Rabu, 02 Januari 2019

Sastra, Psikologi dan Hermeneutika sebagai pendekatan penfasiran al-Quran

Oleh: Nikmatu Cahyaningsih, Dani Atriana dan Alfa Ilmiyatun

Latar Belakang
Di era modern saat ini, banyak dijumpai fenomena yang telah menggencarkan masyarakat muslim. Hal ini ditandai dengan maraknya kemunculan para ustadz yang dengan gampangnya menafsirkan ayat al-Qur’an dengan seenaknya sendiri, tanpa diimbangi dengan keilmuan yang memadai. Sehingga dalam hal ini banyak masyarakat yang mudah terpengaruh dalam pemikiran-pemikiran yang jauh dari kata benar. Mereka juga dengan mudahnya menetapkan suatu hukum tanpa didasari kaidah-kaidah penafsiran yang baik. Maka, tidak sedikit dari mereka yang dengan mudahnya menganggap salah bahkan kafir terhadap kelompok diluar mereka.
Oleh karena itu, untuk mengatasi berbagai persoalan yang tengah dihadapi oleh masyarakat, terutama dalam konteks pemahaman terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Maka, diperlukan sebuah pengetahuan yang komprehensif tentang kaidah yang berhubungan dengan ilmu tafsir, selain penguasaan bahasa Arab yang baik pula. Disamping itu, dibutuhkan juga sebuah pendekatan dan metode yang baik dan benar sebagai sarana untuk memahami setiap makna ayat dalam al-Qur’an dan menetapkan suatu hukum berdasarkan kaidah penafsiran yang benar dan tepat. Hal ini dikarenakan tidak mungkin seorang mufasir melakukan sebuah penafsiran tanpa penguasaan kaidah-kaidah penafsiran untuk dapat memenuhi prasyarat sebagai seorang penafsir.


PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendekatan Tafsir
Nyoman Kutha Ratna menguraikan bahwa pendekatan secara etimologis berasal dari kata appropio, approach, yang diartikan sebagai jalan dan penghampiran.(Ulya,2017:25) Selain itu, Abuddin Nata dalam bukunya Metodologi Studi Islam mendefinisikan pendekatan sebagai cara pandang yang digunakan untuk menjelaskan suatu data yang dihasilkan dalam penelitian.(Abudin Nata, 1998:142) Istilah pendekatan merujuk pada pandangan tentang terjadinya proses yang sifatnya masih sangat
umum. Pendekatan selalu berkaitan dengan tujuan, metode, dan teknik, karena tenik yang bersifat implementasional tidak terlepas dari metode yang digunakan. Sementara, metode sebagai suatu rencana yang menyeluruh tentang penyajian materi selalu didasarkan dengan pendekatan dan pendekatan merujuk kepada tujuan yang telah diterapkan sebelumnya. Jadi, pendekatan merupakan langkah pertama yang berisi cara-cara untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data dalam mewujudkan tujuan sebuah kajian studi.

Secara etimologi, kata tafsir berasal dari bahasa Arab yang berbentuk mashdar dari kata fassara - yufassiru - tafsiran yang berarti al-bayan dan al-idhah (penjelasan, uraian, keterangan, interpretasi dan komentar.(Soleh Sakni, 2013:62). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tafsir didefinisikan sebagai keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat suci Al-Qur’an atau kitab suci lain sehingga lebih jelas maksudnya. Al-Suyuthi mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai cara untuk mengungkapkan lafal-lafal Al-Qur’an disertai makna dan hukum yang terkandung didalamnya.(Ulya,2017:5-6)Secara umum, kata tafsir mengandung arti menjelaskan, menguraikan, menafsirkan. Sedangkan, definisi tafsir secara terminologi mengandung pengertian sebagai kasyf al-murad ‘an al-lafdh al-musykil (menjelaskan apa yang dimaksud dari kalimat yang sulit). Sementara itu, dalam bahasa teknis tafsir dapat diartikan sebagai penjelasan, penafsiran, dan kometar terhadap Al-Qur’an yang berisi langkah-langkah untuk memperoleh pengetahuan dalam membantu memahami al-Qur’an, menjelaskan makna, dan mengklarifikasi implikasi hukumnya. Oleh karena itu, para praktisi tafsir mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang berhubungan dengan upaya untuk memahami dan menjelaskan al-Qur’an dalam batas kapasitas manusia (Soleh Sakni, 2013:63). Jadi, pendekatan tafsir dapat diartikan sebagi suatu cara pandang yang digunakan mufassir dalam memahami, menjelaskan, dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dikombinasikan dengan berbagai bidang keilmuan yang lain.

