sambil menunggu pesawat yang delay lebih dari 60 menit. 

Kesempatan ini saya ingin menyampaikan mengenai “belajar moderasi beragama dari tana toraja”.

Tana Toraja mayoritas Non Muslim, menurut statistik, muslim berjumlah 11% dari total jumlah penduduk. Data Arsiparis menunjukkan bahwa tempat Ibadah pasca masa animisme-dinamisme adalah Masjid, kemudian Gereja. Itu menunjukkan bahwa Agama Kristen lebih diterima dan akomodatif terhadap warisan tradisi nenek moyangnya. 

Di Tana Toraja,  mereka mengikuti tiga hukum yang berlaku: Adat, Agama dan Konstitusi. Muslim dan non muslim hidup berdampingan dalam berbagai acara. Salah satu yang diungkapkan adalah acara kematian. Tana Toraja memiliki adat yang begitu kental terhadap peristiwa tersebut. Lihat tulisan part I. Keberagamaan mereka seperti secercah titik terang untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama.

Umat Beragama: baik itu Islam maupun Kristen terbagi menjadi 2 kelompok besar: umat yang masih terikat adat dan tidak. Menurut Narsum yang juga sebagai ketua Hukum Adat, itu tidak dipermasalahkan. Kerukunan, kedamaian serta harmoni kehidupanlah yang menjadi argumen dasarnya.

Menurut hukum adat yang mereka sepakati, kematian sudah ada standard aturan agamanya masing-masing, sehingga upacara kematian meninggalkan acara adat diperbolehkan. 1 hukum adat yang tidak diperbolehkan untuk ditinggalkan adalah pernikahan. Hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh dan mendalam bagaimana pertemuan adat dan agama dalam prosesi pernikahan.

Kembali ke persoalan kematian. Umat Muslim yang masih terikat adat, dalam proses kematian juga mengenal 7, 41, 100 hari. Yang menarik, ketika yang mendapat Musibah umat muslim dan mengadakan acara tahlil, namun seluruh warga lintas agama akan turut hadir. Tidak hanya sekedar membantu.

Kehadiran tersebut, bagi mereka, ebagai simbol penghormatan secara sosial. Karena penyelenggara adalah umat Islam, maka pimpinan, hidangan dan segalanya akan disesuaikan dengan syariat agama islam. Begitu pula sebaliknya, jika yang terkena musibah non muslim, akan disesuaikan dengan aturan agamanya.

Bagaimana dengan hidangan halal-haram? Mereka sudah ada kesepakatan sosial bahwa hidangan akan disesuaikan dengan agama-agama yang dipeluk warganya. Sehingga tidak mungkin, umat muslim akan mendapatkan hidangan Babi, begitu pula non-muslim tidak akan menerima hidangan kerbau. Hewan yang dihormati oleh adat dan agama lainnya.

Nilai penuh kerukunan, penghormatan, kasih sayang dalam kehidupan rakyat tana toraja. Salah satu kepala lembang madandan, kec rantetayo mengatakan bahwa tana toraja dari leluhur sudah menerapkan nilai moderasi beragama sejak dari nenek moyang. Maka tidak heran, banyak masjid berdampingan atau berhadapan dengan gereja. Yang membangun masjid semua warga tanpa melihat agama yang dipeluk, begitu pula gereja. Menurut Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama IAKN Tana Toraja, Syukr Matasak, sebagai Co-Host KKN MB dalam sambutannya bahwa ketua pembangunan masjid raya tana toraja adalah Kristen. Menurutnya, salah satu faktor kerukunan umat beragama di tana toraja karena pembawa 2 agama besar yang masuk: Kristen dan Muslim adalah bersaudara dan 1 keluarga.

Lanjutnya,  tana toraja memiliki filosofi utama dan pertama dalam segala filosofi kehidupan: karapasan (harmoni). Karapasan sudah menyatu dalam kehidupan, sudah masuk relung kurikulum kehidupan antar warga. Masyarakat Tana Toraja secara filosofis, sudah mengaktualkan nilai falsafahnya dalam kehidupan sehari; menjaga kerukunan dan toleransi tanpa melihat agamanya. Demikian, tana toraja ketika kesini, tidak mengajari mereka moderasi beragama, tetapi kitalah yang belajar moderasi beragama kepada mereka.


Tana Toraja, 11 Agustus 2023

Part I (Catatan Bolang ke Tana Toraja)

Hari pertama, kami berkunjung ke wilayah adat di Tana Toraja, Kete Kesu. Sebuah wilayah di Desa Tikunna Malenong, kecamatan Sanggalang. Kete Kesu sendiri merupakan komunitas adat Toraja.


Kebetulan, ketika kami datang merupakan puncak dari peringatan hari adat Internasional, sehingga banyak kegiatan serta pengunjungnya (pict 1). Baik itu lokal, interlokal maupun mancanegara.


Salah satu yang menarik di Wilayah ini adalah pemakaman kuno yang sudah berumur ratusan tahun. Pemakaman Erong.

Pemakaman pertama warga toraja sebelum mengenal Agama, sudah berumur ratusan tahun dan itu menempel di dinding pegunungan (pict 2). Yang masih tertara rapi tengkoraknya. Menurut salah satu juru kuncinya, semakin tinggi tempatnya semakin tinggi pula strata sosialnya.


Secara Adat Toraja, jenazah orang yang meninggal tergolong dua jenis, yaitu jenazah To Maluka dan jenazah To Mate. Jenazah To Maluka merupakan jenazah yang sengaja di semayamkan dan disimpan namun masih dianggap sebagai orang yang sakit, sedang jenazah To Mate merupakan jenazah dalam proses menuju upacara Rambu Solo.


Kembali ke Kete Kesu. Di area ini area teratas memiliki Goa yang mana dalam Goa terdapat 1 peti jenazah. Peti ini, menurut Juru Kuncinya, adalah romeo-julietnya Toraja, namun karena masih keluarga, pasangan tersebut tidak direstu dan akhirnya melakukan bunuh diri di Goa tersebut (pict 3: dari luar, karena masuk goa harus ditemani dan saya egk berani 😌).


Jika di urut silsilah keluarga, menurut warga sekitar, bahwa peti-peti jenazah yang ada dalam area tersebut masih keluarga dari pasangan romeo juliet.


Meski tergolong area pemakaman nenek moyang, ini yang membedakan dengan ada di Jawa. Disini tidak tercium sama sekali aroma khas sesajen, meski ada sesembahan yang juga menarik: botol air minum dan putung rokok.


Besok ada cerita lagi, karena ada upacara adat, penyembelihan kerbau, sebuah simbol  bahwa arwah akan sampai puya. Bagaimana itu? Tunggu ya...


Toraja, 09 Agustus 2023