B. Macam-Macam Pendekatan Tafsir
1. Pendekatan Sastra
Sastra secara umum dapat diartikan sebagai ungkapan pribadi seorang yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, semangat, keyakinan dalam suatu gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat-alat bahasa. Pendekatan sastra merupakan suatu cara pandang dalam memahami, menjelaskan, meenafsirkan ayat Al-Qur’an dengan menggunakan pisau bedah sastra(Ulya,2017:167). Dalam memahami teks Al-Qur’an, pendekatan kebahasaan menjadi sangat urgen dan signifikan. Sebagai suatu kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, Al-Qur’an yang diturunkan ke dalam lingkup masyarakat Arab, secara langsung telah tertransformasikan dari sebuah teks illahi ke dalam teks insani, karena telah berubah dari wahyu menjadi sebuah interpretasi. Oleh karena itu, dalam memahami maksud atau makna yang terkandung dalam sebuah teks Al- qur’an, harus dilihat dari segi bahasa Arab sebagai bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an(M.Sholahuddin, 2016:121). Sehingga, dapat memunculkan suatu makna yang tepat terhadap suatu redaksi ayat setelah memperhatikan kaidah-kaidah dalam bahasa Arab.

Menurut sejarahnya, pendekatan sastra secara eksplisit telah bersentuhan dengan kajian al-Qur’an sejak abad ke-20 M yang dipelopori Amin al-Khuli. Dimana sasarannya adalah untuk terhindar dari tarikan-tarikan individual-ideologis. Ia berusaha untuk menciptakan pemahaman turats secara paripurna (awwal tajdid qatl al-qadim fahman) dan dialah yang pertama kali menempatkan al-Qur’an sebagai kitab sastra terbesar (kitab al-arabiyya al-akbar) sebagai implikasinya. Bint al-Syati’ yang memiliki nama lengkap Aisya Abdurrahman, istri Amin al-Khuli, juga termasuk murid setianya. Secara konsisten, dia juga menggunakan pendekatan yang ditawarkan suaminya, yakni dalam beberapa karya tafsirnya, di antaranya al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, Min Asrar al-Arabiyya fi Bayan al-Qur’an serta Maqal fi al-Insan Dirasah Qur’aniyyah.

Selain itu, terdapat pula generasi penerus dari al-Khuli yaitu, Nasr Hamid Abu Zayd yang melahirkan simpulannya tentang al-Qur’an sebagai teks yang memiliki pesan etik, moral, spiritual, dan juristik(Ulya,2017:170-171). Berdasarkan teori-teori ilmiah tentang teks yang dipegang olehnya, maka ia berpendapat bahwa al-Qur’an adalah fenomena historis dan mempunyai konteks spesifik (The Qur’an as a historical phenomenon and as having a specific context). Beliau menganggap al-Qur’an sebagai teks berbahasa Arab yang dapat dipelajari oleh siapa saja, baik muslim maupun nonmuslim. Sehingga, dalam pernyatannya tersebut tercantum beberapa aspek utama dalam studi al-Qur’an diantaranya:
a. Al-Qur’an merupakan teks, lebih khususnya teks linguistik. Sebagaimana teks linguistik, al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan budayanya.
b. Teks seharusnya dikaji dengan menggunakan pendekatan bahasa dan sastra.
c. Titik awal dari kajian al-Qur’an bukan dari iman, melainkan dari obyektivitas ilmiah. Sehingga, baik muslim maupun nonmuslim bisa memberi sumbangan pada kajian al-Qur’an(Ulya,2017:179).

Dalam menafsirkan al-Qur’an, Abu Zayd membagi penafsiran al-Qur’an menjadi dua yaitu, penafsiran literal yang mengasumsikan al-Qur’an merupakan teks yang ahistoris dan penafsiran alegoris yang mendasarkan pada teks al-Qur’an sebagai sesuatu yang historis. Hal ini tentu berbeda dengan pendapat ulama pada umumnya yang membagi penafsiran al-Qur’an menjadi tiga yaitu, penafsiran tekstual, rasional, dan penafsiran yang bersifat intuitif(Ulya,2017:180). Sebelum masuk pada metode penafsiran dengan pendekatan sastra yang dilaksanakan oleh Abu Zayd terdapat beberapa hal yang harus diketahui, yaitu :

a) Makna dan signifikansi
Makna adalah sesuatu yang direperesentasikan oleh sebuah teks, atau dengan kata lain sebuah representasi dari tanda-tanda yang dimaksud penulis. Sedangkan signifikansi adalah menamai sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang, atau sebuah persepsi, situasi, atau sesuatu yang dapat dibayangkan. Signifikansi selalu mengimplikasikan sebuah hubungan dan satu kutub konstan yang tak berubah dari hubungan itulah apa yang dimaksud oleh teks. Jika makna bersifat statis karena historisitasnya, maka signifikasi bersifat dinamis.

b). Ada tiga level makna
Meskipun makna bersifat statis tetapi statusnya bertingkat. Menurut Abu Zayd ada 3 (tiga) level makna, yaitu :
1) Level pertama adalah makna yang hanya menunjuk kepada bukti atau atau fakta historis, yang tidak dapat diinterperatsikan scara metaforis.
2) Level kedua adalah makna yang menunjuk pada bukti atau fakta sejarah dan dapat diinterpretaasikan secara metaforis.
3) Level ketiga adalah makna yang bisa diperluas berdasarkan signifikansi yang diungkap dari konteks sosio-kultural di tempat teks itu muncul.

Dengan demikian, tidak semua makna selalu dicari signifikansinya, karena bisa jadi makna itu harus dipahami sebagai bukti atau fakta sejarah, baik yang tidak bisa maupun yang bisa dipahami secara metaforis.

c). Interpretasi
Interpretasi adalah proses menguraikan kode-kode. Dalam proses ini penafsir seharusnya mengambil makna sosio-kultural sebagai bahan pertimbangan dengan menggunakan kritik historis sebagai analisis pendahuluan yang diikuti oleh analisis sastra dan bahasa. Makna ini akan membimbing penafsir untuk menemukan pesan baru yaitu signifikansi teks. Pesan baru atau sigifikansi teks inilah produk dari pendekatan sastra(Ulya,2017:181-182).
Adapun contoh dari pengaplikasian tiga tahapan dari pendekatan sastra yang digunakan oleh Abu Zayd diatas, diantaranya dalam kasus poligami yang tersebut dalam QS. an-Nisa’ ayat 3.
Pertama, konteks teks itu sendiri. Untuk memulainya, Abu Zayd mengkontraskan ketiadaan atau ketidakhadiran praktik hukum yang mempunyai “Bahwa yang mana kepemilikan tangantangan kananmu” (tawanan perang atau para budak) sebagai selir dalam wacana Islam di satu sisi, dari pada keberlanjutan poligami : “Lalu menikahi perempuan sebagai seruan untukmu, dua, tiga atau empat “ di sisi yang lain. Bagi Abu Zayd, ketiadaan ini mengindikasikan ketiadaan kesadaran historis tentang teksteks agama, yang teks-teks agama itu adalah teks bahasa dan teks bahasa adalah teks produk manusia dan sosial dan wadah bagi budaya masyarakat.

Abu Zayd beralasan bahwa kebolehan bagi laki-laki untk menikahi 4 (empat) orang isteri seharusnya dianggap sebagai konteks hubungan manusia, khususnya antara laki-laki dan perempuan sebelum Islam datang menjadi agama yang mapan. Periode pra-Islam, yang mana hukum kesukuan adalah yang berkuasa, dimana poligami tak dibatasi. Dalam konteks ini, kebolehan memiliki 4 (empat) isteri seharusnya dilihat sebagai setting tentang pembatasan. Tentang poligami yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad yang menikahi lebih dari 4 (empat) isteri, Abu Zayd menyatakan bahwa ini adalah praktik umum dalam periode pra-Islam. Dia mengusulkan bahwa pembatasan seharusnya dilihat sebgai perubahan upaya pembebasan perempuan dari dominasi laki-laki. Jadi dalam konteks ini, secara tidak langsung al-Qur’an ingin mengatakan bahwa pernikahan yang dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Dimana seorang laki-laki hanya menikahi satu orang isteri saja(Ulya,2017:184).

Kedua, meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara keseluruhan. Dengan hal ini, Abu Zayd berharap bahwa makna implisit yang tak disebutkan dalam teks dapat ditemukan. Sebagaimana tersebut dalam teks, bahwa yang dikehendaki dalam pernikahan yakni suami hanya memiliki satu orang isteri saja, jika suami tersebut takut tidak dapat berlaku adil. Selanjutnya, dalam QS. an-Nisa’ ayat 129 juga disebutkan bahwa keadilan sang suami terhadap isteri-isterinya itu tidak mungkin tercapai, meskipun suami itu menghendaki demikian. Analisis lingustik memberikan kesan bahwa untuk berbuat adil antara isteri-isteri adalah tidak mungkin sama sekali. Ketentuan bersyarat, penggunakan partikel ‘jika’ mengindikasikan tidak akan terpenuhinya syarat. Aspek penting lainnya adalah penggunaan partikel lain ‘lan’ (tak kan pernah) yang mana berfungsi sebagai bukti kuat, dalam permulaan kalimat . Penandaan ini bahwa ‘bisa adil’ tak kan pernah terjadi. Oleh karena itu, Abu Zayd menyimpulkan bahwa di sana ada dobel negasi, yakni ketiadaan secara keseluruhan tentang kemungkinan menjadi adil atas dua isteri atau lebih dan ketiadaan tentang kemungkinan memiliki hasrat yang menggebu untuk menjadi adil dengan mereka(Ulya,2017:185).

Ketiga, didasarkan pada langkah-langkah terdahulu, mengajukan sebuah reformasi tentang hukum Islam. Dalam hukum Islam, poligami diklasifikasikan dibawah perbuatan mubah. Term ‘mubah atau pembolehan’ bagi Abu Zayd adalah tidak sesuai, karena pembolehan pada kenyataannya adalah pembatasan dari poligami yang asalnya tak terbatas yang dipraktikkan sebelum datangnya Islam. Pembatasan tak berarti pembolehan. Meskipun demikian poligami tidak termasuk larangan tentang perbuatan yang diperbolehkan (tahrim al-mubahat). Di dasarkan pada pembedaan-pembedaan lahirnya adil antara mabda’, qaidah, dan hukum, Abu Zayd beralasan bahwa poligami seharusnya diperlakukan sebagai hukum, yang mana tak bisa menjadi qaidah. Keadilan adalah mabda’ yang seharusnya dilanjutkan pada level qaidah dan hukum. Hukum adalah sebuah problem relatif yang diikat oleh syarat-syarat tertentu yang tergantung dan bisa berubah. Dalam hal ini, simpulan dari argumen yang diungkapkan oleh Abu Zayd tentang larangan yang dinyatakan secara tak langsung dan poligami sebagai hukum yang tak bisa melanggar atau memperkosa qaidah dan mabda’, maka bisa dibuktikan bahwa argumentasi final tentang poligami seharusnya dilarang (Ulya,2017:186-187).

2. Pendekatan Psikologis
Psikologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yakni, pscyche yang berarti jiwa dan logos yang beararti ilmu pengetahuan. Psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji perilaku individu dengan lingkungannya. Secara harfiah, psikologi dapat diartikan sebagai ilmu jiwa. sedangkan menurut istilah, psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, proses, maupun latar belakangnya( M. Arif Khoiruddin, 2017). Jadi, pendekatan psikologi mengandung pengertian tentang suatu cara pandang dalam menghampiri teks al-Qur’an melalui jembatan psikologi manusia.

Al-Qur’an sebagai kitab Allah yang autentik di dalamnya mengandung keterangan mengenai manusia dengan segenap sifat dan perilakunya. Untuk merumuskan konsep manusia, sifat-sifat manusia dan nilai-nilai moral menurut Al-Quran merupakan tugas psikologi muslim. Selanjutnya, agar tidak terhenti di tataran ideologis atau keimanan saja, tetapi dapat berlanjut menjadi ilmu, bahan-bahan tersebut harus diolah secara ilmiyah. Konsep manusia Qurani atau teori tentang perilaku manusia yang diturunkan dari Al-Quran itu harus diverifikasi dengan menggunakan metodologi ilmiah. Hal ini bukan untuk menjustifikasi kebenaran Al-Quran dengan alat ilmu, melainkan karena dua alasan. Pertama, karena yang membaca Al-Quran dan mencoba merumuskan teori tentang manusia itu adalah manusia dengan segala kelemahannya, maka akan ada kemungkinan keliru. Jadi, kebenaran di tataran ideologis itu perlu adanya pengujian, baik pengujian epistimologi maupun pengujian empiris. Kedua, agar konsep atau teori tentang perilaku manusia itu dapat menjadi teori psikologi, maka ia harus dapat diperiksa, didialogkan dan didiskusikan secara terbuka oleh semua kalangan masyarakat.
Dalam menjembatani teks yang terdapat dalam Al-Qur’an, maka dalam psikologi dapat digunakan beberapa pendekatan, yakni:
a. Pendekatan Struktural
Pendekatan ini bertujuan untuk mempelajari pengalaman seseorang berdasarkan tingkatan atau kategori tertentu. Struktur pengalaman tersebut dilakukan dengan menggunakan metode pengalaman dan introspeksi. Pendekatan ini digunakan oleh Wilhelm Wundt.
b. Pendekatan Fungsional
Pendekatan ini dilakukan untuk mempelajari bagaimana agama dapat berfungsi atau berpengaruh terhadap tingkah laku hidup individu dalam kehidupannya. Pendekatan ini digunakan oleh William James.
c. Pendekatan Psiko-analisis
Pendekatan ini dilakukan untuk menjelaskan tentang pengaruh agama dalam kepribadian seseorang dan hubungannya dengan penyakit jiwa. Pendekatan ini pertama kali digunakan oleh Sigmund Freud (Douglas A. Bernstein, 1998: 7-10). 

Adapun yang dimaksud dengan nuansa psikologis adalah nuansa tafsir yang analisisnya menekankan pada dimensi psikologi manusia. Banyak kitab tafsir yang mengkaji dan menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan dimensi penafsirannya. Contoh tafsir yang menggunakan pendekatan psikologi adalah seperti karya Mubarok yang berjudul Jiwa dalam Al-Qur’an yang didalamnya memusatkan kajiannya dalam kata nafs dalam Al-Qur’an. Kata nafs dalam bahasa Arab memiliki arti ruh, diri manusia, hakikat sesuatu, darah, saudara, kepunyaan keghaiban, jasad, zat, kebesaran dan lain-lain. Dalam konteks manusia, kata nafs yang ada dalam Al-Qur’an digunakan untuk menyebutkan manusia sebagai makhluk yang tinggal di dunia ataupun manusia yang nantinya akan hidup di akhirat.
Dalam QS. Al-Maidah: 32, kata nasf digunakan untuk menyebutkan manusia di dunia yaitu manusia hidup yang bisa dibunuh. Tetapi dalam QS. Yasin: 54 kata nafs digunakan untuk menyebut manusia di alam akhirat. Sedangkan pengertian lain yang ditulis oleh al-Mubarok nafs adalah sebagai sisi dalam manusia. Sebagaimana dalam QS. Al-Ra’d:10, bahwa manusia memiliki sisi dalam dan sisi luar. Jika sisi luarnya dapat dilihat pada perbuatan zahirnya, maka sisi dalamnya menurut al-Qur’an berfungsi sebagai penggeraknya. Dalam QS. Al-Shams: 7 secara tegas menyebut nafs sebagai jiwa. Misalnya ketika seorang mufasir menguraikan surat al-Fatihah, ia menyampaikan pesan moral yang terkandung dalam al-Fatihah dengan bahasa yang tegas dan menekankan pentingnya melakukan segala sesuatu atas dasar nama Allah. Bahwa mengurus orang tua, mengelola upah buruh, menghindari maksiat dan membaca buku adalah hal yang biasa. Tapi menurutnya, semua perbuatan tersebut akan mendatangkan kemuliaan apabila dilakukan atas dasar nama Allah (M.Sholahuddin, 2016:122-123).

3. Pendekatan Hermeneutis
Membincang istilah hermeneutika adalah sama dengan menelusuri masa lalu. Hal ini karena hermeneutika sebenarnya adalah bukan istilah yang baru muncul, tetapi istilah ini lahir seiring lahirnya agama dan filsafat. Hermeneutis adalah salah satu bentuk metoda penafsiran yang di dalam pengoperasiannya dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks atau ayat. Dalam hal ini selalu dihubungkan dengan tiga aspek, yaitu: 
1). Dengan konteks apa teks itu ditulis, jika kaitannya dengan al-Qur’an maka dalam konteks apakah ayat itu diturunkan, 
2). Bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, 
3). Bagaimana keseluruhan teks atau pandangan tentang teks tersebut (Amina,tt:130)

Sebagai langkah teknis ketika menafsirkan ayat al-Qur’an, ketika prinsip tersebut dapat dikolaborasi lebih lanjut sebagai berikut, yaitu setiap ayat yang hendak ditafsirkan dianalis: 
1). Dalam konteksnya, 
2). Dalam konteks pembahasan topik yang sama dalam al-Qur’an, 
3). Menyangkut soal bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan di seluruh bagian al-Qur’an, 
4). Menyangkut sikap benar-benar berpegang teguh pada prinsip-prinsip al-Qur’an, 
5). Dalam konteks al-Qur’an sebagai weltanschauung atau pandangan hidup (Suryadilaga,2006:88).

Model hermeneutis yang dikembangkan oleh para mufassir kontemporer itu pun sangat beragam. Keberagaman ini muncul bukan hanya karena semakin terbukanya umat Islam terhadap gagasan-gagasan yang berasal dari luar, seperti isu tentang HAM, gender, demokrasi, civil society, pluralisme dan sebagainya, namun juga karena adanya kekurangan metode dan pendekatan yang ada selama ini (Mustaqim, 2014: 164). Dalam studi pendekatan tafsir sendiri, pendekatan secara hermenutis ini mengambil telaah dari Farid Esack. Tidak berbeda dengan pendapat mayoritas intelektual Islam, Esack berpendapat bahwa al-Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhamad melalui malaikat Jibril secara harfiah dan lisan dalam kata-kata bahasa Arab yang paling murni (Ulya,2017:71). 
Al-Qur’an dipercaya sebagai kitab yang unik jika dilihat dari kemurnian Arabnya, keelokan bahasanya, gaya retorikanya, dan lain-lain. Jika dilihat dari soal relasi pewahyuan, bahasa dan isi di satu sisi dengan komunitas penerimanya di sisi lain, al-Qur’an tidaklah unik. Ayat-ayat dalam al-Qur’an senantiasa merupakan tanggapan atas masyarakat tertentu. Meski di dalam ayatnya ada klaim bahwa al-Qur’an itu penebar rahmat seluruh alam, petunjuk bagi seluruh umat manusa tetapi secara khusus al-Qur’an di masa pewahyuannya ditujukan bagi masyarakat Arab. Melihat historisitas yang demikian maka tak bisa dihindari bahwa teks tak bisa lepas dari konteks, tidak ada teks yang berdiri sendiri, demikian pula teks al-Qur’an (Naim, 1996:53). Menurut Esack, mengkaitkan teks al-Qur’an dengan konteks historis dan linguistiknya dengan disertai kesadaran al-Qur’an yang meruang waktu bukan berarti akan membatasi pengertian dan pesan-pesannya berada dalam konteks itu saja, tetapi justru memahami makna pewahyuannya dalam konteks tertentu di masa lalu, yang nantinya diharapkan sebagai dasar pijak agar dapat mengkontekstualisasikan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya di setiap saat dan tempat. Dengan demikian beriman kepada relevansi abadi al-Qur’an tidaklah harus diidentikkan dengan penafsiran teks yang universal. Yang menentukan posisi Esack yang lain adalah penekanannya pada ide pewahyuan progressif. Pemahaman ini berangkat ketika dia menemukan teks al-Qur’an yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur,(Qs. Al-Isro’: 106) juga ada teks yang menyatakan bahwa al-Qur’an muncul di tengah-tengah perjuangan dan setiap perjuangan membutuhan dukungan dan arahan sehingga al- Qur’an tidak diturunkan sekaligus. Dari ayat-ayat inilah mencerminkan dengan baik bahwa ada interaksi kreatif antara kehendak Tuhan, realitas di bumi, dan kebutuhan masyarakat untuk ditanggapi. Di sini, maka Tuhan tidaklah berbicara pada suatu ruang yang hampa dan tidak mengirim pesan yang dibentuk dalam kehampaan.

Sebagai bukti kedua statemen Esack di atas adalah adanya asbab al-nuzul dan bahasan naskh al-Qur’an. Kedua ini mencerminkan kehadiran Tuhan yang mewujudkan kehendak-Nya dalam situasi umat-Nya, yang berbicara sesuai realitas mereka dan yang firman-Nya dibentuk oleh realitas itu. Pendeknya dalam bahasa Fazlurrahman adalah bahwa keduanya itu menunjuk pada karakter situasional al-Qur’an (Naim, 1996:60).
Di antara asumsi hermeneutika yang harus digaris bawahi adalah bahwa setiap orang mendatangi teks pasti membawa persoalan dan harapannya sendiri sehingga tak masuk akal menuntut seorang penafsir menyisihkan subyektifitasannya sendiri. Sedangkan konsekuensi dari asumsi hermeneutis di atas adalah bahwa dengan hermeneutika, umat beriman akan dihadapkan dengan pluralitas makna al-Qur’an. Oleh karena itu, wajar jika hermeneutika yang dikenakan dalam teks al-Qur’an seringkali menemui ganjalan lantaran umat Islam pada umumnya meyakini kemanunggalan makna.


PENUTUP

Dalam memahami suatu ayat yang terkandung dalam al-Qur’an, tidak dapat dialakukan secara langsung, tanpa diimbangi dengan keilmuan yang memadai. Oleh karenanya selain penguasaan bahasa Arab yang baik dan juga pengetahuan akan kaidah-kaidah ilmu tafsir, juga dibutuhkan pula beberapa pendekatan dan juga metode yang baik dan tepat dalam menafsirkan al-Qur’an. Sehingga, dapat dirumuskan suatu hasil penafsiran yang baik dan tepat terhadap pemaknaan suatu redaksi ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an. Pendekatan tafsir merupakan suatu cara pandang dalam memahami, menjelaskan, menafsirkan setiap makna ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an melalui berbagai bidang keilmuan yang lain.


DAFTAR PUSTAKA

A. Bernstein Peggy W. Nash, Douglas. 1998. Essentials of Psychology, New York:Hougton Mifflin Compeny.
Alfatih Surya Dilaga, M. 2016. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras.
Arif Khoiruddin, M. 2017. "Pendekatan Psikologi dalam Studi Islam". Journal An-nafs:Vol.2, No.1
Abdullah Ahmed an-Na’im, Mohammed Arkoun, dkk, 1996. Dekonstruksi Syariah II : Kritik Konsep, Penjelajahan Yang Lain , terj.Farid Wajdi. Yogyakarta : Lkis.
Mustaqim, Abdul. 2014. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an. Yogyakarta: Adab Press.
Nata, Abuddin. 1998. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Solahudin, M. 2016. "Pendekatan Tekstual dan Kontekstual dalam Penafsiran Al-Qur’an". Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 1,2.
Soleh Sakni, Ahmad. 2013. "Model Pendekatan Tafsir dalam Kajian Islam". JIA /XIV/No.2.
Ulya. 2017. Berbagai Pendekatan dalam Studi Al-Qur’an. Yogyakarta: Idea Press.
Wadud, Amin. "Qur’an and Woman", dalam Charles Kurzman, Liberal Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar